Senin, 13 Juni 2016

Puasa dan Razia Warung

Sebenarnya saya ingin ikut komentar soal Bu Saeni yang warungnya dirazia satpol PP sejak kemarin. Tapi sejujurnya saya takut. Bukan takut dirazia Satpol PP juga.

Saya takut komentar justru karena khawatir menguatkan persepsi seolah-olah mereka yang melakukan razia dikarenakan bulan puasa atau orang beragama Islam. Pdahal satpol PP itu melakukan razia atas nama Perda. Ya karena Satpol PP bisa bertindak karena "barang mbelgedes" itu, bukan karena bulan puasa. Sepertinya Bulan Puasa hanya dijadikan legitimasi saja.

Saya takut menyampaikan kegeraman saya atas perilaku satpol PP akan semakin riuh sehingga kehilangan substansi dan pokok akar masalah. Satpol PP itu niatnya menegaskan Perda tetapi cara-caranya tidak bil hikmah wal mau'idhotil hasanah.

Saya merasa kasihan Bu Saeni yang diperlakukan tidak baik oleh Satpol PP. Saya juga kasihan Ibu Itu korban penggusuran, Bapak Ini yang sulit menafkahi keluarga, Saudara ono yang tak mampu dan orang-orang lemah yang diperlakukan tidak adil. Dan saya berlindung dari rasa kasihan, simpati dan empati disebabkan dorongan persepsi dan opini yang diagendakan media. Jika saya akhirnya menyumbang Bu Saeni, saya mestinya juga bersodakoh kepada bu itu, pak ini, sodara ono dan lain-lain.

Jujur saya khawatir dengan menulis ini, pahala puasa menjadi berkurang atau malah hilang. Tetapi tak bisa saya tahan lagi untuk menulis dan mengeluarkan uneg-uneg. Bahwa jika ada orang atau kelompok yang berstempel Islam melakukan tindakan kekerasan atau pemaksaaan kehendak, jangan disimpulkan bahwa itu ajaran Islam. Jangan sampai suatu peristiwa ketidakadilan terjadi pada bulan puasa, menjadikan kita mengkambinghitamkan bulan puasa.

Bulan puasa tidak minta dihormati. Orang puasa juga tidak harus dihormati. Orang puasa yang terganggu dengan deretan jualan makanan, jangan-jangan batinnya memang tidak puasa. Orang jualan makanan yang sengaja memamerkan dan mengumbar daganganya pada lingkungan orang berpuasa juga tidak tepo saliro.

Ibu saya dulu sering bilang,"yen niat poso, weruh panganan lengo mili ora bakal batal. Nanging yen ora poso mangane yo neng mburi". Jika seseorang niat berpuasa, berbagai makanan lezat dihadapannya tak akan membuat orang membatalkan puasa. Tetapi jika tidak berpuasa, jangan makan di hadapan orang berpuasa.

Sungguh, saya takut dengan kejadian ini semakin bertambah muslim enggan mengingatkan saudaranya,"Pak, ini bulan puasa lho!"

Jujur, saya takut dengan peristiwa ini maka akan semakin sulit mengajari puasa anak-anak saya karena suasana sekitarnya yang tidak beda hari bulan puasa atau hari biasa pada bulan-bulan lainnya.

Wallahu a'lam bishawab

Rabu, 11 Mei 2016

, ,

10 Alasan Hukuman Kebiri Tidak Efektif Bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Siapa pun orang dengan kemanusiaannya akan sedih, berduka, marah dan mengutuk atas kejahatan seksual yang menimpa Yuyun (14). Setiap orang setuju, pelaku pemerkosa dan pembunuh harus dikenakan hukuman berat yang berefek jera. Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pun diwacanakan. Efektifkah?

Berikut 8 alasan mengapa hukuman kebiri tidak efektif bagi pelaku kejahatan seksual:

1. Mana yang Sakit, Mana yang Diobati

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kejahatan seksual terjadi tidak semata-mata dipicu oleh dorongan seksual yang tidak terkendali akibat ketidakseimbangan hormonal. Kejahatan seksualjuga terjadi karena karena gangguan kepribadian antisosial/psikopat, penyalahgunaan zat, gangguan rasa percaya diri, gangguan pengendalian impuls dan gangguan psikis lain. Ini senada dengan pendapat dari Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi).

"Yang sakit itu kan jiwanya, kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya, makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu," kata Boyke Dian Nugraha.
Jadi seseorang melakukan kekerasan atau kejahatan seksual bukan semata dorongan seksual tetapi menderita sakit pemilihan, psikologis dan kejiwaannya. Hukuman kebiri kimia dimaksudkan menekan dorongan seksual pelaku kejahatan seksual. Lagi pula, seseorang dapat dinyatakan bersalah bukan karena hasrat seksual, melainkan perilaku seksualnya.

2. Melanggar Etika Medis

Menkes Nila Moeloek mengingatkan bahwa profesi kedokteran sesungguhnya lebih fokus pada tindakan mengobati dan memperbaiki, bukan malah merusak tubuh.

“Nah suntik kebiri kan bukan mengobati tetapi mengubah fungsi organ seksual,” jelasnya. Karena itu Kemenkes akan mengambil peran pada upaya preventif, promotif dan kuratif agar kasus kejahatan seksual anak tidak terulang kembali.

3. Efek Samping Kebiri


Kebiri berdampak panjang secara medis, psikologis, kejiwaan dan sosial bagi seseorang yang dikenakannya

"Tindakan mengganggu hormon seseorang dengan maksud mengurangi libido, apapun tindakan ini ada side effect-nya, ini yang harus kita pertimbangkan. Kita tidak bisa terlalu emosional, istilahnya barangkali demikian,” tutur Menkes Nila Moeloek.

Menkes juga menyatakan hukuman kebiri kimia masih dalam tahap uji klinis. Menkes menyebut kebiri yang direncanakan menjadi hukuman tambahan bagi para pelaku kejahatan seksual dapat menyebabkan kanker.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, Sp.KJ(K) menerangkan bahwa efek samping dari obat yang digunakan pada tindakan kebiri kimia akan mempengaruhi banyak sekali sistem tubuhnya.

“Di antaranya akan mempengaruhi fungsi hormon sekunder laki-lakinya akan jadi hilang. Dia akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos. Itu kan membunuh juga kan namanya,” terang dr. Eka Viora.

4. Tidak Sesuai Prinsip Pemidanaan

Undang-Undang Pemasyarakatan menyebutkan orientasi pemenjaraan adalah pada pemasyarakatan. Kalau kembali ke cita-cita itu, satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, tak ada hukuman lain. Pemidanaan bukan balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan. Pemasyarakatan tak boleh menjadikan narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari semula. Narapidana itu juga manusia.

Usulan penerapan hukuman kebiri justru melegalisasi perwujudan balas dendam terhadap pelaku kejahatan seksual. Ini tidak sesuai dengan prinsip pemidanaan atau pemasyarakatan.

5. Memperpanjang Rantai Dendam

Pemerhati anak, Seto Mulyadi mengkhawatirkan pelaku kejahatan seksual akan menjadi lebih berbahaya dan beringas bila masih memiliki rasa dendam karena alat vitalnya sudah dikebiri. Rasa dendam yang berlebihan ini ditakutkan dapat membuat pelaku bertindak lebih kejam dan berbahaya kepada korbannya

"Kalau dikebiri ini membuat dia jadi punya rasa dendam karena diputus kemampuan seksualnya. Kemudian dia bisa jadi melakukan tindakan pemerkosaan yang lebih sadis dengan cara-cara lain. Nah, ini justru akan bertambah parah karena ada rasa dendam di dalam dirinya dan sangat berbahaya bagi korban," ujar Kak Seto.

6. Melanggar HAM

Komnas HAM tidak setuju hukuman kebiri karena bertentangan hak azasi manusia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28g ayat 2, setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Ada pula aturan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu, tindakan tersebut bentrok dengan hak atas persetujuan tindakan medis serta hak perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang.


7. Tidak Relevan dengan Prinsip Islam

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam mengatakan hukuman kebiri tidak sejalan dengan aturan agama Islam. "Pengebirian itu tidak relevan dengan prinsip agama Islam," ujarnya.

Menurut Nur, agama Islam mengharuskan manusia menjaga keturunan. "Jadi, agama tidak membolehkan manusia memutus mata rantai keturunannya," kata Nur Syam

8. Biaya Kebiri Mahal

Spesialis urologi dr. Arry Rodjani, SpU mengungkapkan, pengebirian sebagai langkah untuk menurunkan gairah seksual seseorang membutuhkan biaya yang tak murah. Untuk sekali melakukan kebiri kimia membutuhkan biaya mulai dari Rp. 700 ribu hingga Rp 1 juta untuk sekali penggunaan.

"Satu kali pemberian biasanya untuk satu bulan saja atau tiga bulan. Kalau tidak diberikan akan kembali lagi. Biaya memang mahal. Menurut saya, untuk apa diberikan. Buang-buang ongkos saja," ujarnya.

9. Tidak Cukup Didukung Kementerian Teknis dan Lembaga

Hukuman kebiri belum atau tidak menyetujui diantaranya Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenag, Muhammadiyah, YLBHI, ICJR, ARI, dan beberapa tokoh pembela hak anak dan HAM.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai banyak dampak negatif terkait hukuman itu. "Kami sudah mendengarkan penjelasan dari ahli kejiwaan dan ahli andrologi. Kebiri bukan hukuman yang tepat," katanya.

Jadi Kementerian teknis yang terkait langsung pelaksanaan hukuman kebiri tidak mendukung seperti Kementerian Kesehatan, Kemenkum HAM dan Kementerian Agama. Sementara itu pihak yang setuju hukuman kebiri diantaranya Kemen PPPA, Kemensos, POLRI, Kejagung dan KPAI. 


10. Tidak Selesaikan Akar Masalah

Dibanyak kasus atau hampir semua kejahatan seksual berhubungan erat dengan pornografi, narkoba dan minuman keras. Bisa dikatakan, kejahatan seksual merupakan bagian hilir dari persoalan pokoke di bagian hulu seperti moral kepribadian seseorang dan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Jika demikian, tidaklah tepat jika hanya berkutat membicarakan wacana hukuman kebiri. Semestinya lebih berfokus pada pokok permasalahan, seperti pendidikan dan ketahanan keluarga. Dan pastinya harus serius menyelesaikan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Persiapan kejahatan seksual tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman pidana yang menimbulkan efek jera belaka, tetapi juga pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dengan memberikan pendidikan keluarga baik orang tua dan anak dalam hal moral, agama dan sosial. Pengobatan dilakukan kepada pelaku kejahatan seksual mengalami gangguan kepribadian, psikis dan kejiwaan.

Dan untuk memberikan efek jera, pemberatan sanksi hukuman penjara bagi pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan menambah maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, 30 tahun atau seumur hidup. Singkat kata, kejahatan seksual mesti ditanggulangi dengan edukasi, terapi dan sanksi.

---
Diolah dari berbagai sumber:
- antaranews.com
- okezone.com
- tempo.com
- detik.com
- kompas.com
- metronews.com
- republika.co.id
, ,

Menimbang Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Indonesia kembali berduka. Seorang gadis remaja Yuyun (14) diperkosa oleh 14 lelaki remaja di Bengkulu pada tanggal 4 April 2016. Tidak cukup diperkosa, Yuyun juga dibunuh kemudian mayatnya dibuang ke jurang sedalam lima meter. Hati siapa yang tidak menangis sekaligus bergidik mendengar kejahatan biadab dan kekejian yang melewati batas-batas kemanusian ini. Bayangkan jika kita adalah orang tua Yuyun. Andai kita orang tua dari ke-14 remaja lelaki itu pun pasti sangat menyesalkan perbuatan anak-anaknya ini.

Kejadian ini ibarat bunyi nyaring alarm kegawatdaruratan kekerasan seksual di Indonesia. Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), kecenderungan peningkatan kekerasan seksual di Indonesia sepanjang tahun 2010 sampai 2015. Tren menanjak yang ditemukan berdasarkan hasil riset tentang pelanggaran hak anak itu terjadi hampir merata di semua kota/kabupaten di Indonesia. Angkanya sangat fantastis, sebanyak 58 persen kejahatan seksual dari lebih 21 juta kasus pelanggaran hak anak.


Melihat kejadian yang menimpa Yuyun dan juga catatan angka diatas, kita sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman berat ini diharapkan menimbulkan efek jera dan mencegah kejadian serupa terulang lagi di kemudian hari. Dalam kasus Yuyun, konon para tersangka dapat dijerat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Selain itu juga dituntut dengan pasal 339 KUHP pemerkosaan yang menyebabkan matinya korban dengan ancaman serupa 20 tahun. Kabar terakhir, pengadilan telah memvonis hukuman penjara 10 tahun bagi 7 pelaku pemerkosa dan pembunuh Yuyun. Alasannya, mereka masih anak dibawah umur.

Begitulah, apa yang tercantum dalam norma Undang-Undang itu hukuman maksimal. Bisa saja hakim pengadilan memutuskan dibawah hukuman maksimal. Apalagi jika mempertimbangkan pelaku merupakan anak-anak yang dianggap belum umur untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini berarti harapan hukuman yang menjerakan dan mencegah tak terulang lagi bisa jauh panggang dari api. 

Didorong hukuman yang menjerakan, beberapa pihak memunculkan wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Bahkan beberapa Kementerian telah menyusun rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam rancangan itu, pemerintah memasukkan hukuman kebiri sebagai salah satu jenis pemidanaan. 

Beberapa pihak yang setuju hukuman kebiri diantaranya Kemen PPPA, Kemensos, POLRI, Kejagung, KPAI dan beberapa tokoh. Pihak yang belum atau tidak menyetujui diantaranya Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenag, Muhammadiyah, YLBHI, ICJR, ARI, dan beberapa tokoh pembela hak anak dan HAM. Kementerian Kesehatan mempertimbangkan tidak diberlakukannya hukuman kebiri karena sifatnya yang merusak organ dan berdampak panjang pada aspek medis dan sosial. 

Dilihat dari aspek legalitas, proses legalisasi draf Perpu yang didalamnya memasukkan hukuman kebiri saat ini ada di Kemenko PMK. Sementara itu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di DPR tidak masuk Prolegnas 2016. Artinya masih perlu waktu untuk diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan atau kejahatan seksual ini.

Sebelum jauh mari kita pikirkan soal hukuman kebiri. Kita tentu mendukung hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Tetapi apakah hukuman kebiri memberikan efek jera dan pencegahan efektif atas kejahatan seksual? Untuk diberlakukannya hukuman baru atas suatu tindakan kejakatan, tentu perlu dipertimbangkan sangat hati-hati dan pemikiran matang.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kejahatan seksual terjadi tidak semata-mata dipicu oleh dorongan seksual yang tidak terkendali akibat ketidakseimbangan hormonal. Kejahatan seksual dapat juga terjadi karena karena gangguan kepribadian antisosial/psikopat, gangguan penyalahgunaan zat, gangguan rasa percaya diri, gangguan pengendalian impuls dan gangguan psikis lain yang berpotensi memicu tindak kekerasan seksual. 

Sementara itu, masyarakat mengenal istilah “kebiri” sebagai pemotongan buah zakar. Istilah ini dalam dunia kedokteran memang benar. Istilah “kebiri kimia” diterjemahkan dari “chemical castration”. Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) menjelaskan bahwa kebiri kimia merupakan tindakan pemberian obat anti androgen (anti testosteron) dengan tujuan menekan dorongan seksual pelaku kejahatan seksual. Tujuannya tentu setelah keluar dari hukuman penjara, pelaku tidak punya keingian seksual lagi sehingga tidak mau melakukan kejahatan seksual lagi. Tetapi tentu diperlukan waktu agar terjadi efek penekanan terhadap dorongan seksual. 

Jadi tidak mungkin segera setelah menerima pengobatan, dorongan seksualnya langsung hilang dan tidak ingin mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi perlu diingat, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron. Ada faktor lain yang juga berpengaruh, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan secara umum, dan faktor psikis.

Bagaimana kalau pelaku ingin mempunyai dorongan seksual lagi, apakah mungkin? Mungkin sekali, jika si pelaku mendapatkan pengobatan dari dokter yang berkompeten untuk mengembalikan hormon testosteron sehingga dorongan seksualnya muncul kembali. Dan perlu diketahui, pemberian obat tertentu seseorang tetap dapat dan mampu melakukan hubungan seksual walaupun dorongan seksualnya menurun atau hilang. Begitulah penjelasan Persandi.

Mempertimbangkan faktor pendorong kejahatan seksual dan pengertian kebiri tersebut diatas, hukuman kebiri kimia dapat dikatakan belum efektif dalam mencegah atau mengatasi kejahatan seksual. Karena kebiri kimia hanya mengurangi dorongan seksual. Sedangkan kejahatan seksual seperti disebutkan diatas terjadi juga karena faktor gangguan kepribadian, penyalahgunaan zat, pengendalian impuls dan psikis. Dengan sederhana bisa dikatakan kejahatan seksual itu seseorang yang sakit jiwa atau perilakunya. Dengan demikian perlu upaya lain seperti pengobatan psikiatrik dengan mempertimbangkan faktor risiko yang berperan memicu kekerasan atau kejahatan seksual yang ditemukan pada pelaku. Seperti adagium, seseorang dapat dinyatakan bersalah bukan karena hasrat seksual, melainkan perilaku seksualnya.

Dibanyak kasus atau hampir semua kejahatan seksual berhubungan erat dengan pornografi, narkoba dan minuman keras. Seperti kasus Yuyun diatas, sekelompok remaja itu menenggak tuak dan menonton film porno sebelum melakukan pemerkosaan dan pembunuhan. Bisa dikatakan, kejahatan seksual merupakan bagian hilir dari persoalan hulu seperti moral kepribadian seseorang dan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras. 

Jika demikian, apakah tepat jika kita hanya berkutat membicarakan wacana hukuman kebiri? Mengapa kita juga berfokus pada pokok permasalahan, seperti pendidikan dan ketahanan keluarga? Dan pastinya harus serius menyelesaikan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras. Dan soal pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan menambah maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, 30 tahun atau seumur hidup. 

Persoalan kejahatan seksual tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman pidana yang menimbulkan efek jera belaka, tetapi juga pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dengan memberikan pendidikan keluarga baik orang tua dan anak dalam hal moral, agama dan sosial. Pengobatan dilakukan kepada pelaku kejahatan seksual mengalami gangguan kepribadian, psikis dan kejiwaan. Singkat kata, kejahatan seksual mesti ditanggulangi dengan edukasi, terapi dan sanksi (hukuman). Dengan demikian, kita berharap peristiwa Yuyun ini menjadi tragedi kejahatan seksual terakhir di Indonesia. 

Rabu, 27 April 2016

, ,

Meluruskan Persepsi Salah Atas Cuti Hamil dan Dokter Internship

Siapa yang tak berempati ketika melihat wanita hamil tua yang susah payah mengangkat badan atau berjalan? Melihat wanita hamil dengan segala susah payahnya akan mengingatkan kita pada Ibu yang melahirkan kita atau isteri yang melahirkan anak-anak buah hati kita. Teramat sangat manusiawi jika kita menaruh empati kepada wanita-wanita hamil.

Sebuah tulisan berisi empati terhadap dokter internsip yang sedang hamil tua (konon) ditulis oleh seorang dokter beredar luas. Rasa empati terhadap dokter internsip yang hamil 8 bulan itu bagus sekali. Karena (sekali lagi), setiap kita memang seharusnya berempati. Tetapi rasa empati jangan sampai menghalangi kita bersikap obyektif terhadap program internsip. Rasa empati juga tidak boleh membuat kita mencampuradukan sesuatu hal sehingga mengambil kesimpulan yang tidak tepat.

Dalam hal ini, tulisan tersebut menyimpulkan secara sederhana bahwa karena tidak ada cuti hamil bagi dokter internsip maka program internsip tidak manusiawi. Kesimpulan sederhana itu tidak tepat dan harus diluruskan agar tidak salah persepsi berkepanjangan.

Bagaimana semestinya memahami persoalan hubungan dokter internsip dan cuti hamil ini?

Internsip adalah proses pemantapan mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama pendidikan agar mencapai pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di lapangan. Jadi internsip harus dipandang sebagai proses "pendidikan dokter" setelah menyandang status dokter di wahana-wahana Fasyankes terpilih selama satu tahun. Pelaksanaannya Internsip selama 8 bulan di RS Kota/Kabupaten dan 4 bulan di Puskesmas Kecamatan/Kota. Jadi internsip bukan penempatan Tenaga Kesehatan.

Internsip itu proses pematangan dan kemandirian untuk memahirkan dokter yang baru lulus pendidikan kedokteran. Internsip merupakan sarana yang sangat mendukung kemampuan praktik dokter yang baru lulus. Internsip ini sebagai pelaksanaan dari UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Dokter. Saat ini, internsip masuk tahun ke 6 dan sdh diikutin oleh 26.674 dokter. Mereka berasal dari sebanyak 56 Fakultas Kedokteran dari yg ada saat ini yaitu 86 fakultas di seluruh Indonesia. Pelaksanaan Internsip di Indonesia dilakukan oleh KIDI Pusat dan KIDI Wilayah Propinsi.

Jika internsip difahami sebagai "proses pendidikan dokter", maka hak-hak yang dapat diperoleh pun harus dimaknai bukan sebagai "hak bekerja". Dengan demikian jika pada masa pemahiran dan pemantapan kompetensi ternyata dokter internship hamil boleh saja mengambil "cuti hamil". Tetapi karena masih "proses pendidikan dokter", maka sang dokter tersebut harus menggantikan proses internsipnya setelah selesai waktu cuti melahirkannya sampai dengan genap tuntas internsip satu tahun.

Ini adalah sesuatu pilihan yang wajar. Untuk mencapai tingkat kemahiran untuk berpraktik secara mandiri, Internsip telah ditentukan kompetensi yang harus diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Jika mengambil keputusan menuntaskan kompetensi pada masanya, dokter internsip dapat menunda masa kehamilannya atau tidak melakukan cuti hamil. Namun sebaliknya jika memilih cuti hamil, dokter internsip dapat mengganti masa dan proses internsipnya setelah waktu cuti hamilnya selesai.

Ketua KIDI Pusat dr Nur Abadi menjelaskan lebih rinci bahwa program internsip sudah didesain sedemikian rupa sehingga ada target yang dicapai selama 1 tahun. Secara efektif 71% jam kerja hanya 40 jam seminggu dipotong hari libur nasional dll. Kalau ada hak cuti maka target pemandirian dan pemahiran tidak akan tercapai. Sebagai gambaran, Internsip di Indonesia hanya 1 tahun, sementara rata-rata di Asia selama 2 tahun efektif tanpa cuti dan Inggris selama 3 tahun.

Dokter Nur Abadi menambahkan, sebagai pengganti hak cuti, peserta internsip boleh ijin sesuai dengan kebutuhan dan 1 thn hanya boleh ijin 4 hari dalam satu tahun. Peserta internsip tidak perlu mengganti izin ini. Bagi perempuan hamil diberikan ijin sampai dengan 3 bulan, namun harus mengganti 3 bulan atau kurang tergantung kebijakan pendamping setelah masa cuti hamil. Dengan demikian, bila ada cuti misalnya selama 1 atau 2 bulan maka target pemahiran dan pemandirian dokter internsip tidak akan tercapai. Begitu pun jika memperhatikan aturan-aturan yang ada, cuti diperuntukkan untuk PNS,TNI POLRI, tenaga Honorer, Pegawai kontrak, buruh atau pekerja dan lain-lain. Sedangkan peserta internsip statusnya adalah magang. Dan tidak benar bila ijin melahirkan akan menggugurkan kepesertaan internsipnya.

Logika ini tidak berbeda ketika kita ikut pendidikan dan mengambil cuti, maka kita harus menuntaskan proses pendidikannya setelah masa cuti selesai. Lain halnya jika status dokter yang bekerja pada fasyankes tentu mendapatkan "hak-hak pekerja" termasuk hak cuti hamil. Namun sekali lagi, titik point internsip adalah proses pemantapan dan kemandirian profesi dokter di wahana fasyankes, bukan mekanisme penempatan Tenaga Kesehatan pada fasyankes.

Pengaturan dan ketentuan mengenai dokter internsip dihasilkan oleh dokter-dokter sejawat sendiri yang tergabung dalam Komite Internsip Dokter Indonesia (KIDI). KIDI terdiri dari unsur Kemenkes, KKI, Kolegium Dokter, Institusi Pendidikan Kedokteran, IDI, dan Asosiasi Rumah Sakit tentu sudah mempertimbangkan berbagai aspek termasuk sisi kemanusiaan. Namun tentu KIDI sangat apresiatif terhadap segala masukan dan kontribusi positif bagi perbaikan program internsip.

Sebagai tambahan informasi, setiap tahun peserta internsip sekitar 8500 dokter. Sebagai peserta pemahiran dan pemantapan, dokter internsip mendapatkan bantuan biaya hidup (BBH) sebesar Rp 3.200.000 untuk wilayah barat dan Rp 3.750.000 untuk wilayah timur. Sebagian besar internsip selain menerima BBH mereka juga dapat insentif dan Jasa dari Fasyankes. Misalnya sudah ada 12 propinsi baik di RSUD maupun RS Swasta yang memberikan insentif insentif cukup

Dokter internsip bukan tenaga kesehatan seperti PTT . Internship ditempatkan pada wahana yg cukup kasusnya agar mereka cukup belajar di RS Kab/kota dan ada dokter pembimbing yg membantu mereka. Saat ini ada 574 RSUD, 52 RS Swasta BUMN maupun RS Ormas keagamaan dan TNI POLRI. KIDI akan meniliai kelayakan setiap RS yang akan ditempati, apakah ada dokter pendamping, dokter spesialis, komite medik dan sarana/prasarana pendukung. RS-RS ini rata-rata berlokasi di Kota/ Kabupaten dan tidak ada yg daerah pelosok, apalagi daerah terpencil.

Semoga penjelasan ini dapat mendudukkan persoalan internsip pada tempat dan konteksnya. Salah besar jika ada pandangan bahwa dokter internsip tidak manusiawi disebabkan harus mengganti proses internsip bagi yang ambil cuti hamil. Justru internsip ini selain sebagai sarana bagi dokter memperoleh tingkat kemahiran untuk berpraktik secara mandiri, tetapi juga memenuhi aspek kemanusiaan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Dan wujud nyata profesi dokter mendukung kehadiran negara dalam menyediakan akses pelayanan kesehatan.



Senin, 11 April 2016

, , ,

Inilah 10 Blogger Terpilih Ikut Jalan-Jalan Ke Batam

Sebanyak 48 Blogger berminat ikut "3 hari jalan-jalan ke Batam" dengan menuliskan postingan "Jika Aku Tim Nusantara Sehat". Dalam seleksi pertama, terpilih 20 Blogger dengan kriteria selesi yaitu ide cerita, cara penyampaian cerita dan penulisan. Tidak mudah memilih 20 postingan tersebut. Tulisan yang dikirimkan mayoritas bagus. Yang dipilih bukan hanya sekedar panjang postingan, tetapi adanya ide/gagasan dan cara mengungkapkannya menjadi tulisan.

Tahap kedua pemilihan selain didasarkan pada kriteria diatas, panitia juga mengamati blog dan akun media sosial 20 blogger. Dari hasil seleksi dan pengamatan akhirnya terpilih 10 Blogger yang akan diajak jalan-jalan ke Batam. Jalan-jalan ini rangkaian Media tour sebagai aktivitas rutin media relations Kementerian Kesehatan bersama wartawan dari media massa terpilih.

Tahun 2016 ini, media tour mengajak wartawan dan blogger terpilih  mengunjungi Batam pada tanggal 21 sd 23 April 2016. Tujuannya melihat lebih dekat program kesehatan atau Kementerian Kesehatan, diantaranya mengunjungi tim Nusantara Sehat di Pulau Belakangpadang.

Inilah 10 Blogger terpilih ikut media tour ke Batam (sesuai abjad):

  1. Agung Han (sapa-ku.blogspot.co.id)
  2. Astari Ratnadya (ivegotago.com)
  3. Bowo Susilo (bowosusilo.com)
  4. Elisa Koraag (elisakoraag.com)
  5. Nunik Utami (nunikutami.com)
  6. Rahab Ganendra (ganendra.net)
  7. Ratna Dewi (ratnadewi.me)
  8. Ririn Sjafriani (fromblazertodaster.blogspot.co.id)
  9. Setia Adi Firmansyah (virmansyah.info)
  10. Shintaries Nijerinda (Shintaries.com)
                  Nama blogger diatas tidak dapat dialihkan atau diwakilkan oleh yang bersangkutan. Perjalanan media tour ke-10 blogger tersebut juga tidak dapat digantikan kompensasi dalam bentuk uang atau lainnya. Konfirmasi keikutsertaan jalan-jalan ke Batam paling lambat tanggal 12 April 2016 jam 10.00 WIB. Jika pada batas waktu ditentukan tanpa keterangan, maka panitia akan menggantikan dengan blogger lainnya.

                  Terima kasih yang tak terhingga kepada 48 blogger dan #SahabatJKN yang telah berpartisipasi dalam kegiatan ini. Mohon maaf belum dapat mengajak sahabat semua dalam kegiatan ini. Semoga pada kegiatan lainnya kita bisa berkolaborasi kembali.

                  Kamis, 31 Maret 2016

                  , , ,

                  3 Hari Jalan-jalan ke Batam, Mau?

                  Diajak 5 BLOGGER jalan-jalan ke batam selama 3 hari, tanggal 21 sd 23 April 2016. Blogger diajak menengok Tim Nusantara Sehat yang bertugas di Pulau Belakangpadang, sebagai satu kegiatan dari rangkaian “press tour” dengan beberapa jurnalis ke Batam.

                  Tim Nusantara Sehat (Mediakom)

                  Tak usah khawatir, kami tidak hanya mengajak kok. Pasti tanggung transportasi, akomodasi dan uang jajannya. Bonusnya nambah kawan, daerah jelajah, kuliner lokal, dan pastinya foto-foto. Plus, siapa tahu ketemu jodoh bagi yang jomblo :)

                  Jujur, saya terkejut senang melihat respon yang banyak dari sahabat blogger atas rencana ini. Terima kasih banget. Terima kasih juga dengan kolaborasi yang selama ini telah terjalin akrab dalam #SahabatJKN. Kami bingung siapa yang mesti diajak dari sekian banyak blogger yang mau.

                  Benar deh, kami ingin ajak semuanya, tapi apa daya anggaran tak sampai. Tidak mudah secara subyektif menentukan 5 BLOGGER itu. Karena di mata dan hati saya, semua blogger itu sama dekat sama akrab, teristimewa #SAHABATJKN.

                  Jadi gimana dong cara mengajak 5 blogger jalan-jalan ke Batam? Agar adil, Akan dipilih 5 Blogger yang mau dan mampu menuliskan postingan “JIKA AKU TIM NUSANTARA SEHAT”. Ingat ya, hanya 5 postingan terpilih. Ah, ini pasti mudah bagi blogger keren seperti kalian.

                  Link postingan agar dituliskan dalam kolom komentar ini dan dimention ke akun twitter @anjarisme @KemenkesRI @Nusantara_Sehat paling lambat tanggal 10 April 2016 jam 24.00 wib. Kok buru-buru sih? Iya, karena panitia harus menyiapkan tiket pesawat, hotel dan akomodasi untuk 5 BLOGGER Terpilih ini.

                  Ayo berani nggak? Bisa jadi diantara 5 BLOGGER itu, KAMU!

                  ----------------------------------------------------------------------------
                  UPDATED (31 Maret 2016 jam 13.00 wib)
                  - jumlah blogger jadi 10 BLOGGER

                  - postingan dikirimkan paling lambat tanggal 7 April 2016
                  ----------------------------------------------------------------------------
                  UPDATED (31 Maret jam 19.51)
                  Yang dimaksud transportasi adalah Jakarta - Batam (PP) dan selama mengikuti kegiatan sesuai jadwal yang disusun panitia.
                  ----------------------------------------------------------------------------



                  Selasa, 15 Maret 2016

                  , ,

                  Ketika Rumah Sakit Memanusiakan Manusia

                  Begitu sering kita mendengar rumah sakit menolak pasien. Dokter tidak punya nurani. Jangankan ramah, menatap langsung mata pasien saat bercakap pun terasa mahal. Rumah sakit hanya menerima pasien kaya, sementara pasien miskin seakan dilarang sakit. Dan banyak lagi "kisah kejam" tentang rumah sakit.

                  Pak Ernawan (paling kanan) bersama kedua mempelai dan staf RS Sardjito
                  Membaca berita daring Kompas.com (12/3), “Disaksikan Dokter dan Perawat, Pasangan Ini Menikah di Rumah Sakit”, saya terharu. Dada saya berdesir, seakan menemukan sesuatu yang selama ini dimimpikan. Rumah sakit “ngunduh mantu” memfasilitasi pernikahan pasangan pengantin di ruang perawatan secara gratis.

                  Bukan karena saya kenal baik orang-orang yang membantu menyiapkan pernikahan di ruang perawatan pasien. Bukan pula karena RS Sardjito adalah rumah sakit milik Kementerian Kesehatan instansi pemerintah dimana saya bekerja. Tetapi apa yang dilakukan jajaran pimpinan dan staf RS Sardjito, terutama Humas, seakan mengerti benar kebutuhan dan keinginan pasien. RS Sardjito mampu menampilkan pelayanan dengan hati, sebuah pelayanan yang memanusiakan manusia. Apa yang dilakukan RS Sardjito memberikan teladan tindakan nyata kemanusiaan, satu sisi lain dari pelayanan kesehatan rumah sakit.

                  Jika anda berkenan menyimak, saya akan cerita singkat kejadian bagaimana pasangan pengantin bisa menikah di rumah sakit. Dan di bagian akhir, saya akan tuliskan juga obrolan saya dengan Pak Ernawan, punggawa Humas RS Sardjito. Inilah cerita nyata sebuah rumah sakit di Jogja ini mengamalkan filosofi luhur Jawa, nguwongke uwong (memanusiakan manusia).

                  ***

                  Berita Kompas menggambarkan bagaimana suasana ruang Cendana, RSUP dr Sardjito, Yogyakarta, berubah menjadi haru. Air mata para dokter dan perawat tak terbendung tatkala menyaksikan Windu Cahyo Saputro (25), yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, dan Yuniar Dias Sutisna (25) secara bergantian menyatakan janji sehidup semati.

                  Kisah bahagia perkawinan Windu dan Dias dimulai sebulan lalu. Saat Windu melamar kekasihnya, Dias, setelah menjalin asmara selama sembilan tahun.Segala persiapan selesai diakukan. Mulai panitia, perias hingga memesan gedung resepsi. Doa kedua insan itu hari bahagia yang dinantikan sembilan tahun itu dapat dilewati dengan lancar.

                  Namun Tuhan berkehendak lain. Windu mengalami kecelakaan saat mencari suvenir pernikahan di Yogyakarta. Musibah menyebabkan luka parah hingga dokter dengan persetujuan pasien harus mengambil keputusan untuk mengamputasi kaki kanan Windu. Menghadapi kenyataan ini, keluarga Windu menanyakan Dias dan keluarga, apakah masih mau menerima putranya dengan kondisi seperti itu.

                  "Saya sudah menetapkan hati. Apa pun keadaannya, saya sudah memilih Windu menjadi suami," kata Dias mantap.

                  Luar biasa!

                  ***

                  Senin pagi (14/3), selesai membaca berita Kompas itu, saya menghubungi Pak Ernawan melalui whatsapp.

                  “Pak Nawan, saya terinspirasi dengan kisah "ngunduh mantu" RS Sardjito. Jika sempat boleh diceritakan ya,”pinta saya

                  “Siap Pak Anjari, sekedhap dalem susun kata-kata njih,” balas Pak Nawan, tak berapa lama kemudian.

                  Tak berselang lama, Pak Ernawan mulai bercerita. Pada hari selasa (7/3), seorang perawat ruang perawatan Cendana I menanyakan apakah dibolehkan pasien menikah di bangsal perawatan. Agar lebih jelas, Pak ernawan dan staf humas mengunjungi pasien. Dari pertemuan dengan Windu, pasien yang telah menjalani amputasi kaki kanan, Pak Ernawan mengetahui dengan jelas kronologi pasien dan niatan menikah di bangsal Cendana.

                  Humas RS Sardjito juga mengetahui segala persiapan yang telah selesai dilakukan. Dari undangan, gedung, catering, musik dan lain-lain semua dibatalkan. Dan yang mengetuk hati segenap petugas rumah sakit adalah jawaban calon mempelai wanita, Dias, saat ditanyakan kesiapan menikah.

                  “Saya mendengar saat mba Dias tanpa ragu mengatakan,apapun kondisi Windu, saya akan tetap menikahi dan menjaganya sampai ajal menjemput salah satu diantara kami", kata Pak Nawan.

                  Pihak keluarga meminta diperbolehkan ruang perawatan digunakan melakukan akad nikah secara sederhana. Kondisi ruang perawatan itu sebenarnya kecil, tanpa AC dan tidak cukup layak untuk prosesi ijab kabul yang sangat sakral bagi setiap orang. Melihat cerita kejadian dan tekad menikah kedua calon mempelai, jajaran RS Sardjito tergerak membuat sesuatu yang luar biasa untuk kedua insan Windu dan Dias. RS Sardjito bertekad membuat acara yang tak terlupakan selamanya bagi kedua mempelai.

                  “Tanpa sepengetahuan keluarga kami mulai bergerak mencari ruangan yg layak dan ber-AC. Juga meenanyakan kepada Panitia PPI apakah akan ada dampak infeksi. Tim Humas bergerak cepat menyiapkan ubo rampe, pembawa acara, soundsystem ala kadarnya, lagu-lagu wedding, dll,” kisah Pak Nawan.

                  Membaca rentetan cerita yang ditulis melalui Whatsapp, saya tak berkedip. Saya pun terpaku, tak menyela atau banyak bertanya. Pak Ernawan melanjutkan, ketika semua persiapan pernikahan telah selesai disiapkan, Humas baru meminta izin Direksi RS Sardjito. Di luar dugaan, ternyata pimpinan RS mengapresiasi dan berkomitmen hadir menyaksikan. Pada jumat malam (11/3), tim Humas melakukan dekorasi ruang Cendana dan digunakan prosesi ijab kabul pada keesokan harinya.

                  “Pak Nawan, apakah pihak keluarga pasien dikenakan iur biaya untuk penyiapan akad nikah ini?”

                  “Alhamdulillah, semua gratis Pak. Kebetulan Mba Sri, Staf Humas, punya penyewaan perlengkapan pernikahan. Adik saya jual bunga di Jl. Ahmad Jazuli. Video dan foto staf humas dengan meminjam perlengkapan kantor,” jawab Pak Nawan. Mengaggumkan, batin saya.

                  “Pak Nawan, apa sih yang membuat RS Sardjito mau melakukan ini semua? Apakah ada staf yang bersaudara atau kenal dengan calon mempelai”, tanya saya masih penasaran.

                  “Kekuatan cinta, Pak Anjari. Ini bukan membabi buta karena saya juga menanyakan secara langsung bahkan kami sampaikan resikonya. Tetapi jawaban Mba Dias begitu mantap dan yakin. D era modern seperti ini akan sangat langka, ada wanita yang begitu yakin dengan keputusannya” tegasnya.

                  Dan ternyata Humas pun baru mengenal pasien Windu pada saat mengonfirmasi rencana menikah di bangsal perawatan. Bahkan bertemu calon mempelai wanita pada sehari sebelum hari ijab kabul.

                  “Oh ya, ada satu hal yang lebih luar biasa. Prof Yati (Dewan Pengawas RS Sardjito) menjanjikan pekerjaan di Sardjito karena Mas Windu lulusan D3 Rekam Medis UGM dengan nilai yang memuaskan” kata Pak Nawan menambahkan.

                  “Wow, luar biasa sekali. Benar-benar mengharukan pak,”

                  RS Sardjito sungguh luar biasa. Hanya itu yang saya katakan pada akhir obrolan saya dengan Pak Ernawan, tokoh utama cerita penuh hikmah ini dapat saya kisahkan kepada Anda.