Tampilkan postingan dengan label terapi kanker. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label terapi kanker. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Maret 2016

, , , ,

Terapi Standar Kanker

Masih soal "Jaket Anti Kanker" Doktor Warsito, ini tulisan menarik terapi standar kanker oleh Inez Nimpuno. Sebagai survivor kanker sekaligus dokter, tulisan ini menjabarkan bagaimana tahapan alat terapi kanker mesti diterapkan pada manusia. Silakan menyimak!

---
 
Terapi Standar Kanker

Bersetuju dengan Kementerian Kesehatan, pengobatan kanker dengan pendekatan alternatif menggunakan jaket hasil temuan ahli fisika Dr Warsito tidak lagi dilanjutkan. Penghentian itu memunculkan pro-kontra.

Penggunaan jaket berbasis teknologi nonmedis itu diyakini banyak orang dapat menyembuhkan kanker dengan menggunakan metode Electrical Capacitance Colume Tomography (ECVT) dan Electro Capacitive Cancer Therapy(ECCT). Muncul perdebatan di media, membahas sikap pemerintah yang dianggap tidak pro pada pendekatan alternatif. Di sisi lain, ada pula yang menganggap langkah pemerintah benar karena ECCT dinilai belum memenuhi kaidah ilmiah. 


Pemerintah sebenarnya telah membentuk tim yang terdiri atas empat lembaga untuk me-review hasil penelitian Dr Warsito. Hasil reviewmenunjukkan, ECCT belum bisa disimpulkan keamanan dan manfaatnya sehingga belum bisa dikategorikan sebagai alat "terapi standar medis". Maka klinik C-Care tidak boleh lagi menerima pasien baru.

Namun, di sisi lain, pemerintah juga mengumumkan dukungannya terhadap kelanjutan penelitian alat ECCT dengan menunjuk Kementerian Kesehatan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Dikti untuk memfasilitasi uji praklinik dan uji klinik sesuai dengan kaidah ilmiah.

Pemerintah menunjuk delapan rumah sakit pemerintah guna memberikan pelayanan standar medis kepada pasien klinik C-Care yang sedang menggunakan alat ECCT. Pasien klinik C-Care yang datang ke rumah sakit tetapi menolak terapi standar medis akan diminta membuat pernyataan tertulis (informed consent) penolakan terapi yang disediakan rumah sakit. Maksudinformed consent adalah menghormati hak dan pilihan pasien.

Uji praklinik di laboratorium bertujuan untuk menguji sebuah konsep obat atau alat kesehatan, dan menentukan kelayakan penerapan kepada manusia pasca uji coba. Uji praklinik sebisanya mengikuti standar internasional Good Laboratory Practice (GLP) yang memang dalam praktiknya tidak gampang dan mahal.

Satu tahapan yang sangat penting adalah uji keamanan (safety test) untuk menentukan tingkat keamanan dari obat atau alat kesehatan yang sedang diuji, apakah bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya, yaitu uji klinik.

Etika uji klinik

Uji klinik selalu melibatkan manusia. Karena itu, rencana uji klinik wajib "lolos kajian etika penelitian" untuk menjamin kepastian perlindungan hak mereka yang menjadi obyek penelitian. Pada saat yang sama, "lolos kajian etika penelitian" akan melindungi pihak peneliti dari pelanggaran hak asasi manusia, menjamin penerbitan hasil penelitian ilmiah di jurnal internasional, dan bisa jadi prasyarat pencairan dana penelitian.

Peraturan yang dikeluarkan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2014 mengatur tata cara uji klinik. Umumnya, uji klinik melibatkan empat fase.

Fase pertama melibatkan sejumlah kecil peserta untuk membuktikan suatu obat/alat kesehatan baru memang aman untuk manusia. Kalau terbukti aman, dilanjutkan ke fase kedua, menguji jumlah orang yang lebih besar dan lebih bervariasi berdasarkan karakter umur, jenis kelamin, dan variabel lain yang perlu. Fase kedua bertujuan menilai tingkat kemanjuran obat/alat kesehatan yang sedang diuji.

Penilaian tingkat kemanjuran diteruskan pada fase ketiga dengan melibatkan ratusan orang sebagai sampel. Pada fase ketiga, obat/alat baru dibandingkan dengan standar terapi medis yang sudah ada. Seluruh proses uji klinik mengacu pada Cakupan Uji Klinis yang Baik (CUKB) atau standar internasional Good Clinical Practice (GCP).

Fase keempat mencakup pemasaran obat/alat kesehatan. Fase ini melibatkan ribuan orang dengan cakupan geografis yang lebih luas. Di fase ini data tentang efek samping (adverse events) akan dikumpulkan untuk menentukan kelayakannya.

Hasil uji klinik akan tersedia untuk peserta uji klinik dan publik dalam bentuk laporan atau publikasi di jurnal ilmiah. Pada tahap pemasaran obat/alat baru, ada prinsip Good Manufacturing Practice (GMP) untuk menjaga konsistensi kualitas obat/alat.

Keharusan untuk melalui uji praklinik dan klinik berstandar internasional pada kasus ECVT dan ECCT akan menjamin keamanan masyarakat dalam pelayanan kesehatan, sekaligus mendukung kiprah anak bangsa dalam berkarya sesuai standar internasional.

Pengembangan temuan ilmiah memerlukan biaya mahal. Untuk biaya empat fase uji klinik itu saja di negara maju 60-80 juta dollar AS. Jika benar bentuk "fasilitasi" pemerintah ini termasuk pembiayaan seluruh proses uji ECVT dan ECCT, berarti pemerintah mengambil alih peran "sponsor" yang di negara lain merupakan tanggung jawab pengembang.

Karena UU yang mengatur pengujian alat kesehatan belum ada, yang ada baru untuk obat, tampaknya Pemerintah Indonesia memakai pendekatan ad hocuntuk mengakomodasi uji alat ECVT dan ECCT. Peristiwa ini bisa menjadi preseden perbaikan perundang-undangan dalam mengejar kemajuan teknologi sehingga tersedia kerangka aturan sebagai landasan dalam pelaksanaan uji alat kesehatan.

Langkah yang dilalui memang panjang, dalam konteks uji coba jaket terapi kanker, Pemerintah Indonesia telah berupaya menjalankan tugas sesuai semangat nasionalisme, sekaligus melindungi konsumen pelayanan kesehatan. Pertanyaannya, jika benar pemerintah telah membuka pintu untuk bersama-sama melanjutkan proyek uji coba ini, mengapa ada kesan PT Ctech Edwar Technology malah mutung dan mencari induk semang di negara lain?

Padahal, seharusnya ini menjadi peluang kedua pihak untuk menghadirkan pengobatan kanker melalui uji coba terencana dan diterima di dunia medis. Tanpa kesediaan mengikuti tahapan uji coba, dan tanpa dukungan serius dari negara, sebuah inovasi dalam pengobatan penyakit kelas berat seperti kanker, betapapun canggihnya, akan kehilangan peluang pengobatan kanker di dunia.

INEZ NIMPUNO

Dokter; Survivor Kanker Payudara; Bekerja Di Kementerian Kesehatan Negara Bagian Australian Capital Territory

Kamis, 03 Desember 2015

, , ,

Cerita Indahnya Pertemuan Kementerian Kesehatan dengan Doktor Warsito

Hari ini saya merasa lebih beruntung. Bertemu dengan Doktor Warsito dalam suasana akrab dan kekeluargaan. Tidak seperti persepsi yang tergambar di media yang terasa panas dan penuh perbedaan tajam. Kementerian Kesehatan dan PT Edwar Technology (ET) berdialog dan berbicara dari hati ke hati.

Ibu Tritarayati dan Pak Akmal Taher menegaskan bahwa Kemenkes sejak awal mendukung inovasi anak bangsa sepanjang dalam kaidah penelitian yang baik. Ini dibuktikan dengan adanya nota kesepahaman antara Kemenkes dengan PT ET sejak tahun 2012.

Demikian juga Doktor Warsito, mewakili PT ET, secara rendah hati menegaskan bahwa sejak awal mengharapkan guideline dan pengawasan dari Kementerian Kesehatan.

Sungguh saya menyaksikan, betapa elok dialog hari ini. Silaturahmi dan komunikasi meneguhkan tujuan yang sesungguhnya sama; memberikan yang terbaik bagi diagnostik dan tetapi bagi pasien kanker

Berikut saya kutipkan pernyataan Doktor Warsito dalam akun facebook-nya :



Buat Rekan-Rekan Semua, mohon maaf telah menyebabkan polemik yang kurang nyaman.
Perlu kami tegaskan bahwa aktifitas yang kita lakukan selama ini ada berbasis MoU dengan Litbang Kementerian Kesehatan 2012 yang meliputi: uji in vitro, uji in vivo, uji validitas alat diagnostik ECVT dan studi kasus penderita kanker yang ditreatment dg ECCT. Uji validitas ECVT dan studi kasus ECCT telah mendapatkan ethical clearence Kemenkes.
Berdasarkan perkembangan terakhir apakah kegiatan di atas perlu diteruskan, dihentikan atau diformat ulang dalam bentuk lain, maka hari ini Rabu (2/12/2015) 13:30-15:30, dilaksanakan pertemuan antara Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Plt Kepala Badan Litbangkes/SAM Bidang Medika Legal Drg. Tritarayati SH. MH.Kes, Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi dr. Siswanto, MHP, DTM, Staff Khusus Kementrian Kesehatan Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU (K) dan PT Edwar Teknologi yang diwakili oleh Dr Warsito P Taruno M.Eng , Dr Edi Sukur dan Fauzan Zidni yang diadakan di Kantor Kementrian Kesehatan, Kuningan.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
  1. Kementrian Kesehatan melakukan review hasil penelitian yang telah dilakukan PT Edwar Teknologi paling lama 30 hari kerja terhitung tanggal 2 Desember 2015, mencakup: evaluasi penelitian in vitro dan in vivo dan evaluasi kasus.
  2. PT Edwar Teknologi tidak menerima klien baru sampai hasil evaluasi sebagaimana butir 1.
  3. PT Edwar Teknologi dapat melakukan tindak lanjut (follow up) klien lama.
Apa pun keputusan hasil evaluasi kami menyatakan akan sepenuhnya mentaati arahan yang akan diberikan oleh Kementrian Kesehatan setelah hasil review selesai.

Sungguh indah silaturahmi hari ini.

Gambaran diatas merupakan suasana pertemuan. Dalam hal saya mengutip status Pak Warsito semata-mata ingin melibatkan pihak pak warsito yang telah mempublikasikan kesepaktan pertemuan. Tentu saja tulisan ini tidak menjelaskan detil substansi dan teknis, karena kapasitas saya tidak disitu, Tetapi bagaimana publik memahami hubungan antara kemenkes dan PT ET (Pak warsito) tidak diwarnai perbedaan runcing spt tergambar di media.

Tentu saja status saya tidak menjelaskan detil substansi dan teknis, karena kapasitas saya tidak disitu, tetapi bagaimana publik memahami hubungan antara kemenkes dan PT ET (Pak warsito) tidak diwarnai perbedaan runcing spt tergambar di media.

Namun sedikit merespon pernyataan dari pihak pak warsito bahwa penelitian yang dilakukan telah merujuk pada MOU. Justru disinilah titik awal proses reviu itu. Apakah benar telah melalui proses penelitian yg baik spt in vitro, in vivo dan studi kasus/uji validitas. Tentu kita mesti menunggu reviu yang dilakukan Badan Litbangkes, tentu melibatkan pakar-pakar terkait dalam waktu 30 hari kerja ke depan.

Ada yang menanyakan tentang bentuk follow up. Yang dimaksudkan bukan bersifat pelayanan medis, tetapi konsultasi fisika medis. Kedua pihak (Kemenkes dan PT ET) sefaham bahwa terhadap klien lama yang memerlukan terapi kanker harus dilakukan oleh tenaga medis di fasyankes.

Jika nantinya akan dilanjutkan penelitian pemanfaat ecvt dan ecct akan dilakukan di rumah sakit, Bukan di tempat yang selama ini dipakai oleh doktor warsito. Menurut pengakuan pihak PT ET bahwa hubungan selama ini dilengkapi informed consent sebagai proses penelitian. Dan status sebagai "klinik" pun tidak dipakai lagi. Tentu saja, follow up klien lama dan klinik ini menjadi bahan evaluasi selama 30 hari ini. Adapun kata yang digunakan pak warsito memang "guidelines" dan "pengawasan" tetapi dalam konteks evaluasi dlm 30 hari ini akan diterapkan kaidan penelitian yg baik

Semoga kita bersabar menunggu hasil evaluasi ini. tentu tidak mudah mengemukan hal substansi dan teknis dlm ruang dan waktu yang terbatas ini. kita perlu selesaikan scr bertahap. Langkah awal, polemik ini mari kita akhiri dulu. Kemudian cari solusi bersama yang baik utk pasien, dokter, peneliti dan rakyat Indonesia.