Jumat, 20 September 2013

, , , , , ,

Perda Lansia, Hanya Indah Diatas Kertas

"Kami tak ingin Perda ini hanya menjadi peraturan yang tidur"

Hari ini saya merasa punya semangat menerima tamu yang berasal dari Semarang. Tamu itu adalah 20-an anggota DPRD Jawa Temgah yang ingin berkonsultasi penyusunan Perda tentang kesejahteraan lanjut usia.

Hal menarik patut dicermati adalah niatan para wakil rakyat Jawa Tengah ini. Dengan kunjungan konsultasi mereka ingin memastikan apakah Perda yang mengatur kesejahteraan bagi orang-orang lanjut usia ini perlu diteruskan atau dibatalkan. Alasannya seluruh muatan pasal-pasal dalam Perda ini pada dasarnya telah diatur dan dikerjakan oleh berbagai sektor SKPD. Namun demikian, tidak terasa gregetnya dilapangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran anggota DPRD Jateng jika perda disahkan hanya menjadi peraturan tidur, tidak jelas dalam pelaksanaannya.

Ini yang saya suka. Kunjungan kerja DPRD kali ini terasa beda ruh dan semangatnya. Selain materi Perda yang terkesan "antik", kesejahteraan lansia bukanlah topik seksi, juga topik diskusi berkualitas, bagaimana agar perda bukan hanya indah diatas kertas. Istilah peraturan yang indah diatas kertas biasa saya gunakan untuk peraturan yang tersusun berupa pasal-pasal berisi aturan bersifat normatif dengan bahasa konseptual dan tidak operasional. Dengan kata lain, peraturannya ada, sudah ditetapkan, tetapi tidak dapat dilaksanakan atau andai ditegakkan pun tak terasa dampaknya bagi masyarakat.

Mencermati pertanyaan dan pernyataan beberapa anggota DPRD Jateng, saya rumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa kesejahteraan lansia merupakan program yang menjadi urusan banyak sektor, bahkan bisa jadi semua sektor, dan lintas SKPD, tetapi kesan masyarakat lansia tidak diurusi begitu kuat.
2. Sudah terbentuk Komisi Daerah Lansia di tingkat Provinsi bahkan sebagian besar Kabupaten/Kota juga ada Komda Lansia tetapi perannya tidak maksimal.
3. Permasalahan anggaran program lansia dan perlunya menggandeng pihak swasta.

Setelah apa yang dirasakan dan permasalahan yang dihadapi, dibenak para wakil rakyat ini muncul pertanyaan; perlukah sebenarnya Perda Lansia ini?

Ditengah kegaulauan hati para anggota Dewan ini, rencana penyusunan Perda Kesejahteraan Lansia ini patut diapresiasi. Malah harua dikasih jempol. Mencermati materi dan norma pasal per pasal, Perda ini harus ditiru oleh daerah lain. Perda ini wujud kepedulian Pemerintah Daerah terhadap perkembangan jumlah manusia lanjut usia yang semakin besar seiring meningkatnya angka harapan hidup manusia Indonesia. Perda Lansia ini justru bisa menjadi payung hukum yang secara operasional dapat mensinergikan sektor dan SKPD Provinsi Jateng yang mengurusi lansia.

Agar Perda Kesejahteraan Lansia ini tidak hanya indah diatas kertas, sebuah peraturan harus dilengkapi secara jelas tegas siapa pelaksana eksekutornya (leading sector). Secara konkrit, saya sarankan agar dilakukan penguatan Komisi Daerah Lansia secara kelembagaan dan penganggaran. Sebagai lembaga non SKPD yang memikul tanggung jawab koordinasi, integrasi dan sinkronisasi kesejahteraan lansia, Komda Lansia harus kuat organisasi, sumberdaya dan anggarannya. Dengan penguatan Komda Lansia dimasukkan dalam Perda, tentu bukan hal sulit dalam pelaksanaan kesejahteraan lansia.

Muncul pertanyaan anggota DPRD, bagaimana caranya agar Komda Lansia dapat didukung anggaran rutin?

Komda Lansia memerlukan anggaran operasional yang tidak sedikit. Bisa saja menggandeng sektor swasta, namun ini memerlukan upaya yang tidak mudah dan bentuk kerjasamany

Mestinya bisa diambilkan dari kewajiban UU Kesehatan yang diamanatkan kepada setiap daerah menganggarkan 10 persen APBDnya untuk sektor kesehatan. Dan untuk memperkuat operasionalnya, dibentuklah Sekretariat yang secara ex officio SKPD pembina teknis bidang kesejahteraan lansia. Bisa saja setingkat eselon 2 atau eselon 3 Dinas Sosial yang secara rutin mempunyai anggaran terkait kesejahteraan lansia. Dengan kata lain, anggaran operasional yang berasal dari APBD Komda Lansia ditempelkan kepada Dinas Sosial.

Secercah kelegaan terpancar di wajah Ketua Baleg DPRD Jateng yang memimpin rombongan. Ketika saya tanyakan, apakah ada yang perlu didiskusikan lagi, jawabnya;

"Nah, point terakhir inilah yang menjadi intinya. Kami belum terpikirkan penguatan Komda Lansia. Juga tidak ngeh untuk menempelkan anggaran pada SKPD. Terima kasih"

Terima kasih juga pak. Semoga Perda Kesejahteraan Lansia segera ditetapkan dan tidak hanya indah diatas kertas, alias peraturan tidur. Mari kita ingat bahwa dengan izin Gusti Alloh, kita juga akan menjadi lansia.

Sabtu, 07 September 2013

, , , , , ,

RUU Keperawatan: Kemenkes Mencari yang Baik

"...berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan"

Saat ini RUU Keperawatan tengah dibahas antara DPR dengan Pemerintah. Dalam suatu kesempatan ngobrol dengan Prof Budi Sampurna (Staff Ahli Menkes Bidang Medicolegal), saya pernah tanyakan beberapa hal terkait RUU Keperawatan. Saya tuliskan beberapa hal yang dapat saya rangkum seperti dibawah ini :

Prof, benar nggak sih tudingan Kemenkes tidak berperan dalam RUU Keperawatan?

Dari awal, RUU Keperawatan itu dicanangkan sebagai inisiatif DPR. Oleh sebab itu peran Pemerintah dilakukan dengan memberikan masukan pada saat Rapat Dengar Pendapat. Beberapa kali kita diundang oleh DPR maupun DPD untuk memberikan masukan. Saya kira ada perannya, tetapi tidak dalam arti inisiatif pembahasan.

Benarkah Kemenkes terlambat ajukan DIM RUU Keperawatan?

Pemerintah baru terima RUU Keperawatan tanggal 18 Februari dan Ampres (Amanat Presiden) bulan April. Kemudian kita menyusun DIMnya (Daftar Infentarisasi Masalah) masih dalam batas waktu 2 bulan atau agak lebih sedikit.

Ada opini yang dibangun bahwa usulan memasukkan Kebidanan itu hidden agenda Kemenkes hambat RUU Keperawatan. Pendapat Prof?

Saya kira Bu Menkes sudah berkali-kali tegaskan, Pemerintah tak ingin menggagalkan RUU Keperawatan. Tidak ada niat juga mendiskriminasi antara perawat dan bidan. Kita ingin dua-duanya sama berhasil. Kesempatan yg baik pada pembahasan RUU Keperawatan, alangkah baiknya sekaligus substansi kebidanan juga dimasukkan. Toh, masih sama dalam satu rumpun. Meskpun tugas fungsinya berbeda.

Hal yang sama juga kita lakukan pada UU Praktek Kedokteran terhadap kedokteran gigi, berada dalam satu. Kalau ada yang mengatakan dalam UU Kedokteran itu sama-sama dokter. Bukan, di luar negeri tidak pernah kita kenal dokter gigi itu sebagai dokter gigi. Tetapi dentist. Itu berbeda dengan dokter. Tetapi kita coba cari persamaanya. Demikian juga pada waktu kita membahas RUU Pendidikan Kedokteran di Komisi X. Itu pun kita cari persamaannya. Meskipun bedanya banyak, tetapi kita cari persamaannya. Dan memang berhasil kita melakukan itu.

Gimana teknis penggabungan menjadi RUU Keperawatan dan Kebidanan?

Ini yang kita mohon. Jika dapat disepakati bisa kita bahas RUU Keperawatan dan Kebidanan, idenya adalah mencari persamaanya. Kita sudah melakukan itu dalam DIM RUU kita inventarisasi persamaan. Bedanya hanya satu kok!. Yaitu pada waktu praktek. Praktek perawat tentu saja beda denang praktek bidan. Itu yg kita bedakan dalam 2 Bab yang berbeda.

Perubahan DIM RUU Keperawatan itu disebabkan penambahan substansi. Juga adanya penyesuaian substansi oleh karena ada Undang-Undang baru yaitu UU Pendidikan Tinggi dan UU Pendidikan Kedokteran. Yang kita sesuaikan modelnya dengan UU Dikdok misalnya bagaimana pendidikan keperawatan itu sejak akademik hingga profesi digabung dan seterusnya.

Begitu pula ada usulan mengubah Konsil. Itu tentu saja dapat kita bahas bagaimana jalan keluarnya. Kita memang mendapatkan surat resmi dari Menpan agar tidak membentuk lembaga baru. (Dalam hal Konsil) kemudian dari Kemendikbud saat ini juga berproses RUU Keinsiyuran. Tadinya disana juga diusulkan ada konsil, kemudian mereka bersepakat tidak ada konsil tetapi menguatkan organisasi profesi. Tetapi silahkan kita dapat kembangkan dalam pembahasan kita untuk cari jalan keluar terbaik.

Yang penting dicatat, berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan. Saya cenderung untuk saat ini mari kita bahas bersama-sama lebih dahulu untuk melihat, sebetulnya apakah substansinya lebih buruk atau lebih baik. Tentu kita semua mencari yang baik.

Jumat, 30 Agustus 2013

, , , , , , , ,

Perbedaan antara Humas dengan Pemasaran

Tak sedikit orang Humas merasa lebih penting dari orang Pemasaran. Sebaliknya banyak juga praktisi Marketing beranggapan lebih dibutuhkan daripada praktisi Public Relations. Terjadilah diskursus apa perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Apakah demikian juga anda?

Dalam tataran teori maupun praktek, sering muncul perdebatan tentang perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Kedua aktivitas ini sesungguhnya merupakan bagian dari komunikasi sehingga mengandung prinsip dan komponen komunikasi.

Dalam komponen itu terdapat sumber, pesan, media, khalayak atau penerima informasi serta tujuan komunikasi. Namun demikian, Humas dan Pemasaran memiliki orientasi yg berbeda secara signifikan. Mari kita cermati, perbedaan mendasar konsep Humas (Public Relations) dan Pemasaran (Marketing).

Pertama, pesan komunikasi. Aktivitas Humas dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari seluruh stakeholders (termasuk didalamnya adalah konsumen atau calon konsumen). Pemasaran mengkomunikasikan hal-hal (pesan) yg berkaitan aktivitas perusahaan yang mengandung citra tertentu.

Misalnya, Public Relations sebuah rumah sakit akan meyakinkan publik/stakeholders berkaitan aktivitas yg mengandung citra positif dari pelayanan rumah sakit. Pada sisi lain, pihak Marketing menyajikan pesan dalam bentuk promosi atau penawaran produk atau jasa pelayanan yang disediakan rumah sakit dan berupaya mendorong konsumen/pasien memanfaatkan produk/jasa layanan yang ditawarkan rumah sakit.

Kedua, alat menyampai pesan. Dalam kegiatan Humas, alat menyampai pesan adalah berita (news). Para praktisi Humas hanya mengirimkan informasi pada media massa dan media sosial agar memuat informasi menjadi berita yg bisa dibaca khalayak. Secara ekonomis, ongkos penyampaian pesan rendah, namun tetapi memiliki kredibilitas tinggi. Pada sisi lain, alat penyampaian pesan yg digunakan dalam Pemasaran adalah iklan.

Ketiga, penggunaan media. Dalam perspektif Public Relations, media merupakan salah satu komponen stakeholder yang penting untuk di jaga. Walau menempatkan media sebagai relasi, dalam berbagai aspek Humas (Public Relations) tdk bisa secara gampang memaksa media untuk mempublikasikan semua hal yg direlease  karena itu terkait kewenangan redaksional. Pada sisi lain, pihak Pemasaran (Marketing) justru memiliki kebebasan untuk menempatkan tempat, waktu memasang iklan, sesuai dengan tarif yang dibayarkan.

Keempat, jangka waktu aktivitas. Dalam menjalankan aktivitasnya, Humas bersifat jangka panjang, dalam artian sebagai fungsi manajemen, Humas harus mampu merancang berbagai aktivitas agar organisasi atau perusahaan itu bisa bertahan sepanjang waktu. Sebaliknya Pemasaran, dari segi waktu, aktivitasnya lebih bersifat jangka pendek sesuai usia produk atau jasa yang ditawarkan.

Kelima, target atau sasaran komunikasi. Target sasaran dari aktivitas Humas menyentuh publik luas, terutama yg memiliki kepentingan terhadap kehidupan organisasi. Pada pihak lain, sasaran komunikasi Pemasaran lebih ditujukan pada mereka yang dianggap berpotensi membeli dan menggunakan jasa yang ditawarkan.

Tentu, masih ada perbedaan lain yg bisa menunjukkan aktivitas Humas dan Pemasaran seakan-akan menjadi perdebatan. Dalam praktek, sering sekali dijumpai terjadi penggabungan antara Humas dan Pemasaran demi efektivitas. Perbedaan antara Humas (public relations) dengan Pemasaran (Marketing) sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa kedua aktivitas ini memang memiliki keunikan sehingga tidak perlu diperdebatkan. Siapa pun kedudukan anda, Humas atau Pemasaran, keunikan masing-masing akan menjadi kekuatan yang bisa mendukung kinerja rumah sakit.
, , , , , , , , , ,

Menkes: Tidak Sedikit pun Berfikir Menolak RUU Keperawatan

“Saya kok curiga pemerintah ada niatan menghambat lahirnya UU (Keperawatan) ini,” ujar Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR pada Rapat Kerja bersama Pemerintah (28/8/2013).

Pernyataan politisi PDIP itu, tidak begitu mengagetkan. Beberapa anggota Komisi IX menyatakan hal yang relatif senada bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mempersulit penetapan RUU Keperawatan menjadi Undang-Undang. Pendapat ini setali tiga uang dengan organisasi keperawatan PPNI, yang sudah berkali-kali menggiring opini bahwa Kemenkes menghalang-halangi pengesahan RUU Keperawatan. Bahkan bisa jadi pernyataan anggota DPR ini juga disebabkan tekanan luar biasa yang dilakukan oleh organisasi profesi keperawatan ini melalui berbagai forum bahkan melalui banyak aksi demonstrasi.

Usulan Pemerintah agar dimasukannya kebidanan dalam RUU Keperawatan semata-mata didasari selain pada rumpun tenaga kesehatan yang sama juga alasan efisiensi dan efektifitas. Jika dilihat pasal per pasal Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tidak ada norma yang hilang. Khususnya, dalam hal pendirian Konsil dan Kolegium, Menteri Kesehatan menjanjikan untuk dibahas bagaimana baiknya demi kemanfaatan bersama.

Dalam raker tersebut, Ibu Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan mewakili Pemerintah, mendengarkan secara seksama pernyataan para anggota DPR yang cenderung menuduh Kemenkes tak pro RUU Keperawatan Kesehatan.

“Saya ucapkan terima kasih. Pertama saya menghargai anggota DPR yang terhormat sudah membahas RUU Keperawatan dengan mendalam dan cukup lama,” dengan tenang Menkes mengawali tanggapannya.

Kemudian Ibu Nafsiah Mboi melanjutkan dengan bercerita saat awal menjadi Menkes.

“Saya kaget, baru pada bulan April terima ampres tetapi Mei saya dibanjiri lebih dari 1000 sms tanpa nama. Kata-katanya sangat kasar. Terus terang malu sebagai seorang menteri dikasari begitu. Saya tidak tahu siapa, tetapi mengatasnamakan diri perawat. Sms itu menyalahkan menkes, kenapa RUU Keperawat tidak dibahas. Padahal Kita selalu menghormati perawat, menghormati bidan. Tidak ada masalah bagi kami, sama pentingnya”, kata Menkes dengan sungguh-sungguh.

“Oleh karena itu saya mohon supaya miss komunikasi diantara kita itu hilang. Kami tidak sedikit pun berfikir menolak RUU Keperawatan. Kami menyatukan (RUU Keperatan & Kebidanan) demi efisiensi. Juga sekaligus efektifitas. Oleh karena itu benar kata salah seorang anggota DPR, justru dalam menyiapkan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs, kita membutuhkan dua-duanya,” tegas Menkes.

“Saya undang PPNI dan PB IDI. Dan saya minta secara terbuka menjelaskan apa sebenarnya masalahnya. Keperawatan bilang perlu pengakuan luar negeri. Kebidanan mengatakan, kami juga menghadapi hal yg sama. PPNI mengatakan kami membutuhkan perlindungan hukum, bidan mengatakan kami juga. Lalu saya mohon kepada perawat dan bidan, bagaimana jika kita bersatu saja. Kita butuh bersatu. Pekerjaan kita besar sekali. Bagaimana kalau bersatu, bikin satu undang-undang”, jelas Menkes dengan mantab tanpa ragu.

Menkes mengambil jeda sejenak. Seluruh orang yang hadir, seakan terkesima dengan pernyataan Menkes. Anggota Komisi IX DPR pun tak melakukan interupsi seperti yang biasa dilakukan.

“Sekali lagi, jika boleh saya tegaskan. Tidak ada sedikit pun keinginan dari kami untuk membeda-bedakan, mendiskriminasikan perawat dan bidan. Sama sekali tidak. Juga tidak sedikit pun, tidak dalam hati kami ingin meniadakan usaha atau upaya anggota dewan yang terhormat. Sama sekali tidak.

Bapak ibu anggota dewan yth, percayalah kami ingin yang terbaik. Betul, percaya kepada saya. Tidak ada keinginan untuk tidak menghargai siapa-siapa. Hanya mengingat kebutuhan di lapangan. Kita membutuhkan tenaga perawat dan bidan, saling mendukung, saling bekerjsama dan mempunyai dasar hukum yg disepakati oleh semua,” ujar Menkes menutup tanggapannya. Akhirnya pembahasan RUU Keperawatan dilanjutkan pada rapat kerja selanjutnya.

Apakah mereka percaya dengan Menteri Kesehatan? Ahh..!

 

Senin, 26 Agustus 2013

, , , ,

Bu Yati, Humas Idola Saya

Bu Yati tergopoh-gopoh menemui pasien. Setengah berlari dia mendahului saya untuk mendekati seorang lelaki yang nampak sedang marah dengan petugas customer service. Setelah dekat, Bu Yati dengan senyum mengembang mengucap salam dan bertanya kabar kepada pasien yang sudah lanjut usia tersebut. Tidak cukup itu, tanpa menunggu respon lelaki tua itu, Bu Yati memeluknya dengan hangat.

Saya takjub sejenak. Dalam hati, saya kagum dengan bagaimana Bu Yati memperlakukan pasiennya yang sedang marah. Pasien itu memang aedang komplain terhadap pelayanan rumah sakit dimana Bu Yati bekerja. Sebagai Humas, Bu Yati menjadi pihak yang jadi sasaran kemarahan dan harus mampu menangani dengan baik.

Sambil memegang erat kedua tangan lelaki tua itu, Bu Yati menuntunnya untuk duduk di kursi didekatnya. Dengan lembut, Bu Yati meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan pasien. Dan sekaligus memastikan bahwa pasien lansia tersebut akan mendapatkan pelayanan terbaik dari rumah sakit. Sejenak pasien itu ragu, dia mengalihkan pandangan kepada saya. Saya tersenyum dan mengangguk. Kemudian saya menjelaskan apa yang terjadi setelah pasien itu menyampaikan pengaduannya tadi pagi. Akhirnya pasien lansia itu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah sekelumit pengalaman saya ketika menyaksikan langsung bagaimana Bu Yati, petugas humas, menangani komplain pasien. Fragmen tersebut biasa? Menurut saya, itu luar biasa jika dirunut dari kejadian beberapa jam sebelumnya.

Pagi-pagi sekali, seorang pasien menelepon saya untuk mengadukan  pelayanan rumah sakit yang mengecewakan. Saya menuju rumah sakit untuk melakukan klarifikasi. Saya langsung menuju ruang humas dimana biasa pasien/keluarga menyampaikan keluhan pelayanan.

Seorang perempuan, Bu Yati yang berusia sekitar 50 tahun menyambut ramah kedatangan saya. Saya sudah mengenalnya, beliau salah seorang petugas humas yang juga menerima pengaduan dan tempat luapan kemarahan pasien tersebut sebelum yang bersangkutan telepon saya pagi tadi. Badannya subur, berbusana dengan kerudung polos dan sederhana. Singkatnya, penampilan fisik dan berbusana jauh dari stereotif humas pada umumnya, perempuan muda, cantik dan gaya pakaian masa kini.

Bu Yati mendengar dengan seksama apa yang menjadi kepentingan saya. Tidak memotong sama sekali. Sesekali mengangguk. Begitu selesai saya bicara, petugas humas ini menanggapi dengan tutur kata dan sikap yang menunjukkan empati. Ucapan dengan gaya bahasa formal meski tak kaku. Intonasinya terjaga, sehingga membuat nyaman.

Dalam tanggapannya, dia mengakui bahwa pasien belum mendapatkan pelayanan kesehatan disebabkan menunggu keputusan dari Direktur rumah sakit. Meski diterima dengan baik, saya menyampaikan keberatan atas terlambatnya pelayanan. Saya meminta dipertemukan dengan Direkturnya. Saya dapat merasakan bahwa dia bingung dan tertekan. Pertama, jadi sasaran kemarahan pasien yang tak segera terlayani. Kedua, mendapatkan teguran saya sekaligus harus mengantarkan saya kepada Direkturnya.

Di dalam sebuah ruangan, kami bertiga bicara. Bu Yati melaporkan secara singkat duduk perkara dan keperluan saya kepada Direktur. Kemudian saya menegaskan perlunya segera pasien mendapatkan pelayanan. Mendengar apa yang saya dan humas sampaikan, alih-alih berbesar hati mengambil alih tanggung jawab, sang Direktur justru menyalahkan Humas atas keterlambatan pelayanan. Alasannya, Direktur menganggap Humas tidak mencerna dengan baik instruksinya. Sebenarnya Humas bersikukuh bahwa Direktur belum memberikan keputusan. Namun apalah daya, Humas tak dapat lagi menyampaikan pembelaannya. Keputusan pertemuan itu, pasien segera ditangani dengan baik.

Baru saja keluar dari ruangan Direktur, Humas mendapatkan laporan dari satpam bahwa tadi pasien datang ingin menemui Direktur rumah sakit. Satpam menolak permintaan itu dan diminta pasien menunggu di lantai bawah. Bu Yati marah dengan perilaku satpam. Bisa juga Bu Yati marah karena meluapkan tumpukan kedongkolan hatinya karena telah mendapatkan tekanan sana sini baik pasien maupun Direktur. Dengan  terburu-buru, Bu yati dan saya segera menemui pasien tersebut di lantai bawah. Dia bergumam, "sebagai pasien, saya pun akan marah diperlakukan seperti ini'

Demikianlah, di mata saya Bu Yati adalah tauladan kehumasan bagaimana menangani pengaduan dan kemarahan pasien. Dia sendiri tidak dalam kondisi damai secara psikologis. Pagi-pagi telah kena damprat pasien, tertekan dengan kedatangan saya dan puncaknya disalahkan Direktur. Dia marah, dia dongkol hatinya. Namun tak mengurangi keramahan, kehangatan dan ketenangan menghadapi kemarahan pasien.

Kalau tak salah, tahun ini beliau pensiun. Saya akan kehilangan sosok humas yang luar biasa dan berdedikasi. Salut dan salam hormat kepada Bu Yati.

Minggu, 25 Agustus 2013

, , , , , ,

Apa sih Postingan Inspiratif #30HariNonStopNgeblog

Dalam #30HariNonStopNgeblog yang digagas DBlogger ada kategori Postingan Inspiratif. Yang perlu dicatat bagi peserta #30HariNonStopNgeblog bahwa tidak harus seluruh postingan selama 30 hari diikutkan dalam kategori ini. Satu dua boleh. Lima sepuluh pun diizinkan. Tapi kalau mampu menciptakan 30 postingan inspiratif pun, silahkan diikutkan.

Bagi saya, posting #30HariNonStopNgeblog itu pekerjaan yang sangat berat. Hanya blogger dengan semangat tinggi mampu posting selama 30 hari nonstop. Sudah berat secara kuantitas, dipersulit lagi dengan kualitas yang harus inspiratif. Memang setiap postingan blog pasti punya nilai khususnya bagi bloggernya. Mungkin saja setiap postingan berpotensi manfaat bagi pembacanya. Tapi tidak setiap postingan membawa inspirasi didalamnya. Entahlah, barangkali ada blogger cerdas yang setiap postingannya mampu memberi inspirasi bagi pembacanya.

Jika demikian apa sih postingan inspiratif #30HariNonStopNgeblog? Sebenarnya tidak muluk-muluk sih. Inspiratif yang saya maksud, ketika pembaca mengangguk-angguk selesai membaca postinganmu. Atau pembaca bilang begini," Aha! Ini yang aku cari". Atau "Iya ya, kenapa aku tak lakukan begitu?" dan lain-lain ucapan yang menandakan pembaca terbuka fikirannya dan tergerak hatinya begitu membaca postinganmu. Terbukanya fikiran itu dapat merangsang ide. Tergeraknya hati itu akan mendorong tindakan atau aksi bagi pembaca.

Serius banget ya? Tudak sih. Silahkan posting dengan hati gembira. Tidak perlu berat difikirkan. Anda tidak akan tahu apakah postinganmu menginspirasi. Pembacalah yang dapat menilai dan merasakan seberapa inspiratifnya postinganmu. Saya meyakini, setiap postingan akan menemukan pembacanya sendiri. Yang harus dilakukan adalah posting, posting dan posting lagi. Dan saya akan temukan inspirasi dalam postingan itu.

Selamat mengikuti #30HariNonStopNgeblog. Kita ketemu digaris akhir postingan inspiratif.

Senin, 15 Juli 2013

, , , ,

Haruskah Humas itu Perempuan Muda lagi Cantik?

Ada stereotif bahwa Humas itu perempuan, muda dan cantik. Jadi bagi anda yang secara fisik tidak memenuhi kriteria itu tidak cocok menjadi Humas. Apakah anda termasuk orang berpandangan demikian?

Menurut pengalaman saya, syarat utama menjadi Humas itu harus menarik. Jadi tidak harus cantik atau tampan, melainkan menarik. Pribadi menarik seorang humas dapat dilihat dari tutur kata, sikap, berpakaian juga secara fisik.

Humas disebut menarik jika orang merasa nyaman bicara dengannya. Kenyamanan ini biasanya disebabkan kemauan mendengar dengan seksama keluhan klien. Juga mampu mencerna isi pembicaraan sehingga pasien/keluarga merasa nyambung atau klik. Dan Humas dalam memberikan tanggapan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menarik itu juga dilihat seberapa antusias dan empati kita saat melayani klien.

Tentu saja, menariknya seorang Humas juga harus ditopang dengan penampilan yang profesional seperti berpakaian rapi, bersih dan wangi.

Syukurlah, jika secara fisik dapat terpenuhi humas yang muda dan cantik/tampan itu. Anggaplah sebuah 'bonus"!