Tampilkan postingan dengan label jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jakarta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Mei 2013

, , , , , , , , , ,

INA CBGs itu makhluk apa?

"INA CBGs itu makhluk apa?"

Mohon angkat tangan, siapa diantara kita yang masih mempunyai pertanyaan seperti itu. Masih ada?  Berbahagilah! Berarti anda sama dengan Wanda Hamidah, anggota DPRD Jakarta yang cantik itu.

Jauh sebelum Wanda Hamidah mengungkapkan pertanyaan, "INA CBGs itu makhluk apa?", saya merasa orang terakhir yang tidak memahami apa itu INA CBGs. Namun kesamaan dengan Wanda Hamidah dalam hal ketidaktahuan tentang INA CBGs, tidak menjadikan saya geer alias besar diri. Sebaliknya merasa malu, sebagai orang yang bergelut sehari-hari dalam bidang perumahsakitan tidak mengerti dengan sistem INA CBGs yang sudah berjalan sejak Tahun 2010.

Adalah berita 16 rumah sakit mundur dari program Kartu Jakarta Sehat, menjadikan INA CBGs lebih dikenal. Klaim rumah sakit tersebut, tarif INA CBGs rendah sehingga merugikan mereka. Sontak kabar ini memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa sih INA CBGs? Makhluk apa itu INA CBGs? Tidak saja, Wanda Hamidah dan anggota DPRD Jakarta lainnya yang beberapa diantaranya mengusung wacana interpelasi. Tetapi juga anggota DPR dan pihak yang berkepentingan terhadap BPJS dan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

Kasus KJS dan INA CBGs ini menjadi topik hangat media cetak, online, televisi dan radio minggu-minggu ini. Namun jika disimak seksama, apa yang berseliweran di media itu belum menjawab secara substansi apa itu INA CBGs. Sulitnya mencari referensi, semakin tidak mudah memahami INA CBGs. Apalagi pertentangannya pun sudah bergeser kepada sisi politis dan interpelasi. Saya bukan ahli, namun hanya sekedar berbagi informasi secara konsepsi tentang makhluk apa itu INA CBGs.

Mari kita awali dengan pertanyaan mudah. Sebagai pasien lebih pilih mana; anda tahu besaran tarif dan jumlah biaya yang harus dibayarkan sebelum atau sesudah pelayanan pengobatan dan perawatan? Saya yakin mayoritas pasien (kalau tidak bisa dikatakan semua) ingin tahu besarnya biaya sebelum dilakukan semua tindakan pengobatan. Dengan INA CBGs, pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Pada INA CBGs bersifat paket sehingga besaran tarifnya dan jumlah biaya tetap.

Sekarang bandingkan dengan sistem tarif yang digunakan oleh sebagian besar rumah sakit saat ini. Pasien baru tahu besaran tarif dan jumlah biaya setelah semua tindakan pelayanan. Dan rumah sakit memungut biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Dengan kata lain, rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Inilah yang disebut fee for service, dimana besarnya biaya tergantung pada setiap tindakan pengobatan yang dilakukan.

Itulah sekilas konsepsi makhluk yang bernama INA CBGs. Oh ya, saya baca di salah satu media online bahwa Wanda Hamidah telah mengeluarkan pernyataan: INA CBG's lebih bagus dan lebih sistematis daripada Jamkesda.

Nah, jangan-jangan sekarang sudah mengerti INA CBGs. Waaaanndatahu, saya!

Senin, 14 Januari 2013

, , , , , ,

Blusukan, Keblusuk, Keblasuk

Masih bicara tentang blusukan. Jika sebelumnya blusukan dari perspektif branding yang tak bisa mudah dipisahkan dari Jokowi, sekarang kita bicara blusukan secara etimologis dan semantis. Dan kemudian dihubungan maknanya secara sosiologis jawa, istilahnya otak atik gathuk.

Kenapa tiba-tiba tertarik membahas blusukan? Dengan sederhana saya katakan bahwa itu disebabkan akhir-akhir ini istilah "blusukan" begitu sangat populer, tak hanya untuk masyarakat umum tapi lebih heboh lagi para elit politikus dan pejabat negara. Bahkan tak hanya disebut oleh orang Jawa dimana kata blusukan berasal. Seperti pernah saya katakan, blusukan yang awalnya istilah ndeso itu kini menjadi terdengar keren dan gaul. Bahkan yang saya khawatirkan cenderung elit dan politis. Dan yang berjasa mempopulerkan adalah Jokowi, Gubernur Jakarta saat ini.

Blusukan, kata kerja dari bahasa Jawa dengan asal kata "blusuk" yang berarti masuk lebih dalam atau masuk terdalam. Variasi "blusukan" bisa juga "mblusuk". Kata kerja "blusukan" ini biasanya digunakan pada tindakan seseorang yang memasuki wilayah atau area yang tak biasa disambangi. Atau area terpelosok atau sudut ruang dimana kebanyakan orang jarang kesana. Blusukan juga diidentikkan memasuki daerah yang kotor, gelap, pinggiran, terpencil atau jarang dijamah.

Ketika Jokowi menyebut blusukan untuk tindakan memasuki pelosok kampung, pasar, gang sempit dan wilayah kumuh, sesungguhnya bermakna banyak. Benar, Jokowi ingin berdialog langsung dengan masyarakat untuk menemukan masalah sesungguhnya Jakarta. Jokowi juga mau menunjukan bahwa yang ia lakukan sesuatu yang tidak dilakukan secara umum oleh pemimpin-pemimpin lain. Dan tentu saja itu bagian dari pencitraan dan kampanye sebagai Gubernur Jakarta.
Blusukan ini memiliki makna yang lebih dalam daripada istilah lain. Misalnya "turun kebawah" alias "turba" pada era orde baru. Apalagi dibandingkan dengan istilah egaliter atau merakyat yang memang tak populer. Turba menunjukan adanya strata sosial dimana ada "orang atas" dan "orang bawah", pejabat dan rakyat. Sementara blusukan mengesankan sikap egaliter, merakyat dan tanpa strata sosial. Disinilah menurut saya, Jokowi cerdik memilih kata dan memilah tindakan yang mampu merebut hati rakyat Jakarta.

Namun semua ada takarannya. Tak baik sesuatu itu berlebihan. Blusukannya Jokowi tentu sudah mendapatkan sumber utama masalah Jakarta. Blusukan Jokowi sudah mencitrakan Jokowi sebagai pemimpin yang egaliter, mau kerja keras secara cerdas dan rendah hati. Sekarang saatnya mengambil keputusan terbaik. Seperti yang dikatakan Jokowi saat kampanye dulu bahwa banyak rencana bagus untuk Jakarta namun lemah dalam eksekusi. Saatnya sekarang mengambil keputusan. Dan nanti Jokowi bisa blusukan lagi untuk mengambil keputusan yang lain lagi.

Hati-hati terlalu banyak blusukan bisa keblusuk dan keblasuk. Terjerumus (keblusuk) dalam pencitraan yang tak berkesudahan. Dan tersesat (keblasuk) dalam tumpukan masalah yang telah tertampung dari masyarakat. Sebelum keblusuk dan keblasuk akibat terlalu sibuk blusukan, lebih tepat saat ini tarik nafas sejenak dan khusyuk untuk mengeksekusi kebijakan konkrit demi Jakarta baru.