Tampilkan postingan dengan label digital public relations of hospital. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label digital public relations of hospital. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Oktober 2015

, , , , , ,

CERITA PAGI DI HARI SUMPAH PEMUDA

"Kita mah bekerja bukan mengharapkan penghargaan tetapi kalau diberi ya kita terima," ujar Ridwan Kamil, salah satu penerima penghargaan Tokoh PR 2015 dari SPS Indonesia (27/10) di Jakarta.
Keren ya! Sebenarnya bukan hanya Kang Emil saja keren. Tetapi juga Ibu Murti Utami (Ibu Ami). Loh apa hubungannya Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemkes dan Walikota Bandung itu? 

Ohhh, ada! Seperti Ridwal Kamil, Ibu Murti Utami juga mendapat penghargaan Tokoh PR 2015.
Tokoh PR 2015 Pilihan SPS Indonesia diberikan kepada tokoh publik, lembaga publik atau tokoh PR yang memberikan inspirasi bagi organisasi dan publik secara umum. Selain Ibu Murti Utami dan Ridwan Kamil, SPS Indonesia menganugerahi Tokoh PR kepada Marsekal Bambang Sulistyo (Kepala Basarnas), Ganjar Prabowo (Gubernur Jateng), dan 2 Tokoh dari perusahaan swasta. Penghargaan disrrahkan oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya di Gedung Dewan Pers semalam.
Eh itu belum cukup. Perlu tahu juga, Kementerian Kesehatan juga mendapatkan penghargaan sebagai Pemenang Program PR Inspirasional kategori Pemerintah Pusat/Daerah. Program PR dimaksud adalah"Ramah Tamah Menkes dengan Netizen/Blogger" yang bertujuan membangun engagement Menkes dengan Netizen dan meredam isu "BPJS Haram" di media sosial pada Agustus 2015.

Selamat kepada Ibu Ami, Puskom dan jajaran Kemkes atas apresiasi dari kalangan Media untuk program kehumasan (PR). Patut disyukuri di "akhir hidup" Puskom Publik sebelum bermetamorfosis menjadi Biro Komunikasi sempat memahat prasasti.
Maju terus dengan semangat Sumpah Pemuda. Merdeka!

Minggu, 09 Maret 2014

, , , , , , ,

Televisi VS Media Sosial, Lebih powerfull mana?

"Lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Salah satu "guru" dalam pemahaman saya tentang medicolegal adalah Prof. Herkutanto. Saya mengenalnya sejak awal penyusunan Undang-Undang Rumah Sakit. Hari ini Prof Herku berkenan ikut menyimak presentasi saya dalam seminar PERSI dan IRSJAM "Public Relations Rumah Sakit di Era Media Sosial" di RSIA Evasari hari ini. Pakar hukum kesehatan yang duduk paling depan ini adalah penanya pertama materi saya dan mas Silih Agung Wisesa,"Media PR? Media Sosial dong!". Pertanyaan cukup menyentak,"Dalam keadaan krisis, lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Menarik pertanyaannya, saya tidak langsung menjawab. Saya mulai menjawab dengan menceritakan peristiwa yang pernah saya tulis di blog ini; karena ruang ICU digunakan syuting, pasien meninggal dunia. Anda masih ingat dengan berita heboh itu? Saya menceritakan secara kronologis kejadian, bagaimana menyebar dari berita online dari portal bukan mainstream. Kemudian menyebar bia twitter. Dan hanya dalam hitungan jam menjadi berita utama di televisi. Setelah itu, nyaris tak ada media massa pun yang tidak menyiarkan berita itu selama sekitar 3 hari.

Setelah testimoni ayah pasien yang mengucapkan terima kasih atas pelayanan RS, berita pun mereda. Ditambah lagi pada akhir pekan, media massa mencium isu lain bahwa AU (Ketum PD) menjadi tersangka. Isu yang menggemparkan dunia politik dan hukum Indonesia ini menggilas isu syuting di ruang ICU RS di media massa. Namun dalam pantauan saya, sisa-sisa berita meninggalnya pasien akibat adanya syuting masih bertebaran di media sosial termasuk portal berita.

Apa yang dapat dipetik dari kisah ini dari sisi public relations? Bahwa media sosial berada pada tahap awal, tengah dan akhir fase krisis komunikasi rumah sakit. Secara viral, media sosial (blog, twitter, facebook, BBM, dll) menularkan virus isu dan persepsi. Virus isu dan persepsi ini bisa berasal dari percakapan, update status atau berita media daring (online). Isu dan persepsi ini mencapai klimaks dengan sebaran masif saat disiarkan media massa, khususnya televisi. Disaat inilah, isu dan persepsi ini menjadi opini publik yang menggiring perasaan bersama (commom sense), dalam hal ini rumah sakit dianggap sebagai biang kerok, pihak yang salah.

Saya mengibaratkan, bahwa isu dan persepsi melalui media sosial seperti ribuan peluru pistol dan granat. Kerusakan yang ditimbulkan perlahan namun pasti dan berlangsung lama. Sementara televisi ibarat bom atom yang berdampak pada tingkat kerusakan parah dan seketika. Pertanyaannya, anda memilih yang mana; di bom atom dengan daya rusak besar dan seketika ataukah dipistol dengan rasa sakit pelan-pelan, sedikit-sedikit tapi berlangsung lama? Prof Herku dan hampir semua peserta seminar sekitar 70 orang itu tidak memilih keduanya. Artinya, televisi dan media sosial berpotensi benar munculnya krisis komunikasi rumah sakit. Keduanya harus diwaspadai. Malah sebaliknya, media sosial dan media massa harus dimanfaatkan untuk kepentingan rumah sakit dalam hal membangung brand, citra dan reputasi.

Pada bagian akhir menjawab pertanyaan powerfull mana televisi dengan media sosial, saya mengutip hasil survei sebuah lembaga public relations. Disebutkan bahwa 91% wartawan bergantung pada Internet dalam mencari berita. Dan 7 dari 10 wartawan mendapatkan ide membuat berita dari internet. Wow! Jika demikian, kenapa kita, para public relations rumah sakit, tidak mencegat isu yang berpotensi krisis itu ketika masih menjadi perbincangan di media sosial? Atau cara yang lebih cerdas, rumah sakit-lah yang secara aktif menciptakan konten positif di media sosial dan media oline. Public Relations membangun conversation and engagement tanpa jarak dengan customer ( pasien dan potensial pasien) melalui media sosial?

Sudah bukan waktunya lagi untuk menimbang penting tidaknya, sekarang ini media sosial sudah menjadi kebutuhan komunikasi dan informasi rumah sakit. Bukankah setiap public relation harus berada ditempat yang sama dimana customernya berada? Bukankah rumah sakit perlu mendengar keinginan dan kebutuhan pasien? Itu semua bisa diperoleh jika rumah sakit berasa pada frekuensi dan tempat yang sama dengan pasien. Dan rumah sakit membutuhkan media sosial.

Selamat datang di era digital PR & marketing, saudara!