Kamis, 28 Februari 2013

, , , , , ,

Boleh Saja Rumah Sakit Meminta Uang Muka, Asal...

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Substansi norma ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Saudara memahami makna dari aturan tersebut. Kenapa demikian? Karena masih banyak kesimpangsiuran pemberitaan yang cenderung tidak obyektif dan melenceng dari fakta. Bisa jadi hal ini disebabkan kesalahpahaman dan ketidakmengertian. Pertama yang akan kita bahas adalah keadaan darurat atau kegawatdaruratan. Secara terminologi 2 kata ini berbeda, namun substansinya sama. Dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat diatas. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan wajib diberikan dalam keadaan darurat untuk (1) penyelamatan pasien; (2) pencegahan kecacatan. Jadi disebut keadaan darurat jika tidak segera ditolong dengan pelayanan kesehatan, maka pasien akan cacat atau meninggal dunia. Dalam kondisi inilah, fasilitas rumah sakit termasuk rumah sakit, wajib hukumnya terlebih dahulu menolong pasien tanpa memikirkan bahkan meminta pembayaran uang atau uang muka.

Pertanyaannya, siapa yang dapat mengetahui bahwa pasien dalam keadaan darurat? Tentu tidak semua orang bisa menilai dan menentukan kondisi pasien dalam keadaan darurat. Yang dapat menentukan apakah pasien itu darurat atau tidak adalah dokter yang berkompeten dan disertai kondisi, syarat dan standar tertentu. Sangat sering ditemukan perbedaan pandang antara keluarga pasien dengan tenaga kesehatan rumah sakit. Bisa jadi keluarga menyaksikan kondisi pasien sudah menyimpulkan keadaan darurat, padahal menurut dokter tidak darurat.

Dimanakah tempat atau ruangan rumah sakit sehingga pasien yang menempatinya dapat dikatakan keadaan darurat? Sebagian besar pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan keadaan darurat. Karena tak jarang, pasien yang telah melewati masa kritis masih dirawat di IGD. Kemudian pasien yang mendapatkan perawatan medis intensif seperti di ruang ICU, ICCU, NICU dan PICU.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien yang harus mendapatkan penyelamatan nyawa dan pencegahan kecatatan di ruang IGD dan ruang perawatan intensif, rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dan pertolongan tanpa terlebih dahulu meminta uang muka atau pembayaran. Tetapi ingat, bahwa setiap tindakan, pengobatan dan perawatan pasien harus mendapatkan persetujuan (informed consent) pasien dan/atau keluarganya. Informed consent diantaranya indikasi medis, obat, tindakan medis, risiko medis, termasuk didalamnya informasi pembiayaan.

Nah, pada saat informed consent inilah sering terjadi kesalahfahaman dan disinformasi. Disatu sisi rumah sakit melaksanakan kewajibannya dalam mendapatkan persetujuan tindakan medis, namun pada sisi lain keluarga pasien atau pasiennya menganggap rumah sakit tak punya empati dan tak berperikemanusiaan. Pasien atau keluarga merasa "galau bin sensi", kok bisa-bisanya dalam keadaan kesusahan pasien dan belum melakukan tindakan pengobatan, rumah sakit malah ngomongin biaya! Padahal rumah sakit akan dianggap salah jika tak menginformasikan pembiayaan. Jadi pasien/keluarga harus benar-benar faham, apakah biaya itu sekedar informasi atau sebagai syarat sebelum tindakan pengobatan.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bolehkan rumah sakit meminta uang muka pada bukan keadaan darurat? Ya, kembali pada aturan. Dimana larangan permintaan uang muka oleh rumah sakit hanya dalam keadaan darurat. Tetapi kan memang tidak ada aturan yang mengharuskan rumah sakit meminta uang muka atas layanan yang diberikan.

Uang muka adalah keniscayaan dalam bentuk transaksi sosial sebagai timbal balik atas jasa yang diberikan. Pada kondisi pasien mempunyai pilihan untuk menentukan layanan kesehatan, maka rumah sakit dibolehkan membuat ketentuan, diantaranya uang muka. Sebagai contoh, setelah dilakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosa, dokter menyampaikan bahwa pasien disarankan menjalani rawat inap. Ternyata rumah sakit mempunyai ketentuan; jika rawat inap di kelas 3, pasien dapat langsung masuk. Tetapi kalau di kelas VIP, pasien harus menyerahkan uang muka sebesar 3 hari biaya ruangan. Dalam kondisi ini, pasien mempunyai pilihan; apakah menjalani rawat inap di kelas 3 atau VIP. Pasien tinggal memilih; dengan uang muka atau tidak. Gampang kan?

Jumat, 22 Februari 2013

, , , , ,

Bukan Hanya Orang Miskin Dilarang Sakit

Annisa Dera Upik, nama yang cantik bukan? Secantik wajahnya yang tenang menghadap Sang Pencipta. Annisa Dera Upik adalah nama 3 anak manusia yang kematiannya menghiasi media massa dan media sosial pada akhir-akhir ini dan semuanya dengan Rumah Sakit.

Annisa, mahasiswi yang melompat dari angkot yang meninggal di RS Koja namun pemberitaan yang muncul terkait urusan uang muka masuk ICU di RS Atmajaya. Dera, pemberitaannya begitu fenomenal. Bayi mungil lahir prematur dari bayi kembar berumur sekitar 6 hari ini meninggal dunia setelah tak mendapatkan perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RS Zahirah. Dan terkahir Upik, bayi prematur yang "divonis" 2x meninggal dunia di RS Bersalin Kartini.

Sebuah perumpamaan satire menyertai pemberitaan kematian 3 anak Indonesia ini; orang miskin dilarang sakit. Ini sebuah ironi, ditengah masyarakat yang dipimpin oleh Kepala Daerah dimana pada masa kampanyenya menjanjikan jaminan kesehatan secara gratis.

Sesungguhnya ini bukan perkara orang miskin yang dilarang sakit. Sebenarnya orang kaya pun sebaiknya tidak sakit. Siapa pun dia, kaya atau miskin, akan tersiksa jika sakit mendera. Yang kaya menjadi miskin karena penyakit yang membutuhkan biaya berobat yang tinggi. Yang miskin semakin merana sebab seakan tak ada pilihan, selain pasrah dan menunggu keputusan Yang Diatas.

Siapa yang tak merasa berduka dengan meninggal dunianya Annisa, Dera dan Upik akibat tak berdayaan mendapatkan akses layanan kesehatan semestinya? Masyarakat umum geram dengan pemberitaan yang mengesankan perilaku diskriminasi rumah sakit terhadap orang miskin. Bukan salah mereka; yang geram, yang menghujat, yang menyalahkan rumah sakit dan pemerintah. Bisa jadi itu karena pengalaman pribadi mendapatkan pelayanan yang buruk di rumah sakit. Atau mungkin ketidaktahuan pada apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja harus dimaklumi.

Tetapi bagaimana jika rasa geram dan hujatan disebabkan disinformasi? Atau terprovokasi pemberitaan yang terus diulang dan mencuci pikiran? Sesungguhnya media massa dan media sosial turut bertanggung jawab dalam terpaparnya informasi obyektif dan transparan. Bukan sekedar berita diambil dari sudut pandang yang berpotensi peningkatan rating. Pokok dan subpokok berita yang ujungnya justru penyesatan opini.

Orang miskin dilarang sakit, sungguh sebuah pokok berita satire yang menyesatkan. Alih-alih turut memberikan informasi solutif terhadap persoalan pelayanan kesehatan. Malah sebaliknya, menggelindingkan isu yang jauh dari substansi. Harus diakui, tidak sedikit rumah sakit dengan pelayanan publik dan cita rasa komunikasi buruk. Tetapi banyak juga rumah sakit yang melayani dengan segenap kemampuan pelayanan. Tidak adil rasanya hanya menyalahkan, menghujat dan menghakimi, tanpa mau tahu permasalahan yang dihadapi dunia perumahsakitan.

Setiap orang, miskin kaya, (kalau bisa) dilarang miskin. Siapa yang sanggup, menutupi biaya perawatan NICU atau intensive lain sebesar sekitar Rp 2 juta perhari? Itu diluar biaya obat dan tindakan medis. Atau kita kembali ke pertanyaan dasar; siapa sih yang mau sakit?

Semestinya kita, ya kita semua, jangan biasakan mempertentangkan kelas sosial. Mari kita cerna setiap informasi secara jernih. Ayo, kita fahami permasalahan sebenarnya. Tidak saja Annisa, Dera dan Upik. Tetapi juga Robert, Angel, Melissa, Paijo, Tukiyem dan seluruh anak Indonesia (kalau bisa) dilarang sakit. Kalau pun sakit, mereka segera mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.

Rabu, 13 Februari 2013

, , , , , ,

Rumah Sakit Dilarang Meminta Uang Muka Dalam Keadaan Darurat

Media massa dan media sosial kembali heboh dengan meninggalnya pasien di rumah sakit. Kali ini tersiar kabar, pasien Anissa yang meninggal dunia di RS Koja, awalnya dirawat di RS Atmajaya. Pada saat akan masuk ruang ICU, pihak RS Atmajaya meminta uang muka sebesar Rp 12 juta. Namun RS Atmajaya menyatakan pasien dirujuk ke RS Koja bukan semata uang muka Rp 6 juta (bukan Rp 12 juta), tetapi juga permintaan keluarga pasien sendiri dengan alasan dekat kerabatnya.

Terlepas bagaimana kejadian sebenarnya, saya ingin berbagi beberapa pasal dalam undang-undang dan peraturan menteri kesehatan yang melarang rumah sakit meminta uang muka dalam keadaan darurat.

Diawali dengan Undang-Undang Rumah Sakit sebagai regulasi tertinggi khusus rumah sakit. Pada Pasal 29 ayat 1 huruf c menyatakan setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pada pasal yang sama pada huruf f ditegaskan bahwa kewajiban rumah sakit juga melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka.

Bahkan berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Bagaimana dengan peraturan yang lebih rendah? Dalam Permenkes 378 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan fungsi sosial rumah sakit swasta yang wajib dilaksanakan, diantaranya dengan pelayanan gawat darurat dalam 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka tetapi mengutamakan pelayanan (Pasal 2 ayat 1 huruf d). Kemudian di dalam Permenkes 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit mengatur jenis pelayanan, indikator dan standar untuk gawat darurat, diantaranya: tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka.

Selain pada peraturan yang mengatur Rumah Sakit secara umum, ketentuan tidak diperbolehkannya meminta uang muka dalam keadaan darurat ini juga diatur pada peraturan yang mengatur RS Khusus Gigi Mulut dan Klinik yaitu Permenkes 1173 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang menyatakan bahwa setiap RSGM wajib melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk (diantaranya) tidak memungut uang muka bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan atau pasien gawat darurat (Ps. 30 huruf c). Dan terakhir dalam Pasal 25 huruf b, Permenkes 28 Tahun 2011 tentang Klinik menyatakan bahwa dalam memberikan pelayanan, klinik berkewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial.

Pertanyaannya, seberapa patuh rumah sakit dengan peraturan-peraturan tersebut?

Minggu, 20 Januari 2013

, , , , , , , ,

Jadilah Pasien yang Berani Bicara

Kita masih bicara tentang malpraktik medik. Pada postingan sebelumnya, kita tekankan bahwa dugaan malpraktik itu dilihat dari proses perbuatannya bukan pada hasil akhir. Dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta dikatakan malpraktik. Itu bisa disebut sebagai kejadian tak diharapkan (KTD).

Kejadian tak diharapkan ini banyak sekali macamnya, dari yang ringan hingga fatal. Lain waktu kita bisa diskusikan apa dan bagaimana KTD. Saat ini kita bicara, bagaimana supaya tak terjadi cidera, KTD dan dampak buruk lain dalam proses pengobatan di rumah sakit. Yang paling tahu dan mampu mencegah itu tentu saja dokter dan tenaga kesehatan lainnya, peralatan, standar prosedur, teknologi dan fasilitas lainnya rumah sakit. Namun sesungguhnya sebagai pasien, kita pun dapat sangat berperan mencegah terjadinya cidera atau kejadian tak diharapkan lainnya.

Bagaimana caranya? Jadilah pasien yang berani bicara. Ungkapkan apa yang semestinya diutarakan. Tak perlu malu apalagi takut. Katakan kepada dokter, perawat dan siapa pun yang terlibat dalam pengobatan dan perawatan kita. Dengan berani bicara, pasien sangat membantu mencegah terjadinya kekeliruan tindakan dan mendapatkan perawatan terbaik.

Apa saja yang harus berani kita katakan? Jangan sungkan ungkapkan apa yang kita rasakan dan tanyakan apa yang dialami. Tak perlu merahasiakan riwayat sakit kita, ungkapkan semuanya kepada dokter. Karena itu bermanfaat untuk menentukan amamnesa dan diagnosa. Dan jangan takut bertanya informasi sejelas-jelasnya dengan penyakit yang menyerang tubuh kita.

Kemudian beranikan bertanya tentang rencana pengobatan yang akan kita dapatkan. Jika diperlukan ada tindakan medis, kita harus jelas jenis tindakan dan resikonya. Sebelum tindakan dilakukan, pastikan kita mendapatkan informed consent. Baca semua formulir medis dengan teliti dan pastikan kita memahami isinya sebelum menandatanganinya. Bila tidak mengerti, minta dokter atau perawat untuk menjelaskannya.

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dengan pasien lain, biasanya perawat atau dokter melakukan proses pengecekan dan memeriksa identitas pasien. Yang benar sebelum memberikan obat atau melakukan tindakan medis, dokter atau perawat akan menanyakan nama pasien atau memerika gelang identitas.

Kekeliruan dalam pemberian obat merupakan kesalahan yang dapat terjadi dalam tindakan medis. Oleh karena itu pahami obat-obatan apa yang kita minum atau mengapa kita memakainya. Tanyakan tentang kegunaan obat-obatan yang diberikan dan informasi efek samping dari obat tersebut. Teliti kembali apakah obat yang diberikan itu betul untuk anda. Lebih baik kita tahu kapan waktu pemberian obat dan bila belum diberi obat pada waktunya, jangan sungkan menanyakan pada perawat. Kita dapat meminta bantuan untuk menjelaskan mengenai petunjuk pemakaian obat serta instruksi pemeriksaan lainnya bila anda kurang mengerti. Oh ya, katakan kepada dokter atau perawat mengenai alergi atau reaksi negatif terhadap obat-obatan yang pernah kita minum sebelumnya.

Jika kita menerima resep obat yang dituliskan dokter, pastikan kita bisa membacanya. Karena bisa jadi, jika kita tidak dapat membacanya, apoteker mungkin tidak bisa membacanya juga. Sudah tak keren lagi tulisan dokter pada resep obat yang tak terbaca.

Sebagai pasien, kita harus sadar dan paham bahwa kita sesungguhnya yang menjadi fokus utama dalam tim perawatan medis. Pasien adalah orang yang paling penting di dalam semua upaya penyembuhan sakit, bukan dokter, perawat atau peralatan medis. Untuk itu, dokter dan perawat harus menjelaskan semua informasi yang dibutuhkan pasien dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Dan jika belum mengerti, mintalah mengulangi menjelaskan sampai kita, pasien, benar-benar mengerti. Jangan takut juga meminta second opinion kepada dokter lain, jika belum yakin dengan tindakan atau pengobatan yang akan kita terima.

Dokter, perawat dan rumah sakit tentunya akan mengutakan keselamatan dalam perawatan kesehatan pasien. Tetapi kita sebagai pasien, bisa juga memainkan peran vital dalam memastikan agar tindakan dan pengobatan yang kita terima itu aman dan tepat. Kita harus aktif berpartisipasi meminta informasi yang benar dan jelas kepada dokter dan perawat. Untuk itu, jadilah pasien yang berani bicara agar terhindar dari kejadian tak diharapkan dalam pengobatan penyakit kita
.

Kamis, 17 Januari 2013

, , , , , ,

Mari Memahami Malpraktik dan Resiko Medis

Begitu mudah kita mengatakan malpraktik kepada dokter atau rumah sakit, ketika hasil pengobatan tak sesuai yang diharapkan. Padahal terjadinya suatu kasus malpraktik dinilai bukan dari hasil melainkan dari proses perbuatannya.

Kenapa demikian? Karena hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Dugaan malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, bukan sekedar adanya cidera pada pasien. Sebab, cedera tidak selalu akibat kesalahan dokter tetapi bisa merupakan yang merupakan kejadian tak diharapkan. Kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian.

Dalam praktik kedokteran khususnya tindakan medis selalu diiringi dengan resiko tinggi yang mengakibatkan hasil yang tidak terduga. Resiko medis merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap tindakan medis, dan sebagian dianggap dapat diterima. Sebab, kita tidak pernah tahu pada siapa, atau pada dosis berapa suatu tindakan atau obat akan berdampak tidak seperti yang kita inginkan. Semua tidak bisa diprediksi.

Syarat resiko medis yang bisa diterima ketika tindakan medis yang diambil mempunyai tingkat probabilitas dan keparahannya minimal. Atau, tindakan itu memang tidak bisa dihindari karena merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup pasien. Resiko yang memang tidak bisa diduga sebelumnya, yang berujung pada untoward results, adalah konsekuensi dari probabilitas yang terjadi dalam praktik kedokteran.

Ada hal yang harus disadari akan adanya sistem yang kompleks yang melingkupi praktik kedokteran mulai dari tenaga medis, rumah sakit, hingga negara turut meningkatkan resiko medis. Spesialisasi dalam dunia kedokteran, teknologi kedokteran yang terus berkembang serta interdependensi di dalam sistem medis makin memudahkan terjadinya kecelakaan. Karena pelayanan kedokteran dilakukan dalam suatu sistem, maka pendekatan untuk memahaminya juga harus dilakukan dari segi sistem, tidak saja hanya berhenti di human factors.

Kebijakan yang dibuat negara pun memberi sumbangsih bagi terjadinya resiko medis. Makin bagus sistemnya, makin kecil resiko yang mungkin terjadi. Faktor kontribusi yang mempengaruhi praktik klinis antara lain berasal dari pasien sendiri, individu pemberi layanan, faktor tugas, faktor tim dan sosial, faktor komunikasi, pendidikan dan pelatihan, peralatan dan sumber daya, kondisi kerja serta faktor organisasi dan strategi.

Bagaiamana undang-undang di Indonesia mengatur malpraktik medis ini? Jika ditelusuri, istilah malpraktik tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional.

Ada pun menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 359-360 menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya, cedera/kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidakhati-hatian yang nyata di mana tidak terdapat faktor pemaaf atau faktor pembenar.

Senin, 14 Januari 2013

, , , , , ,

Blusukan, Keblusuk, Keblasuk

Masih bicara tentang blusukan. Jika sebelumnya blusukan dari perspektif branding yang tak bisa mudah dipisahkan dari Jokowi, sekarang kita bicara blusukan secara etimologis dan semantis. Dan kemudian dihubungan maknanya secara sosiologis jawa, istilahnya otak atik gathuk.

Kenapa tiba-tiba tertarik membahas blusukan? Dengan sederhana saya katakan bahwa itu disebabkan akhir-akhir ini istilah "blusukan" begitu sangat populer, tak hanya untuk masyarakat umum tapi lebih heboh lagi para elit politikus dan pejabat negara. Bahkan tak hanya disebut oleh orang Jawa dimana kata blusukan berasal. Seperti pernah saya katakan, blusukan yang awalnya istilah ndeso itu kini menjadi terdengar keren dan gaul. Bahkan yang saya khawatirkan cenderung elit dan politis. Dan yang berjasa mempopulerkan adalah Jokowi, Gubernur Jakarta saat ini.

Blusukan, kata kerja dari bahasa Jawa dengan asal kata "blusuk" yang berarti masuk lebih dalam atau masuk terdalam. Variasi "blusukan" bisa juga "mblusuk". Kata kerja "blusukan" ini biasanya digunakan pada tindakan seseorang yang memasuki wilayah atau area yang tak biasa disambangi. Atau area terpelosok atau sudut ruang dimana kebanyakan orang jarang kesana. Blusukan juga diidentikkan memasuki daerah yang kotor, gelap, pinggiran, terpencil atau jarang dijamah.

Ketika Jokowi menyebut blusukan untuk tindakan memasuki pelosok kampung, pasar, gang sempit dan wilayah kumuh, sesungguhnya bermakna banyak. Benar, Jokowi ingin berdialog langsung dengan masyarakat untuk menemukan masalah sesungguhnya Jakarta. Jokowi juga mau menunjukan bahwa yang ia lakukan sesuatu yang tidak dilakukan secara umum oleh pemimpin-pemimpin lain. Dan tentu saja itu bagian dari pencitraan dan kampanye sebagai Gubernur Jakarta.
Blusukan ini memiliki makna yang lebih dalam daripada istilah lain. Misalnya "turun kebawah" alias "turba" pada era orde baru. Apalagi dibandingkan dengan istilah egaliter atau merakyat yang memang tak populer. Turba menunjukan adanya strata sosial dimana ada "orang atas" dan "orang bawah", pejabat dan rakyat. Sementara blusukan mengesankan sikap egaliter, merakyat dan tanpa strata sosial. Disinilah menurut saya, Jokowi cerdik memilih kata dan memilah tindakan yang mampu merebut hati rakyat Jakarta.

Namun semua ada takarannya. Tak baik sesuatu itu berlebihan. Blusukannya Jokowi tentu sudah mendapatkan sumber utama masalah Jakarta. Blusukan Jokowi sudah mencitrakan Jokowi sebagai pemimpin yang egaliter, mau kerja keras secara cerdas dan rendah hati. Sekarang saatnya mengambil keputusan terbaik. Seperti yang dikatakan Jokowi saat kampanye dulu bahwa banyak rencana bagus untuk Jakarta namun lemah dalam eksekusi. Saatnya sekarang mengambil keputusan. Dan nanti Jokowi bisa blusukan lagi untuk mengambil keputusan yang lain lagi.

Hati-hati terlalu banyak blusukan bisa keblusuk dan keblasuk. Terjerumus (keblusuk) dalam pencitraan yang tak berkesudahan. Dan tersesat (keblasuk) dalam tumpukan masalah yang telah tertampung dari masyarakat. Sebelum keblusuk dan keblasuk akibat terlalu sibuk blusukan, lebih tepat saat ini tarik nafas sejenak dan khusyuk untuk mengeksekusi kebijakan konkrit demi Jakarta baru.

Minggu, 13 Januari 2013

, , , , , , , , ,

Karena Jokowi, Blusukan Jadi Brand, Keren dan Populer

Siapa yang belum pernah mendengar istilah "blusukan"? Boleh jadi, "blusukan" menjadi kosa kata paling populer saat ini. Adalah Joko Widodo, atau lebih akrab dipanggil Jokowi, orang yang mempopulerkan istilah blusukan. Pada saat melakukan kampanye pilkada dulu, Jokowi rajin keluar masuk pelosok kampung hingga ke pinggiran kota. Perkampungan kumuh di bantaran kali yang rawan banjir hingga kampung nelayan yang identik dengan kemiskinan tak luput ditelusupi Walikota Solo ini. Dari tindakannya keluar masuk kampung ini, Jokowi menyebutnya sebagai blusukan.

Seiring dengan semakin seringnya Jokowi menemui dan berdialog langsung dengan wong cilik ini, semakin populer pula istilah blusukan. Bisa dikatakan Jokowi menjadi identik dengan blusukan. Atau sebaliknya, kalau menyebut blusukan akan diasosiasikan dengan Jokowi. Meminjam istilah public relations atau marketing, Jokowi sudah menjadi brand terkenal yang sedang memimpin pasar (market leader). Sehingga apapun "produk" Jokowi, akan diikuti, ditiru dan dijiplak "kompetitornya"

Demikian juga blusukan telah menjadi ikon dan karakteristik pemimpin yang merakyat sekaligus mengambil hati rakyat. Berbeda dengan baju merah kotak-kotak hitam yang merupakan brand iconik yang bersifat trend sesaat. Blusukan dapat menjadi media branding yang tidak terlalu kentara pencitraannya. Sebaliknya kesan pemimpin merakyat, turun di lapangan, egaliter dan mau mendengar wong cilik begitu kuat. Disinilah kemudian para politikus atau bakal calon pejabat negara/daerah berusaha mencitrakan dirinya layak dipilih menjadi pemimpin dengan cara blusukan.

Bisa dikatakan blusukan Jokowi telah mengalahkan hegemoni dan konglomerasi partai politik yang mendukung Gubernur Jakarta incumbent waktu itu. Blusukan telah menghancurkan kampanye masif dan vulgar yang disokong dana yang sangat besar. Blusukan, perwujudan sikap bersahaja, jujur, apa adanya, banyak kerja sedikit bicara dan rendah hati dari Jokowi. Blusukan identik dengan kepolosan "wong ndeso" yang berhasil menaklukan angkuhnya kota metropolitan. Tentu saja "resep masakan ndeso" blusukan ini akan dipakai oleh mereka untuk mengejar hal sama yang dicapai Jokowi.

Ibarat sebuah brand dan market leader bahwa blusukan itu Jokowi, maka siapa pun dia, politikus dan bakal calon pejabat, melakukan blusukan akan dikatakan meniru Jokowi. Tetapi mereka tak peduli, meski sadar sekedar ikut-ikutan, tetapi bukan politikus kalau tak pandai bersilat lidah. Apalagi faktanya, sejak dulu blusukan (dengan berbagai istilah dan variannya) sebagai "resep murah" menjadi pemimpin. Maka ketika ada yang orang blusukan kemudian diasosiasikan dengan Jokowi akan punya kilah.

Seperti halnya Presiden SBY yang belum lama ini blusukan ke sebuah kampung nelayan. Orang-orang istana dan lingkarannya kebakaran jengkot ketika SBY dicap meniru Jokowi. Sejak sebelum presiden, SBY sudah blusukan, begitu kilahnya. Itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Orang-orang lingkaran istana ini lupa bahwa sekarang blusukan itu "milik" Jokowi. Mereka tak mengerti bedanya blusukan (yang asli) Jokowi dengan blusukan SBY. Mereka tak ingat kalau setelah jadi Gubernur, Jokowi tambah rajin blusukan, sedangkan SBY duduk enak dan bernyanyi sambil main gitar setelah menjadi presiden. Dapat dilihat bahwa SBY yang "ahli pencitraan" pun tak berkutik ketika merebut brand blusukan dari Jokowi. Dan puncak dari rebutan "siapa pemilik blusukan" sebenarnya ditandai dengan "pukulan telak" dari Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden SBY lebih dulu blusukan.

Bagi mereka yang memahami falsafah Jawa, Jokowi telah melancarkan jurus "nglulu", yaitu merelakan dan mendorong orang lain dengan kemauannya sendiri. Justru dengan mengakui Presiden SBY lebih dulu blusukan, maka sesungguhnya Jokowi telah memenangkan pertarungan. Sikap Jokowi yang rendah hati dengan pengakuan itu justru memperkukuh brand Jokowi atas blusukan.

Disadari atau tidak, blusukan menjadi keren saat ini. Siapapun dia yang melakukan kunjungan langsung ke daerah atau kampung akan senang dan bangga disebut blusukan. Bahkan kunjungan biasa saja kalau perlu disebut blusukan. Jangan heran jika banyak bakal calon pejabat ingin disematkan blusukan pada setiap aktivitasnya. Silahkan saja SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau siapa pun melakukan dan mengklaim blusukan, tetapi hanya Jokowi yang punya orisinalitas blusukan.

Bisa dikatakan sekarang blusukan menjadi gaya hidup yang keren. Blusukan yang awalnya mengesankan ndeso dan kampungan itu saat ini terlihat keren dan populer. Dan itu karena sebuah brand, Jokowi!