Sabtu, 22 Maret 2014

, , , , , ,

Layani pasien JKN, RS Swasta Terbukti Tidak Rugi

Pada awal berlakunya, muncul isu bahwa Jaminan Kesehatan Nasional akan merugikan rumah sakit. Bahkan sebelum 1 Januari 2014 pun telah berhembus kabar tarif INA CBG’s dianggap kecil sehingga bisa membuat rumah sakit bangkrut. Perpindahan sistem pembayaran tarif rumah sakit dari yang tadinya Free for Service (FFS) menjadi INA-CBG's diklaim awalnya sangat merugikan rumah sakit. Namun faktanya, kabar itu tidak benar.

Sejak akhir Februari, setelah tagihan pembayaran pasien JKN diajukan kepada BPJS, ternyata banyak rumah sakit yang mengalami neraca positif (positive balance).

“Setelah kami hitung, Rumah Sakit kami tidak saja mengalami untung, tetapi bonus. Dengan tarif INA CBGs sama saja dengan tariff RS, kami sudah surplus. Apalagi banyak juga tariff INA CBGs lebih tinggi dari tariff RS kami. Jadi kami dapat bonus”, demikian dikatakan dr Ediansyah, Direktur RS Anissa Tangerang, pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Denpasar lalu.

dr Ediansyah juga mengungkapkan bahwa ditengah kekhawatiran rumah sakit lain, RS Anissa Tangerang berpikir positif dengan pelayanan JKN. Oleh karenanya, jauh hari sebelumnya, RS melakukan persiapan yang semestinya. Justru dengan JKN, jumlah pasien mengalami peningkatan.

Hal yang sama diakui dr Sigit Gunarto, Direktur RS Al Islam Bandung. “Pelayanan JKN kami alhamdulillah lancar. Kami sejak 6 bulan sebelum dimulainya JKN sudah melakukan persiapan karena memang di awal muncul isu kekhawatiran. Kami melihat ini justru peluang”, kata dr Sigit pada konferensi pers yang diadakan di Media Center BPJS Kesehatan.

Pelayanan JKN tidak menyebabkan rumah sakit rugi juga dialami RSI Jemursari Surabaya. “Dengan pengelolaan yang benar, rumah sakit kami bisa memperoleh surplus lewat pembiayaan bertarif INA-CBGs, sehingga pasien merasa puas karena terlayani dengan baik, rumah sakit pun mendapatkan keuntungan,” kata Notrisia Rahmayanti, Manager Informasi dan Kerjasama RSI Jemursari Surabaya.

Beberapa pihak mengklaim bahwa tarif paket JKN tidak sesuai dengan tarif rumah sakit swasta. Namun informasi dari tiga rumah sakit swasta tersebut seakan membantah isu itu.

RS Annisa Tangerang, RS swasta kelas C yang berlokasi di Tangerang semakin banyak menerima kunjungan pasien sejak berlakunya JKN. Dari yang biasanya rata-rata 80 pasien per hari, kini meningkat menjadi 120 pasien per hari. Ini berarti kualitas rumah sakit mendapatkan respons positif dari pasien.

Dari data yang dipaparkan, bahwa implementasi dari Januari sampai Februari 2014 dari total 2.978 pasien rawat jalan, total billing rumah sakit Rp 410 juta dan setelah ditagihkan dengan tarif INA-CBG's justru jumlahnya Rp 505 juta. Ada pendapatan tambahan Rp 95,9 juta atau sekitar 19 persen.

Sementara untuk rawat inap, dari total 569 pasien dan billing rumah sakit Rp 1,4 miliar, jumlah yang dibayarkan sesuai tarif INA-CBG's adalah sebesar Rp 2,1 miliar. Ini berarti ada tambahan pendapatan Rp 670 juta atau sekitar 32 persen.

Seakan mempertegas fakta diatas, pada acara Rakerkesnas lalu dr Bambang Wibowo, Ketua Ketua National Casemix Center (NCC), mengungkapkan bahwa dari data klaim pelayanan JKN yang masuk hingga awal Maret, Rumah Sakit mengalami surplus sebesar 97% RS kelas D, 96% RS kelas C dan kelas B dan 100% untuk RS kelas A.

Dr Bambang mengungkapkan beberapa tips agar RS mengalami neraca positif dalam melaksanakan pelayanan pasien JKN.

  1. Kurangi inefisiensi pelayanan rumah sakit. Pilih obat-obat yang cost effective, tanpa menurunkan mutu pelayanan. Begitu juga dengan alat medik habis pakai, efisiensi dalam melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan lama perawatan. Biasanya obat itu mencapai 30-35 persen dari biaya rumah sakit. Padahal di negara lain itu tidak lebih dari 20 persen.

  2. Memperbaiki mutu, standar, dan pelayanan rekam medik. Diakui saat ini memang belum ada indikator mutu yang lebih jelas. Tapi rumah sakit dapat menyusun clinical pathway sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan profesi masing-masing.

  3. Memperbaiki dan mempercepat penyelesaian klaim ke BPJS. Menurut UU, proses verifikasi dan pembayaran klaim maksimal dilakukan BPJS dalam waktu 15 hari. Jika lebih dari jangka waktu tersebut, BPJS dikenakan denda sebesar 1 persen dari total tagihan klaim. Semakin cepat memberikan klaim, maka proses pembayaran akan semakin cepat selesai.

  4. Tingkatkan pemahaman konsep INA-CBG's di rumah sakit. Hal ini termasuk mulai dari level manajemen hingga level dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Dokter disarankan secara profesional membuat panduan praktik klinik yang disetujui oleh level rumah sakit berdasarkan tarif INA-CBG's. Jika rumah sakit bisa melakukan ini dengan baik, maka mutu tidak akan turun dengan biaya yang lebih efisien.


Akhirnya terbukti bahwa isu rumah sakit bakal rugi akibat program JKN itu tidak benar. Lagi pula terasa janggal, program baru diluncurkan namun RS sudah heboh khawatir rugi. Semoga dengan JKN, pasien tenang dan rumah sakit pun senang.

Minggu, 16 Maret 2014

, , , , , , , ,

Ada apa dengan #Blogger2Hospital ?

Pernahkah anda melihat garis warna merah, hijau, kuning dan hitam pada lantai ruang IGD sebuah rumah sakit? Tahukah anda itu tanda apa? Sekedar terlihat keren, ataukah ada maksudnya? Tahukah anda mengapa ruang rawat inap pasien dibedakan laki-laki perempuan, dewasa anak, infeksius dan non infeksius?


Tahukah anda ruang bedah tidak boleh bersudut tajam melainkan melengkung? Tahukah anda mengapa harus berkali-kali diambil darahnya untuk setiap pemeriksaan laboratorium? Tahukah anda bahwa pintu radiologi harus berlapis pelat baja? Tahukah anda bahwa rumah sakit merupakan organisasi paling kompleks dengan sekurangnya ada 26 profesi didalamnya?


Itu hanya sebagian kecil pertanyaan yang sebagian besar orang bekum tentu bisa menjawabnya. Jangankan orang awam, apalagi yang jarang ke rumah sakit, pekerja rumah sakit pun belum tentu mengetahuinya.


Dalam berbagai kesempatan saya melakukan klarifikasi terhadap sebuah kasus yang menyangkut hubungan pasien dan rumah sakit, banyak menemukan fakta menarik. Dimana saya menemukan pasien atau keluarganya awam sekali terhadap standar dan prosedur rumah sakit. Rumah sakit adalah dunia asing bagi sebagian besar pasien. Disisi lain, sebagian besar rumah sakit tidak mampu menjelaskan secara baik dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam. Bisa dimaklumi pada saat itu, boro-boro pasien/keluarga sempat belajar standar & prosedur rumah sakit, merasakan sakitnya pun sudah kepalang. Belum lagi was-was dengan biaya pengobatan yang bisa jadi menguras tabungan bertahun-tahun. Demikian juga Rumah Sakit sudah kewalahan melakukan pengobatan pasien sehingga melupakan fungsi dan peran edukasi pasien.


Padahal pasien/keluarga yang cerdas sangat membantu dokter/rumah sakit dalam pelayanan kesehatan. Pasien cerdas mempercepat proses anamnesa, diagnosa, pemeriksaan penujang dan terapi. Singkatnya, pasien cerdas membantu percepatan penyembuhan dan pemulihan. Alangkah indahnya, jika pasien dan dokter terjalin komunikasi yang baik oleh karena pasien yang mengerti dunia rumah sakit.


Berawal dari persoalan itulah, saya berfikir bahwa mengapa pada saat sehat kita (calon pasien) mencoba mengerti dunia perumahsakitan. Kita mempelajari secara umum bagaimana sih rumah sakit dijalankan. Kita berusaha tahu prinsip dan standar dasar pelayanan rumah sakit. Bukan bermaksud putar haluan berkarir di rumah sakit, melainkan memahami dan mempelajari dunia rumah sakit. Tujuannya sederhana, agar jika jadi pasien atau mendampingi keluarga tidak awam sama sekali. Syukur jika terhindar dari kebingungan dan kegelisahan diaebabkan ketidaktahuan terhadap prosedur dan standar rumah sakif.


Untuk mewujudkan keinginan itu, saya ingin mengajak kawan-kawan blogger melakukan kunjungan ke rumah sakit. Ya, istilah kerennya hospital tour dengan nama #blogger2hospital. Diharapkan dengan kemampuan dan passionnya, blogger bisa menceritakan pengalaman dan insight selama #blogger2hospital melalui postingan, twit atau pesan statusnya. Tapi maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, #blogger2hospital ini bukan event endorsing dan buzzing. Saya hanya mencoba membangkitkan sisi passionate dan keingintahuan para blogger tentang dunia perumahsakitan. Saya hanya ingin katakan bahwa rumah sakit itu komplek sekaligus unik lho. Dan anda, blogger, harus tahu dan menceritakan kepada para pembacamu.


Pasti anda bertanya, apa saja yang dilakukan pada acara #blogger2hospital ? Ya, seperti layaknya sebuah tour. Kita akan dipandu dan dijelaskan bagaimana rumah sakit dijalankan. Standar, prosedur, ketenagaannya, jenis layanan, ruangan, peralatan dan lain-lain. Tenang saja, semuanya dengan bahasa manusia awam, bukan bahasa medis. Toh, kalau tak mengerti boleh bertanya. Peserta juga #blogger2hospital akan dikenalkan dengan manajer, dokter, perawat, satpam dan office boy-nya. Dan rencananya, kita berkunjung kepada pasien yang kebetulan dirawat guna menunjukkan simpati dan empati atas sakitnya.


Saya akui, tidak mudah mencari rumah sakit yang mau menerima kunjungan #blogger2hospital ini. Sekali lagi, rumah sakit itu dunia lain yang relatif tertutup. Interaksi dan komunikasi yang terjalin dengan orang luar tidak seterbuka dibanding institusi lain. Tapi syukurlah, RS Premier Bintaro bersedia menjadi rumah sakit pertama yang mau terima rombongan #blogger2hospital. Rumah sakit berstandar internasional ini membolehkan 15 blogger belajar tentang dunia rumah sakit pada tanggal 29 Maret 2014.


Semoga saja acara #blogger2hospital yang pertama ini berjalan lancar. Siapa mau ikut?

Selasa, 11 Maret 2014

, , , , , ,

Karena BPJS (JKN) Rumah Sakit Rugi? Tapi RS Ini Untung Lho!

"(Ikut JKN) secara menyeluruh kini ada 9 Rumah Sakit pemerintah yang surplus dan positif balance", kata Menkes (Liputan6.com)


Meminjam istilah anak muda sekarang, pernyataan Ibu Nafsiah Mboi itu tidak mainstream, tidak lazim. Ditengah pemberitaan pers yang menyuarakan ruginya Rumah Sakit akibat ikut BPJS (JKN). Biang kerok kerugian RS akibat rendahnya tarif INA CBGs. Istilah kerennya, INA CBGs tidak sesuai dengan tarif keekonomian.

Saya mau cerita sedikit tentang JKN, INA CBGs dan kisah surplus ini. Eh, istilah "surplus" sengaja dipakai untuk memperhalus kalimat. Konon tak elok dan tidak etis jika Rumah Sakit dibilang "untung". Tapi kalau RS rugi kok tidak lazim disebut "minus" saja ya? Kisah surplus rumah sakit setelah bekerjasama dengan BPJS sudah pernah saya dengar sebelum Ibu Menkes membuat pernyataan di media. Saya beruntung mendengar langsung cerita surplus Rumah Sakit yang melayani pasien JKN dari Direkturnya. Hari itu Sabtu (25 Januari 2014), saya hadir sebagai pembicara satu-satunya pada seminar "online marketing to maximize branding hospital and achieve target" yang diinisiasi Persi Banten. Sebelum acara dimulai, saya ngobrol satu meja tentang JKN dan INA CBGs dengan dr. Mulyadi (RS Premier Bintaro, Ketua Persi Banten) dan dr. ediansyah (Direktur RS Annisa Tangerang). Sampai saat ini saya masih ingat betul pernyataan menarik yang disampaikan dr Edi.
"Dengan paradigma positif menghadapi JKN, RS kami tidak rugi melayani pasien JKN, malah surplus. Untung!"


Ini pernyataan tidak mainstream, nggak lazim. Karena di seberang meja, lamat-lamat saya mendengar keluhan rugi dari rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS. Karena penasaran, saya tentu bertanya bagaimana RS Annisa Tangerang bisa surplus dengan tarif INA CBGs saat ini. Ahli INA CBGs Persi Banten ini (begitu dr Mulyadi menjuluki dr Edi) ternyata tidak pelit berbagi pengalaman. Ketika BPJS akan diterapkan dimana banyak Rumah Sakit lain hanya menunggu ditengah kebingungan, RS Annisa berpikir positif bahwa program JKN baik untuk pasien, baik juga untuk rumah sakit. RS Annisa berisiatif mempelajari aplikasi INA CBGs yang nantinya bakal jadi sistem kendali mutu kendali biaya JKN. Bahkan tidak tanggung-tanggung, selain dari National Casemix Center Kementerian Kesehatan, RS Annisa belajar langsung dari sumber aselinya pakar dari Malaysia.

Setelah merasa tuntas belajar, dr Edi melakukan simulasi pelaksanaan tarif JKN. Simulasi dilakukan pada sebanyak 1208 pasien Jamsostek pada periode Januari - Mei 2013 terhadap diagnosa yang memiliki kode INA CBGs. Dengan sistem pareto, simulasi dilakukan dengan cara membandingkan antara actual cost RS dengan tarif INA CBGs. Dari pembandingan kedua tarif tersebut didapatkan daftar diagnosa yang dikategorikan minus besar, minus kecil, BEP, dan surplus.

Ternyata dari simulasi secara cermat didapatkan fakta bahwa jika pasien BPJS (JKN) dilayani dengan pola Jamsostek, maka RS Annisa secara keseluruhan memperoleh peningkatan pendapatan 10,55 persen.




Bagaimana taktik RS Annisa agar melayani pasien JKN dan bisa surplus? Diagnosa penyakit yang bertarif INA CBGs dibawah unit cost diefisienkan (baca: dibuat) BEP. Yaitu dengan cara dr Edi dkk melakukan strategi efisiensi, memperbaiki coding agar ina cbgs optimal, menyusun clinical pathway, negosiasi jasa medis, dan selektif untuk severity level III.


Dan hasilnya setelah dilakukan efisienkan pelayanan bedah dengan mencapai break event point (BEP) seperti pada sectio cedaria, hemorroidectomi, herniatomi, dll maka RS Annisa mampu dapatkan selisih antara tarif INA CBGs dan jamsostek meningkat menjadi 49,97 persen. Malah ketika mampu efisienkan pelayanan intensif (ICU) dan lebih selektif dalam rawat inap, RS bisa meningkat selisih pendapatan hingga 55,34 persen.




Begitulah, dr Edi dkk di RS Annisa boleh bernafas lega karena paradigma positif terhadap JKN berbuah manis. RS Annisa Tangerang dengan percaya diri memasang spanduk diberbagai tempat,"siap terima pasien JKN". RS Annisa adalah Rumah Sakit kelas C milik swasta, tanpa subsidi dan tarifnya pun jauh lebih kecil dibandingkan RS kelas B apalagi kelas A. Tetapi dalam pelaksanaannya, RS Annisa mampu membuktikan bahwa bekerjasama dengan BPJS dan melayani pasien JKN tidak rugi atau bangkrut. Sebaliknya, sekali lagi seperti istilah dr Ediansyah, paradigma positif terhadap JKN menjadikan RS Annisa mendapatkan untung, eh surplus!

Sstt.. Saya dapat bisik-bisik tetangga yang menggembirakan, konon rata-rata klaim tagihan RS Daerah (Kelas C dan B) se-Jawa Tengah kepada BPJS pada bulan Januari dalam posisi surplus. Ahh, lagi-lagi nggak mainstream nih. Alhamdulillah....

Minggu, 09 Maret 2014

, , , , , , ,

Televisi VS Media Sosial, Lebih powerfull mana?

"Lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Salah satu "guru" dalam pemahaman saya tentang medicolegal adalah Prof. Herkutanto. Saya mengenalnya sejak awal penyusunan Undang-Undang Rumah Sakit. Hari ini Prof Herku berkenan ikut menyimak presentasi saya dalam seminar PERSI dan IRSJAM "Public Relations Rumah Sakit di Era Media Sosial" di RSIA Evasari hari ini. Pakar hukum kesehatan yang duduk paling depan ini adalah penanya pertama materi saya dan mas Silih Agung Wisesa,"Media PR? Media Sosial dong!". Pertanyaan cukup menyentak,"Dalam keadaan krisis, lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Menarik pertanyaannya, saya tidak langsung menjawab. Saya mulai menjawab dengan menceritakan peristiwa yang pernah saya tulis di blog ini; karena ruang ICU digunakan syuting, pasien meninggal dunia. Anda masih ingat dengan berita heboh itu? Saya menceritakan secara kronologis kejadian, bagaimana menyebar dari berita online dari portal bukan mainstream. Kemudian menyebar bia twitter. Dan hanya dalam hitungan jam menjadi berita utama di televisi. Setelah itu, nyaris tak ada media massa pun yang tidak menyiarkan berita itu selama sekitar 3 hari.

Setelah testimoni ayah pasien yang mengucapkan terima kasih atas pelayanan RS, berita pun mereda. Ditambah lagi pada akhir pekan, media massa mencium isu lain bahwa AU (Ketum PD) menjadi tersangka. Isu yang menggemparkan dunia politik dan hukum Indonesia ini menggilas isu syuting di ruang ICU RS di media massa. Namun dalam pantauan saya, sisa-sisa berita meninggalnya pasien akibat adanya syuting masih bertebaran di media sosial termasuk portal berita.

Apa yang dapat dipetik dari kisah ini dari sisi public relations? Bahwa media sosial berada pada tahap awal, tengah dan akhir fase krisis komunikasi rumah sakit. Secara viral, media sosial (blog, twitter, facebook, BBM, dll) menularkan virus isu dan persepsi. Virus isu dan persepsi ini bisa berasal dari percakapan, update status atau berita media daring (online). Isu dan persepsi ini mencapai klimaks dengan sebaran masif saat disiarkan media massa, khususnya televisi. Disaat inilah, isu dan persepsi ini menjadi opini publik yang menggiring perasaan bersama (commom sense), dalam hal ini rumah sakit dianggap sebagai biang kerok, pihak yang salah.

Saya mengibaratkan, bahwa isu dan persepsi melalui media sosial seperti ribuan peluru pistol dan granat. Kerusakan yang ditimbulkan perlahan namun pasti dan berlangsung lama. Sementara televisi ibarat bom atom yang berdampak pada tingkat kerusakan parah dan seketika. Pertanyaannya, anda memilih yang mana; di bom atom dengan daya rusak besar dan seketika ataukah dipistol dengan rasa sakit pelan-pelan, sedikit-sedikit tapi berlangsung lama? Prof Herku dan hampir semua peserta seminar sekitar 70 orang itu tidak memilih keduanya. Artinya, televisi dan media sosial berpotensi benar munculnya krisis komunikasi rumah sakit. Keduanya harus diwaspadai. Malah sebaliknya, media sosial dan media massa harus dimanfaatkan untuk kepentingan rumah sakit dalam hal membangung brand, citra dan reputasi.

Pada bagian akhir menjawab pertanyaan powerfull mana televisi dengan media sosial, saya mengutip hasil survei sebuah lembaga public relations. Disebutkan bahwa 91% wartawan bergantung pada Internet dalam mencari berita. Dan 7 dari 10 wartawan mendapatkan ide membuat berita dari internet. Wow! Jika demikian, kenapa kita, para public relations rumah sakit, tidak mencegat isu yang berpotensi krisis itu ketika masih menjadi perbincangan di media sosial? Atau cara yang lebih cerdas, rumah sakit-lah yang secara aktif menciptakan konten positif di media sosial dan media oline. Public Relations membangun conversation and engagement tanpa jarak dengan customer ( pasien dan potensial pasien) melalui media sosial?

Sudah bukan waktunya lagi untuk menimbang penting tidaknya, sekarang ini media sosial sudah menjadi kebutuhan komunikasi dan informasi rumah sakit. Bukankah setiap public relation harus berada ditempat yang sama dimana customernya berada? Bukankah rumah sakit perlu mendengar keinginan dan kebutuhan pasien? Itu semua bisa diperoleh jika rumah sakit berasa pada frekuensi dan tempat yang sama dengan pasien. Dan rumah sakit membutuhkan media sosial.

Selamat datang di era digital PR & marketing, saudara!

Kamis, 27 Februari 2014

, , , ,

Ketika Anak Memaksa Ayahnya Mendongeng

Halo, apa kabar? Sekitar 2 bulan tidak ngeblog. Saya minta maaf kepada Anda yang mungkin sengaja mampir ke blog Anjarisme ini, namun tak ada tulisan terkini. Tidak ada keharusan sih membarui tulisan pada periode tertentu. Tapi itu tak menghalangi perasaan sesal disebabkan sebagai tuan rumah tak mampu memuliakan tamunya.

Sejak lama saya terbiasa ngeblog pada malam hari menjelang tidur. Rupanya belakangan ini, waktu menjelang tidur terisi oleh hal-hal lain. Atau fikiran dan fisik sudah mencapai titik jenuhnya, sehingga semangat posting blog menjadi hilang. Oh ya, sekarang ada aktivitas baru yang hampir selalu dan tidak boleh ditinggalkan; bercerita. Ya, saya harus membaca cerita atau dongeng kepada ke-4 putri saya.

Dongeng sebelum tidur sebenarnya sudah sering saya lakukan sejak putri pertama. Bercerita dilakukan sesuai dengan mood saya. Lumayan sering sih. Yang berbeda saat ini, ke-4 putri saya menuntut harus dibacakan cerita/dongeng. Mereka (pura-pura) mengancam tidak mau tidur jika ayahnya tidak mendongeng. Nah, siapa coba yang tega menolak permintaan anak tersayangnya?

Biasanya jenis dongeng yang saya ceritakan atau baca adalah dongeng fabel. Ya, bisa dibilang dongeng konvensional. Kadang juga, mereka meminta cerita masa kecil saya, pengalaman perjalanan daerah, dan lain-lain. Setelah mendongeng dengan 2 atau 3 cerita biasanya putri-putri saya tertidur. Kadang-kadang saya juga ikut ketiduran ;))

Begitulah sekelumit cerita untuk mengisi blog saya ini. Semoga blog ini tetap langgeng berbagi ide, pemahaman dan pengalaman terutama urusan public relations, marketing dan branding rumah sakit. Terima kasih.

Minggu, 26 Januari 2014

, , , , , , , ,

Bagaimana Media Sosial Merubah Paradigma Public Relation dan Marketing Rumah Sakit?

Teknologi dan media digital tumbuh dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Gaya hidup dan pola komunikasi kita telah berubah sepenuhnya. Dulu kalau lapar, kita langsung mencari makanan dan makan. Tapi sekarang, ketika lapar yang dicari pertama kali bukan makanan, melainkan media sosial. Nge-tweet dulu, baru pergi makan siang. Tidak berhenti di situ, ketika makanannya datang yang dilakukan pertama kali bukan mengambil sendok dan garpu lalu makan. Tapi mengambil smartphone. Memotretnya kemudian menyebarkannya ke media sosial. Baru setelah itu memakannya.

Saat ini ada sekitat 80 juta pengguna internet di Indonesia. Diprediksi dalam 2 tahun kedepan pengguna internet bisa mencapai 100 juta. Sekitar 90 persen diantaranya memiliki akun media sosial. Kehadiran media sosial sejak pertama disambut hangat oleh penggunanya di Indonesia. Ingat dulu ketika Friendster menjadi booming, kemudian disambut Facebook yang pada akhirnya menggeser Friendster, dan akhirnya kini ada begitu banyak media sosial dengan fans-nya sendiri-sendiri. Menurut data terakhir, Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia maya. Indonesia adalah negara terbesar keempat pengguna Facebook, dan negara terbesar kelima pengguna Twitter. Diantara sekitar 65 juta Facebook dan 29 juta untuk Twitter pengguna aktif di Indonesia pada tahun 2013, mereka adalah pasien, customer dan stakeholder rumah sakit. Gegap gempita media sosial tidak saja mengundang masyarakat sebagai pengguna, tetapi juga pelaku public relations dan marketing rumah sakit. Karena pada akhirnya rumah sakit memang harus berada di tempat para customer berada. Rumah sakit, dalam hal ini public relation dan marketing harus berada pada dunia dan tempat yang sama dengan cutomer (pasien). Dan media sosial adalah salah satu tempat utama di mana customer berkumpul. Dengan populasi besar seperti disebutkan diatas, media sosial tidak saja menjadi platform komunikasi yang potensial, tapi sekaligus juga menjadi pasar (calon pasien rumah sakit) yang juga menggiurkan. Tak mengherankan jika beberapa rumah sakit sudah memiliki akun media sosial seperti facebook dan twitter. Namun bagaimana rumah sakit memanfaatkan media sosial dalam menciptakan kampanye public relation dan marketingnya?

Seperti telah disebutkan, media sosial telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat saat ini. Dengan sendirinya media ini juga menjadi bagian penting dalam komunikasi kehumasan (public relation) dan pemasaran (marketing). Media sosial telah menjadi salah satu alat kampanye humas dan pemasaran yang penting. Masalahnya, media sosial tidak seperti media konvensional yang telah diakrabi praktisi humas dan pemasaran rumah sakit selama bertahun-tahun. Dibutuhkan perubahan radikal dalam berkomunikasi menggunakan media yang satu ini. Media sosial sejak awal peruntukkannya bukan sebagai media kampanye. Ini adalah media komunikasi dua arah. Kampanye public relation dan marketing rumah sakit melalui media sosial tidak bisa dipandang sebagai subtitusi dari media konvensional. Hal ini karena sifat medianya memang sangat berbeda.

Kesuksesan di media sosial bukan tergantung bagaimana kehebatan kita menjual. Namun ini menyangkut tentang sebaik apa kita membangun percakapan di dalamnya. Ini bukan soal seberapa banyak kita bicara, tapi sebanyak apa brand rumah sakit kita dibicarakan di media sosial. Ketika kita bicara media sosial, maka kata yang penting diperhatikan adalah “sosial” bukan “media”. Media sosial lebih mirip seperti kedai kopi tempat kita nongkrong dan bercakap-cakap. Sebuah analogi yang dapat dikatakan tidak salah. Hal ini mengingatkan kita, pelaku public relations dan marketing bahwa esensi media sosial adalah untuk bercakap-cakap. Bukan semata-mata corong untuk jualan. Media ini adalah tempat kita bercakap-cakap, bukan cuma bicara. Jadi ketika praktisi humas dan pemasaran rumah sakit memutuskan masuk ke media sosial maka aspek bercakap-cakap dengan konsumen haruslah menjadi perhatian utama. Dengan kemampuan kita membangun percakapan di media sosial, secara tak langsung kita sedang membangun branding, citra dan reputasi rumah sakit kita.

Kita tentu tahu bagaimana warga media sosial memiliki kekuatan besar untuk menumbangkan sebuah rezim sekalipun. Hal inipun bisa terjadi pada sebuah brand, citra dan reputasi rumah sakit. Percakapan di media sosial dapat mengangkat atau sebaliknya menghempaskannya hingga hancur sebuah brand, citra dan reputasi rumah sakit. Itu sebabnya sangat penting agar rumah sakit kita dibicarakan di media sosial, meski tentu kita harus melihat lagi bagaimana kita dibicarakan di sana. Percakapan positifkah atau justru negatif. Siapapun tentu ingin mendapatkan sentimen positif di media sosial, bukan? Tapi tentu tidak mudah melakukannya, meski tidak bisa dibilang sulit juga. Kampanye public relations dan marketing menggunakan media sosial bisa dikatakan sukses jika mampu menciptakan komunikasi aktif dengan para pengguna di media sosial tersebut. Ketika masuk ke media sosial, kita harus mampu meruntuhkan segala jarak yang ada antara rumah sakit dengan customer. Rumah sakit harus melibatkan diri dengan target market-nya dengan cara yang natural dan manusiawi. Memang benar pengguna media sosial yang besar itu adalah target program public relation dan marketing. Namun, percayalah pengguna media sosial tidak akan senang bila public relation dan marketer hanya membujuk mereka menjadi pasien rumah sakit.

Sekali lagi, kita harus tampil jujur, alami dan manusiawi di media sosial. Kita harus akui, tak jarang rumah sakit melalui public relations tampil sebagai sebuah otoritas yang dingin dan berjarak dengan customernya. Percayalah, itu bukan cara terbaik hadir di media sosial. Praktisi public relation dan marketing rumah sakit harus memiliki kemauan dan kemampuan mendengarkan. Kita tidak bisa hanya bicara tanpa mau mendengarkan. Di media sosial, justru kita harus lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ketika lebih banyak mendengar, public relation dan marketeer jadi tahu konten seperti apa yang dibutuhkan dan diinginkan audiens. Konten yang relevan, menarik dan berguna akan diterima dengan mudah audience dan kemungkinan di-share kembali kepada jaringannya akan lebih besar. Dari sanalah akhirnya terbentuk sebuah percakapan.

Selain mendengarkan, kemauan kita membantu dan menanggapi dengan cepat para customer di media sosial juga akan sangat berpengaruh pada nada percakapan tentang rumah sakit kita di sana. Media sosial memungkinkan kita berinteraksi dan merespon tanggapan audiens dengan cepat, maka lakukanlah hal itu. Penghuni media sosial bukanlah orang-orang yang sabar. Mereka tidak akan sabar menunggu kita berkoordinasi berjam-jam apalagi berhari-hari hanya untuk menanggapi sebuah keluhan. Itu sebabnya, ketika masuk ke media sosial, kita juga harus siap dengan tim yang mampu merespon dengan cepat tanggapan para audiens, baik itu berupa keluhan, saran, maupun pujian. Kecepatan kita merespon akan menentukan sentimen positif atau negatif terhadap rumah sakit yang pada ujungnya berpengaruh kepada brand, citra dan reputasi rumah sakit.

Kesimpulannya, media sosial bukanlah media penjualan atau promosi berlebihan. Media sosial adalah media komunikasi dua arah tanpa jarak antara rumah sakit dan customernya. Memang media sosial tidak selalu berpengaruh meningkatnya jumlah pasien rumah sakit. Namun media sosial dapat membangun hubungan dan kepercayaan yang merupakan investasi jangka panjang bagi rumah sakit. Jadi, sudahkah media sosial merubah paradigma public relations dan marketing rumah sakit anda?

Sabtu, 11 Januari 2014

, , , ,

Yang Benar, Kartu BPJS atau Kartu JKN?

Apakah anda pernah memegang atau melihat kartu BPJS/JKN? Kartu yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan itu sebagai tanda atau bukti bahwa si pemiliknya adalah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kartu tersebut dominan warna putih sekaligus sebagai warna dasar kartu dengan warna tulisan hitam. Di selingi blok warna hijau dan biru dengan logo BPJS Kesehatan, JKN dan bendera merah putih. Untuk lebih jelasnya, kita bisa dengan mudah meng-googling-nya.

Mari dengan seksama kita perhatikan desain kartu yang bertuliskan "Kartu Identitas Peserta" ini. Barangkali tidak salah, namun sepertinya tidak tepat. Pada bagian kiri atas terdapat logo BPJS Kesehatan dengan ukuran besar dan warna biru hijaunyang mencolok. Sementara itu di tengah atas terdapat logo JKN dengan ukuran lebih kecil dengan hanya satu warna yaitu hitam. Padahal warna asli logo JKN adalah hijau dan biru. Dengan ukuranya 4x lebih pendek dibandingkan dengan panjang logo BPJS Kesehatan, dibawah logo terdapat tulisan "Jaminan Kesehatan Nasional" yang nyaris tak terbaca. Sedangkan paling kanan atas, terdapat gambar bendera merah putih yang ukurannya tak berbeda jauh dari logo JKN.

Dengan desain dan layout kedua logo; BPJS dan JKN yang sedemikian itu, sangat wajar jika banyak rakyat dan publik menyebutnya sebagai Kartu BPJS. Mengapa tidak disebut Kartu JKN? Mari kita ulas sedikit.

Dilihat dari cara pandang sistem, maka jaminan sosial yang diberlakukan di Indonesia menurut perintah Undang-Undang adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang didalamnya terdapat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai sebuah sistem, JKN terdiri dari subsistem-subsistem seperti peserta, fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Puskesmas, pembiayaan, provider penyelenggara/pelaksana (BPJS Kesehatan), regulasi dan lainnya. Secara sederhana, kartu yang dipegang peserta calon pasien ini merupakan perwujudan dan manifestasi dari sistem JKN.

Dilihat dari sudut pandang branding dan awarness, hal ini tidak menguntungkan JKN sebagai suatu sistem dan program. Secara konsep, desain layout kartu ini menyampaikan pesan bahwa JKN sebagai sebuah produk barang atau jasa dari BPJS Kesehatan. Dengan kata lain, makna JKN sebagai sistem besar dimana BPJS Kesehatan sebagai subsistemnya, malah terkesal kerdil akibat desain kartu yang tidak tepat.

Kartu Identitas Peserta ini nantinya setiap saat dipegang seluruh rakyat Indonesia. Secara sadar atau dibawah alam sadarnya, kartu ini akan menuntun dan membangun pola pikir dan persepsi masyarakat bahwa sistem jaminan kesehatan Indonesia adalah BPJS Kesehatan, bukan JKN. Secara linier, brand BPJS lebih kuat daripada JKN. Percaya atau tidak, jika ini dibiarkan akan berdampak secara luas pada program dan sistem SJSN.

Desain dan layout Kartu Identitas ini seakan memperkukuh kesan ego sektoral yang begitu kuat menghinggapi kelembagaan pemerintahan Indonesia. Adalah benar bahwa JKN itu identik Kemenkes. Meskipun sebenarnya JKN itu gawean nasional yang digawangi Kemenko Kesra. Tidak salah bahwa kartu ini diterbitkan BPJS Kesehatan. Tetapi tidak serta merta bisa disebut Kartu BPJS. Namun demikian, ketika disebut Kartu JKN akan menguntungkan Kemenkes dan merugikan BPJS Kesehatan sebagai pencetak. Kartu ini bukan sekedar kertas dilaminating tanpa makna. Pada kartu identitas peserta ini terkandung pesan dan media sosialisasi yang ampuh tentang sistem jaminan kesehatan di Indonesia.

Sekali lagi yang harus digarisbawahi JKN ini bukan hanya milik Kemenkes, JKN itu program dan sistem jaminan kesehatan yang berlaku nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita semua, BPJS, Kemenkes, stake holder lain dan subsistem lain bernaung dalam sebuah sistem SJSN yang didalamnya ada JKN. Mari hilangkan ego kita. Mari kita lepaskan baju apa pun yang kita pakai; baju BPJS, Kemenkes, atau baju lainnya. Kemudian kita ganti baju, memakai baju baru yaitu JKN. Oleh sebab itu, sebaiknya kartu ini dinamai dan lebih tepat populer sebagai Kartu JKN.