Senin, 15 Mei 2017

PERSI Himbau Rumah Sakit Tingkatkan Keamanan Sistem Komputer


Terkait kabar virus komputer jenis ransomware bernama Wanna Decryptor yang mulai menyerang sebuah rumah sakit di Jakarta, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menghimbau rumah sakit anggotanya untuk meningkatkan keamanan komputer rumah sakit.

Dikabarkan virus Wanna Decryptor atau wannacry telah melanda hampir 100 negara di seluruh dunia. Bahkan jaringan National Health Service (NHS) di Inggris telah terkena serangan ransomware ini hingga data pasien terenkripsi pada sistem komputer rumah sakit.

Di Indonesia, virus Wannacry telah menyerang RS Kanker Dharmais Jakarta pagi tadi (13/5/2017). Berdasarkan informasi yang langsung diterima Persi dari RSK Darmais, serangan virus tidak merusak data pasien. Tim SIRS telah melakukan pencegahan dan tindakan sehingga serangan virus tidak merusak database pasien dan sistem lain.

"Data pasien dan sebagainya masih bisa kita kuasai. Tapi agar tidak merusak yang lain-lain semua sistem kita matikan. Sekarang kegiatan kita lakukan manual sembari melakukan back up data. Beberapa pelayanan seperti UGD, pendaftaran dan kasir kita instal ulang agar tidak manual lagi," tutur Direktur Umum dan Operasional RSK Dharmais, Triputro Nugroho sebagaimana dikutip Detikcom (13/5/2017).

Sementara itu berdasarkan komunikasi yang dilakukan Persi, RS Anak Bunda Harapan Kita dan RS Jantung Harapan Kita tidak termasuk RS yang terkena malware Wannacry. Sempat tersiar kabar, kedua rumah sakit tersebut terganggu pelayanan akibat virus itu.

Pada kesempatan ini juga, Persi menghimbau rumah sakit melakukan pemutakhiran keamanan SIRS sekaligus melakukan langkah pencegahan agar tidak terinfeksi virus Wannacry.

"Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Demikian juga SIRS harus diupdate sistem keamanannya", himbau Ketua Umum PERSI, Kuntjoro Adi Purjanto.

Didasarkan informasi dari Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), berikut beberapa penjelasan tentang Wanna Decryptor dan langkah yang perlu diambil:

1) Ransomware bernama Wannacry ransomware mengincar PC berbasis windows yang memiliki kelemahan terkait fungsi server message block (SMB).

2) Jika komputer kena serangan, virus mengunci computer korban atau meng-encrypt semua file yang ada sehingga tidak bisa diakses kembali. Kemudian muncul pesan meminta tebusan sejumlah uang dalam bentuk Bitcoin.

3) Bagi RS yang menggunakan Windows untuk sistem komputer RS, agar melakukan pencegahan terinfeksi malware wannacry yaitu

+ update security pada windows anda dengan install Patch MS17-010 yang dikeluarkan oleh microsoct.
Lihat : https://technet.microsoft.com/en-us/library/security/ms17-010.aspx
+ Jangan mengaktifkan fungsi macros
+ Non aktifkan fungsi SMB v1
+ Block 139/445 & 3389 Ports
+ Selalu backup file file penting di computer anda di simpan ditempat lain

4) Bagi RS yang terinfeksi malware wannacry agar memutuskan sambungan internet dari komputer yang terinfeksi akan menghentikan penyebaran wannacry ke komputer lain yang vulnerable. Secara teknis keamanan sistem komputer, dapat berkonsultasi secara online ke ID-SIRTII email : incident@idsirtii.or.id

Sabtu, 29 April 2017

,

SUDAH CEK RUMAH SAKITMU DI GOOGLE?

Hari ini (29/4), saya mengunjungi saudara yang dirawat di RS Cibitung Medika. Karena tidak tahu alamat dan rute kesana saya buka google map. Setelah pencet tombol cari, muncul foto bangunan depan RS Cibitung Medika, lengkap dengan alamat, telepon, web dan petanya.

Eh, ada tulisan yang merah dengan icon segitiga. "Sudah tutup permanen". Ketika diklik muncul keterangan,"RS Cibitung Media tercatat sudah tutup di lokasi ini".

Saya coba cari lagi, siapa tahu ada RS Cibitung Medika di alamat lain. Ternyata tidak ada. Saya perhatikan setiap komentar atau ulasan atas RS tersebut. Ada komentar positif, ada juga yang negatif. Itulah kesan orang yang mungkin pernah berkunjung ke RS Cibitung Medika. Saya perhatikan foto-foto yang ada untuk memberikan sekilas gambaran fisik RS.

Ehm.. tidak ada keterangan yang menjelaskan RS sudah pindah. Untunglah, saya diberikan nomer kontak humas RS Cibitung Medika oleh teman. Setelah say hello, saya sampaikan "sudah tutup permanen" tadi. Dan, saya juga dapat konfirmasi bahwa RS Cibitung Medika masih pada alamat yang sama, tidak tutup permanen.

Saya pun mulai berangkat ke Cibitung dari Jakarta. Belum jalan, saya sempat melaporkan kepada Google agar mencabut status "sudah tutup permanen". Semoga lekas pulih. Kasihan, orang lain yang mungkin sama seperti saya, mengandalkan google untuk mencapai RS Cibitung Medika. Karena tulisan tutup permanen itu, bisa jadi ia membatalkan berkunjung atau berobat ke RS Cibitung Medika.

Jadi, kepada pemilik, direktur, humas, dan marketing, sudahkah cek Rumah Sakit anda di Google? Jangan-jangan sudah tutup permanen juga. Eh, jangan biarkan juga komentar negatif tentang RS-mu. Tanggapi dengan bijak, karena itu akan mendorong pelanggan lama bertahan dan pelanggan baru  datang.

Jakarta,  29 April 2017
@anjarisme

,

E-KATALOG PEREDUP KORUPSI KESEHATAN

Siapa yang tidak bersedih hati membaca rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul “Tren Korupsi Kesehatan periode 2010 - 2015" di Jakarta, 18 April 2017. Menurut pengamatan ICW dari publikasi media dan expose penegakan hukum, selama periode 2003 - 2016 terdapat 219 kasus korupsi dengan 519 orang tersangka dan dugaan kerugian sebesar Rp 890 miliar.

Menurut ICW, mark up atau penggelembungan anggaran menjadi modus terbanyak dengan alat kesehatan sebagai obyek korupsi yang paling tinggi. Sementara kasus daerah sebagian besar terjadi di daerah dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan aktor paling banyak terjerat kasus korupsi sektor kesehatan.

Namun di balik kabar buruk nan menyedihkan itu, ada harapan dan kabar baik. Ibarat pepatah, selalu ada hikmah pada setiap peristiwa. Jika diperhatikan lebih detil datanya, ada tren penurunan signifikan kasus korupsi kesehatan sejak tahun 2013. Mari lihat datanya. Puncak tren korupsi terjadi tahun 2012 dengan 53 kasus. Kemudian tahun 2013 tren turun menjadi 24 kasus, 17 kasus (2014), 2 kasus (2015) dan 0 kasus (2016).

Ada apa di tahun 2013? Apa sebab kasus korupsi kesehatan bisa turun lebih dari 50 persen?

Mari kita ingat bersama. Sejak tahun 2013, Kementerian Kesehatan menerapkan sistem pengadaan obat secara elektronik atau dikenal dengan sebutan e-purchasing berdasarkan e-Katalog melalui Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Menurut data, tahun 2015 sebanyak 796 item obat dan 1.240 item tahun 2016 yang melibatkan 90 industri farmasi. E-Katalog digunakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Kab/Kota, RS Pemerintah dan RS Swasta yang melayani jaminan kesehatan nasional (JKN).

Apakah ada relevansinya, penurunan signifikan tren korupsi kesehatan dengan penerapan E-Kalaog obat? Dengan jelas, ICW menulis bahwa E-katalog menjadi penyebab berkurangnya korupsi Alkes dan obat-obatan karena harganya sudah ditetapkan dalam e-katalog tersebut.

Bahkan dalam bagian kesimpulan, ICW menegaskan bahwa pemberlakuan e-katalog dan INA-CBG’s dalam JKN menyebabkan harga obat dalam pengadaan di faskes dasar dan tingkat lanjut tidak dapat di-mark up karena telah ditentukan harganya.

"Sekarang hampir semua pengadaan alkes (alat kesehatan) dilakukan dengan e-katalog yang harganya sudah termurah," kata Sekretaris Jenderal Kemenkes Untung Suseno di Jakarta, Rabu (19/4) kepada Media Indonesia menanggapi rilis ICW tersebut. Menurutnya, Kemenkes terus mendorong semua alat kesehatan untuk masuk e-katalog. Bahkan, tanpa diminta, para pejabat di daerah telah menggunakan e-katalog karena prosesnya transparan dan harganya sesuai. Pembeli  tinggal mencocokkan harga dan spesifikasi barang yang dibutuhkan berdasarkan data yang ada di e-katalog.

Nah, begitulah. Selalu ada hikmah yang bisa kita syukuri, dibalik peristiwa buruk sekali pun. Ada kabar positif yang bisa kita sebarkan di tengah meredupnya trend korupsi kesehatan, yaitu E-Katalog.

Jakarta, 29 April 2017
@anjarisme

Minggu, 09 Oktober 2016

, ,

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Ini tulisan serius bernuansa politis. Tidak disarankan dibaca oleh orang yang bersikap "hater" atau "lover" calon pemimpin tertentu.

---

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Setiap orang cenderung memposisikan dirinya pada kelompok terdekatnya. Seseorang cenderung lebih utamakan memihak dan membela orang terdekatnya; keluarga dan kelompoknya. Artinya, kita ingin keluarga kita lebih sukses dibandingkan keluarga lain.

Dalam berteman atau mencari teman hidup, kita juga cenderung memilih suku dan agama yang sama. Demikian juga dalam berorganisasi dan berpolitik, kita juga cenderung memilih yang se-aliran, se-agama, se-kelompok dan se-kepentingan.

Itu pula yang terjadi dalam perspektif pemilu atau pilkada. Orang Jawa cenderung memilih calon pemimpin dari suku Jawa, Batak cenderung Batak, Betawi cenderung Betawi. Orang berfaham nasionalis bersentimen pada partai/calon nasionalis, orang Kristen berorientasi pada calon Kristen dan Islam condong pada calon pemimpin beragama Islam.

Apakah kecenderungan, sentimen, kecondongan dan kelebihmemilihan itu salah? Tidak sama sekali. Itu sunnatullah. Hukum alam, alamiah. Itulah yang disebut "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia.

Yang salah adalah keinginan kelompok kita menang itu menjadi dasar untuk membenci kelompok atau orang lain. Yang tidak dibenarkan adalah  keinginan memenangkan calon pemimpin yang seagama, sesuku dan sekelompok dengan cara-cara hitam tercela. Misalnya dengan ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Kembali kepada "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia sesuai hukum alam diatas dikaitkan dalam pemilu dan pilkada. Jika Muslim mengajak saudara muslim lain memilih calon pemimpin Muslim itu bentuk persaudaraan Muslim yang diajarkan Islam. Itu hak dan kewajiban sebagai muslim. Tentu saja dibenarkan. Yang salah dan dilarang bagi muslim adalah membenci, menjelekkan mengancam dan melakukan kekerasan kepada calon pemimpin karena beragama Kristen, Hindu atau Budha.

Demikian pula kaum Kristen menghimbau jamaahnya memilih calon pemimpin beragama Kristen itu juga bentuk solidaritas sosial. Yang wajib dijauhi orang kristen adalah memaksakan kehendak kepada orang Islam, hindu atau Budha agar memilih calon pemimpin orang Kristen.

Termasuk dalam isu sara dalam kampanye adalah jika orang muslim yang memasuki wilayah agama kristen, Hindu, budha. Atau sebaliknya orang Kristen mencampuri area agama Islam, Hindu dan Budha.

Jadi, sepanjang urusan sara masih dalam batasan kecenderungan yang bersifat alamiah (hukum alam) itu diperbolehkan. Tetapi isu sara yang mengandung unsur membenci, menjelekkan, diskriminatif, ancaman bahkan kekerasan, itu harus dilarang dan dijauhi.

---

Demikianlah, suasana politik hari ini (juga yang lalu dan akan datang) gaduh dengan isu Sara; suku, agama, ras dan aliran. Banyak pihak menyuarakan menjauhi isu sara dalam pilkada Jakarta. Semua orang ingin dalam kampanye, antar calon mengadu dan menjual program. Sungguh tekad dan himbauan yang baik. Tapi perlu hati-hati menilai atau menyetigma suatu hal menjadi isu sara. Sama hati-hatinya dengan berlaku cenderung sara.

Masa pemilu dan Pilkada adalah masa sensitif. Setiap orang semestinya sensitif untuk tidak berucap dan berlaku pada hal-hal sensitif. Jauhi mengeluarkan jargon atau pernyataan yang bersinggungan dengan sensitivitas. Untuk mengajak memilih calon pemimpin muslim, Anda tak boleh mengkafir-kafirkan calon non muslim. Untuk memenangkan calon dari suku Jawa, Anda dilarang mencina-cinakan calon pemimpin keturunan tionghoa.

Demikian pula kelompok lain yang ingin memenangkan calon pemimpin beragama Kristen misalnya. Tidak perlu menggaungkan jargon "biar kafir tidak korupsi, daripada Muslim korupsi". Atau "biar kafir asal adil". Kenapa? Karena soal korupsi dan adil bukan dilihat karena agamanya apa. Dan kata "kafir" itu identik dengan istilah Islam. Ini memasuki area "isu sara".

---

Dalam setiap pertandingan semua pihak berlomba untuk menang. Demikian dalam pertandingan Pilkada, setia calon dan pendukungnya juga ingin menang. Masing-masing pihak memetakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatan itu didayagunakan, kelemahan diminimalisir. Diantara basis dukungan kekuatan dan kelemahan adalah unsur sara; terutama suku dan agama.

Bagi calon yang beragama Kristen pasti menggalang suara jamaah Kristen. Calon ini boleh gunakan ayat-ayat Injil untuk mempesona jamaah kristen. Calon agama Islam mengampanyekan memilihnya kepada kaum muslimin. Juga boleh menggunakan ayat Al Qur'an untuk kaum muslimin. Ini masuk kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" yang bersifat alamiah tadi. Yang tidak boleh itu dan ini isu sara, gunakan ayat Injil kepada Muslim dan ayat Qur'an kepada Kristiani.

Calon dari Jawa menggalang kekuatan dari suku Jawa, Betawi mengajak saudaranya dari betawi dan Tionghoa menggunakan sentimen keturunannya. Demikian seterusnya suku, kelompok dan aliran lainnya.

Namun sayang sekali, dalam hal meminimalisir kelemahan, tidak sedikit kelompok calon pemimpin melakukan agitasi atas kelebihan kelompok lain. Misalnya, calon pemimpin non muslim (dan pendukung) melakukan stigma isu sara kepada calon pemimpin Muslim (dan pendukung) yang gunakan ayat Qur'an untuk memilih pemimpin Muslim. Atau sebaliknya, pendukung calon islam (dan pendukung) mengkafir-kafirkan calon pemimpin Kristen.

Kelompok mayoritas tidak boleh berlaku diskriminatif terhadap minoritas. Demikian pula minoritas menghargai kelompok mayoritas tanpa melakukan perilaku tirani minoritas dan stigmatisasi sara.

Singkat kata, dalam hal pemilu/pilkada kita hormati kepada setiap orang/kelompok yang mendayagunakan kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia. Karena memang itu hukum alam. Sebaliknya, kita jauhi sikap dan perilaku yang mengandung ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Namun patut dicatat bahwa "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" hanya modal awal keterpilihan calon pemimpin. Keduanya bukan syarat dan modal mutlak kemenangan pemilu dan pilkada. Kuatnya "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" tidak cukup berarti, jika calon tidak mempunyai rekam jejak dan reputasi pemimpin yang adil, anti korupsi dan perilaku mulia lainnya. Juga tidak cukup bermakna jika calon tidak punya program bagus dan mampu merebut hati pemilih.

Akhir kata, jangan menuduh orang/kelompok lain menggunakan isu sara, tapi ucapan dan perilakunya sendiri mengandung isu sara.

---
Antara Kediri - Surabaya (9/10/2016)
Bukan Hater atau Lover,
Anjari Umarjianto

Jumat, 07 Oktober 2016

, , ,

PAK BASUKI DAN AL MAIDAH

Ini soal 'public speaking', bukan politik. Apalagi hater or lover ☺

PAK BASUKI DAN AL MAIDAH

"Bapak Ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai Surat Al Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak Bapak Ibu ya. Jadi kalau Bapak Ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa apa. Karena ini kan hak pribadi Bapak Ibu. Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu enggak usah merasa enggak enak. Dalam nuraninya enggak bisa pilih Ahok," kata Ahok (Detikcom, 6 Oktober 2016)
Andai saya adalah Pak Basuki, saya tidak mengucapkan frasa "karena dibohongin pakai Surat Al Maidah 51 macem-macem itu" dan frasa "karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya"
Mengapa demikian? Karena Pak Basuki telah memasuki area agama lain. Meski merasa pendapat Anda paling benar, jangan pernah mengomentari agama atau ayat suci agama lain. Ini wilayah sensitif, sara!
Andai Pak Basuki tidak menggunakan frasa itu, ia menepati hanya bicara program dalam Pilkada Jakarta. Sayang, Pak Basuki memasuki isu sara yang ia sendiri benci.
Sepertinya Pak Basuki butuh konsultan 'public speaking' deh!
(anjarisme, 6/10/216)
---
Soal tulisan"Andai saya Pak Basuki" diatas, saya posting dalam kapasitas orang yang sehari-hari bergelut dalam dunia kehumasan (public relations" yang diantaranya menaruh perhatian pada 'public speaking", 'key message', ect. Bukan karena saya muslim, pemilih pilkada jakarta atau status PNS.
Ada yang memberi saran kepada saya agar menonton utuh video Pak Basuki. Mereka menganggap saya bias opini, karena hanya mengambil sepotong. Saya mau jelaskan bahwa saya sudah menonton itu video. Anda nonton sepotong atau utuh video, tidak bisa menjadi pembenaran bahwa Pak Basuki boleh mengucapkan frasa:
- "karena dibohongin pakai Surat Al Maidah 51 macem-macem itu"
- "karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya"
Kenapa? karena dalam bagian itu, key message yang mau disampaikan Pak Basuki itu "Program akan (harus) tetap jalan". Tapi (mungkin dalam suasana pilkada), beliau menyisipkan pesan tambahan soal hak pilih warga. Dan sayang sekali, pesan sisipan itu harus dibumbui sesuatu yang menyentuh wilayah sensitif/sara. Lagi-lagi dalam persepektif komunikasi, bukan saja tidak perlu, tetapi suatu kesalahan komunikasi.
Apakah tidak boleh menyisipkan pesan politik? ohh, tentu saja boleh. Sebagai petahana, Pak Basuki punya keunggulan itu dibandingkan pasangan calon lain, yaitu dalam setiap publikasi keberhasilan atau peluncuran program sudah menjadi "bagian kampanye" tanpa harus "jualan kecap". Jadi pernyataan Pak Basuki "sekarang bicara program saja, bukan sara" itu sudah baik. Tapi dalam eksekusinya, justru (tidak hanya sekali) beliau menyentil ayat dalam surat Al Maidah itu.
Pak Basuki tidak perlu menjadi orang yang seakan-akan mengerti ayat suci agama lain untuk menunjukkan bahwa beliau anti isu sara. Pak Basuki tidak perlu menuduh seseorang membohongi orang lain pakai al maidah untuk menyampaikan kampanye program dalam pilkada Jakarta.
Pak Basuki hanya perlu konsisten untuk tidak menyentuh wilayah sara. Itu saja.
Jadi saran saya (sekali lagi), sebaiknya dalam masa Pilkada ini, Pak Basuki butuh konsultan 'public speaking' deh!
(anjarisme, 7/10/216)

Senin, 13 Juni 2016

Puasa dan Razia Warung

Sebenarnya saya ingin ikut komentar soal Bu Saeni yang warungnya dirazia satpol PP sejak kemarin. Tapi sejujurnya saya takut. Bukan takut dirazia Satpol PP juga.

Saya takut komentar justru karena khawatir menguatkan persepsi seolah-olah mereka yang melakukan razia dikarenakan bulan puasa atau orang beragama Islam. Pdahal satpol PP itu melakukan razia atas nama Perda. Ya karena Satpol PP bisa bertindak karena "barang mbelgedes" itu, bukan karena bulan puasa. Sepertinya Bulan Puasa hanya dijadikan legitimasi saja.

Saya takut menyampaikan kegeraman saya atas perilaku satpol PP akan semakin riuh sehingga kehilangan substansi dan pokok akar masalah. Satpol PP itu niatnya menegaskan Perda tetapi cara-caranya tidak bil hikmah wal mau'idhotil hasanah.

Saya merasa kasihan Bu Saeni yang diperlakukan tidak baik oleh Satpol PP. Saya juga kasihan Ibu Itu korban penggusuran, Bapak Ini yang sulit menafkahi keluarga, Saudara ono yang tak mampu dan orang-orang lemah yang diperlakukan tidak adil. Dan saya berlindung dari rasa kasihan, simpati dan empati disebabkan dorongan persepsi dan opini yang diagendakan media. Jika saya akhirnya menyumbang Bu Saeni, saya mestinya juga bersodakoh kepada bu itu, pak ini, sodara ono dan lain-lain.

Jujur saya khawatir dengan menulis ini, pahala puasa menjadi berkurang atau malah hilang. Tetapi tak bisa saya tahan lagi untuk menulis dan mengeluarkan uneg-uneg. Bahwa jika ada orang atau kelompok yang berstempel Islam melakukan tindakan kekerasan atau pemaksaaan kehendak, jangan disimpulkan bahwa itu ajaran Islam. Jangan sampai suatu peristiwa ketidakadilan terjadi pada bulan puasa, menjadikan kita mengkambinghitamkan bulan puasa.

Bulan puasa tidak minta dihormati. Orang puasa juga tidak harus dihormati. Orang puasa yang terganggu dengan deretan jualan makanan, jangan-jangan batinnya memang tidak puasa. Orang jualan makanan yang sengaja memamerkan dan mengumbar daganganya pada lingkungan orang berpuasa juga tidak tepo saliro.

Ibu saya dulu sering bilang,"yen niat poso, weruh panganan lengo mili ora bakal batal. Nanging yen ora poso mangane yo neng mburi". Jika seseorang niat berpuasa, berbagai makanan lezat dihadapannya tak akan membuat orang membatalkan puasa. Tetapi jika tidak berpuasa, jangan makan di hadapan orang berpuasa.

Sungguh, saya takut dengan kejadian ini semakin bertambah muslim enggan mengingatkan saudaranya,"Pak, ini bulan puasa lho!"

Jujur, saya takut dengan peristiwa ini maka akan semakin sulit mengajari puasa anak-anak saya karena suasana sekitarnya yang tidak beda hari bulan puasa atau hari biasa pada bulan-bulan lainnya.

Wallahu a'lam bishawab

Rabu, 11 Mei 2016

, ,

10 Alasan Hukuman Kebiri Tidak Efektif Bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Siapa pun orang dengan kemanusiaannya akan sedih, berduka, marah dan mengutuk atas kejahatan seksual yang menimpa Yuyun (14). Setiap orang setuju, pelaku pemerkosa dan pembunuh harus dikenakan hukuman berat yang berefek jera. Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pun diwacanakan. Efektifkah?

Berikut 8 alasan mengapa hukuman kebiri tidak efektif bagi pelaku kejahatan seksual:

1. Mana yang Sakit, Mana yang Diobati

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kejahatan seksual terjadi tidak semata-mata dipicu oleh dorongan seksual yang tidak terkendali akibat ketidakseimbangan hormonal. Kejahatan seksualjuga terjadi karena karena gangguan kepribadian antisosial/psikopat, penyalahgunaan zat, gangguan rasa percaya diri, gangguan pengendalian impuls dan gangguan psikis lain. Ini senada dengan pendapat dari Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi).

"Yang sakit itu kan jiwanya, kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya, makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu," kata Boyke Dian Nugraha.
Jadi seseorang melakukan kekerasan atau kejahatan seksual bukan semata dorongan seksual tetapi menderita sakit pemilihan, psikologis dan kejiwaannya. Hukuman kebiri kimia dimaksudkan menekan dorongan seksual pelaku kejahatan seksual. Lagi pula, seseorang dapat dinyatakan bersalah bukan karena hasrat seksual, melainkan perilaku seksualnya.

2. Melanggar Etika Medis

Menkes Nila Moeloek mengingatkan bahwa profesi kedokteran sesungguhnya lebih fokus pada tindakan mengobati dan memperbaiki, bukan malah merusak tubuh.

“Nah suntik kebiri kan bukan mengobati tetapi mengubah fungsi organ seksual,” jelasnya. Karena itu Kemenkes akan mengambil peran pada upaya preventif, promotif dan kuratif agar kasus kejahatan seksual anak tidak terulang kembali.

3. Efek Samping Kebiri


Kebiri berdampak panjang secara medis, psikologis, kejiwaan dan sosial bagi seseorang yang dikenakannya

"Tindakan mengganggu hormon seseorang dengan maksud mengurangi libido, apapun tindakan ini ada side effect-nya, ini yang harus kita pertimbangkan. Kita tidak bisa terlalu emosional, istilahnya barangkali demikian,” tutur Menkes Nila Moeloek.

Menkes juga menyatakan hukuman kebiri kimia masih dalam tahap uji klinis. Menkes menyebut kebiri yang direncanakan menjadi hukuman tambahan bagi para pelaku kejahatan seksual dapat menyebabkan kanker.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, Sp.KJ(K) menerangkan bahwa efek samping dari obat yang digunakan pada tindakan kebiri kimia akan mempengaruhi banyak sekali sistem tubuhnya.

“Di antaranya akan mempengaruhi fungsi hormon sekunder laki-lakinya akan jadi hilang. Dia akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos. Itu kan membunuh juga kan namanya,” terang dr. Eka Viora.

4. Tidak Sesuai Prinsip Pemidanaan

Undang-Undang Pemasyarakatan menyebutkan orientasi pemenjaraan adalah pada pemasyarakatan. Kalau kembali ke cita-cita itu, satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, tak ada hukuman lain. Pemidanaan bukan balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan. Pemasyarakatan tak boleh menjadikan narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari semula. Narapidana itu juga manusia.

Usulan penerapan hukuman kebiri justru melegalisasi perwujudan balas dendam terhadap pelaku kejahatan seksual. Ini tidak sesuai dengan prinsip pemidanaan atau pemasyarakatan.

5. Memperpanjang Rantai Dendam

Pemerhati anak, Seto Mulyadi mengkhawatirkan pelaku kejahatan seksual akan menjadi lebih berbahaya dan beringas bila masih memiliki rasa dendam karena alat vitalnya sudah dikebiri. Rasa dendam yang berlebihan ini ditakutkan dapat membuat pelaku bertindak lebih kejam dan berbahaya kepada korbannya

"Kalau dikebiri ini membuat dia jadi punya rasa dendam karena diputus kemampuan seksualnya. Kemudian dia bisa jadi melakukan tindakan pemerkosaan yang lebih sadis dengan cara-cara lain. Nah, ini justru akan bertambah parah karena ada rasa dendam di dalam dirinya dan sangat berbahaya bagi korban," ujar Kak Seto.

6. Melanggar HAM

Komnas HAM tidak setuju hukuman kebiri karena bertentangan hak azasi manusia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28g ayat 2, setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Ada pula aturan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu, tindakan tersebut bentrok dengan hak atas persetujuan tindakan medis serta hak perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang.


7. Tidak Relevan dengan Prinsip Islam

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam mengatakan hukuman kebiri tidak sejalan dengan aturan agama Islam. "Pengebirian itu tidak relevan dengan prinsip agama Islam," ujarnya.

Menurut Nur, agama Islam mengharuskan manusia menjaga keturunan. "Jadi, agama tidak membolehkan manusia memutus mata rantai keturunannya," kata Nur Syam

8. Biaya Kebiri Mahal

Spesialis urologi dr. Arry Rodjani, SpU mengungkapkan, pengebirian sebagai langkah untuk menurunkan gairah seksual seseorang membutuhkan biaya yang tak murah. Untuk sekali melakukan kebiri kimia membutuhkan biaya mulai dari Rp. 700 ribu hingga Rp 1 juta untuk sekali penggunaan.

"Satu kali pemberian biasanya untuk satu bulan saja atau tiga bulan. Kalau tidak diberikan akan kembali lagi. Biaya memang mahal. Menurut saya, untuk apa diberikan. Buang-buang ongkos saja," ujarnya.

9. Tidak Cukup Didukung Kementerian Teknis dan Lembaga

Hukuman kebiri belum atau tidak menyetujui diantaranya Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenag, Muhammadiyah, YLBHI, ICJR, ARI, dan beberapa tokoh pembela hak anak dan HAM.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai banyak dampak negatif terkait hukuman itu. "Kami sudah mendengarkan penjelasan dari ahli kejiwaan dan ahli andrologi. Kebiri bukan hukuman yang tepat," katanya.

Jadi Kementerian teknis yang terkait langsung pelaksanaan hukuman kebiri tidak mendukung seperti Kementerian Kesehatan, Kemenkum HAM dan Kementerian Agama. Sementara itu pihak yang setuju hukuman kebiri diantaranya Kemen PPPA, Kemensos, POLRI, Kejagung dan KPAI. 


10. Tidak Selesaikan Akar Masalah

Dibanyak kasus atau hampir semua kejahatan seksual berhubungan erat dengan pornografi, narkoba dan minuman keras. Bisa dikatakan, kejahatan seksual merupakan bagian hilir dari persoalan pokoke di bagian hulu seperti moral kepribadian seseorang dan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Jika demikian, tidaklah tepat jika hanya berkutat membicarakan wacana hukuman kebiri. Semestinya lebih berfokus pada pokok permasalahan, seperti pendidikan dan ketahanan keluarga. Dan pastinya harus serius menyelesaikan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Persiapan kejahatan seksual tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman pidana yang menimbulkan efek jera belaka, tetapi juga pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dengan memberikan pendidikan keluarga baik orang tua dan anak dalam hal moral, agama dan sosial. Pengobatan dilakukan kepada pelaku kejahatan seksual mengalami gangguan kepribadian, psikis dan kejiwaan.

Dan untuk memberikan efek jera, pemberatan sanksi hukuman penjara bagi pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan menambah maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, 30 tahun atau seumur hidup. Singkat kata, kejahatan seksual mesti ditanggulangi dengan edukasi, terapi dan sanksi.

---
Diolah dari berbagai sumber:
- antaranews.com
- okezone.com
- tempo.com
- detik.com
- kompas.com
- metronews.com
- republika.co.id