Sabtu, 30 Maret 2013

, ,

Rumah Sakit Internasional Juga Untuk Orang Miskin

Adalah Ribka Tjitaning Proletariyati, Ketua Komisi IX DPR menyatakan bahwa satu ruang fasilitas bagi rumah sakit internasional yang dibangun dengan biaya APBN itu sesungguhnya bisa dimanfaatkan oleh lima orang pasien di kelas III yang diperuntukkan bagi pasien tidak mampu. Tapi karena berlabel internasional maka fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh satu pasien. Pernyataan ini mengundang polemik meski tak sebesar pernyataan Ribka bahwa dokter lebih jahat dari Polantas.

Entah rumah sakit mana yang dimaksudkan oleh Ibu Ribka yang terhormat ini. Jangan-jangan anggota DPR ini salah persepsi antara rumah sakit berstandar internasional dengan “wing internasional” sebagai unit bisnis rumah sakit. Mungkin Ketua Komisi IX ini tidak membedakan dibangunnya wing RSCM Kencana dengan proses akreditasi JCI yang sedang dijalankan rumah sakit terbesar di Indonesia ini.

Bisa dikatakan, saat ini Indonesia memiliki 5 rumah sakit berstandar internasional. Yang dimaksud berstandar internasional adalah rumah sakit yang telah lulus akreditasi oleh Badan Akreditasi Internasional. Rumah sakit itu adalah RS Siloam di Karawaci Tangerang, RS Eka di BSD Tangerang,  RS Santosa di Bandung, RS Bintaro Premier di Tangerang dan RS Premier di Jatinegara. Kelima rumah sakit swasta ini terakreditasi JCI (Joint Commission International) tanpa menggunakan anggaran negara atau difasilitasi oleh Pemerintah.

Saat ini sedang dipersiapkan beberapa RS Pemerintah memenuhi standar internasional, diantaranya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Sanglah Denpasar. Pada akhir tahun 2012 kemarin, kedua rumah sakit tersebut menjalani penilaian akreditasi JCI. Kedua rumah sakit ini yang notabene milik Pemerintah berarti menggunakan anggaran negara dalam proses akreditasi JCI. Kita menjadi yakin, pernyataan Ibu Ribka saat ini ditujukan kepada RSCM.

Bagi kita yang pernah ke RSCM atau sering melintas di Jalan Diponegoro disebelah kiri pasti melihat bangunan RSCM Kencana. Itulah "wing internasional" yang dibangun RSCM sebagai bisnis unit. Arsitektur bangunan, tata ruang, fasilitas dan standar layanan pun memang lebih baik dibandingkan pelayanan RSCM secara umum. Sudah pasti tarif pun lebih mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan pelayanan kelas 3 rumah sakit pada umumnya. Saya pernah melihat fasilitas dan pelayanan RSCM Kencana yang memang bisa dikatakan diatas standar.

Ada persepsi yang harus kita samakan. Akreditasi JCI di RSCM tidak hanya di "wing internasional" RSCM Kencana, tetapi seluruh pelayanan dari gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap di RSCM. Itu berarti termasuk pelayanan kelas 3 yang sebagian besar diperuntukan masyarakat miskin. Jadi tidak benar pendapat Ibu Ribka yang menyatakan anggaran APBN untuk membangun sebuah fasilitas ruangan berstandar internasional sama saja untuk 5 pasien ruangan kelas III.

Kita harus bisa membedakan rumah sakit berstandar internasional dengan wing internasional dari rumah sakit. Rumah sakit internasional yang sesungguhnya tidak dilihat dari megahnya bangunan, canggihnya alat dan modernnya tata ruang. Melainkan rumah sakit dengan pelayanan yang berorientasi pelanggan dan mengutamakan keselamatan pasien.
Kalau seorang Ketua Komisi IX DPR saja bisa salah persepsi, bagaimana dengan masyarakat awam ya?

Kamis, 21 Maret 2013

, , ,

Mari Memahami Rumah Sakit

Saat ini, Rumah Sakit menjadi sasaran hujatan publik. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" merupakan sindiran sekaligus cibiran publik terhadap pelayanan rumah sakit. Kabar penolakan pasien miskin hampir tiap hari menjadi judul berita media massa.

Manusia macam apa yang tak tersayat hatinya membaca berita bayi Dera yang meninggal dunia (dikesankan) setelah ditolak rumah sakit. Digambarkan pula kondisi keluarga Dera yang hidup sederhana dan miskin. Maka tak bisa dibendung opini dan persepsi yang terbentuk bahwa ditolaknya bayi Dera karena tak mampu bayar pengobatan akibat kemiskinan keluarganya. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" pun seakan menemukan pembenarannya.

Kebanyakan masyarakat tampaknya beranggapan bahwa setiap rumah sakit mampu melakukan seluruh tindakan medis. Banyak orang mengira bahwa pasien yang datang ke rumah sakit harus selamat dan sembuh. Mayoritas publik berharap bahwa rumah sakit dapat menyelesaikan semua permasalahan kesehatan pasien. Dan ketika anggapan, perkiraan dan harapan masyarakat itu tak tercapai menjadi kenyataan, maka kekecewaan, kemarahan dan caci maki publik tertumpah kepada rumah sakit. Rumah sakit dicap tak punya hati nurani, komersial dan berpihak kepada masyarakat miskin.

Faktanya, apakah seperti itu kecenderungan rumah sakit Indonesia? Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan itu, mari kita fahami bagaimana mekanisme kerja di rumah sakit.

Indonesia ini sangat mulia sekali bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien dalam keadaan kegawatdaruratan. Tak peduli seberapa besar kecilnya rumah sakit harus mampu menangani pasien gawat darurat. Dengan begitu secara sadar atau tidak sadar, muncul persepsi bahwa jika pasien yang sudah masuk unit gawat darurat rumah sakit harus tertolong. Sehingga meskipun respon terhadap kegawatdaruratan telah dilakukan dan ternyata pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain, timbulkan kekecewaan dari pasien atau keluarganya. Dan celakanya, alasan tak tersedianya fasilitas pelayanan terlanjur dipersepsikan oleh publik sebagai cara rumah sakit menolak pasien.

Kita lupa, atau masyarakat tidak tahu bahwa kemampuan dan fasilitas rumah sakit itu berbeda. Ada rumah sakit yang mampu menangani berbagai macam penyakit dan kondisi pasien dengan banyak tindakan medis spesialis dan subspesialis. Rumah sakit semacam ini dikategorikan kelas A atau kelas B. Jumlah rumah sakit kelas A dan B tidak banyak. Namun ada pula rumah sakit dengan fasilitas dan kemampuan layanan spesialis umum dan pelayanan medik dasar saja, yang dikategorikan rumah sakit kelas C dan kelas D. Rumah sakit inilah yang sebagian besar ada disekitar kita.

Kemampuan dan fasilitas pelayanan rumah sakit ini tergambar dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap. Bicara fasilitas pelayanan bukan semata ketersediaan tempat tidur (bed) dan ruangan. Tetapi juga kesiapan tenaga, peralatan, perlengkapan dan sistemnya. Tidak mudah untuk menyediakan layanan spesialis dan subspesialis. Perlu investasi sangat besar dalam penyediaan fasilitas pelayanan intensif.

Kembali pada persoalan diatas; rumah sakit telah melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan sesuai kemampuannya namun berdasarkan indikasi medis pasien harus dirujuk, apakah berarti bisa disebut rumah sakit menolak pasien? Tidak. Justru rumah sakit wajib merujuk pasien yang tak dapat ditangani ke rumah sakit yang mempunyai kemampuan dan fasilitas pelayanan lebih baik. Artinya, di satu sisi rumah sakit wajib melayani pasien dalam kegawatdaruratan tetapi disisi lain rumah sakit juga wajib merujuk pasien yang tidak dapat ditangani. Sungguh ini bukan persoalan sederhana.

Bisa dibayangkan, dalam suasana "eforia" pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi orang miskin seperti Kartu Jakarta Sehat dilaksanakan sebagai janji politik, dimana ratusan bahkan ribuan pasien mendatangi rumah sakit, termasuk gawat darurat, kemungkinan satu atau dua pasien miskin tak terpuaskan.

Ini baru halaman pertama, kita akan bahas lebih lanjut tentang rumah sakit dan permasalahannya pada postingan berikutnya.

Jumat, 15 Maret 2013

, , , , ,

Dilarang Demonstrasi di Rumah Sakit

Beberapa hari lalu terbaca di media massa, ratusan pegawai sebuah rumah sakit melakukan demonstrasi kepada manajemen. Berita unjuk rasa yang dilakukan puluhan perawat rumah sakit juga terpampang di koran beberapa waktu sebelumnya. Demonstrasi yang dilakukan civitas hospitalia ini tentu saja mengganggu pelayanan kepada pasien. Rupanya demonstrasi atau unjuk rasa sebagai bentuk menyatakan pendapat di muka umum telah menjalar ke dalam wilayah dimana orang sakit mendapatkan perawatan dan upaya penyembuhan.

Adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan beerserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Namun demikian harus disadari, kebebasan penyampaian pendapat di muka umum baik lisan maupun tulisan dibatasi oleh hak orang lain atas rasa damai, aman dan tertib. Sebagaimana norma yang sering kita dengar bahwa hak yang dapat kita ambil dibatasi oleh kewajiban yang harus dilaksanakan. Penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya sebagai wujud demokrasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai tatanan bermasyarakat dan bernegara.

Hal ini sejalan dengan klausul Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dimana dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiaporang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan olehundang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagimoralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Bagaimana sebenarnya pengaturan demonstrasi di negara Indonesia ini? Bolehkah rumah sakit dijadikan tempat unjuk rasa? Indonesia telah memilki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Didalam UU ini diantaranya diatur bentuk penyampaian pendapat di muka umum yaitu demonstrasi atau unjuk rasa, rapat umum, pawai dan atau mimbar bebas.

Yang menarik, dalam Pasal 9 ayat (2)Undang-Undang 9 Tahun 1998 dinyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya tersebut dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat. Jadi, rumah sakit menjadi daerah terlarang untuk dilakukan demonstrasi/unjuk rasa, pawai, rapat umum dan mimbar bebas.

Larangan demo atau unjuk rasa di Rumah Sakit tentu saja bukan bentuk pengekangan terhadap hak asasi manusia, melainkan perlindungan hukum, penghormatan hak orang lain dan menjunjung tinggi ketertiban terutama bagi pasien dan masyarakat umum pengunjung rumah sakit. Karena bagaimana pun kepentingan dan keselamatan pasien harus lebih diutamakan. Aspirasi dan penyampaian pendapat dapat dilakukan melalui saluran dan mekanisme yang telah diatur. Atau juga dengan cara lain yang sah tanpa menganggu pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Dialog untuk mencari solusi dengan melibatkan stake holder yang berkepentingan adalah cara yang lebih utama dan elegan mengatasi permasalahan.

Hindari sejauh-jauhnya demonstrasi apalagi mogok kerja di rumah sakit, karena pasti mengganggu pelayanan pasien dan merusak citra rumah sakit.

Minggu, 10 Maret 2013

, , , , ,

Inilah Hak Pasien Terhadap Rumah Sakit

Berita ditolaknya pasien miskin oleh Rumah Sakit masih menjadi kabar hangat minggu ini. Ada persepsi berkembang bahwa tidak terlayaninya pasien dengan jaminan Kartu Jakarta Sehat atau Jamkesmas ini telah merampas hak pasien atas pelayanan kesehatan.

Sebenarnya apa saja hak pasien menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam Pasal 32 Undang-Undang Rumah Sakit menetapkan bahwa setiap pasien mempunyai hak:

  1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

  3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

  4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

  5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

  6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

  7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

  9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

  10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

  11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

  12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

  13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

  14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

  15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

  16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

  17. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

  18. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Selain pada pasal 32 yang secara eksplisit memuat Hak Pasien, sesungguhnya ada hak pasien lain yang secara inplisit termuat dalam pasal-pasal lain, misalnya dalam pasal Kewajiban Rumah Sakit. Karena apa yang diwajibkan kepada Rumah Sakit, tentu membawa hak bagi stake holder lain, terutama Pasien.

Selain mempunyai hak, setiap pasien juga mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi logis dari jasa pelayanan kesehatan yang diterimanya. Lain waktu kita bahas kewajiban pasien, ya!

Kamis, 28 Februari 2013

, , , , , ,

Boleh Saja Rumah Sakit Meminta Uang Muka, Asal...

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Substansi norma ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Saudara memahami makna dari aturan tersebut. Kenapa demikian? Karena masih banyak kesimpangsiuran pemberitaan yang cenderung tidak obyektif dan melenceng dari fakta. Bisa jadi hal ini disebabkan kesalahpahaman dan ketidakmengertian. Pertama yang akan kita bahas adalah keadaan darurat atau kegawatdaruratan. Secara terminologi 2 kata ini berbeda, namun substansinya sama. Dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat diatas. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan wajib diberikan dalam keadaan darurat untuk (1) penyelamatan pasien; (2) pencegahan kecacatan. Jadi disebut keadaan darurat jika tidak segera ditolong dengan pelayanan kesehatan, maka pasien akan cacat atau meninggal dunia. Dalam kondisi inilah, fasilitas rumah sakit termasuk rumah sakit, wajib hukumnya terlebih dahulu menolong pasien tanpa memikirkan bahkan meminta pembayaran uang atau uang muka.

Pertanyaannya, siapa yang dapat mengetahui bahwa pasien dalam keadaan darurat? Tentu tidak semua orang bisa menilai dan menentukan kondisi pasien dalam keadaan darurat. Yang dapat menentukan apakah pasien itu darurat atau tidak adalah dokter yang berkompeten dan disertai kondisi, syarat dan standar tertentu. Sangat sering ditemukan perbedaan pandang antara keluarga pasien dengan tenaga kesehatan rumah sakit. Bisa jadi keluarga menyaksikan kondisi pasien sudah menyimpulkan keadaan darurat, padahal menurut dokter tidak darurat.

Dimanakah tempat atau ruangan rumah sakit sehingga pasien yang menempatinya dapat dikatakan keadaan darurat? Sebagian besar pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan keadaan darurat. Karena tak jarang, pasien yang telah melewati masa kritis masih dirawat di IGD. Kemudian pasien yang mendapatkan perawatan medis intensif seperti di ruang ICU, ICCU, NICU dan PICU.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien yang harus mendapatkan penyelamatan nyawa dan pencegahan kecatatan di ruang IGD dan ruang perawatan intensif, rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dan pertolongan tanpa terlebih dahulu meminta uang muka atau pembayaran. Tetapi ingat, bahwa setiap tindakan, pengobatan dan perawatan pasien harus mendapatkan persetujuan (informed consent) pasien dan/atau keluarganya. Informed consent diantaranya indikasi medis, obat, tindakan medis, risiko medis, termasuk didalamnya informasi pembiayaan.

Nah, pada saat informed consent inilah sering terjadi kesalahfahaman dan disinformasi. Disatu sisi rumah sakit melaksanakan kewajibannya dalam mendapatkan persetujuan tindakan medis, namun pada sisi lain keluarga pasien atau pasiennya menganggap rumah sakit tak punya empati dan tak berperikemanusiaan. Pasien atau keluarga merasa "galau bin sensi", kok bisa-bisanya dalam keadaan kesusahan pasien dan belum melakukan tindakan pengobatan, rumah sakit malah ngomongin biaya! Padahal rumah sakit akan dianggap salah jika tak menginformasikan pembiayaan. Jadi pasien/keluarga harus benar-benar faham, apakah biaya itu sekedar informasi atau sebagai syarat sebelum tindakan pengobatan.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bolehkan rumah sakit meminta uang muka pada bukan keadaan darurat? Ya, kembali pada aturan. Dimana larangan permintaan uang muka oleh rumah sakit hanya dalam keadaan darurat. Tetapi kan memang tidak ada aturan yang mengharuskan rumah sakit meminta uang muka atas layanan yang diberikan.

Uang muka adalah keniscayaan dalam bentuk transaksi sosial sebagai timbal balik atas jasa yang diberikan. Pada kondisi pasien mempunyai pilihan untuk menentukan layanan kesehatan, maka rumah sakit dibolehkan membuat ketentuan, diantaranya uang muka. Sebagai contoh, setelah dilakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosa, dokter menyampaikan bahwa pasien disarankan menjalani rawat inap. Ternyata rumah sakit mempunyai ketentuan; jika rawat inap di kelas 3, pasien dapat langsung masuk. Tetapi kalau di kelas VIP, pasien harus menyerahkan uang muka sebesar 3 hari biaya ruangan. Dalam kondisi ini, pasien mempunyai pilihan; apakah menjalani rawat inap di kelas 3 atau VIP. Pasien tinggal memilih; dengan uang muka atau tidak. Gampang kan?

Jumat, 22 Februari 2013

, , , , ,

Bukan Hanya Orang Miskin Dilarang Sakit

Annisa Dera Upik, nama yang cantik bukan? Secantik wajahnya yang tenang menghadap Sang Pencipta. Annisa Dera Upik adalah nama 3 anak manusia yang kematiannya menghiasi media massa dan media sosial pada akhir-akhir ini dan semuanya dengan Rumah Sakit.

Annisa, mahasiswi yang melompat dari angkot yang meninggal di RS Koja namun pemberitaan yang muncul terkait urusan uang muka masuk ICU di RS Atmajaya. Dera, pemberitaannya begitu fenomenal. Bayi mungil lahir prematur dari bayi kembar berumur sekitar 6 hari ini meninggal dunia setelah tak mendapatkan perawatan Neonatal Intensive Care Unit (NICU) di RS Zahirah. Dan terkahir Upik, bayi prematur yang "divonis" 2x meninggal dunia di RS Bersalin Kartini.

Sebuah perumpamaan satire menyertai pemberitaan kematian 3 anak Indonesia ini; orang miskin dilarang sakit. Ini sebuah ironi, ditengah masyarakat yang dipimpin oleh Kepala Daerah dimana pada masa kampanyenya menjanjikan jaminan kesehatan secara gratis.

Sesungguhnya ini bukan perkara orang miskin yang dilarang sakit. Sebenarnya orang kaya pun sebaiknya tidak sakit. Siapa pun dia, kaya atau miskin, akan tersiksa jika sakit mendera. Yang kaya menjadi miskin karena penyakit yang membutuhkan biaya berobat yang tinggi. Yang miskin semakin merana sebab seakan tak ada pilihan, selain pasrah dan menunggu keputusan Yang Diatas.

Siapa yang tak merasa berduka dengan meninggal dunianya Annisa, Dera dan Upik akibat tak berdayaan mendapatkan akses layanan kesehatan semestinya? Masyarakat umum geram dengan pemberitaan yang mengesankan perilaku diskriminasi rumah sakit terhadap orang miskin. Bukan salah mereka; yang geram, yang menghujat, yang menyalahkan rumah sakit dan pemerintah. Bisa jadi itu karena pengalaman pribadi mendapatkan pelayanan yang buruk di rumah sakit. Atau mungkin ketidaktahuan pada apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja harus dimaklumi.

Tetapi bagaimana jika rasa geram dan hujatan disebabkan disinformasi? Atau terprovokasi pemberitaan yang terus diulang dan mencuci pikiran? Sesungguhnya media massa dan media sosial turut bertanggung jawab dalam terpaparnya informasi obyektif dan transparan. Bukan sekedar berita diambil dari sudut pandang yang berpotensi peningkatan rating. Pokok dan subpokok berita yang ujungnya justru penyesatan opini.

Orang miskin dilarang sakit, sungguh sebuah pokok berita satire yang menyesatkan. Alih-alih turut memberikan informasi solutif terhadap persoalan pelayanan kesehatan. Malah sebaliknya, menggelindingkan isu yang jauh dari substansi. Harus diakui, tidak sedikit rumah sakit dengan pelayanan publik dan cita rasa komunikasi buruk. Tetapi banyak juga rumah sakit yang melayani dengan segenap kemampuan pelayanan. Tidak adil rasanya hanya menyalahkan, menghujat dan menghakimi, tanpa mau tahu permasalahan yang dihadapi dunia perumahsakitan.

Setiap orang, miskin kaya, (kalau bisa) dilarang miskin. Siapa yang sanggup, menutupi biaya perawatan NICU atau intensive lain sebesar sekitar Rp 2 juta perhari? Itu diluar biaya obat dan tindakan medis. Atau kita kembali ke pertanyaan dasar; siapa sih yang mau sakit?

Semestinya kita, ya kita semua, jangan biasakan mempertentangkan kelas sosial. Mari kita cerna setiap informasi secara jernih. Ayo, kita fahami permasalahan sebenarnya. Tidak saja Annisa, Dera dan Upik. Tetapi juga Robert, Angel, Melissa, Paijo, Tukiyem dan seluruh anak Indonesia (kalau bisa) dilarang sakit. Kalau pun sakit, mereka segera mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.

Rabu, 13 Februari 2013

, , , , , ,

Rumah Sakit Dilarang Meminta Uang Muka Dalam Keadaan Darurat

Media massa dan media sosial kembali heboh dengan meninggalnya pasien di rumah sakit. Kali ini tersiar kabar, pasien Anissa yang meninggal dunia di RS Koja, awalnya dirawat di RS Atmajaya. Pada saat akan masuk ruang ICU, pihak RS Atmajaya meminta uang muka sebesar Rp 12 juta. Namun RS Atmajaya menyatakan pasien dirujuk ke RS Koja bukan semata uang muka Rp 6 juta (bukan Rp 12 juta), tetapi juga permintaan keluarga pasien sendiri dengan alasan dekat kerabatnya.

Terlepas bagaimana kejadian sebenarnya, saya ingin berbagi beberapa pasal dalam undang-undang dan peraturan menteri kesehatan yang melarang rumah sakit meminta uang muka dalam keadaan darurat.

Diawali dengan Undang-Undang Rumah Sakit sebagai regulasi tertinggi khusus rumah sakit. Pada Pasal 29 ayat 1 huruf c menyatakan setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pada pasal yang sama pada huruf f ditegaskan bahwa kewajiban rumah sakit juga melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka.

Bahkan berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Bagaimana dengan peraturan yang lebih rendah? Dalam Permenkes 378 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan fungsi sosial rumah sakit swasta yang wajib dilaksanakan, diantaranya dengan pelayanan gawat darurat dalam 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka tetapi mengutamakan pelayanan (Pasal 2 ayat 1 huruf d). Kemudian di dalam Permenkes 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit mengatur jenis pelayanan, indikator dan standar untuk gawat darurat, diantaranya: tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka.

Selain pada peraturan yang mengatur Rumah Sakit secara umum, ketentuan tidak diperbolehkannya meminta uang muka dalam keadaan darurat ini juga diatur pada peraturan yang mengatur RS Khusus Gigi Mulut dan Klinik yaitu Permenkes 1173 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang menyatakan bahwa setiap RSGM wajib melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk (diantaranya) tidak memungut uang muka bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan atau pasien gawat darurat (Ps. 30 huruf c). Dan terakhir dalam Pasal 25 huruf b, Permenkes 28 Tahun 2011 tentang Klinik menyatakan bahwa dalam memberikan pelayanan, klinik berkewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial.

Pertanyaannya, seberapa patuh rumah sakit dengan peraturan-peraturan tersebut?