Tampilkan postingan dengan label Media Relations. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media Relations. Tampilkan semua postingan

Selasa, 17 Juni 2014

, , , , , , , , , , ,

#Blogger2Hospital untuk Pasien dan Rumah Sakit

Hangatnya sinar matahari pagi mulai terasa, ketika saya perlahan berjalan menyusuri jalanan parkir yang di sisi sampingnya berjejer pohon rindang. Kaki saya melangkah mantap menuju Griya Puspa, titik temu dengan kawan-kawan blogger saya. Hari itu (31/5), saya bersama kawan-kawan #Blogger2Hospital melakukan kunjungan edukasi ke RSUP Persahabatan Jakarta.

Jam tangan saya menunjukan jam 08.05. Suasana poliklinik eksekutif, Griya Puspa, masih sepi. Mungkin karena ini hari Sabtu. Beberapa kafe dan toko makanan pun belum buka. Sesuai rencana, rangkaian #Blogger2Hospital di RSUP Persahabatan akan dimulai jam 09.00 pagi. Sambil menunggu hadirnya kawan blogger, saya diminta Ibu Lien (direktur umum) sedikit menyampaikan testimoni dan materi pada pelatihan "Great Customer Services Training". Sebuah pelatihan yang dikhususkan kepada petugas garda depan (frontliner) dalam pelayanan pelanggan atau pasien RS Persahabatan.

Jam 9.00 lebih sedikit, sekitar 10 orang blogger telah hadir di ruang rapat direksi. Seperti biasa, kami akan lakukan pembekalan kecil sebelum acara #blogger2hospital dimulai. Pada #blogger2hospital ke-3 ini, kami mendapatkan edukasi dari RSUP Persahabatan mencakup kesehatan respirasi, pengenalan ruang isolasi flu burung dan terutama edukasi klinik berhenti merokok. Selain berupa paparan, #blogger2hospital juga melakukan hospital tour dan mencoba beberapa fasilitas RS Persahabatan. Itulah sekilas #blogger2hopsital di RS Persahabataan Jakarta.

Sebelum dimulai acara, Bu Lien sempat bertanya apa sih sebenarnya #Blogger2Hospital itu. Secara singkat saya katakan bahwa #Blogger2Hospital adalah kegiatan edukasi pasien. Setiap pasien wajib memberikan informasi yang benar yang jelas kepada pasien. Rumah Sakit juga selain memikul fungsi pelayanan juga fungsi pendidikan, termasuk edukasi pasien.

Oh, setiap rumah sakit pasti melakukan edukasi pasien kok. Benar, itu tidak salah. Saya sangat yakin, petugas rumah sakit akan memberikan informasi kepada pasien, termasuk edukasi dan promosi kesehatan kepada pasien. Kapan edukasi itu diberikan? Pada saa pasien yang sedang sakit akan, dalam dan setelah mendapat pengobatan. Yakinkah bahwa edukasi ini berhasil? Coba kita bayangkan kita adalah pasien yang dalam keadaan kepayahan sakit harus mendengarkan edukasi dari petugas RS. Belum lagi juga harus memikirkan biaya pengobatan rumah sakit.

Mengapa tidak kita balik kondisinya, rumah sakit memberikan edukasi pasien dikala pasien itu siap menerima. Pada saat pasien itu bukan sebagai pasien. Tapi dalam keadaan sehat tubuh, pikiran dan jiwanya. Dalam keadaan pasien itu secara sukarela mau belajar tentang prosedur dan standar rumah sakit. Kawan-kawan yang tergabung dalam #Blogger2Hospital adalah pasien yang dalam keadaan sehat dan siap belajar dunia rumah sakit.

Mengapa harus Blogger? Blogger itu bagian dari warga internet (netizen) yang melakukan jurnalisme warga. Yang menjadi ciri khas citizen adalah suka berbagi informasi (sharing information) melalui publikasi tulisan, status, gambar dan video melalui media sosial. Sekurangnya melalui blog, twitter atau facebook.
Demikianlah juga dengan edukasi yang blogger peroleh dari pihak Rumah Sakit, tuan rumah #blogger2hospital. Informasi yang diperoleh, apa yang dirasakan, pengalaman yang dikecap saat kunjungan edukasi akan secara sukarela disebarkan Blogger kepada pengikutnya atau pembacanya. Secara langsung dan tidak langsung, maka informasi edukasi rumah sakit tersebut tersebar ke banyak pasien (many to many information). Dengan kata lain, kegiatan #blogger2hospital membantu saling memahami dan berkomunikasi antara pasien dan rumah sakit. Program #blogger2hospital bermanfaat bagi pasien dan rumah sakit dalam banyak hal terutama edukasi, informasi dan komunikasi.

Berikut beberapa postingan yang menuliskan perasaaan, pengalaman dan apa yang didapat peserta #Blogger2Hospital di beberapa rumah sakit. Silahkan dibaca :)

#Blogger2Hospital Pertama di RS Premier Bintaro :

  1. Wisata edukasi tentang rumah sakit di RS Premier Bintaro, Priceless!

  2. Ketika #blogger2hospital ke RS Premier Bintaro

  3. Menikmati Liburan dengan Berkeliling Rumah Sakit

  4. Sedikit cerita tentang serunya Tour ke RS. Premier Bintaro

  5. Melongok ke dalam RS Premier Bintaro

  6. #Blogger2Hospital : Tour Asyik di RS. Premier Bintaro

  7. Magnetism Card Trick - Edisi #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Kedua di RSIA Evasari Jakarta:

  1. Touring Ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Evasari Jakarta

  2. #blogger2hospital sambangi RSIA Evasari

  3. #Blogger2Hospital (Edisi 2): Menyambangi RSIA Evasari

  4. Studi Tour Ke RSIA Evasari

  5. Hospital Tour #blogger2hospital @rsiaevasari

  6. #blogger2hospital Ke RSIA Evasari, Rumah Sakit Yang Memiliki Pelayanan Subspesialistik Terlengkap di Jakarta

  7. Bukan Jalan-jalan Biasa #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Ketiga di RSUP Persahabatan Jakarta;

  1. Rumah Sakit Persahabatan, Rujukan Nasional Kesehatan Respirasi

  2. Jangan Merokok, Nanti Dokter Annisa Dian Marah!

  3. #Blogger2Hospital (Edisi3): Menelusuri RSUP Persahabatan

  4. Bukan Jalan-Jalan Biasa : RSUP Persahabatan

  5. Pilih Mana Berhenti Merokok atau Sakit?

  6. Yuk Berhenti Merokok di Klinik Berhenti Merokok - RS PERSAHABATAN

  7. Jalan - Jalan ke RS PERSAHABATAN

  8. Blogger2Hospital berkunjung ke RSUP Persahabatan


Maaf bagi kawan blogger yang belum sempat disebutkan postingannya ya. Informasi dan edukasi #Blogger2Hospital juga bisa diikuti di Twitter dengan hastag #blogger2hospital.

Bagi Kawan Blogger, gabung yuks di #Blogger2Hospital selanjutnya. Untuk Rumah Sakit, hubungi kami jika siap menjadi tuan rumah edukasi pasien.

Minggu, 16 Maret 2014

, , , , , , , ,

Ada apa dengan #Blogger2Hospital ?

Pernahkah anda melihat garis warna merah, hijau, kuning dan hitam pada lantai ruang IGD sebuah rumah sakit? Tahukah anda itu tanda apa? Sekedar terlihat keren, ataukah ada maksudnya? Tahukah anda mengapa ruang rawat inap pasien dibedakan laki-laki perempuan, dewasa anak, infeksius dan non infeksius?


Tahukah anda ruang bedah tidak boleh bersudut tajam melainkan melengkung? Tahukah anda mengapa harus berkali-kali diambil darahnya untuk setiap pemeriksaan laboratorium? Tahukah anda bahwa pintu radiologi harus berlapis pelat baja? Tahukah anda bahwa rumah sakit merupakan organisasi paling kompleks dengan sekurangnya ada 26 profesi didalamnya?


Itu hanya sebagian kecil pertanyaan yang sebagian besar orang bekum tentu bisa menjawabnya. Jangankan orang awam, apalagi yang jarang ke rumah sakit, pekerja rumah sakit pun belum tentu mengetahuinya.


Dalam berbagai kesempatan saya melakukan klarifikasi terhadap sebuah kasus yang menyangkut hubungan pasien dan rumah sakit, banyak menemukan fakta menarik. Dimana saya menemukan pasien atau keluarganya awam sekali terhadap standar dan prosedur rumah sakit. Rumah sakit adalah dunia asing bagi sebagian besar pasien. Disisi lain, sebagian besar rumah sakit tidak mampu menjelaskan secara baik dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam. Bisa dimaklumi pada saat itu, boro-boro pasien/keluarga sempat belajar standar & prosedur rumah sakit, merasakan sakitnya pun sudah kepalang. Belum lagi was-was dengan biaya pengobatan yang bisa jadi menguras tabungan bertahun-tahun. Demikian juga Rumah Sakit sudah kewalahan melakukan pengobatan pasien sehingga melupakan fungsi dan peran edukasi pasien.


Padahal pasien/keluarga yang cerdas sangat membantu dokter/rumah sakit dalam pelayanan kesehatan. Pasien cerdas mempercepat proses anamnesa, diagnosa, pemeriksaan penujang dan terapi. Singkatnya, pasien cerdas membantu percepatan penyembuhan dan pemulihan. Alangkah indahnya, jika pasien dan dokter terjalin komunikasi yang baik oleh karena pasien yang mengerti dunia rumah sakit.


Berawal dari persoalan itulah, saya berfikir bahwa mengapa pada saat sehat kita (calon pasien) mencoba mengerti dunia perumahsakitan. Kita mempelajari secara umum bagaimana sih rumah sakit dijalankan. Kita berusaha tahu prinsip dan standar dasar pelayanan rumah sakit. Bukan bermaksud putar haluan berkarir di rumah sakit, melainkan memahami dan mempelajari dunia rumah sakit. Tujuannya sederhana, agar jika jadi pasien atau mendampingi keluarga tidak awam sama sekali. Syukur jika terhindar dari kebingungan dan kegelisahan diaebabkan ketidaktahuan terhadap prosedur dan standar rumah sakif.


Untuk mewujudkan keinginan itu, saya ingin mengajak kawan-kawan blogger melakukan kunjungan ke rumah sakit. Ya, istilah kerennya hospital tour dengan nama #blogger2hospital. Diharapkan dengan kemampuan dan passionnya, blogger bisa menceritakan pengalaman dan insight selama #blogger2hospital melalui postingan, twit atau pesan statusnya. Tapi maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, #blogger2hospital ini bukan event endorsing dan buzzing. Saya hanya mencoba membangkitkan sisi passionate dan keingintahuan para blogger tentang dunia perumahsakitan. Saya hanya ingin katakan bahwa rumah sakit itu komplek sekaligus unik lho. Dan anda, blogger, harus tahu dan menceritakan kepada para pembacamu.


Pasti anda bertanya, apa saja yang dilakukan pada acara #blogger2hospital ? Ya, seperti layaknya sebuah tour. Kita akan dipandu dan dijelaskan bagaimana rumah sakit dijalankan. Standar, prosedur, ketenagaannya, jenis layanan, ruangan, peralatan dan lain-lain. Tenang saja, semuanya dengan bahasa manusia awam, bukan bahasa medis. Toh, kalau tak mengerti boleh bertanya. Peserta juga #blogger2hospital akan dikenalkan dengan manajer, dokter, perawat, satpam dan office boy-nya. Dan rencananya, kita berkunjung kepada pasien yang kebetulan dirawat guna menunjukkan simpati dan empati atas sakitnya.


Saya akui, tidak mudah mencari rumah sakit yang mau menerima kunjungan #blogger2hospital ini. Sekali lagi, rumah sakit itu dunia lain yang relatif tertutup. Interaksi dan komunikasi yang terjalin dengan orang luar tidak seterbuka dibanding institusi lain. Tapi syukurlah, RS Premier Bintaro bersedia menjadi rumah sakit pertama yang mau terima rombongan #blogger2hospital. Rumah sakit berstandar internasional ini membolehkan 15 blogger belajar tentang dunia rumah sakit pada tanggal 29 Maret 2014.


Semoga saja acara #blogger2hospital yang pertama ini berjalan lancar. Siapa mau ikut?

Rabu, 15 Mei 2013

, , , , , , ,

Survei Loyalitas Pasien 2013

Pernahkah anda mendapatkan layanan kesehatan khususnya di RS Swasta? Setelah kunjungan itu, apakah anda berniat kembali lagi ke RS tersebut?

Saya punya informasi menarik ketika hadir pada acara Indonesia Healthcare 2013 minggu lalu. Saya mencermati hasil survei perspektif konsumen kesehatan yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Onbee Marketing Research. Bertitel "Indonesia Most Reputable Healthcare Brand 2013" ini dilakukan pada bulan Februari - Maret 2013 dengan 2.917 responden dan teknik random sampling. Rumah Sakit menjadi obyek survei, selain perusahaan farmasi, asuransi kesehatan, apotek, laboratorium kesehatan dan klinik kecantikan. Dan yang saya maksudkan menarik adalah hasil survei terkait dengan tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter.

 

1. Loyalitas Pasien

Menurut survei SWA, 82% mengunjungi rumah sakit swasta sebanyak 1 – 3 kali dalam setahun. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan, dalam sekali kunjungan pasien ke RS swasta sekali rata-rata tidak lebih dari Rp 500.000,-, dan 25% mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 1000.000,-

Dari sisi loyalitas, 74% pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit swasta yang dikunjunginya, dan kualitas pelayanan (28%) adalah alasan utama yang paling banyak dikemukakan. Sedangkan alasan lain seperti lokasi (19%), Dokter (13%), Sudah terbiasa (7%), Kondisi Kesehatan (7%), Harga (7%), Fasilitas (7%), Afiliasi (kantor asuransi) (6%), Tidak ada (4%), Rekomendasi dokter (2%), dan kualitas RS (1%) menjadi alasan untuk kembali ke rumah sakit yang pernah dikunjungi.

Sementara itu, lokasi yang jauh (44%) merupakan alasan pindah rumah sakit. Faktor lain pindah RS yaitu kualitas pelayanan kurang baik (15%), harga mahal (12%), dokter yang kurang memuaskan (9%), fasilitas yang tidak memadai (8%) dan tidak ada dokter spesialis (12%)

 

2. Loyalitas terhadap dokter

Pasien semakin cerdas. Ini dibuktikan dengan hasil survei bahwa 80% pasien RS swasta menyatakan bahwa dokter wajib mempunyai komunikasi yg baik. Alasan mengganti dokter disebabkan tidak berhasil sembuh (39%), tidak komunikatif (34%), biaya konsultasi (11%), terburu-buru (9%) dan resep yang banyak (7%).

Sebaliknya, 32% pasien akan merekomendasikan dokternya jika dokter tersebut komunikatif dan 41% karena dokternya dapat menyembuhkan penyakitnya.

 

3. Sumber Informasi

Sebanyak 64% pasien RS Swasta menyatakan bahwa teman/keluarga merupakan sumber informasi ketika memilih rumah sakit, dan 49% menyatakan bahwa sisi kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih rumah sakit.

Yang menarik, sebanyak 75% pasien RS Swasta mampu menyebarkan positive Word of Mouth (WOM) ke rata-rata 5 orang dan 22% pelanggan mampu menyebarkan negative WOM ke rata-rata 4 orang. Jadi bisa dikatakan bahwa positive WOM 25% lebih disebarluaskan dibanding negative WOM.

Media promosi terpercaya 65% adalah rekomendasi, 34% iklan di media elektronik, 10% iklan di media cetak, 3% iklan di media cetak. Pasien mengharapkan adanya digital media terutama website, karena hal ini akan membantu meningkatkan keyakinan pasien/keluarga terhadap RS Swasta dan sarana informasi.

Dan dibandingkan dengan adanya dokter ahli, banyaknya dokter spesialis, fasilitas modern dan harga terjangkau, ternyata faktor kualitas pelayanan yang baik merupakan faktor utama sebuah RS swasta direkomendasikan kepada orang lain.

Bagaimana menurut anda?

Senin, 07 Januari 2013

, , , ,

Wartawan Bukan Malaikat

Direktur sebuah rumah sakit panik. Banyak wartawan berkumpul di rumah sakitnya ingin meminta keterangan dan meliput salah satu pasien. Sejak sehari sebelumnya, si pasien dengan sakit dan keadaanya memang menjadi headline pemberitaan di berbagai media massa. Sang Direktur bingung harus berbuat apa. Jika tak memenuhi kemauan wartawan, dia khawatir rumah sakit dituduh menutupi informasi yg semestinya diketahui publik. Tapi dia juga tahu tentang hak pasien berikut rahasia medis/kedokteran.

Bingungnya sang direktur karena dibayangi pada suatu kasus belum lama dimana sebuah rumah sakit lain menjadi "bulan-bulanan" pemberitaan media massa. Memang kasusnya berbeda, namun proses penanganan pers yang tidak tepat menjadikan keadaan semakin buruk. Tentu saja sang direktur tak mau kejadian ini menimpa rumah sakitnya.

Melihat kasus diatas, saya menjadi ingat adagium yang pernah saya dengar; wartawan bukan malaikat. Apa artinya itu?

Pertama, kemauan dan pandangan wartawan tidak selalu benar. Tugas utama wartawan menggali informasi sedalam mungkin, jadi jangan heran kalau mereka banyak bertanya. Niatan awal mereka demi kepentingan publik, maka tak perlu risau jika mereka berani menabrak sekat prosedur birokrasi. Mereka mendasarkan pada keterbukaan informasi, maka tak kenal lelah mendobrak sikap dan ucapan yang terkesan menutupi. Tapi banyak hal yang wartawan belum ketahui. Pertanyaan yang mereka lontarkan bukan berarti menguji, tetapi sering kali memang tidak mengerti. Dengan demikian sikap menghindari wartawan justru menghalangi tersebarnya informasi yang semestinya publik harus tahu. Berani menghadapi wartawan dan menjelaskan duduk permasalahannya dapat memberikan pandangan yang berbeda dari sebelumnya.

Kedua, wartawan bisa dipengaruhi opininya. Bukan hanya wartawan, setiap orang baik secara sadar maupun tidak telah memiliki pola persepsi pada suatu hal. Demikian juga wartawan, apa yang dituliskannya atau diwartakannya tak terlepas dari pandangan pribadi atau korporasinya. Tapi sekali lagi, mereka tak mengetahui setiap masalah. Disitulah justru peluang rumah sakit untuk menjelaskan secara sistematis dilengkapi fakta-fakta sehingga memberi pencerahan si wartawan. Dengan demikian opini yang dibangunnya pun berubah. Wartawan juga seperti manusia lain yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan dan kedekatan.

Ketiga, wartawan bisa diajak dialog bahkan kerjasama. Menerima wartawan dengan ramah di dalam ruangan yang nyaman merupakan langkah awal yang baik. Sang wartawan akan merasa dihargai dan dimanusiakan. Saat itulah, kita bisa bicara dengan lebih santai atau malah dari hati ke hati. Berikan informasi yang semestinya on the record. Jangan sekali waktu beri informasi off the record untuk memberi gambaran lebih luas pada sebuah permasalahan. Ini juga sangat membantu dalam membangun hubungan kepercayaan. Dengan demikian akan terjalin dialog dan kerjasama yang positif antara wartawan dan rumah sakit.

Wartawan bukan malaikat, tapi juga jangan perlakukan mereka seperti syaitan. Wartawan juga manusia yang semestinya ditemui, dihadapi dan diajak dialog dengan baik.

Minggu, 06 Januari 2013

, , , , , , , ,

Hati-Hati Terhadap Media Massa dan Media Sosial

Dalam tulisan sebelumnya, Belajar dari RSAB Harapan Kita, saya mengatakan bahwa kasus RSAB Harapan Kita dapat menjadi pembelajaran yang sangat penting khususnya mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya. Pernyataan saya tersebut sebagai wujud ajakan berhati-hati terhadap media massa dan media sosial. Media memiliki potensi besar dalam pembentukan opini yang berdampak pada baik atau buruknya sebuah citra rumah sakit.

Masih dalam konteks belajar dari kasus RSAB Harapan Kita, mari kita beberapa poin penting yang memperkuat alasan agar berhati-hati terhadap media massa dan media sosial.

Menurut informasi dari sumber penulis, sejak awal keluarga pasien tidak mengeluh terhadap pelayanan RSAB Harapan Kita. Bahkan ketika pasien meninggal dunia pun, keluarga tetap mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang cepat tanggap dan tanpa diskriminasi. Hal ini dapat dirasakan oleh keluarga pasien karena memang sebagai pasien RSAB Harapan Kita sudah lama menjalani pengobatan dan perawatan. Sudah berkali-kali pasien menjalani pengobatan dan perawatan termasuk kemoterapi. Meski "hanya" dengan jaminan KJS, namun RSAB melayani dengan cepat, tanggap dan tanpa diskriminasi, begitu pengakuan orang tua pasien.

Muncul pertanyaan, kenapa jika awalnya pasien tidak komplain tetapi malah menjadi pemberitaan yang sedemikian menghebohkan? Orang tua pasien adalah pekerja teknisi pada sebuah media kantor berita. Katanya dengan alasan kepentingan publik, media tersebut mengangkat dalam pemberitaan kejadian pasien meninggal dunia di ICU. Yang pada saat bersamaan berlangsung syuting sinetron. Jalinan cerita dibangun oleh media sehingga terbentuklah opini bahwa meninggalnya pasien disebabkan tak tertangani dengan baik oleh karena ruang ICU digunakan syuting sinetron.

Kita bisa cek atau browsing bagaimana judul berita online tanggal 27 desember 2012. Atau media cetak pada esok harinya. Mayoritas menggiring opini bahwa kematian pasien disebabkan oleh aktivitas syuting sinetron. Berita ini tentu saja mengusik nurani publik yang kembali mengungkit persepsi kolektif massa tentang rumah sakit yang diskriminasi kepada pasien terutama dari masyarakat miskin. Ditambah lagi opini seakan-akan nyawa seorang anak dipertaruhkan dengan syuting sinetron yang selama ini tergambarkan secara glamor.

Opini kematian pasien karena syuting ini menyulut psikologi dan emosi publik. Media dengan jaringan saling mengutip berita yang memang punya nilai berita ini. Kembali kita diingatkan pada adagium, bad news is good news. Demikian juga publik pembaca online yang sudah tersentuh "sisi kemanusiaannya" turut menyebarkan berita itu. Mereka ini terutama pengguna media sosial seperti twitter misalnya. Hanya dengan satu tombol "retweet", berita itu secara viral tersebar kepada followernya. Mayoritas pengguna media sosial tidak melakukan klarifikasi informasi sebelum me-retweet.

Secara online, opini sudah terbentuk baik melalui portal berita maupun media sosial. Ingat sebuah survey, 7 dari 10 jurnalis memanfaatkan internet sebagai sumber berita. Demikian juga media elektronik, dengan hebohnya kasus ini pada media online maka televisi pun memberitakannya bahkan secara live. Televisi merupakan media informasi dengan potensi membentuk opini sedemikian masif. Dampaknya, persepsi kematian pasien di ruang ICU RSAB Harapan Kita karena syuting begitu dalam tertanam di benak publik.

Sulit sekali menghilangkan persepsi dari opini buruk yang terlanjur tersebar. Meskipun orang tua pasien secara live di televisi sudah mengatakan terima kasih atas pelayanan RSAB Harapan Kita. Rumah Sakit tak harus meminta maaf atas kematian anaknya, karena memang bukan disebabkan terganggunya penangan pasien akibat syuting. Tetapi opini terlanjut sudah terbentuk. Para pejabat dan publik figur pun sudah berkomentar dan mengecam rumah sakit. Itu bukti bahwa mereka juga tak melakukan klarifikasi. Lagi-lagi, mereka lakukan atas nama simpati publik dan sikap populis.

Mari kita cermati lagi. Setelah berkali orang tua mengklarifikasi di berbagai media akan kematian pasien, orientasi media pun berubah menjadi boleh tidaknya syuting di ruang ICU. Pihak keluarga pasien tidak lagi menjadi narasumber yang "seksi" untuk berita. Tetapi tetap saja, RSAB menjadi pihak yang "disalahkan". Hanya saja, awalnya fokus kepada kematian pasien akibat syuting. Kemudian ketika terbukti tak ada relevansinya, maka obyek berita berubah menjadi syuting di ICU. Sekilas memang tak berbeda, namun jika diperhatikan seksama ada penekanan yang berbeda. Dan dari aspek pembentukan opini, pengalihan obyek berita ini akan mengukuhkan opini yang sudah terbangun.

Dengan demikian, bagi RSAB Harapan Kita akan bertambah buruk citranya. Jika sebelumnya diopinikan bahwa RSAB Harapan Kita melakukan kelalaian yg menyebabkan kematian pasien akibat syuting, dan selanjutnya ditambah RSAB melanggar aturan karena ICU digunakan syuting.

Apa yang kita petik dari kasus ini? Media massa dan media sosial mempunyai potensi pembentuk opini yang luar biasa. Rumah Sakit, atau apapun instansi dan siapapun kita, tak bisa mengkambinghitamkan media itu. Menyalahkan media massa dan media sosial hanya membuang energi dan mengurangi kreatifitas dalam mengembalikan citra positif. Karena mereka itu refleksi dari perilaku dan persepsi publik.

Yang terbaik kita lakukan adalah memanfaatkan potensi media massa dan media sosial itu. Mari mengenali perilaku media dan memahaminya. Kemudian tangani media dengan baik. Jika belum mampu menangani media eksternal, lakukan pengelolaan media internal. Bentuk persepsi positif publik dan perangi opini buruk terutama dengan media internal. Lebih baik lagi jika memiliki jaringan dan hubungan baik dengan media eksternal.

Dan jika itu semua belum bisa dilakukan, ya berhati-hatilah dengan media massa dan media sosial. Dan cara berhati-hati yang paling tepat adalah memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Sabtu, 24 November 2012

, , , , ,

Humas Jangan Musuhi Wartawan

Wartawan bukanlah "malaikat", sudut pandangnya masih bisa dipengaruhi. Itulah kutipan dari Arif Zulkifli yang saya masih ingat pada media sharing hari ini. Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu juga mengungkapkan, media online mementingkan kecepatan sedangkan media cetak mengutamakan kedalaman.

Saya bersyukur atas batalnya jadwal ke Medan. Dengan begitu, saya dapat mengikuti acara ini. Mata mengantuk kurang tidur semalam dan lelah menghadapi kemacetan perjalanan dari Bogor sejak pagi buta pun tak terasa. Banyak hal yang saya dapatkan tentang bagaimana media bekerja dan wartawan mencari berita khusunya Tempo.

Misalnya saja, mengapa media lebih sering menonjolkan sikap oposisi kepada Pemerintah dibandingkan memberitakan secara berimbang. Misalnya, seorang pasien miskin tidak mempunyai kartu jamkesmas atau jamkesda namun mengharapkan pelayanan gratis. Rumah Sakit mencatatsebagai pasien umum yang harus membayar dengan uang sendiri. Pasien tidak mau, kemudian pulang. Berita yang muncul di media pastilah pasien ditolak rumah sakit. Sementara kelengkapan yang menjadi kewajiban pasien yang tak terpenuhi tak banyak disinggung. Padahal rumah sakit bingung, siapa yang menanggung biaya pengobatan pasien itu. Alasan media, selain secara idealis, memang dari sononya jurnalis melakukan kontrol terhadap pemerintah. Juga pakem; bad news is good news. Good news is no news.

Yang menarik, pernyataan sekaligus "pengakuan" dari Redaktur Eksekutif Tempo tersebut ketika media belum mendapatkan konfirmasi dari narasumber tetapi tetap menerbitkannya. Karena bisa diartikan melanggar prinsip cover both side atau malah cover all side.

Menghadapi 2 hal diatas, Mas Arif memberi beberapa alternatif solusi. Bisa menyampaikan hak jawab secara cepat tepat atau mengadukan keluhan ke Dewan Pers yang akan memakan waktu lama. Tentu pilihan segera merespon pemberitaan adalah pilihan tepat. Tapi jangan sampai Humas hanya sebagai pemadam kebakaran. Urusan hak jawab adalah persoalan hilir, maka sedapat mungkin urusan hulu dimana konfirmasi wartawan terhadap narasumber harus dipenuhi. Sehingga tak mengakibatkan kerusakan terlanjur terjadi, baru kemudian menyampaikan klarifikasi.

Humas harus mampu menjalin hubungan baik dengan wartawan, tidak saja formal tetapi juga personal. Hubungan baik ini sangat membantu pada saat terjadi krisis kehumasan. Untuk memulainya, lakukan kunjungan ke media yang bersangkutan. Manfaatnya, selain mengklarifikasi pemberitaan juga menjalin relasi yang saling percaya.

Wartawan yang militan pantang pulang sebelum mendapatkan berita dari narasumbernya. Dan wartawan yang baik juga tidak menerima amplop, begitu kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu.

Selasa, 20 November 2012

, , , , , , , , ,

Maukah Humas Dipecundangi Twitter?

Saya sedang asik meng-chirpstory kicauan bersambung di twitter tentang iklan klinik tongfang yang menyesatkan. Tiba-tiba sudut mata saya menangkap judul kultwit, begitu istilah keren twit bersambung, yang mengangkat keburukan sebuah rumah sakit. Saya sangat kenal nama rumah sakit itu.

Tak menunggu menit berganti, saya mengarahkan kursor mouse, dan klik! Terpampang lebih dari 50 twit yang membeberkan banyak "dugaan" kebobrokan rumah sakit di bandung itu. Copy, Save dan Print, itu langkah saya selanjutnya. Tanpa babibu lagi, saya telepon direkturnya untuk mengabarkan hal ini. Beliau minta diemail sekalian.

Kicauan di twitter ini membeberkan begitu gamblang nama orang, tempat kejadian dan obyeknya. Dan yg "dibongkar" pun juga macam-macam. Si pemilik akun juga mengancam akan menggali lebih dalam borok rumah sakit. Oleh karena dirasa hal ini sangat potensial merusak citra dan reputasi rumah sakit, maka saya sarankan kepada Direktur agar segera ditangani dengan baik.

Sementara saya pun juga coba menyelidiki akun twitter bergambar profil perempuan seksi ini. Ternyata akun psudonim, samaran. Melihat profilnya, akunnya baru belum lama dibuat. Jumlah twitnya masih sedikit. Dan menariknya, akun ini juga follower dari @triomacan2000 yang terkenal karena sering "membuka" aib seseorang/institusi. Biasanya kasus korupsi. Beberapa minggu sebelumnya akun @triomacan2000 juga melakukan kulwit nyaris seminggu mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit Indonesia. Meskipun sangat menggeneralisir dan memsimplifikasi persoalan. Bisa jadi, akun pembeber keburukan rumah sakit di bandung ini terinspirasi oleh TM2000 tersebut.

Sedang asik menjadi "detektif", wakil direktur rumah sakit telepon saya. Mungkin diinstruksikan oleh Direkturnya. Dan lagi, minta dikirim via email. Done. Tapi tak berapa lama, manajer humasnya juga telepon. Tanpa diminta humas rumah sakit menceritakan masalahnya. Dan dia kaget, setelah saya informasikan bahwa yang memergoki kultwit di chirpstory itu adalah saya.



Kemudian saya menanyakan apa yg telah dan akan dilakukan humas RS. Betapa kagetnya saya, sebab di-mention dengan keburukannya, akun twitter RS dinonaktifkan atau ditutup sementara. Lebih kaget lagi, humas mengaku bahwa penutupan itu atas perintah Direktur RS. Saya kemudian bertanya kenapa harus dinonaktifkan? Jawabnya, untuk meredam mention-mention dari kultwit susulan seperti yang dijanjikan.

Saya katakan bahwa upaya tutup akun twitter pada saat seperti ini baik sementara atau selamanya bukanlah tindakan yang tepat. Sebaliknya, ajaklah si akun pembeber itu berkomunikasi. Anggaplah sebagai pasien, keluarga atau publik yang sedang menyampaikan keluhannya (complain). Berdialog dengan baik, siapa tahu akun pembeber ini memberikan data pendukung seperti yang dituduhkan.

Menutup akun twitter akibat "serangan" seperti ini jelas semakin memposisikan rumah sakit terpojok. Dapat dijadikan pembenar anggapan sebagaimana dibeberkan. Ingat ya! sedikit atau banyak, rumah sakit memiliki follower. Dan follower ini akan memperhatikan dengan seksama interaksi di linimasa. Di ujung telepon sana, saya membayangkan si manager humas seperti mahasiswa yang mendengar kuliah dosennya. Bagaimana tidak, saya sudah menyerocos banyak tapi hanya sesekali dia menimpali. Di ujung obrolan telepon, manager humas RS akan berusaha menyampaikan saran saya itu kepada direktur. Saya merasa ada nada ragu, sepertinya ada sedikit takut dengan atasannya. Sebenarnya wajar saja. Kemudian saya titip salam untuk direkturnya.

Syukurlah, akun twitter rumah sakit diaktifkan kembali. Saya perhatikan terjadi interaksi diantara keduanya. Seperti kebanyakan akun pseudonim, tak bakal dia mau datang ketika diundang bertemu muka. Tak pula sudi memberikan fakta-fakta. Hanya klaim informasi yang ditwitkan benar. Yang ada menantang rumah sakit untuk melakukan tindakan dan pembenahan.

Akhirnya setelah 3 hari, akun twitter samaran itu pun tutup selamanya. Tetapi kerja keras dan cerdas humas rumah sakit baru saja mulai, yaitu mengembalikan citra rumah sakit yang sempat tercoreng. Tentu saja, bukan tugas yang mudah dan instant sebagaimana membuat dan menutup akun twitter.