Minggu, 21 April 2013

, , , ,

SD Anak Saya Mendadak Berubah Menjadi Madrasah

Ujian Nasional kembali dirundung persoalan yang tak kunjung usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional menuai pro dan kontra disebabkan permasalahannya yang tak pernah diselesaikan. Hal ini kembali membangkitkan pertanyaan; apa yang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa urusan Ujian Nasional saja begitu menyedot energi bangsa ini? Bukankah masih banyak urusan pendidikan yang lebih urgen dan penting?

Tak sedikit anak yang putus sekolah karena orang tuanya miskin. Masih banyak anak Indonesia yang tak mengenyam pendidikan dasar 9 tahun karena harus membantu mencari nafkah. Masih bertebaran bangunan dan sarana sekolah yang rusak tak segera diperbaiki. Bisa jadi ribuan Guru honorer tak juga diangkat sebagai guru tetap atau PNS meski sudah berpuluh tahun mengabdi. Anggaran pendidikan 25 persen dari APBN atau sekitar Rp 300 Trilyun seakan menjadi kutukan bagi negeri ini. Karena anggaran berlimpah itu, tak juga menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan Indonesia.

Bicara pendidikan Indonesia, saya menjadi ingat kejadian 2 minggu lalu. Saya diundang rapat orang tua dan wali murid SDIT Tunas Mulia Rawamangun. Disinilah kedua putri saya menempuh pendidikan; Lala kelas 3 dan Icha kelas 2. SDIT Tunas Mulia Rawamangun didirikan dan dijalankan secara swadaya oleh Yayasan. Sebenarnya, saya tinggal di perkampungan yang di kelilingi oleh banyak SD Negeri dan swasta. Namun saya lebih memilih SDIT Tunas Mulia yang berjarak 5 KM dari rumah. Alasannya, kualitas baik dengan biaya terjangkau.

Pada rapat wali murid tersebut, Ketua Yayasan menyampaikan kabar yang tak diharapkan. Bahwa sekolah yang telah beroperasi selama 7 tahun ini, belum mendapatkan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan sejak lama, namun tak juga membuahkan hasil izin sekolah. Bahkan SDIT Tunas Mulia terancam ditutup jika telah 2 kali berturut-turut dalam Ujian Nasional masih menumpang SD lain. Itu berarti, tahun ini adalah kesempatan terakhir ikut menumpang Ujian Nasional. Dan tahun depan, kelas 1 hingga kelas SDIT Tunas Mulia akan dilebur dengan SD lain.

Ketua Yayasan menyatakan alasan tak dikeluarkannya izin operasional oleh Dinas Pendidikan adalah karena tak punya IMB. Selama 7 tahun, bangunan sekolah SDIT Tunas Mulia berstatus kontrak atau sewa sehingga tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan sendiri. Meski sebenarnya, kata Ketua Yayasan, Pengawas Sekolah masih bisa memaklumi dan semestinya izin bisa keluar. Namun rupanya Pejabat Berwenang tetap bersikukuh tak mau mengeluarkan izin operasional terhadap SDIT Tunas Mulia.

Pengelola SDIT Tunas Mulia mencari terobosan dengan melakukan penjajakan ke Kementerian Agama. Ternyata responnya positif. Setelah melalui proses penilaian administrasi dan kunjungan lapangan, Tunas Mulia layak diberikan izin sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bahkan Kementerian Agama mengapresiasi proses belajar mengajar di Tunas Mulia dan akan dijadikan percontohan MI di wilayah Jakarta Timur.

Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa jika meski sudah diupayakan selama 7 tahun Dinas Pendidikan sulit sekali mengeluarkan izin, tetapi Kementerian Agama hanya dalam tempo singkat mau mengeluarkan izin? Tentu bukan tanpa alasan, jika Kementerian Agama ingin menjadikan Tunas Mulia sebagai percontohan MI di Jakarta Timur. Ini bicara kualitas belajar mengajar, bukan urusan persyaratan administratif belaka. Ini persoalan substansi pendidikan, bukan urusan recehan.

Yayasan berjanji dengan status MI, kualitas belajar mengajar tak berubah. Biaya pun relatif sama. Saya, dan juga orang tua murid lain, tentu tak punya banyak pilihan. Meski diberikan kesempatan pindah sekolah oleh pengelola, namun saya tetap berkeputusan kedua putri saya bersekolah di Tunas Mulia. Pindah sekolah tak menjamin lebih baik dan tanpa masalah. Saya tak peduli lagi, apakah berstatus SDIT atau MI. Yang penting, putri-putri saya senang sekolah, nyaman belajarnya dan berprestasi.

Ternyata anggaran besar sekitar Rp 300 Trilyun hanya untuk membiayai pernak-pernik pendidikan, bukan urusan yang lebih substansial; mutu pendidikan!

Jumat, 19 April 2013

, , , , , ,

Blogger dan Teori Kebutuhan Maslow

Tiba-tiba saya teringat Teori Kebutuhan Abraham Maslow dimana manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan hidup. Kebutuhan itu berjenjang secara piramida dari tingkat terendah yang bersifat mendasar dan mendesak hingga kebutuhan yang muncul berikutnya setelah kebutuhan sebelumnya terpenuhi.

Pada setiap level piramida kebutuhan ini menggambarkan aspek kesejahteran hidup manusia yang berhasil dicapainya. Secara sadar atau tidak setiap orang melalui tahap tingkatan kebutuhan ini.

Berikut Teori Kebutuhan oleh Abraham Maslow dari tingkatan terendah hingga tertinggi:

1. Kebutuhan Fisiologis diantaranya berupa kebutuhan akan makan, pakaian, rumah dan kendaraan. Juga kebutuhan biologis manusia seperti bernafas, buang air kecil, buang air besar dan lainnya.

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan diantaranya kesehatan, tidak sakit, kebebasan dan kemerdekaan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut

3. Kebutuhan Sosial diantaranya berteman, pergaulan, berkelompok, berorganisasi, punya pacaran, berkeluarga dan punya anak.

4. Kebutuhan Penghargaan diantaranya pujian, penghargaan, piagam, tanda jasa, naik pangkat, naik jabatan dan referensi

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri berupa tindakan nyata terhadap apa yg diyakini dan disenangi yang dapat menunjukan eksistensi diri. Biasanya berbentuk pengabdian kepada masyarakat dan negara, misalnya relawan dan filantropi.

Saya tertarik mengaitkan teori kebutuhan Maslow tersebut dengan motivasi ngeblog. Ketika ngeblog, anda ingin memenuhi kebutuhan yg mana? Apakah anda Blogger yang menjalankan aktivitasnya blognya didorong oleh kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan atau aktualisasi?

Namun dilihat dari aktivitas ngeblog, tipe blogger ini tidak menggambarkan tingkatan berjenjang seperti piramida. Dalam arti blogger tidak secara berurut memenuhi masing-masing tipe dan tidak pula menggambarkan kesejahteraan hidupnya.

Suami Malas, sahabat saya, terang benderang mengaku sebagai Blogger Tipe 1 (Fisiologis). Sebagai blogger profesional, ngeblog dijadikan upaya memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan dan tunggangan yang berkecukupan. Malah dengan ngeblog sepertinya Suami Malas sudah mencapai kebebasan finansial.

Bagaimana dengan anda?

*NB. Jangan terlalu serius*

Kamis, 18 April 2013

, , , ,

Tulisan Biasa Ternyata Bisa Menginspirasi Orang Lain

"Terima kasih ya. Tulisanmu bagus-bagus", kata Prof. Kadir sambil menyalami tangan saya.
"Tulisan yang mana, Prof?", saya belum ngeh.
"Itu yang link-nya kamu share di-milis. Itu saya jadikan referensi mengajar mahasiswa S3 saya".
"Ah, Prof bisa aja". Saya tertawa kecil. Namun dalam hati jingkrak-jingkrak dan kepala terasa membesar.

Itulah percakapan singkat saya dengan Prof. Abdul Kadir, Direktur Utama RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar itu. Bagi saya, pengakuan beliau membesarkan hati dan menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Meskipun itu hanya percakapan personal yang tak didengar orang lain. Hampir tak percaya, bagaimana seorang guru besar dan mantan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar menjadikan tulisan sederhana di blog saya sebagai referensi mengajar mahasiwa S3-nya.

Berawal dari niatan mengajak para direktur rumah sakit memperbanyak konten positif di media online tentang rumah sakit, beberapa kali saya berbagi postingan anjaris.me di mailing list. Dari dua tiga kali saya share postingan itu, barangkali Prof Kadir tertarik menjadikannya referensi. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan ini juga mengaku membaca tulisan lain dari link yang saya sertakan. Padahal, saya bukan orang dengan latar belakang kesehatan namun menulis dunia perumahsakitan. Tentu dilihat substansinya, postingan saya itu dangkal, biasa dan sederhana. Postingan saya bukan tulisan ilmiah, melainkan dalam format blog yang setiap postingannya berkisar 200 - 500 kata. Apalagi postingan saya 100 persen ditulis hanya sambil lalu disela-sela kesibukan dengan menggunakan Blackberry.

Ternyata tulisan yang bagi penulisnya biasa saja, bisa jadi dapat menginspirasi orang lain. Tulisan sederhana pun bisa menjadi referensi bagi orang yang mengerti.

Terima kasih, Prof. Kadir!

Sabtu, 30 Maret 2013

, ,

Rumah Sakit Internasional Juga Untuk Orang Miskin

Adalah Ribka Tjitaning Proletariyati, Ketua Komisi IX DPR menyatakan bahwa satu ruang fasilitas bagi rumah sakit internasional yang dibangun dengan biaya APBN itu sesungguhnya bisa dimanfaatkan oleh lima orang pasien di kelas III yang diperuntukkan bagi pasien tidak mampu. Tapi karena berlabel internasional maka fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh satu pasien. Pernyataan ini mengundang polemik meski tak sebesar pernyataan Ribka bahwa dokter lebih jahat dari Polantas.

Entah rumah sakit mana yang dimaksudkan oleh Ibu Ribka yang terhormat ini. Jangan-jangan anggota DPR ini salah persepsi antara rumah sakit berstandar internasional dengan “wing internasional” sebagai unit bisnis rumah sakit. Mungkin Ketua Komisi IX ini tidak membedakan dibangunnya wing RSCM Kencana dengan proses akreditasi JCI yang sedang dijalankan rumah sakit terbesar di Indonesia ini.

Bisa dikatakan, saat ini Indonesia memiliki 5 rumah sakit berstandar internasional. Yang dimaksud berstandar internasional adalah rumah sakit yang telah lulus akreditasi oleh Badan Akreditasi Internasional. Rumah sakit itu adalah RS Siloam di Karawaci Tangerang, RS Eka di BSD Tangerang,  RS Santosa di Bandung, RS Bintaro Premier di Tangerang dan RS Premier di Jatinegara. Kelima rumah sakit swasta ini terakreditasi JCI (Joint Commission International) tanpa menggunakan anggaran negara atau difasilitasi oleh Pemerintah.

Saat ini sedang dipersiapkan beberapa RS Pemerintah memenuhi standar internasional, diantaranya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Sanglah Denpasar. Pada akhir tahun 2012 kemarin, kedua rumah sakit tersebut menjalani penilaian akreditasi JCI. Kedua rumah sakit ini yang notabene milik Pemerintah berarti menggunakan anggaran negara dalam proses akreditasi JCI. Kita menjadi yakin, pernyataan Ibu Ribka saat ini ditujukan kepada RSCM.

Bagi kita yang pernah ke RSCM atau sering melintas di Jalan Diponegoro disebelah kiri pasti melihat bangunan RSCM Kencana. Itulah "wing internasional" yang dibangun RSCM sebagai bisnis unit. Arsitektur bangunan, tata ruang, fasilitas dan standar layanan pun memang lebih baik dibandingkan pelayanan RSCM secara umum. Sudah pasti tarif pun lebih mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan pelayanan kelas 3 rumah sakit pada umumnya. Saya pernah melihat fasilitas dan pelayanan RSCM Kencana yang memang bisa dikatakan diatas standar.

Ada persepsi yang harus kita samakan. Akreditasi JCI di RSCM tidak hanya di "wing internasional" RSCM Kencana, tetapi seluruh pelayanan dari gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap di RSCM. Itu berarti termasuk pelayanan kelas 3 yang sebagian besar diperuntukan masyarakat miskin. Jadi tidak benar pendapat Ibu Ribka yang menyatakan anggaran APBN untuk membangun sebuah fasilitas ruangan berstandar internasional sama saja untuk 5 pasien ruangan kelas III.

Kita harus bisa membedakan rumah sakit berstandar internasional dengan wing internasional dari rumah sakit. Rumah sakit internasional yang sesungguhnya tidak dilihat dari megahnya bangunan, canggihnya alat dan modernnya tata ruang. Melainkan rumah sakit dengan pelayanan yang berorientasi pelanggan dan mengutamakan keselamatan pasien.
Kalau seorang Ketua Komisi IX DPR saja bisa salah persepsi, bagaimana dengan masyarakat awam ya?

Kamis, 21 Maret 2013

, , ,

Mari Memahami Rumah Sakit

Saat ini, Rumah Sakit menjadi sasaran hujatan publik. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" merupakan sindiran sekaligus cibiran publik terhadap pelayanan rumah sakit. Kabar penolakan pasien miskin hampir tiap hari menjadi judul berita media massa.

Manusia macam apa yang tak tersayat hatinya membaca berita bayi Dera yang meninggal dunia (dikesankan) setelah ditolak rumah sakit. Digambarkan pula kondisi keluarga Dera yang hidup sederhana dan miskin. Maka tak bisa dibendung opini dan persepsi yang terbentuk bahwa ditolaknya bayi Dera karena tak mampu bayar pengobatan akibat kemiskinan keluarganya. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" pun seakan menemukan pembenarannya.

Kebanyakan masyarakat tampaknya beranggapan bahwa setiap rumah sakit mampu melakukan seluruh tindakan medis. Banyak orang mengira bahwa pasien yang datang ke rumah sakit harus selamat dan sembuh. Mayoritas publik berharap bahwa rumah sakit dapat menyelesaikan semua permasalahan kesehatan pasien. Dan ketika anggapan, perkiraan dan harapan masyarakat itu tak tercapai menjadi kenyataan, maka kekecewaan, kemarahan dan caci maki publik tertumpah kepada rumah sakit. Rumah sakit dicap tak punya hati nurani, komersial dan berpihak kepada masyarakat miskin.

Faktanya, apakah seperti itu kecenderungan rumah sakit Indonesia? Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan itu, mari kita fahami bagaimana mekanisme kerja di rumah sakit.

Indonesia ini sangat mulia sekali bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien dalam keadaan kegawatdaruratan. Tak peduli seberapa besar kecilnya rumah sakit harus mampu menangani pasien gawat darurat. Dengan begitu secara sadar atau tidak sadar, muncul persepsi bahwa jika pasien yang sudah masuk unit gawat darurat rumah sakit harus tertolong. Sehingga meskipun respon terhadap kegawatdaruratan telah dilakukan dan ternyata pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain, timbulkan kekecewaan dari pasien atau keluarganya. Dan celakanya, alasan tak tersedianya fasilitas pelayanan terlanjur dipersepsikan oleh publik sebagai cara rumah sakit menolak pasien.

Kita lupa, atau masyarakat tidak tahu bahwa kemampuan dan fasilitas rumah sakit itu berbeda. Ada rumah sakit yang mampu menangani berbagai macam penyakit dan kondisi pasien dengan banyak tindakan medis spesialis dan subspesialis. Rumah sakit semacam ini dikategorikan kelas A atau kelas B. Jumlah rumah sakit kelas A dan B tidak banyak. Namun ada pula rumah sakit dengan fasilitas dan kemampuan layanan spesialis umum dan pelayanan medik dasar saja, yang dikategorikan rumah sakit kelas C dan kelas D. Rumah sakit inilah yang sebagian besar ada disekitar kita.

Kemampuan dan fasilitas pelayanan rumah sakit ini tergambar dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap. Bicara fasilitas pelayanan bukan semata ketersediaan tempat tidur (bed) dan ruangan. Tetapi juga kesiapan tenaga, peralatan, perlengkapan dan sistemnya. Tidak mudah untuk menyediakan layanan spesialis dan subspesialis. Perlu investasi sangat besar dalam penyediaan fasilitas pelayanan intensif.

Kembali pada persoalan diatas; rumah sakit telah melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan sesuai kemampuannya namun berdasarkan indikasi medis pasien harus dirujuk, apakah berarti bisa disebut rumah sakit menolak pasien? Tidak. Justru rumah sakit wajib merujuk pasien yang tak dapat ditangani ke rumah sakit yang mempunyai kemampuan dan fasilitas pelayanan lebih baik. Artinya, di satu sisi rumah sakit wajib melayani pasien dalam kegawatdaruratan tetapi disisi lain rumah sakit juga wajib merujuk pasien yang tidak dapat ditangani. Sungguh ini bukan persoalan sederhana.

Bisa dibayangkan, dalam suasana "eforia" pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi orang miskin seperti Kartu Jakarta Sehat dilaksanakan sebagai janji politik, dimana ratusan bahkan ribuan pasien mendatangi rumah sakit, termasuk gawat darurat, kemungkinan satu atau dua pasien miskin tak terpuaskan.

Ini baru halaman pertama, kita akan bahas lebih lanjut tentang rumah sakit dan permasalahannya pada postingan berikutnya.

Jumat, 15 Maret 2013

, , , , ,

Dilarang Demonstrasi di Rumah Sakit

Beberapa hari lalu terbaca di media massa, ratusan pegawai sebuah rumah sakit melakukan demonstrasi kepada manajemen. Berita unjuk rasa yang dilakukan puluhan perawat rumah sakit juga terpampang di koran beberapa waktu sebelumnya. Demonstrasi yang dilakukan civitas hospitalia ini tentu saja mengganggu pelayanan kepada pasien. Rupanya demonstrasi atau unjuk rasa sebagai bentuk menyatakan pendapat di muka umum telah menjalar ke dalam wilayah dimana orang sakit mendapatkan perawatan dan upaya penyembuhan.

Adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan beerserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Namun demikian harus disadari, kebebasan penyampaian pendapat di muka umum baik lisan maupun tulisan dibatasi oleh hak orang lain atas rasa damai, aman dan tertib. Sebagaimana norma yang sering kita dengar bahwa hak yang dapat kita ambil dibatasi oleh kewajiban yang harus dilaksanakan. Penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya sebagai wujud demokrasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai tatanan bermasyarakat dan bernegara.

Hal ini sejalan dengan klausul Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dimana dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiaporang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan olehundang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagimoralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Bagaimana sebenarnya pengaturan demonstrasi di negara Indonesia ini? Bolehkah rumah sakit dijadikan tempat unjuk rasa? Indonesia telah memilki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Didalam UU ini diantaranya diatur bentuk penyampaian pendapat di muka umum yaitu demonstrasi atau unjuk rasa, rapat umum, pawai dan atau mimbar bebas.

Yang menarik, dalam Pasal 9 ayat (2)Undang-Undang 9 Tahun 1998 dinyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya tersebut dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat. Jadi, rumah sakit menjadi daerah terlarang untuk dilakukan demonstrasi/unjuk rasa, pawai, rapat umum dan mimbar bebas.

Larangan demo atau unjuk rasa di Rumah Sakit tentu saja bukan bentuk pengekangan terhadap hak asasi manusia, melainkan perlindungan hukum, penghormatan hak orang lain dan menjunjung tinggi ketertiban terutama bagi pasien dan masyarakat umum pengunjung rumah sakit. Karena bagaimana pun kepentingan dan keselamatan pasien harus lebih diutamakan. Aspirasi dan penyampaian pendapat dapat dilakukan melalui saluran dan mekanisme yang telah diatur. Atau juga dengan cara lain yang sah tanpa menganggu pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Dialog untuk mencari solusi dengan melibatkan stake holder yang berkepentingan adalah cara yang lebih utama dan elegan mengatasi permasalahan.

Hindari sejauh-jauhnya demonstrasi apalagi mogok kerja di rumah sakit, karena pasti mengganggu pelayanan pasien dan merusak citra rumah sakit.

Minggu, 10 Maret 2013

, , , , ,

Inilah Hak Pasien Terhadap Rumah Sakit

Berita ditolaknya pasien miskin oleh Rumah Sakit masih menjadi kabar hangat minggu ini. Ada persepsi berkembang bahwa tidak terlayaninya pasien dengan jaminan Kartu Jakarta Sehat atau Jamkesmas ini telah merampas hak pasien atas pelayanan kesehatan.

Sebenarnya apa saja hak pasien menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam Pasal 32 Undang-Undang Rumah Sakit menetapkan bahwa setiap pasien mempunyai hak:

  1. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  2. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;

  3. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

  4. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

  5. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;

  6. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

  7. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

  8. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

  9. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;

  10. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

  11. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

  12. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;

  13. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;

  14. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit;

  15. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya;

  16. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

  17. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan

  18. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Selain pada pasal 32 yang secara eksplisit memuat Hak Pasien, sesungguhnya ada hak pasien lain yang secara inplisit termuat dalam pasal-pasal lain, misalnya dalam pasal Kewajiban Rumah Sakit. Karena apa yang diwajibkan kepada Rumah Sakit, tentu membawa hak bagi stake holder lain, terutama Pasien.

Selain mempunyai hak, setiap pasien juga mempunyai kewajiban sebagai konsekuensi logis dari jasa pelayanan kesehatan yang diterimanya. Lain waktu kita bahas kewajiban pasien, ya!