Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan

Kamis, 03 Desember 2015

, , ,

Cerita Indahnya Pertemuan Kementerian Kesehatan dengan Doktor Warsito

Hari ini saya merasa lebih beruntung. Bertemu dengan Doktor Warsito dalam suasana akrab dan kekeluargaan. Tidak seperti persepsi yang tergambar di media yang terasa panas dan penuh perbedaan tajam. Kementerian Kesehatan dan PT Edwar Technology (ET) berdialog dan berbicara dari hati ke hati.

Ibu Tritarayati dan Pak Akmal Taher menegaskan bahwa Kemenkes sejak awal mendukung inovasi anak bangsa sepanjang dalam kaidah penelitian yang baik. Ini dibuktikan dengan adanya nota kesepahaman antara Kemenkes dengan PT ET sejak tahun 2012.

Demikian juga Doktor Warsito, mewakili PT ET, secara rendah hati menegaskan bahwa sejak awal mengharapkan guideline dan pengawasan dari Kementerian Kesehatan.

Sungguh saya menyaksikan, betapa elok dialog hari ini. Silaturahmi dan komunikasi meneguhkan tujuan yang sesungguhnya sama; memberikan yang terbaik bagi diagnostik dan tetapi bagi pasien kanker

Berikut saya kutipkan pernyataan Doktor Warsito dalam akun facebook-nya :



Buat Rekan-Rekan Semua, mohon maaf telah menyebabkan polemik yang kurang nyaman.
Perlu kami tegaskan bahwa aktifitas yang kita lakukan selama ini ada berbasis MoU dengan Litbang Kementerian Kesehatan 2012 yang meliputi: uji in vitro, uji in vivo, uji validitas alat diagnostik ECVT dan studi kasus penderita kanker yang ditreatment dg ECCT. Uji validitas ECVT dan studi kasus ECCT telah mendapatkan ethical clearence Kemenkes.
Berdasarkan perkembangan terakhir apakah kegiatan di atas perlu diteruskan, dihentikan atau diformat ulang dalam bentuk lain, maka hari ini Rabu (2/12/2015) 13:30-15:30, dilaksanakan pertemuan antara Kementerian Kesehatan yang diwakili oleh Plt Kepala Badan Litbangkes/SAM Bidang Medika Legal Drg. Tritarayati SH. MH.Kes, Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi dr. Siswanto, MHP, DTM, Staff Khusus Kementrian Kesehatan Prof. DR. dr. Akmal Taher, SpU (K) dan PT Edwar Teknologi yang diwakili oleh Dr Warsito P Taruno M.Eng , Dr Edi Sukur dan Fauzan Zidni yang diadakan di Kantor Kementrian Kesehatan, Kuningan.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
  1. Kementrian Kesehatan melakukan review hasil penelitian yang telah dilakukan PT Edwar Teknologi paling lama 30 hari kerja terhitung tanggal 2 Desember 2015, mencakup: evaluasi penelitian in vitro dan in vivo dan evaluasi kasus.
  2. PT Edwar Teknologi tidak menerima klien baru sampai hasil evaluasi sebagaimana butir 1.
  3. PT Edwar Teknologi dapat melakukan tindak lanjut (follow up) klien lama.
Apa pun keputusan hasil evaluasi kami menyatakan akan sepenuhnya mentaati arahan yang akan diberikan oleh Kementrian Kesehatan setelah hasil review selesai.

Sungguh indah silaturahmi hari ini.

Gambaran diatas merupakan suasana pertemuan. Dalam hal saya mengutip status Pak Warsito semata-mata ingin melibatkan pihak pak warsito yang telah mempublikasikan kesepaktan pertemuan. Tentu saja tulisan ini tidak menjelaskan detil substansi dan teknis, karena kapasitas saya tidak disitu, Tetapi bagaimana publik memahami hubungan antara kemenkes dan PT ET (Pak warsito) tidak diwarnai perbedaan runcing spt tergambar di media.

Tentu saja status saya tidak menjelaskan detil substansi dan teknis, karena kapasitas saya tidak disitu, tetapi bagaimana publik memahami hubungan antara kemenkes dan PT ET (Pak warsito) tidak diwarnai perbedaan runcing spt tergambar di media.

Namun sedikit merespon pernyataan dari pihak pak warsito bahwa penelitian yang dilakukan telah merujuk pada MOU. Justru disinilah titik awal proses reviu itu. Apakah benar telah melalui proses penelitian yg baik spt in vitro, in vivo dan studi kasus/uji validitas. Tentu kita mesti menunggu reviu yang dilakukan Badan Litbangkes, tentu melibatkan pakar-pakar terkait dalam waktu 30 hari kerja ke depan.

Ada yang menanyakan tentang bentuk follow up. Yang dimaksudkan bukan bersifat pelayanan medis, tetapi konsultasi fisika medis. Kedua pihak (Kemenkes dan PT ET) sefaham bahwa terhadap klien lama yang memerlukan terapi kanker harus dilakukan oleh tenaga medis di fasyankes.

Jika nantinya akan dilanjutkan penelitian pemanfaat ecvt dan ecct akan dilakukan di rumah sakit, Bukan di tempat yang selama ini dipakai oleh doktor warsito. Menurut pengakuan pihak PT ET bahwa hubungan selama ini dilengkapi informed consent sebagai proses penelitian. Dan status sebagai "klinik" pun tidak dipakai lagi. Tentu saja, follow up klien lama dan klinik ini menjadi bahan evaluasi selama 30 hari ini. Adapun kata yang digunakan pak warsito memang "guidelines" dan "pengawasan" tetapi dalam konteks evaluasi dlm 30 hari ini akan diterapkan kaidan penelitian yg baik

Semoga kita bersabar menunggu hasil evaluasi ini. tentu tidak mudah mengemukan hal substansi dan teknis dlm ruang dan waktu yang terbatas ini. kita perlu selesaikan scr bertahap. Langkah awal, polemik ini mari kita akhiri dulu. Kemudian cari solusi bersama yang baik utk pasien, dokter, peneliti dan rakyat Indonesia.

Rabu, 06 Mei 2015

, , , , , , , , , , ,

7 Langkah Rumah Sakit Tangani Keluhan di Media Sosial

Media sosial secara radikal telah mengubah cara hidup dan bagaimana kita berkomunikasi. Tak terkecuali, media sosial juga mengubah dunia public relations dan marketing. Media sosial secara revolusioner mengubah  bagaimana hubungan antara merek (brand) dan konsumen, termasuk rumah sakit dan pasien. Diantara hubungan rumah sakit dan pasien, itu bagaimana rumah sakit melakukan pelayanan pelanggan.

Pasien, saat ini dan kedepan tentunya, semakin berharap rumah sakit dapat cepat merespon umpan balik melalui jaringan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Respon umpan balik itu bisa berupa jawaban atas pertanyaan, tanggapan atas permintaan informasi dan penanganan keluhan (complain) secara cepat dan tepat.

Pernahkah rumah sakit Anda mendapatkan keluhan/complain yang dituliskan atau disampaikan melalui media sosial? Sekedar mengingat kembali sebuah kasus pasien Abiyasa (2 tahun) yang dikabarkan ditolak lebih dari 20 rumah sakit. Kabar itu menyebar liar melalui berbagai media sosial seperti BBM, Facebook, Twitter pada pertengahan November 2014. Sempat dirawat di RS Tarakan, Abiyasa akhirnya meninggal dunia akhir November. Kita tentu berduka meninggal dunianya seorang anak manusia. Dalam konteks bahasan media sosial kali ini, kita soroti bagaimana kabar itu terus menyebar tak terkontrol. Hingga Februari 2015, kabar terus menyebar via BBM dan Facebook.

Kasus yang baru saja terjadi bagaima sebuah status facebook pasien yang complain karena menambal gigi di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta selatan dikenakan tariff Rp 9 juta. Tidak sampai hitungan seminggu, status facebook itu menyebar lebih dari 10.000 share. Tak terbayangkan, betapa banyak akun facebook dan pembaca berita membaca, berkomentar dan ikut menyebarkan berita negatif tentang rumah sakit tersebut.

Dengan menyampaikan pertanyaan dan keluhan di forum publik, pasien membentuk dinamika kondisi pelayanan pelanggan tradisional. Ribuan  pasien lain dan calon pasien potensial dapat melihat interaksi layanan pelanggan antar pasien dengan rumah sakit, termasuk keluhan di media social yang diterima rumah sakit saat itu. Keluhan yang tersebar kepada khalayak luas, berpotensi menarik publisitas negatif. Meskipun pada sisi positif, rumah sakit memiliki lebih kesempatan untuk membantu dan terlibat aktif dengan permasalahan pasien yang berpotensi diubah menjadi pendukung merek rumah sakit tersebut.

Mengapa kita, rumah sakit, harus begitu peduli terhadap media sosial ini? Jika saya seorang Direktur Rumah Sakit akan bertanya kepada diri sendiri maupun petugas PR & Marketing saya, dimana pelanggan (konsumen) kita berada? Siapa segmen pasar kita? Jawaban atas pertanyaan ini sangat banyak.

Dalam konteks dunia maya, mari kita lihat statistik yang dikeluarkan APJII tentang profil pengguna internet Indonesia 2014. Apakah mereka stakeholder dan market rumah sakit kita?

APJII mencatat bahwa pengguna internet Indonesia 2014 sekitar 88,1 juta orang, terdiri :

  • 78,5 persen berlokasi di Indonesia bagian barat

  • 87,4 persen menggunakan media sosial

  • 85 persen mengakses internet dengan telepon genggamnya

  • 51 persen pengguna internet adalah wanita

  • 49 % pengguna berusia antara 18 – 25 tahun


Apa arti data tersebut bagi rumah sakit anda? Jika rumah sakit saya adalah rumah sakit swasta, secara sederhana dapat dikatakan ternyata pasien dan calon pasien saya adalah orang-orang melek intenet dan media sosial. Sudahkah rumah sakit kita ramah media sosial? Sudahkah kita menjalin komunikasi dengan stakeholder dengan media sosial? Sudahkah kita mengelola pelanggan, termasuk manajemen complain, menggunakan media sosial?

Mengapa kita perlu perhatian dengan pernyataan negative dan complain pasien? Sebuah survey Onbee Researc mengatakan bahwa 80 persen rekomendasi pasien terhadap pasien lain didasarkan pada pengalaman pelayanan. Survei di Gedung Putih mengatakan bahwa kabar buruk akan menjangkau 2 kali lebih banyak pelanggan/konsumen daripada kabar baik. Ini sejalan juga dengan survey Onbee Research yang mengatakan pengalaman baik pasien akan tersampaikan kepada 7 orang lain, sementara pengalaman buruk pasien menjangkau 11 orang, hamper 2x jumlahnya. Dan, sebuah riset pelanggan mengatakan bahwa dibutuhkan 12 pelanggan dengan pengalaman pelayanan yang memuaskan, untuk menghapus atau mengimbangi  kesan pelayanan buruk seorang pelanggan.

Perubahan kebiasaan penyampaian keluhan, permintaan informasi dan interaksi sebagai pasien, mengharuskan rumah sakit mengubah cara mereka melakukan pelayanan pelanggan/pasien. Sangat penting, rumah sakit mencurahkan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk mendengarkan dan menanggapi pasien pada saluran daring (online) dan melihat dari sudut pandang pasien.

Bagaimana menangani keluhan atau pernyataan negative pasien di media sosial? Berikut beberapa tip  yang dapat dilakukan:

1.   Cepat dan tepat merespon keluhan,  lebih baik lagi jika pasien masih dalam jaringan (online).

Siapa pun yang mengeluh, punya harapan dan tuntuan agar segera direspon dan ditangani. Demikian juga pasien, mereka ingin segera mendapatkan tanggapan dan solusi atas permasalahannya dengan rumah sakit. Oleh karena, Rumah sakit harus memastikan bahwa akun media sosial rumah sakit terpantau dengan baik. Dan juga memastikan dapat merespon secepat mungkin pertanyaan/keluhan di media social. Idealnya, selagi pasien masih dalam jaringan, rumah sakit bisa merespon. Semakin lama rumah sakit merespon keluhan, pendapat buruk itu bisa menyebar jauh dan luas sebagai publikasi buruk.
2.     Jangan pernah menyerang pasien yang mengeluh di forum publik

Salah satu aturan utama dari layanan pelanggan sosial jangan pernah menyerang dengan orang-orang yang telah menulis sesuatu yang negatif tentang rumah sakit Anda. Jangankan menyampaikan kalimat yang bersifat menyerang, mendebat atau memarahi saja dihindari. Ini pasti akan menjadi bahan bakar publisitas buruk dan memastikan bahwa lebih banyak orang akan mendengar keluhan. Dan menjadi bumerang bagi rumah sakit sendiri
Sebaliknya membiarkan keluhan yang ditulis di media sosial, dengan alasan malas, takut salah merespon, atau memandang remeh, akan membentuk persepsi kuat bahwa keluhan itu benar. Sangat mungkin terjadi, keluhan itu akan viral menyebar kepada pengguna media sosial lain. Viralnya keluhan itu disebabkan perasaan yang sama atau perasaan empati dan mencegah jangan sampai orang lain mengalami hal yang sama. Merespon dengan cara buruk atau membiarkan terhadap keluhan pasien di media sosial, dua pilihan  yang harus dibuang jauh-jauh oleh rumah sakit.
3.   Bicara dengan sikap santun dan masuk akal, jika mungkin lakukan secara luar jaringan (offline).

Daripada bersikap menyerang dan membela diri, pendekatan yang lebih efektif adalah berbicara dengan santun dan masuk akal kepada pasien yang menyampaikan keluhan. Dan ingat, jangan membela diri untuk menang sendiri. Cobalah mengatasi masalah secara masuk akal. Tanggapan disampaikan secara jelas dan terukur dengan tujuan klarfikasi.

Dan jika mungkin, cobalah memindahkan interaksi dan percakapan dengan pasien yang mengeluh tersebut melalui saluran pribadi. Misalnya surat elektronik, telepon atau bertatap muka langsung. Dengan percakapan diluar jaringan atau bertatap muka, rumah sakit dapat memilah persoalan untuk dicarikan jalan keluar. Setelah selesai, secara sopan mintalah pasien pengadu mengubah atau menarik komentar buruk yang terlanjur dipublikasikan melalui media sosial.
4.     Berikan saluran untuk mengeluh

Rumah sakit tidak dapat selalu menghindari pasien mengeluh di media sosial, tetapi rumah sakit dapat menguranginya. Pelanggan kecewa cenderung untuk mengeluh melalui saluran online umum, jika mereka tahu dapat menggunakan email, telepon, atau formulir umpan balik yang dapat menjangkau secara langsung rumah sakit. Mereka hanya ingin masalah mereka ada yang mendengar, ada yang menanggapi, dan mengharapkan masalah mereka akan segera diatasi.

Rumah sakit dapat melakukan banyak hal untuk memastikan agar kekecewaan pasien tersebut dapat ditangkap langsung rumah sakit melalui "umpan balik" di website, web chating, web chatting, email atau akun media sosial. Jika rumah sakit Anda dikenal luas karena respon cepatnya atas keluhan, pelanggan dan pasien akan datang langsung menyampaikan keluhan dan pertanyaan melalui saluran itu, bukan saluran yang lain.
5.     Jika mungkin, buat akun khusus layanan pelanggan (pasien), termasuk komplain.

Beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggunakan media sosial sebagai pemasaran atau alat promosi, tetapi faktanya banyak ditemukan pasien mengeluh di media sosial, misalnya melalui twitter dan facebook.

Bisa jadi akun yang diniatkan untuk promosi digawangi oleh admin yang tidak memahami bagaimana menangani keluhan pasien. Semakin banyak pertanyaan atau keluhan pasien melalui media sosial, menjadi alasan kuat rumah sakit mengelola akun khusus layanan pelanggan/pasien, termasuk penanganan keluhan. Hal Ini menunjukkan bahwa rumah sakit Anda peduli tentang layanan pelanggan dan penanganan complain. Upaya ini akan membantu rumah sakit bagaimana melayani pelanggan lebih baik dan lebih cepat.

6.     Ubah hal negatif menjadi positif

Media sosial memberikan kesempatan besar untuk mendengarkan pelanggan dan pasien rumah sakit Anda. Media sosial berpotensi meningkatkan pemahaman dan memberikan layanan pasien yang lebih baik. Memantau apa yang pasien katakan dan menganalisis interaksi media sosial yang masuk (seperti tweet. Analisis media sosial dapat mengetahui tren dan aspirasi pelanggan sehingga dapat digunakan untuk mengubah bagaimana rumah sakit anda beroperasi dan melayani pasien. Misalnya, jika semua orang mengeluh tentang pelayanan di klinik general check up, bagaimana rumah sakit Anda mengubahnya?

7.     Berikan kemampuan/ketrampilan memadai di media sosial

Jika pasien mengharapkan rumah sakit memberikan layanan pelanggan melalui media sosial, pastikan rumah sakit memenuhi harapan mereka. Kemapuan layanan pelanggan ini mempunyai cara dan kemampuan yang sama seperti yang Anda lakukan untuk layanan pelangan lainnya.

Hal ini memerlukan kerja sama baik antara public relations, pemasaran, unit teknis dan tim layanan peangan untuk memastikan tidak terjadinya salah persepsi dan salah menanggapi. Ini berarti rumah sakit harus memiliki orang-orang dengan keterampilan dan kemampuan memberikan pelayanan pelanggan/pasien melalui media sosial.
Memastikan konsistensi antara pelayanan pelanggan langsung (tatap muka) dengan pelayanan pelanggan dalam jaringan (online) via media sosial. Dan pastinya menggunakan basis pengetahuan (knowledge base) yang sama terpadu guna mendukung pelayanan pelanggan yang lebih luas.

Jika Anda tidak ingin rumah sakit Anda dinodai oleh publisitas negatif dari keluhan pelanggan di media sosial dan forum online, segera ambil inisiatif dan langkah pencegahannya. Pastikan rumah sakit memberikan kemampuan sumber daya dan manajemen media sosial yang cukup sehingga mampu menangkap peluang dan perubahan sekitar melalui pelanggan/pasien anda.

(disampaikan pada forum IRSJAM - Ikatan RS Jakarta Metropolitan)
 

Selasa, 16 Desember 2014

, , , , , , ,

Bolehkah Persalinan Ashanty Disiarkan?

Sebenarnya seperti apa isi siaran Ashanty melahirkan di Rumah Sakit? Terkait boleh tidaknya rumah sakit dijadikan tempat siaran langsung, contoh kasus Ashanty, saya sampaikan beberapa pandangan.

Rumah sakit wajib hukumnya menjaga rahasia kedokteran, rahasia medis dan rahasia pasien. Jika siaran itu melanggar ketentuan ini. Dalam hal pasien dengan kesadaran diri atau meminta hingga rahasia medis dll tidak terlindungi, maka gugurlah kewajiban RS menjaganya. Dalam kasus Ashanty sepertinya pihak pasien secara sengaja membuka sebagian atau seluruhnya rahasianya sehingga RS membolehkan siaran.

Selain rahasia medis, siaran tidak boleh menganggu pelayanan kesehatan di rumah sakit terhadap pasien sendiri atau pasien orang lain. Siaran tidak boleh mengancan keselamatan pasien baik diri sendiri maupun orang lain. Karena RS wajib menjaga keselamatan pasien.

Rumah Sakit harus menjaga etika pelayanan dan etika rumah sakit. Jadi siaran tidak boleh melanggar keharusan RS jaga etika itu. Dalam kasus Ashanty, apakah juga disiarkan proses persalinan, tindakan medis, tindakan operasi sehingga secara etis itu tidak dibolehkan? Sepanjang tidak ditayangkan proses persalinan sehingga dianggap tidak etis/tidak patut, maka RS bisa membolehkan perekaman itu.

Sekurangnya 4 hal diatas menjadi dasar boleh tidaknya Rumah Sakit jadi tempat siaran media. Apakah 4 hal itu ada yg dilanggar Ashanty? Perhimpunan RS Seluruh Indonesia (PERSI) hanya mengurusi aspek pelayanan kesehatannya yang dilakukan oleh anggotanya termasuk RSPI. Jika menyangkut boleh tidaknya disiarkan pd frekuensi publik atas sebagian proses persalinan Ashanty itu kewenangan @KPI_Pusat

Kesimpulannya, jika dalam kasus Ashanty dimana sebagian, apalagi menyangkut pra dan paska proses persalinan, tidak melanggar aturan rahasia medis, tidak mengganggu pelayanan dan keselamatan pasien serta tidak melanggar etika, maka Rumah Sakit dapat membolehkan perekaman siaran itu. Sampa saat ini, belum ada aturan hukum yang melarang rumah sakit dijadikan tempat atau obyek rekaman siaran.

Demikian pendapat saya atas kasus Ashanty. Terima kasih.

Senin, 25 Agustus 2014

, , , , , ,

Belajar Hospital Tourism di Fuda Cancer Hospital, Tiongkok (2)

(JPNN.com) Wajah Hardi Mustakim Tjiong tampak berseri-seri. Senyumnya terus mengembang kepada pembesuknya. Jika Hardi tak memakai baju rumah sakit (RS) dan tidak terlihat infus yang tertancap di tangan kanannya, orang bakal mengira pria 69 tahun itu baik-baik saja. Padahal, dia penderita kanker hati stadium empat. Hanya, dia kini merupakan survivorkanker yang berhasil bertahan dan mendekati sembuh.

”Kalau sedang tidak diinfus, biasanya saya pakai jalan-jalan,” ujar Hardi, pasien asal Indonesia, ketika ditemui Jawa Pos di ruang perawatannya di lantai 4 Fuda Cancer Hospital Guangzhou, Tiongkok, Sabtu pekan lalu (16/8).

Di rumah sakit khusus kanker itu terdapat pasien dari berbagai negara. Salah satunya dari Indonesia. Bahkan, pasien dari Indonesia terbilang paling banyak di antara pasien dari negara lain. Dalam setahun rata-rata ada 300–500 pasien dari Indonesia yang menjalani pengobatan di RS yang memberikan layanan ”plus-plus” tersebut.

Hardi adalah salah seorang pasien yang kini menjalani pengobatan intensif di Fuda. Mengenakan apron antiradiasi, Hardi bercerita bahwa sebelumnya dirinya tidak pernah sakit parah. Sampai pada awal 2003 dia didiagnosis menderita hepatitis C yang mengakibatkan sirosis atau pengerasan hati. Namun, dengan pengobatan teratur, sirosis yang dia derita berhasil disembuhkan.

Kondisi Hardi benar-benar sehat sampai awal Juni 2010 tiba-tiba dadanya sesak. Tak mau mengambil risiko, Hardi langsung pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Awalnya dia hanya di-USG (ultrasonografi). Hasilnya, diketahui ada benjolan di area livernya.

Tak puas, bapak tiga anak itu akhirnya melakukan CT-scan. Hasilnya serupa, ada benjolan sebesar kurang lebih 10 sentimeter di livernya yang menekan paru-paru. Karena itulah, dia kerap merasa sesak. Salah seorang dokter yang memeriksanya menjelaskan bahwa pasien hepatitis C, meski sudah sembuh, harus menjaga pola makan dengan disiplin. Sebab, jika tidak, penyakitnya bisa kambuh dan berkembang menjadi kanker hati sepuluh tahun kemudian. ”Mendengar penjelasan seperti itu, saya langsung shock,” ungkap suami Maria Murniati tersebut.

Hardi lantas mencari second opinion dari dokter lain, namun hasilnya sama. Bahkan, yang menambah kaget, seorang dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Harapan kesembuhannya sangat tipis. Hanya mukjizat yang bisa membuatnya sembuh.

”Saya divonis hanya mampu bertahan enam bulan sejak didiagnosis menderita kanker hati stadium 4B. Masih tahun 2010,” tambah warga Jakarta itu.

Tapi, vonis dokter tersebut tak lantas membuat Hardi terpuruk. Dia tetap bersemangat menjalani hidup. Bagi dia, semangat merupakan 30 persen modal untuk bisa sembuh. Bersama anak-anaknya, Hardi lalu mencari RS yang bisa menyembuhkan kankernya. Baik itu lewat informasi dari kenalan maupun internet. Hasilnya, Hardi dan keluarga memutuskan untuk melakukan pengobatan di Fuda Cancer Hospital. Sebab, di RS tersebut pengobatan kanker bisa dilakukan tanpa operasi.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, tim dokter di Fuda juga menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Namun, kanker itu belum menyebar. Selama 2010 dia menjalani lima kalicryosurgery dan tujuh kali kemoterapi dengan metode TACE di Fuda.

Cryosurgery adalah metode untuk mematikan sel kanker dengan mendinginkannya, kemudian memanaskannya sehingga sel kanker rusak dan menyusut. Sedangkan metode TACE merupakan kemoterapi yang obatnya diberikan di area kanker saja dengan dosis lebih besar. Hasilnya, kesembuhan lebih cepat dengan efek samping lebih ringan.

Akhir 2010 Hardi dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke Indonesia. Dalam dua kali pemeriksaan rutin pada 2011 dan 2012 pun, tidak ditemukan sel kanker di tubuh Hardi. Dia begitu lega.

Tapi, pada 2013 Hardi kembali shock. Pasalnya, ditemukan titik kanker baru di livernya. Sel kanker tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Saat itu Hardi mengikuti kegiatan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan yang diselenggarakan sebuah lembaga. Tak diduga, hasil pemeriksaan tersebut mengindikasikan sebuah titik yang bergerak. Setelah diteliti lebih jauh, itu ternyata sel kanker baru yang tumbuh lagi. Maka, pada akhir Desember 2013 Hardi kembali berobat ke Fuda di Guangzhou. Dia melakukan cryosurgery satu kali di RS internasional tersebut. Seminggu kemudian dia pulang ke Jakarta.

Terakhir, Sabtu pekan lalu bapak murah senyum itu datang untuk melakukan seed knife therapy. Yaitu terapi dengan menanam pisau halus yang berupa biji radioaktif iodine 125 di area sel kanker. Tubuh Hardi akan mengeluarkan radiasi selama kurang lebih 59 hari. Karena itulah, dia harus memakai apron ke mana-mana agar orang yang berada di dekatnya tetap terlindung dari radiasi yang dipancarkan tubuhnya.

Saking seringnya berobat ke Fuda, Hardi sampai merasa RS itu seperti rumah sendiri. Dia kenal dengan banyak dokter dan perawat. Pribadinya yang ramah juga membuatnya cepat akrab dengan pasien lain. Kini, saat berobat, Hardi pergi sendiri tanpa didampingi keluarga. ”Saya sudah tahu jalannya,” ujar Hardi yang suka jalan-jalan di Kota Guangzhou di sela-sela pengobatannya di Fuda Hospital.

Di Fuda Hospital Hardi juga dikenal karena kemurahan hatinya membantu pasien lain. Dia memiliki keahlian bahasa Mandarin. Maka, saat staf penerjemah Mandarin-Indonesia di RS itu sudah pulang atau libur, Hardi dengan sukarela mau menjadi penerjemah bagi pasien Indonesia dan dokter atau perawat setempat.

”Senang bisa membantu teman-teman pasien lain,” ucapnya sambil tersenyum. Hardi berharap kali ini adalah pengobatan terakhirnya. ”Saya yakin akan sembuh total setelah ini,” ujarnya optimistis.

Pasien lain yang tak kalah bersemangat adalah Brahmana Silalahi, 67. Dia adalah mantan pejabat Pertamina yang divonis menderita kanker prostat pada 2009. Awalnya dia mengeluh saat buang air kecil. Badannya lemas dan sering berkeringat. Bahkan, beberapa kali kencingnya mengeluarkan darah.

Semula Brahmana berobat di sebuah RS swasta di Jakarta. Namun, dokter yang menangani terkesan menggampangkan keluhan Brahmana. Kata dokter, hanya dengan memasang kateter di saluran kencing, penyakit Brahmana sudah bisa sembuh.

Tak puas dengan tindakan dokter RS itu, Brahmana kembali memeriksakan keluhannya di RS di Singapura. Dari situlah penyakitnya diketahui, yakni kanker prostat stadium tiga dan masuk kategori ganas.

Brahmana kaget bukan kepalang ketika divonis terkena kanker ganas. Dia langsung memutuskan pulang. Ayah seorang anak tersebut lalu bersiap menjalani pengobatan lebih lanjut. Namun, sebelum itu, selama setahun dia bertekad menyelesaikan hal-hal yang menurut dia harus dituntaskan. Di antaranya menikahkan putri semata wayangnya serta menyelesaikan utang piutangnya. ”Alhamdulillah, semua bisa selesai dalam setahun,” ujar konsultan perminyakan tersebut.

Brahmana lalu berobat selama 1,5 tahun di Singapura. Pada awal 2011 dia dinyatakan sembuh. Dia kemudian mulai sibuk dengan aktivitas seperti biasa. Namun, pada Juli 2011 dia kembali merasakan sakit, tapi pada tulang-tulang tubuhnya. Maka, dia pun pergi lagi ke Singapura untuk memeriksakan diri. Hasilnya, dokter menyatakan bahwa kanker yang diderita Brahmana ternyata telah menyebar dan sudah masuk stadium empat. Dia harus menjalani kemoterapi, tapi memilih pulang.

Di tengah kegalauan Brahmana mencari pengobatan, Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pernah menjalani operasi ganti hati di RS Tianjin, Tiongkok, lalu menyarankan dia berobat ke Negeri Panda itu. Saran tersebut dituruti dan pilihannya jatuh ke Fuda Cancer Hospital. ”Saya percaya kepada Pak Dahlan,” ujarnya singkat.

Di Fuda Brahmana melakukan positron emission tomography (PET) scan. Hasilnya, kanker di tubuhnya telah menyebar ke tulang iga, leher, tulang panggul, dan tulang belakang. Dia pun harus menjalani 8 kali cryosurgerydan 8 kali TACE. ”Pada 2012 saya kembali dinyatakan sembuh,” ujar suami Hariana Brahmana itu.

Namun, kesembuhan tersebut tak berlangsung lama. Pada akhir 2013 kankernya kembali muncul di tempat yang sama, termasuk di prostat. Kini Brahmana kembali ke Fuda Cancer Hospital. Dia menjalani imunoterapi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Dia juga berencana menjalani terapi stem cell.

Selama Brahmana sakit, keluarga menjadi penyokong utama semangatnya melawan penyakit ganas itu. Sang istri dengan setia terus mendampingi. Suara dari cucu saat ditelepon juga membuatnya kian bersemangat untuk kembali sehat.

Brahmana mengakui, saat divonis menderita kanker ganas, dirinya sempat benar-benar down. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia kini sudah bisa ”melupakan” penyakitnya tersebut dan justru sering membagi pengalamannya menjadi pasien kanker kepada pasien-pasien lain. Banyak pasien yang datang ke rumahnya untuk bertanya seputar pengobatannya. ”Saya selalu terbuka untuk sharing agar bisa membantu pasien lain,” pungkasnya.

Direktur Fuda Medical Group Indonesia Dr Liu Zhengping mengungkapkan, pasien-pasien di Fuda Cancer Hospital memang menjalin hubungan yang erat satu sama lain. Mereka tak sungkan berbagi pengalaman dengan pasien kanker lainnya. Baik itu yang berobat di Fuda maupun di tempat lain.

”Di Jakarta malah ada perkumpulan pasien-pasien kanker yang pernah berobat di Fuda. Adanya perkumpulan itu diharapkan bisa membantu pasien yang membutuhkan,” tutur Liu. (*/c9/ari)

Sumber: http://m.jpnn.com/news.php?id=253497
, , , , , ,

Belajar Hospital Tourism di Fuda Cancer Hospital, Tiongkok (1)

(JPNN.com) MARYAM, 26, tampak ramah saat berbicara dengan salah seorang keluarga pasien Fuda Cancer Hospital dari Arab Saudi. Perempuan asli Tiongkok itu dengan lancar berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Maryam memang warga muslim Tiongkok yang berasal dari suku Hui.

’’Saya pernah belajar bahasa Arab secara khusus di Arab saat masih berusia 19 tahun,’’ ujar Maryam yang sudah setahun ini bekerja sebagai penerjemah di Fuda Cancer Hospital saat menemui rombongan media dari Indonesia Sabtu (16/8).

Maryam bukan satu-satunya staf translator di rumah sakit tersebut. Total ada sepuluh penerjemah berbagai bahasa. Selain Arab, ada bahasa Melayu (Malaysia), Thailand, Vietnam, Inggris, dan Indonesia. Pasien di rumah sakit khusus kanker itu memang berasal dari berbagai negara. Tapi, yang paling banyak dari wilayah Asia, termasuk Indonesia.

’’Belakangan pasien dari Arab Saudi mulai banyak,’’ terang Maryam sambil menunjuk beberapa keluarga pasien yang mengenakan burqa.

Maryam mengaku tak mengalami kesulitan berarti dalam menjembatani komunikasi antara dokter dan pasien beserta keluarganya dari Arab. Dengan cara demikian, para dokter merasa terbantu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Begitu pula keluarga pasien, merasa nyaman bisa berbicara dengan pihak rumah sakit dengan menggunakan bahasa Arab.

’’Kesulitan baru saya temui bila pasien atau keluarga pasien menggunakan bahasa daerah,’’ tuturnya.

Banyaknya pasien dari negara lain juga mendorong pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan ’’plus’’. Selain menyediakan staf translator,Fuda Cancer Hospital menyediakan fasilitas ’’tidak biasa’’ berupa tempat sembahyang bagi para pasien dan keluarganya. Sejak 2009 mereka memiliki tiga ruang beribadah untuk pasien Islam, Buddha, dan Kristen. Tiga ruang –masing-masing berukuran 4 x 4 meter– itu terletak berjajar di lantai 6.

Di tempat sembahyang umat Islam (musala), pengelola melengkapi dengan beberapa Alquran, mukena, buku-buku tentang Islam, penunjuk waktu salat, tasbih, dan berbagai perlengkapan lainnya. Sedangkan di ruang sembahyang untuk umat Buddha, ada gambar Buddha Gautama di dinding serta perlengkapan untuk bersembahyang.

Sementara itu, di tempat ibadah umat Kristen, selain ada salib dan foto-foto Yesus Kristus, juga berjajar rapi bangku-bangku untuk pasien atau keluarganya yang meminta bimbingan kerohanian dari pastor atau pendeta.

Di Indonesia layanan seperti itu tentu sudah biasa. Tapi, di Tiongkok hal tersebut menjadi sesuatu yang langka dan istimewa. Sebab, di sana sulit ditemukan tempat ibadah. Dengan demikian, ketika ada rumah sakit yang memberikan fasilitas ’’plus’’ berupa tempat ibadah, itu akan mendapat apresiasi dari pasien dan keluarganya.

Tak cukup sampai di situ. Setiap Jumat pihak rumah sakit menyiapkan satu mobil khusus untuk mengantar keluarga pasien yang ingin salat Jumat. Mereka akan diantar jemput ke masjid terdekat yang jaraknya sekitar 30–50 menit dari rumah sakit. Pihak rumah sakit juga bekerja sama dengan sebuah gereja yang siap memberikan pelayanan gratis kepada keluarga pasien yang Nasrani. Termasuk jika pasien ingin memanggil pastor atau pendeta ke kamar mereka untuk memberikan bimbingan rohani.

Yang istimewa lagi, sudah setahun ini seluruh ruang rawat inap di Fuda Cancer Hospital memiliki petunjuk arah kiblat. Jadi, pasien atau keluarganya yang ingin salat di kamar bisa dengan mudah mengetahui arah yang tepat. Kamar mandi di kamar-kamar perawatan juga menggunakan tulisan-tulisan dalam tiga bahasa: Inggris, Arab, dan Mandarin. Di kantin di lantai 6 juga ada stan khusus Islamic food yang menjual makanan-makanan halal.

’’Kami ingin pasien dan keluarganya merasa nyaman selama di sini,’’ ujar Direktur Fuda Medical Group Indonesia Dr Liu Zhengping ketika mendampingi rombongan media Indonesia menginspeksi ruang-ruang di rumah sakit bertingkat tujuh itu.

Menurut Liu, perawatan kanker tidak bisa selesai dalam satu dua hari. Bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Karena itu, pihak rumah sakit berupaya agar pasien atau keluarganya bisa merasa nyaman selama menjalani perawatan.

Representative Office Fuda Hospital Jakarta Fanny Surjono yang ikut dalam rombongan dari Indonesia menambahkan, pasien dari berbagai negara yang menjalani perawatan di Fuda Cancer Hospital punya kebiasaan sendiri-sendiri. Misalnya, pasien dari Timur Tengah umumnya tidak mau bila dokter visite pada pagi hari. Mereka meminta dokter melakukan kunjungan pada sore hari. Padahal, sore merupakan jam istirahat para dokter. Fanny tidak tahu alasan pasti mengapa pasien dari Timur Tengah mempunyai kebiasaan seperti itu.

Ada kemungkinan karena mereka mengenakan burqa (bagi pasien atau keluarganya yang perempuan). Jadi, ketika pagi mereka membuka burqa di ruangan sehingga merasa terganggu jika ada orang asing masuk.

’’Kami bisa memahami (kebiasaan pasien itu, Red) karena dokter di sini total melayani dan untuk visite mereka tidak dibayar,’’ terangnya.

Di Tiongkok dokter tidak boleh berpraktik di lebih dari satu rumah sakit. Tidak seperti di Indonesia yang memungkinkan dokter bertugas di banyak rumah sakit. Karena itu, dokter-dokter di Tiongkok dapat dengan cepat menyesuaikan bila ada perubahan-perubahan jadwal pemeriksaan.

’’Bayaran mereka hanya dari gaji bulanan, plus bonus tahunan jika kinerjanya bagus. Karena itu, dokter di sini bisa lebih fokus terhadap pasiennya,’’ terang Fanny sembari menambahkan gaji dokter di Tiongkok Rp 20 juta–Rp 40 juta per bulan.

Lantaran hanya berpraktik di satu rumah sakit, para dokter jadi lebih ramah dan tidak terburu-buru atau dikejar waktu saat memeriksa pasien. Saat ada visite, pasien juga bisa bertanya sepuasnya. Kerja sama antardokter spesialis juga lebih mudah di Tiongkok sehingga pelayanan kepada pasien lebih prima dan menyeluruh.

Lain lagi dengan kebiasaan pasien dari Indonesia dan keluarganya. Mereka sering memesan makanan sendiri dari para juru masak di kantin rumah sakit. Padahal, pengelola rumah sakit sudah menyediakan stan khusus makanan Indonesia. Lantaran cenderung merugikan pihak rumah sakit, sejak satu setengah tahun lalu, stan itu ditutup.

’’Sekarang tidak ada lagi stan Indonesian food itu,’’ terang Fanny saat mengajak makan di kantin.

Yang juga lain dari rumah sakit di Indonesia, pasien-pasien di Fuda boleh jalan-jalan ke luar rumah sakit. Dengan catatan, mereka harus lapor dulu ke dokter yang bertugas. Setelah itu, dokter akan mengecek kondisi kesehatan si pasien. Jika kondisinya memungkinkan, mereka diperbolehkan pergi. Biasanya para pasien pergi ke pusat perbelanjaan atau sekadar jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Tujuannya, membunuh rasa bosan.

’’Setiap pasien asing punya nomor telepon penerjemah yang bertugas di sini. Sehingga, bila terjadi apa-apa, mereka bisa mengontak si penerjemah untuk meminta bantuan,’’ ujar Lina Tjahjadi, salah seorang penerjemah bahasa Indonesia yang asli Indonesia.

Misalnya, ada pasien yang ATM-nya tertelan mesin atau pasien tersesat di jalan dan sebagainya. Pihak rumah sakit akan membantu menguruskan administrasi di bank agar ATM si pasien bisa kembali.

Di Fuda Cancer Hospital juga ada acara rekreasi bagi pasien dan keluarganya setiap Minggu. Kegiatan rekreasi itu diperuntukkan pasien yang kondisinya sudah membaik. Pihak rumah sakit memfasilitasi bus khusus yang akan mengantar dan menjemput pasien ke tempat yang dituju. Bisa ke pusat perbelanjaan atau ke tempat wisata.

’’Tempat wisata di sini jauh-jauh. Jadi, kami memfasilitasi agar keluarga pasien betah dan senang saat berada di Guangzhou,’’ terang Lina yang sudah sepuluh tahun menetap di Guangzhou.

Pihak rumah sakit juga menyediakan kendaraan khusus ke Kedutaan Besar Indonesia di Guangzhou jika ada momen-momen khusus. Misalnya, saat Hari Raya Idul Fitri, pemungutan suara pileg dan pilpres, serta perayaan hari kemerdekaan pada 17 Agustus lalu. Dengan cara begitu, pasien jadi merasa seperti di negara sendiri.

’’Apa pun kesulitan pasien, selama kami bisa bantu, akan kami bantu,’’ tandas Lina. (*/ari/c10/bersambung)

Sumber: http://m.jpnn.com/news.php?id=253490

Jumat, 08 Agustus 2014

, , , , , , , , , , ,

Benarkah JKN dan INA CBGs Merugikan Dokter dan Pasien?

Sebuah keluhan lama tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau awam lebih mengenal dengan BPJS Kesehatan yang dimuat DIB Online. Keluhan itu ditujukan (mention) untuk menjadi perhatian kepada saya oleh mba Silly, pendiri @Blood4LifeID.

Berikut kutipan tulisan keluhan itu :
Ini bukan tulisan saya, ini adalah tulisan seorang sejawat SpOG yg bertugas di RSUD dr. Soetomo (PPK III)
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya….

Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang…. (http://dib-online.org/maaf-ini-bukan-salah-kita/)

Pertama, semoga saja Ibu dan Anaknya selamat dan sehat setelah proses SC hingga kini. Kedua, semoga saja, Dokter Obgyn yang menolong persalinan diberkahi oleh Alloh dengan kecukupan rezeki dan kesehatan. Ketiga, semoga RS Soetomo terus tegak menjalankan tugasnya dalam melayani kesehatan masyarakat.

Sesungguhnya ini cerita lama, ini keluhan yang ditulis tanggal 11 Januari 2014, diawal diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional. Jika boleh bernostalgia, saat itu suara-suara kencang menyuarakan rumah sakit bakal bangkrut karena berlakunya JKN dengan tariff INA-CBGs. Dan diberbagai tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan bahwa faktanya rumah sakit tidak bangkrut. Sebaliknya rumah sakit mengalami surplus balance, alias lebih dari untung jika dibandingkan dengan tariff rumah sakit sebelumnya.

Bukti nyata adalah tidak ada rumah sakit yang menerima pasien JKN saat ini gulung tikar. Bahkan di media massa tidak ada lagi pemberitaan yang mengangkat suara rumah sakit bangkrut atau keluhan dokter yang rugi akibat tariff INA CBGs. Sesungguhnya tidak begitu relevan masalah yang terjadi di awal sekali berlakunya JKN (Januari) tapi direspon atau dijawab saat ini.

Namun untuk keseimbangan dan penyajian fakta sekaligus pembelajaran, tidak berlebihan saya merespon tulisan tersebut dengan beberapa fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Faktanya, 96 persen Rumah Sakit penerimaannya mengalami surplus dihitung dari ratio klaim tarif INA-CBG yang ditagihkan ke BPJS dengan tarif RS. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa 96 persen RS dengan tariff INA CBGs dibandingkan dengan tariff lama/sebelumnya. Coba bayangkan, jika total penerimaan dengan tariff INA CBGs sama dengan tariff RS sebelumnya saja sudah disebut UNTUNG, ini faktanya 96 persen RS total klaim penerimaaannya mengalami kelebihan diatas tariff RS. Ini bukan lagi untung, tetapi BONUS. Pertanyaannya, jika RS-nya saja “bonus” surplus, apakah tenaga medisnya bakal rugi?

  2.  Tujuan penggunaan tarif paket INA-CBG dalam JKN adalah untuk mendorong efisiensi tanpa mengurangi mutu pelayanan. INA CBGs itu cost effective system. Jika penangan kuratif dan rehabilitative dari sekelompok diagnose penyakit pasien mengakibatkan biaya lebih besar dari tariff INA CBGs (rugi), bisa terjadi beberapa kemungkinan :

    • Kebiasaan terapi dan perawatan yang dilakukan dokter tidak cost effective

    • Telah terjadi over treatment terhadap pasien. Alias standar pelayanan tidak standar.

    • Terjadi kesalahan teknis misalnya, salah input kode INA CBGs, rekam medis tidak lengkap, dll

    • Penentuan severity level yang tidak tepat sehingga tariff INA CBGs perlu diperbaiki.



  3. Faktanya, banyak kebiasaan dokter yang tidak cost efective yang perlu diperbaiki. Misalnya untuk kasus untuk SC diatas, saya kutipkan jawaban teknis seorang Dokter Obgyn dan pakar INA CBGs dari RS Kariyadi Semarang sebagai berikut :

    • Kasus SC merupakan kasus yang “unik”. Status pasien sulit diprediksi. Dalam kondisi normal pun bisa mendadak tidak stabil. Demikian juga dalam kasus pasien tidak ANC pun, ternyata bisa jadi bisa dalam kondisi normal. Sehingga biasanya, pasien SC dikondisikan dalam keadaan kegawatdaruratan.

    • Lama rawat SC tanpa komplikasi umumnya hanya 4 hari atau 3 hari. Kalau di rawat di kelas 3 kita tinggal hitung biaya akomodasi di klas 3 yang tidak mahal. Rata-rata rawat inap kelas 3 Rp 100 ribu per hari. Antibiotik yang diberikan cukup sekali pemberian dengan obat generik generasi pertama yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu. Tidak perlu diberikan antibiotik oral. Obat nyeri generik juga sangat murah dan mutunya bail dengan menggunakan formularium nasional yang sudah terbukti mempunyai bukti ilmiah yang kuat. Demikian juga anesthesi regional biaya tidak lebih dari Rp 100 ribu. Terhadap penggunaan obat motilitas usus, itu belum terbukti ilmiah harus selalu digunakan. Dengan uraian ini, maka kasus SC tanpa komplikasi biasanya menghabiskan biaya medis sekitar Rp 2 juta.

    • Jika kasus SC dengan komplikasi bisa dilihat seberapa severity levelnya. Biasaya kenaikan tarifnya 20% sd 30% setiap levelnya. Misalnya saja bayinya mengalami Berat Badan Rendah (BBLR), semestinya sang bayi dikenakan tariff berbeda sehingga RS memasukan input kode INA CBGS lagi, sehingga totalnya lebih dari Rp 4 juta.

    • Faktanya setelah 7 bulan JKN dijalankan, justru Cost Recoveru Rate RS meningkat.



  4. Kebiasaan JKN kebiasaan Rumah Sakit/Dokter tidak berubah dari fee for service system menjadi prospective payment system. Contohnya dalam kasus diatas, dimana dokter Obyen bisa mendapat honor “cuma 60 ribu” per pasien. Ini cara berfikir dan perilaku yang tidak tepat dalam system paket INA CBGs. Karena sesungguhnya, dengan INA CBGs, jasa layanan diambil dari selisih total penerimaan dikurangi total pengeluaran. Tidak hitung per pasien sebagaimana dalam fee for service system yang selama ini dilakukan.

  5. Dalam system INA CBGs, istilah “obat ini tidak ditanggung, obat itu ditanggung” tidak sepenuhnya tepat. Penghitungan tariff INA CBGs dihitung secara paket berdasarkan output. Dokter Obgyn dan ahli INA CBGs tadi memberikan analogi sederhana begini. Misalnya sebuah masakan nasi goreng seharga Rp 15 ribu. Meskipun pelanggan meminta garamnya dikurangi, lebih pedas, telur ceplok atau dadar maka harganya tetap sama Rp 15 ribu. Kecuali jika minta telornya 2 buah, maka harganya naik karena ini tidak sesuai dengan paket dan standar nasi goreng yang dijual.

  6. Kemudian untuk “kasus sirkumsisi (sunat) tarifnya jauh lebih besar dibandingkan tindakan SC” itu terjadi jika pada sirkumsisi yang rawat inap, misalnya komplikasi dengan hemophili. Tetapi untuk sunat ritual yang rawat jalan biaya tidak lebih dari Rp 200 ribu.

  7. Pertanyaan penutupnya, mengapa pada awal diberlakukannya JKN banyak dokter menyuarakan bahwa mereka dibayar dengan murah atau rugi? Karena mindset dan kebiasaannya belum berubah tadi, misalnya :

    • Jasa layanan/honor dihitung per pasien/perlayanan, tidak paket.

    • Biasa menggunakan obat paten, bukan generik atau obat dalam fornas

    • Tidak punya clinical pathway, atau ada clinical pathway tetapi pelayanan dilakukan sesuai kebiasaan selama ini. Padahal belum tentu sesuai PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran), dan lain-lain . Sehingga jika dokter masih melakukan dengan kebiasaan lama, sedangkan sistemnya menggunakan INA CBGs ya bakal tidak nyambung. Jadi siapa yang mestinya berubah mindset dan perilakunya?




Apa yang semestinya dilakukan oleh 4% persen RS tadi menjadi surplus, atau yang 96% RS menjadi semakin cost effective tanpa mengurangi mutu layanan?

  • Bangun komonikasi yang baik antara tim dokter denganmanajemen untuk mengurangi variasi pelayanan dan pilih layanan yang paling cost efective dengan membuat dan menjalankan clinical pathway.

  • Hilangkan kebiasaan kerjasama yang tidak perlu antara dr juga manajemen untuk mendapatkan keuntungan yang tidak perlu, yang konon bisa dimasukan kategori grativikasi. Masih banyak lagi tugas mulia dan perubahan yang harus dilakukan dr dan manajemen untuk melakukan koreksi biaya di sisi input (perencanaan dan pengadanbarang jasa) dan proses (penggunaan sumber daya obat, alat habis pakai, pemeriksaan penunjang dll)

  • Manajemen melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain juga banyak surplusnya.

  • RS membayar jasa dokter yang layak dan sesuai dengan kaidah karena total penerimaan RS surplus.


Demikian, semoga bermanfaat.

Sabtu, 28 Juni 2014

, , , , , , , , , , , ,

Belajar dari RSCM Raih 2 Gold Champion pada Indonesia WOW Brand 2014

Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM) berhasil meraih 2 Gold Champion kategori General Hospital Jakarta (A Class) dan General Hospital Bodetabek (A Class) pada Indonesia WOW Brand 2014 yang digagas Markplus.

Apa yang dilakukan oleh RSCM hingga mereka berhasil meraih 2 Gold Champion dari Indonesia WOW Brand 2014?

Transformasi RSCM menjadi rumah sakit yang WOW tidak berlangsung hanya setahun dua tahun. Namun, merupakan sebuah perjalanan panjang penuh dedikasi dan inovasi. Citra negatif sebagai rumah sakit umum berhasil mereka singkirkan bahkan kualitas pelayanan mereka bisa bersaing dengan rumah sakit swasta.

Dibutuhkan inovasi dan kreativitas untuk terus melakukan terobosan yang bisa membuat suatu merek menjadi merek yang WOW. Begitu juga dengan RSCM. Citra RSCM dengan pelayanan lama, pasien yang tidak terawat secara baik, fasilitas yang tidak lengkap, serta kesan yang kumuh berhasil diubah menjadi oleh Rumah rumah sakit yang "WOW".

RSCM melakukan sebuah perubahan yang mencakup sebuah budaya kerja dari tiap-tiap individu dan divisi yang melakukan pelayanan langsung maupun tidak langsung kepada pasien. RSCM menanamkan budaya kerja; menolong dan memberikan yang terbaik. Demikian juga kualitas tenaga dan nonmedis, RSCM terus melakukan perbaikan demi pelayanan yang prima dan berkualitas. Masing-masing tenaga medis dan nonmedis mendapatkan pelatihan yang terbaik sesuai dengan kompetensi mereka. Peralatan-peralatan kedokteran yang canggih saat ini memerlukan kecakapan yang baik untuk menggunakannya.

Selain kecakapan dari penggunaan alat-alat medis, RSCM juga memberikan perhatian khusus dalam pemahaman service excellence. Service excellence merupakan usaha dari RSCM terus memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Dalam hal standar pelayanan, RSCM mengacu pada standar yang diterapkan oleh Joint Commision International (JCI). RSCM mengutamakan patient safety, dalam arti semua keperluan dan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasien harus aman.

Dalam hal penangan pasien, RSCM melakukan sebuah terobosan dimana antara pihak RSCM berkolaborasi dengan pasien dalam proses pengobatan. Pasien dilibatkan dalam proses pemulihan kesehatan dari masing-masing pasien sesuai anjuran dokter serta konsultasi dan diskusi antara pasien dan pihak dokter.

Kolaborasi ini merupakan upaya untuk menurunkan komplain dari pasien kepada pihak RSCM karena dalam tiap hal pemutusan pengobatan pasien akan dilibatkan agar bisa berpartisipasi. Selain menurunkan komplain, kolaborasi ini juga bisa membuat pasien lebih loyal kepada pihak rumah sakit. Upaya kolaborasi antara pasien dan rumah sakit ini tidak lain adalah perwujudan dari budaya kerja RSCM untuk selalu menolong dan memberikan yang terbaik.

Itulah beberapa hal yang menjadikan RSCM mampu menjalani proses tranformasi tanpa henti, merubah citra lama yang cenderung negatif, menjadi RSCM dengan citra dan reputasi lebih baik. Buktinya, RSCM mampu menggondol 2 penghargaan "Gold Champion" sekaligus pada Indonesia WOW Brand 2014.

Selamat RSCM!

Selasa, 17 Juni 2014

, , , , , , , , , , ,

#Blogger2Hospital untuk Pasien dan Rumah Sakit

Hangatnya sinar matahari pagi mulai terasa, ketika saya perlahan berjalan menyusuri jalanan parkir yang di sisi sampingnya berjejer pohon rindang. Kaki saya melangkah mantap menuju Griya Puspa, titik temu dengan kawan-kawan blogger saya. Hari itu (31/5), saya bersama kawan-kawan #Blogger2Hospital melakukan kunjungan edukasi ke RSUP Persahabatan Jakarta.

Jam tangan saya menunjukan jam 08.05. Suasana poliklinik eksekutif, Griya Puspa, masih sepi. Mungkin karena ini hari Sabtu. Beberapa kafe dan toko makanan pun belum buka. Sesuai rencana, rangkaian #Blogger2Hospital di RSUP Persahabatan akan dimulai jam 09.00 pagi. Sambil menunggu hadirnya kawan blogger, saya diminta Ibu Lien (direktur umum) sedikit menyampaikan testimoni dan materi pada pelatihan "Great Customer Services Training". Sebuah pelatihan yang dikhususkan kepada petugas garda depan (frontliner) dalam pelayanan pelanggan atau pasien RS Persahabatan.

Jam 9.00 lebih sedikit, sekitar 10 orang blogger telah hadir di ruang rapat direksi. Seperti biasa, kami akan lakukan pembekalan kecil sebelum acara #blogger2hospital dimulai. Pada #blogger2hospital ke-3 ini, kami mendapatkan edukasi dari RSUP Persahabatan mencakup kesehatan respirasi, pengenalan ruang isolasi flu burung dan terutama edukasi klinik berhenti merokok. Selain berupa paparan, #blogger2hospital juga melakukan hospital tour dan mencoba beberapa fasilitas RS Persahabatan. Itulah sekilas #blogger2hopsital di RS Persahabataan Jakarta.

Sebelum dimulai acara, Bu Lien sempat bertanya apa sih sebenarnya #Blogger2Hospital itu. Secara singkat saya katakan bahwa #Blogger2Hospital adalah kegiatan edukasi pasien. Setiap pasien wajib memberikan informasi yang benar yang jelas kepada pasien. Rumah Sakit juga selain memikul fungsi pelayanan juga fungsi pendidikan, termasuk edukasi pasien.

Oh, setiap rumah sakit pasti melakukan edukasi pasien kok. Benar, itu tidak salah. Saya sangat yakin, petugas rumah sakit akan memberikan informasi kepada pasien, termasuk edukasi dan promosi kesehatan kepada pasien. Kapan edukasi itu diberikan? Pada saa pasien yang sedang sakit akan, dalam dan setelah mendapat pengobatan. Yakinkah bahwa edukasi ini berhasil? Coba kita bayangkan kita adalah pasien yang dalam keadaan kepayahan sakit harus mendengarkan edukasi dari petugas RS. Belum lagi juga harus memikirkan biaya pengobatan rumah sakit.

Mengapa tidak kita balik kondisinya, rumah sakit memberikan edukasi pasien dikala pasien itu siap menerima. Pada saat pasien itu bukan sebagai pasien. Tapi dalam keadaan sehat tubuh, pikiran dan jiwanya. Dalam keadaan pasien itu secara sukarela mau belajar tentang prosedur dan standar rumah sakit. Kawan-kawan yang tergabung dalam #Blogger2Hospital adalah pasien yang dalam keadaan sehat dan siap belajar dunia rumah sakit.

Mengapa harus Blogger? Blogger itu bagian dari warga internet (netizen) yang melakukan jurnalisme warga. Yang menjadi ciri khas citizen adalah suka berbagi informasi (sharing information) melalui publikasi tulisan, status, gambar dan video melalui media sosial. Sekurangnya melalui blog, twitter atau facebook.
Demikianlah juga dengan edukasi yang blogger peroleh dari pihak Rumah Sakit, tuan rumah #blogger2hospital. Informasi yang diperoleh, apa yang dirasakan, pengalaman yang dikecap saat kunjungan edukasi akan secara sukarela disebarkan Blogger kepada pengikutnya atau pembacanya. Secara langsung dan tidak langsung, maka informasi edukasi rumah sakit tersebut tersebar ke banyak pasien (many to many information). Dengan kata lain, kegiatan #blogger2hospital membantu saling memahami dan berkomunikasi antara pasien dan rumah sakit. Program #blogger2hospital bermanfaat bagi pasien dan rumah sakit dalam banyak hal terutama edukasi, informasi dan komunikasi.

Berikut beberapa postingan yang menuliskan perasaaan, pengalaman dan apa yang didapat peserta #Blogger2Hospital di beberapa rumah sakit. Silahkan dibaca :)

#Blogger2Hospital Pertama di RS Premier Bintaro :

  1. Wisata edukasi tentang rumah sakit di RS Premier Bintaro, Priceless!

  2. Ketika #blogger2hospital ke RS Premier Bintaro

  3. Menikmati Liburan dengan Berkeliling Rumah Sakit

  4. Sedikit cerita tentang serunya Tour ke RS. Premier Bintaro

  5. Melongok ke dalam RS Premier Bintaro

  6. #Blogger2Hospital : Tour Asyik di RS. Premier Bintaro

  7. Magnetism Card Trick - Edisi #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Kedua di RSIA Evasari Jakarta:

  1. Touring Ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Evasari Jakarta

  2. #blogger2hospital sambangi RSIA Evasari

  3. #Blogger2Hospital (Edisi 2): Menyambangi RSIA Evasari

  4. Studi Tour Ke RSIA Evasari

  5. Hospital Tour #blogger2hospital @rsiaevasari

  6. #blogger2hospital Ke RSIA Evasari, Rumah Sakit Yang Memiliki Pelayanan Subspesialistik Terlengkap di Jakarta

  7. Bukan Jalan-jalan Biasa #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Ketiga di RSUP Persahabatan Jakarta;

  1. Rumah Sakit Persahabatan, Rujukan Nasional Kesehatan Respirasi

  2. Jangan Merokok, Nanti Dokter Annisa Dian Marah!

  3. #Blogger2Hospital (Edisi3): Menelusuri RSUP Persahabatan

  4. Bukan Jalan-Jalan Biasa : RSUP Persahabatan

  5. Pilih Mana Berhenti Merokok atau Sakit?

  6. Yuk Berhenti Merokok di Klinik Berhenti Merokok - RS PERSAHABATAN

  7. Jalan - Jalan ke RS PERSAHABATAN

  8. Blogger2Hospital berkunjung ke RSUP Persahabatan


Maaf bagi kawan blogger yang belum sempat disebutkan postingannya ya. Informasi dan edukasi #Blogger2Hospital juga bisa diikuti di Twitter dengan hastag #blogger2hospital.

Bagi Kawan Blogger, gabung yuks di #Blogger2Hospital selanjutnya. Untuk Rumah Sakit, hubungi kami jika siap menjadi tuan rumah edukasi pasien.

Kamis, 03 April 2014

, , , , ,

Seberapa Keren #Blogger2Hospital? Inilah Testimoninya

Keren! Itulah pendapat semua Blogger yang mengikuti program #Blogger2Hospital yang baru pertama diadakan (29/3) kemarin. Pendapat dan testimoni itu disampaikan secara langsung pada saat selesai santap siang sebagai feetback purna acara. Testimoni juga disampaikan melalui akun twitter masing-masing. Berikut saya kutipkan diantaranya;
@DewiSulistiawty: Pengalaman pertama ubek2 isi Rumkit,nambah pgthuan ttg selukbeluk RS #Blogger2Hospital

@TeRRenJr: Pengalaman syarat ilmu & pengetahuan #Blogger2Hospital. Bagi org awam tentang R.S spt saya. Kemarin adalah moment yg menambah pengetahuan.

@aniRingo: #Blogger2Hospital RS Premier Bintaro kemarin banyak wawasan ttg RS yg tak didapat dari media/pelajaran di sekolah, priceless!

@aniRingo: Dengan program #Blogger2Hospital tentu bermanfaat banget buat mengedukasi dan menyebarkan informasi dari A-Z ttg RS sebenarnya

@AriePitax: @anjarisme #blogger2hospital sangat positif, pasti ikutan lagi biar sebagai awam lebih tau standar dan istilah rumah sakit

@AriePitax: @anjarisme kemarin di #blogger2hospital jadi tau istilah warna di IGD dan maknanya, triage, standar cuci tangan, dll"

"@riacitinjaks: Kesan #blogger2hospital Memberi wawasan baru. Yang paling penting adalah: Blogger mendapatkan banyak Edukasi seputar RS dgn Tour Inside Hospital ini

"@iriani_bgr77: 2. Sy coba menuliskan sisi lain dr petualangan #blogger2hospital di hari sabtu yg cerah. Petualangan yg memberi view baru ttng RS

Tak cukup berkicau, beberapa peserta #blogger2hospital secara sukarela menuliskan pengalamannya melalui postingan blog. Berikut diantaranya ;
1. Wisata edukasi tentang rumah sakit di RS Premier Bintaro, Priceless! http://t.co/BZ6wICzj09

2. Ketika #blogger2hospital ke RS Premier Bintaro http://t.co/aiuWuCcu4T

3. Menikmati Liburan dengan Berkeliling Rumah Sakit http://t.co/Yhb4X9iHs1

4. Sedikit cerita tentang serunya Tour ke RS. Premier Bintaro http://t.co/OXTg9K32si

5. Melongok ke dalam RS Premier Bintaro http://t.co/YfpgGNwTo4

Tertarik? Ayo gabung #blogger2hospital selanjutnya!

Sabtu, 22 Maret 2014

, , , , , ,

Layani pasien JKN, RS Swasta Terbukti Tidak Rugi

Pada awal berlakunya, muncul isu bahwa Jaminan Kesehatan Nasional akan merugikan rumah sakit. Bahkan sebelum 1 Januari 2014 pun telah berhembus kabar tarif INA CBG’s dianggap kecil sehingga bisa membuat rumah sakit bangkrut. Perpindahan sistem pembayaran tarif rumah sakit dari yang tadinya Free for Service (FFS) menjadi INA-CBG's diklaim awalnya sangat merugikan rumah sakit. Namun faktanya, kabar itu tidak benar.

Sejak akhir Februari, setelah tagihan pembayaran pasien JKN diajukan kepada BPJS, ternyata banyak rumah sakit yang mengalami neraca positif (positive balance).

“Setelah kami hitung, Rumah Sakit kami tidak saja mengalami untung, tetapi bonus. Dengan tarif INA CBGs sama saja dengan tariff RS, kami sudah surplus. Apalagi banyak juga tariff INA CBGs lebih tinggi dari tariff RS kami. Jadi kami dapat bonus”, demikian dikatakan dr Ediansyah, Direktur RS Anissa Tangerang, pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Denpasar lalu.

dr Ediansyah juga mengungkapkan bahwa ditengah kekhawatiran rumah sakit lain, RS Anissa Tangerang berpikir positif dengan pelayanan JKN. Oleh karenanya, jauh hari sebelumnya, RS melakukan persiapan yang semestinya. Justru dengan JKN, jumlah pasien mengalami peningkatan.

Hal yang sama diakui dr Sigit Gunarto, Direktur RS Al Islam Bandung. “Pelayanan JKN kami alhamdulillah lancar. Kami sejak 6 bulan sebelum dimulainya JKN sudah melakukan persiapan karena memang di awal muncul isu kekhawatiran. Kami melihat ini justru peluang”, kata dr Sigit pada konferensi pers yang diadakan di Media Center BPJS Kesehatan.

Pelayanan JKN tidak menyebabkan rumah sakit rugi juga dialami RSI Jemursari Surabaya. “Dengan pengelolaan yang benar, rumah sakit kami bisa memperoleh surplus lewat pembiayaan bertarif INA-CBGs, sehingga pasien merasa puas karena terlayani dengan baik, rumah sakit pun mendapatkan keuntungan,” kata Notrisia Rahmayanti, Manager Informasi dan Kerjasama RSI Jemursari Surabaya.

Beberapa pihak mengklaim bahwa tarif paket JKN tidak sesuai dengan tarif rumah sakit swasta. Namun informasi dari tiga rumah sakit swasta tersebut seakan membantah isu itu.

RS Annisa Tangerang, RS swasta kelas C yang berlokasi di Tangerang semakin banyak menerima kunjungan pasien sejak berlakunya JKN. Dari yang biasanya rata-rata 80 pasien per hari, kini meningkat menjadi 120 pasien per hari. Ini berarti kualitas rumah sakit mendapatkan respons positif dari pasien.

Dari data yang dipaparkan, bahwa implementasi dari Januari sampai Februari 2014 dari total 2.978 pasien rawat jalan, total billing rumah sakit Rp 410 juta dan setelah ditagihkan dengan tarif INA-CBG's justru jumlahnya Rp 505 juta. Ada pendapatan tambahan Rp 95,9 juta atau sekitar 19 persen.

Sementara untuk rawat inap, dari total 569 pasien dan billing rumah sakit Rp 1,4 miliar, jumlah yang dibayarkan sesuai tarif INA-CBG's adalah sebesar Rp 2,1 miliar. Ini berarti ada tambahan pendapatan Rp 670 juta atau sekitar 32 persen.

Seakan mempertegas fakta diatas, pada acara Rakerkesnas lalu dr Bambang Wibowo, Ketua Ketua National Casemix Center (NCC), mengungkapkan bahwa dari data klaim pelayanan JKN yang masuk hingga awal Maret, Rumah Sakit mengalami surplus sebesar 97% RS kelas D, 96% RS kelas C dan kelas B dan 100% untuk RS kelas A.

Dr Bambang mengungkapkan beberapa tips agar RS mengalami neraca positif dalam melaksanakan pelayanan pasien JKN.

  1. Kurangi inefisiensi pelayanan rumah sakit. Pilih obat-obat yang cost effective, tanpa menurunkan mutu pelayanan. Begitu juga dengan alat medik habis pakai, efisiensi dalam melakukan pemeriksaan penunjang dan menentukan lama perawatan. Biasanya obat itu mencapai 30-35 persen dari biaya rumah sakit. Padahal di negara lain itu tidak lebih dari 20 persen.

  2. Memperbaiki mutu, standar, dan pelayanan rekam medik. Diakui saat ini memang belum ada indikator mutu yang lebih jelas. Tapi rumah sakit dapat menyusun clinical pathway sesuai dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan profesi masing-masing.

  3. Memperbaiki dan mempercepat penyelesaian klaim ke BPJS. Menurut UU, proses verifikasi dan pembayaran klaim maksimal dilakukan BPJS dalam waktu 15 hari. Jika lebih dari jangka waktu tersebut, BPJS dikenakan denda sebesar 1 persen dari total tagihan klaim. Semakin cepat memberikan klaim, maka proses pembayaran akan semakin cepat selesai.

  4. Tingkatkan pemahaman konsep INA-CBG's di rumah sakit. Hal ini termasuk mulai dari level manajemen hingga level dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan. Dokter disarankan secara profesional membuat panduan praktik klinik yang disetujui oleh level rumah sakit berdasarkan tarif INA-CBG's. Jika rumah sakit bisa melakukan ini dengan baik, maka mutu tidak akan turun dengan biaya yang lebih efisien.


Akhirnya terbukti bahwa isu rumah sakit bakal rugi akibat program JKN itu tidak benar. Lagi pula terasa janggal, program baru diluncurkan namun RS sudah heboh khawatir rugi. Semoga dengan JKN, pasien tenang dan rumah sakit pun senang.

Minggu, 16 Maret 2014

, , , , , , , ,

Ada apa dengan #Blogger2Hospital ?

Pernahkah anda melihat garis warna merah, hijau, kuning dan hitam pada lantai ruang IGD sebuah rumah sakit? Tahukah anda itu tanda apa? Sekedar terlihat keren, ataukah ada maksudnya? Tahukah anda mengapa ruang rawat inap pasien dibedakan laki-laki perempuan, dewasa anak, infeksius dan non infeksius?


Tahukah anda ruang bedah tidak boleh bersudut tajam melainkan melengkung? Tahukah anda mengapa harus berkali-kali diambil darahnya untuk setiap pemeriksaan laboratorium? Tahukah anda bahwa pintu radiologi harus berlapis pelat baja? Tahukah anda bahwa rumah sakit merupakan organisasi paling kompleks dengan sekurangnya ada 26 profesi didalamnya?


Itu hanya sebagian kecil pertanyaan yang sebagian besar orang bekum tentu bisa menjawabnya. Jangankan orang awam, apalagi yang jarang ke rumah sakit, pekerja rumah sakit pun belum tentu mengetahuinya.


Dalam berbagai kesempatan saya melakukan klarifikasi terhadap sebuah kasus yang menyangkut hubungan pasien dan rumah sakit, banyak menemukan fakta menarik. Dimana saya menemukan pasien atau keluarganya awam sekali terhadap standar dan prosedur rumah sakit. Rumah sakit adalah dunia asing bagi sebagian besar pasien. Disisi lain, sebagian besar rumah sakit tidak mampu menjelaskan secara baik dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam. Bisa dimaklumi pada saat itu, boro-boro pasien/keluarga sempat belajar standar & prosedur rumah sakit, merasakan sakitnya pun sudah kepalang. Belum lagi was-was dengan biaya pengobatan yang bisa jadi menguras tabungan bertahun-tahun. Demikian juga Rumah Sakit sudah kewalahan melakukan pengobatan pasien sehingga melupakan fungsi dan peran edukasi pasien.


Padahal pasien/keluarga yang cerdas sangat membantu dokter/rumah sakit dalam pelayanan kesehatan. Pasien cerdas mempercepat proses anamnesa, diagnosa, pemeriksaan penujang dan terapi. Singkatnya, pasien cerdas membantu percepatan penyembuhan dan pemulihan. Alangkah indahnya, jika pasien dan dokter terjalin komunikasi yang baik oleh karena pasien yang mengerti dunia rumah sakit.


Berawal dari persoalan itulah, saya berfikir bahwa mengapa pada saat sehat kita (calon pasien) mencoba mengerti dunia perumahsakitan. Kita mempelajari secara umum bagaimana sih rumah sakit dijalankan. Kita berusaha tahu prinsip dan standar dasar pelayanan rumah sakit. Bukan bermaksud putar haluan berkarir di rumah sakit, melainkan memahami dan mempelajari dunia rumah sakit. Tujuannya sederhana, agar jika jadi pasien atau mendampingi keluarga tidak awam sama sekali. Syukur jika terhindar dari kebingungan dan kegelisahan diaebabkan ketidaktahuan terhadap prosedur dan standar rumah sakif.


Untuk mewujudkan keinginan itu, saya ingin mengajak kawan-kawan blogger melakukan kunjungan ke rumah sakit. Ya, istilah kerennya hospital tour dengan nama #blogger2hospital. Diharapkan dengan kemampuan dan passionnya, blogger bisa menceritakan pengalaman dan insight selama #blogger2hospital melalui postingan, twit atau pesan statusnya. Tapi maaf, tanpa mengurangi rasa hormat, #blogger2hospital ini bukan event endorsing dan buzzing. Saya hanya mencoba membangkitkan sisi passionate dan keingintahuan para blogger tentang dunia perumahsakitan. Saya hanya ingin katakan bahwa rumah sakit itu komplek sekaligus unik lho. Dan anda, blogger, harus tahu dan menceritakan kepada para pembacamu.


Pasti anda bertanya, apa saja yang dilakukan pada acara #blogger2hospital ? Ya, seperti layaknya sebuah tour. Kita akan dipandu dan dijelaskan bagaimana rumah sakit dijalankan. Standar, prosedur, ketenagaannya, jenis layanan, ruangan, peralatan dan lain-lain. Tenang saja, semuanya dengan bahasa manusia awam, bukan bahasa medis. Toh, kalau tak mengerti boleh bertanya. Peserta juga #blogger2hospital akan dikenalkan dengan manajer, dokter, perawat, satpam dan office boy-nya. Dan rencananya, kita berkunjung kepada pasien yang kebetulan dirawat guna menunjukkan simpati dan empati atas sakitnya.


Saya akui, tidak mudah mencari rumah sakit yang mau menerima kunjungan #blogger2hospital ini. Sekali lagi, rumah sakit itu dunia lain yang relatif tertutup. Interaksi dan komunikasi yang terjalin dengan orang luar tidak seterbuka dibanding institusi lain. Tapi syukurlah, RS Premier Bintaro bersedia menjadi rumah sakit pertama yang mau terima rombongan #blogger2hospital. Rumah sakit berstandar internasional ini membolehkan 15 blogger belajar tentang dunia rumah sakit pada tanggal 29 Maret 2014.


Semoga saja acara #blogger2hospital yang pertama ini berjalan lancar. Siapa mau ikut?

Kamis, 19 Desember 2013

, , , , , , ,

Kenapa Rumah Sakit Perlu Manajemen Krisis Komunikasi?

Manajemen krisis komunikasi, keren ya! Istilah dengan embel-embel "manajemen" mengesankan berat, ribet dan tentunya membosankan. Lupakan definisi, pengertian dan konsep yang membosankan itu. Kita mulai dari sudut pandang lain, sisi kebutuhan kita. Perlukah manajemen krisis komunikasi bagi rumah sakit kita?

Sejenak mari kita mengingat suatu kejadian yang heboh dan menjadi pemberitaan nasional pada awal bulan Februari tahun ini. Secara masif beredar kabar melalui media massa dan media sosial bahwa 9 Rumah Sakit menolak pasien yang berakibat meninggal dunia bayi Dera. RS Zahirah, RS Fatmawati, RSCM, RS Harapan Kita, RS Tria Dipa, RS Asri, RS Budi Asih, RS Harapan Bunda, dan RS Pertamina.

Awal mula, RS Zahirah menangani prosea kelahiran bayi kembar, Dera dan Dara. Kedua bayi itu lahir prematur dengan berat sekitar 1 kg. Dera mengalami gangguan bawaan pada organ pernafasan sehingga membutuhkan perawatan di Neonatal Intersive Care Unit (NICU). Rumah sakit tidak lagi mampu melakukan perawatan si kembar karena tidak memiliki fasilitas NICU. Sesuai prosedur, pasien dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas yang memadai. Kesembilan RS tersebut merupakan rumah sakit yang sempat didatangi atau dimintai informasi ketersediaan NICU oleh orang tua atau kerabat pasien. Kesembilan RS tersebut tidak pernah menduga bahwa apa yang dilakukannya menjadi pemberitaan besar-besaran. Tidak ada niat menolak apalagi menelantarkan pasien.

Sembilan RS berkomentar tidak mau dikatakan menolak pasien. Namun semua tidak melakukan apa-apa. Ada yang diam, karena memang tak mengerti apa yang harus dilakukan. Ada RS yang ingin bertindak, tetapi tak tahu bagaimana mesti dilakukan. Tersirat kekhawatiran, jangan-jangan malah salah bertindak dan berdampak lebih besar. Akhirnya RS tak peduli, seakan tidak terjadi apa-apa.

Dalam kebingungan dan ketidakpedulian RS, opini pasien dan keluarga, publik dan masyarakat luas seakan menemukan pembenaran bahwa orang miskin tidak akan mendapatkan pelayanan baik dari Rumah Sakit. Tak terbantahkan, disaat itulah citra dan reputasi rumah sakit pun seketika anjlok. Krisis komunikasi rumah sakit pun terjadi. Pertanyaannya, apa yang mesti kita lakukan jika Rumah Sakit kita dalam kondisi yang sama seperti 9 RS tersebut? Krisis komunikasi di Rumah Sakit bisa terjadi kapan saja, siapkah RS kita menghadapinya?

Siap tidaknya Rumah Sakit kita menghadapi krisis komunikasi dapat tercermin dari bagaimana pemahaman pentingnya humas (public relations) bagi rumah sakit. Keduanya terkait erat dengan komunikasi dan persepsi. Bahkan manajemen krisis komunikasi menjadi lingkup tugas kehumasan.

Mari kita punguti persepsi yang muncul di lingkungan rumah sakit sendiri. Sudah menjadi pandangan umum bahwa pasien akan tetap datang ke rumah sakit sebab setiap orang sakit. Rumah sakit tak butuh humas dan pemasaran sebab pasien sudah membludak. Buat apa peduli opini publik, toh pasien selalu mencari dokter yang bagus. Tak perlu kita capek-capek, berita di media akan timbul tenggelam, isu satu ditimpa isu lain. Dan banyak lagi asumsi dan pandangan semacam itu yang dianggap kebiasaan. Tidak heran, jika Rumah Sakit merasa abai di saat mengalami krisis komunikasi disebabkan pemberitaan dan opini publik.

Dalam beberapa literatur dapat kita baca bahwa kegagalan menghadapi krisis komunikasi oleh suatu organisasi, termasuk rumah sakit, disebabkan oleh: (1) ketidaktahuan apa yang harus dilakukan; (2) merasa terlalu besar hingga menganggap tahan terhadap krisis; (3) denial, yaitu perasaan bahwa kita tidak akan terkena krisis; dan (4) tidak peduli terhadap krisis.

Setiap rumah sakit dibangun dengan rencana bisnis dari masa tumbuh, bertahan hidup, mengambil laba dan pengembangan/ekspansi. Proses pelaksanaan rencana bisnis itu memerlukan rentang waktu panjang. Untuk mencapai target rencana bisnis, rumah sakit harus menjalankan manajemen korporasi dan manajemen klinis yang baik. Direktur RS sebagian manajeman puncak harus menjamin ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang kuat. Dalam hal ini, public relations merupakan fungsi manajemen, sumber daya dan infrastruktur yang harus dibangun sebagai sebuah bisnis proses. Itu semua tidak bisa terbangun secara instan dan waktu yang relatif singkat. Dalam menapaki rencana bisnis dari masa tumbuh hingga ekspansi, perlu dilakukan manajemen strategi public relations.

Rumah Sakit seperti perusahaan lainnya mengalami pasang surut. Jika tak dikelola dengan baik bisa bangkrut. Rumah sakit dengan branding, citra dan reputasi baik akan menyelamatkan masa suram itu. Bahkan saat ini, brand dan reputasi bagus memiliki harga tersendiri. Ada yang berdalih bahwa RS Pemerintah tidak akan bangkrut dan tutup. Permasalahannya, kita memilih menjadi RS dengan kondisi sehat, maju dan reputasi baik ataukah RS yang asal jalan atau malah sakit?

Tak ada orang yang mampu memastikan terjadinya krisis komunikasi organisasi. Ketika krisis itu tiba, citra dan reputasi dipertaruhkan. Bisa jadi krisis semalam menghancurkan bisnis rumah sakit yang kita bangun tahunan. Sementara itu kita sadar bahwa sumberdaya dan infrastruktur reputasi tidak mudah, tidak cepat dan tidak murah. Kata orang mempertahankan lebih sulit daripada membangun. Itu benar. Bahkan dalam manajemen reputasi, memperbaiki citra buruk atau membangun kembali puing-puing reputasi yang terlanjur runtuh jauh lebih sulit lagi.

Jadi, apakah rumah sakit kita akan menunggu rusaknya citra dan reputasi untuk sadarkan pentingnya manajemen krisis komunikasi? Pilihan ada ditangan anda sendiri.

Rabu, 27 November 2013

, , , , , , , , ,

Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini

Sulit untuk tidak mengatakan sebagai mogok terhadap aksi solidaritas yang dilakukan dokter hari ini. Meski dibungkus dengan istilah bahwa dokter "Tidak Praktek" kecuali pasien gawat darurat (emergensi). Sulit pula menafikan pandangan awam yang menyamakan dokter seperti buruh, karena mogok kerja memang identik dengan buruh. Karena faktanya, berdasar seruan POGI, IKABI bahkan PBIDI, dokter se-Indonesia tidak melakukan praktek alias tidak layani pasien kecuali dalam keadaan darurat. Mungkin butuh keajaiban untuk membatalkan mogok para dokter ini.

Melihat aksi solidaritas dokter ini, mari kita semua melihat dari berbagai sisi pandang. Yang pertama, tentu dari cara pandang kedokteran. Meski tidak bisa orang awam, seperti saya, mampu melihat secara detil dan teknis medis. Namun secara prinsip, cara pandang dokter dapat jadi dasar pemahaman kenapa dokter lakukan aksi mogok ini. Selanjutnya kita lihat dari sisi proses hukum, kepentingan pasien dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Sebagaimana sudah tersebar di media massa dan media sosial, aksi solidaritas ini dilatar belakangi kasus dr A dkk di Manado. Yaitu dr. A dan 2 rekan dokter lain diduga melakukan tindakan malpraktek saat melakukan operasi seksio sesaria pada persalinan seorang ibu pada tahun 2010. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), namun pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa dengan menyatakan ketiga dokter bersalah melakukan malpraktek dan dipidana 10 bulan penjara. Sementara itu, para dokter berpendapat bahwa dr A dkk tidak bersalah, karena telah melakukan upaya pertolongan dan emboli sebagai penyebab kematian pasien merupakan bagian dari risiko medis. Nah ini menarik, mari kita cermati, mengapa dokter bisa berpendapat demikian.

Dalam hubungan dokter dan pasien disebut sebagai "fiduciary relationship", hubungan kepercayaan. Hubungan dokter pasien bersifat asymetry information, dimana dokter lebih mengerti kondisi kesehatan pasien. Disisi lain secara umum pasien tidak memahami atau awam terhadap tindakan medis. Dalam posisi seperti ini, tak ada pilihan lain kecuali pasien mempercayai dokter terhadap diagnosa dan tindakan dokter atas penyakit yang diderita pasien. Namun demikian, dalam melakukan praktek kedokteran, si Dokter juga dipagari oleh sumpah dokter, etika, disiplin dan hukum. Mentang-mentang posisinya lebih tahu dibandingkan pasien, tidak serta merta dokter dapat seenaknya dalam melayani pasien. Disinilah akhirnya, hubungan dokter-pasien terjadi hubungan kepercayaan. Pasien percaya bahwa dokter berupaya menyembuhkan penyakit. Dan dokter pun percaya bahwa pasien yang datang berobat kepadanya percaya terhadap upaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan dokter.

Dalam hukum perikatan yang mengenal prestasi dan wanprestasi, hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Nah, disinilah pokok persoalannya. Para Dokter berpendapat bahwa apa yang dilakukan dr A dkk itu telah sesuai prosedur dan standar. Ketiga dokter itu telah memberikan tindakan penyelamatan pasien (ibu dan bayi) dengan melakukan bedah caesar. Namun tindakan dokter hanya mampu selamatnya bayi, sementara sang ibu meninggal dunia. Sebab kematian adalah emboli udara, penyumbatan pembuluh darah oleh udara yang sebabkan kegagalan fungsi paru dan selanjutnya kegagalan fungsi jantung. Dalam kedokteran, emboli konon sulit diprediksi dan susah dicegah. Itu risiko medis bukan malpraktek.

Dengan tindakan dokter dan kondisi pasien seperti tersebut diatas, mengapa dokter masih dipersalahkan? Dokter berpandangan bahwa dr A dkk tidak salah, oleh sebab itu tidak semestinya dipidana/ditahan. Jika upaya dan tindakan dokter yang sesuai prosedur dan standar tetapi mengakibatkan pasien meninggal dunia namun tetap dipersahkan, itu sama saja dengan melakukan kriminalisasi dokter. Demikian pandangan dokter, oleh sebab itu mereka melakukan aksi tolak kriminalisasi dokter dengan menjadikan kasus dr ayu dkk di Manado ini sebagai momentumnya.

Para dokter beranggapan bahwa apa yang menimpa dr A dkk berdampak secara psikologis dan sosiologis bagi dokter lain. Para dokter akan menjadi ragu-ragu, khawatir dan tidak berani ambil risiko dalam melakukan tindakan pengobatan. Dokter akan cenderung cari aman, karena kalau melakukan tindakan medis yang beresiko tinggi ada kemungkinan dipidana. Jadi dokter menganggap terhadap tindakan kedokteran tidak dapat dikenakan hukum pidana, melainkan cukup perdata. Sebab, sekali lagi, dalam kedokteran dikenal risiko medis dan kejadian tak diharapkan dimana meski sudah dilakukan tindakan kedokteran sesuai standar masih saja ada kemungkinan pasien cidera atau meninggal dunia. Oleh karenanya dalam hal ini dokter tidak melakukan kesalahan sehingga tidak pantas dihukum pidana.

Selanjutnya, mari kita lihat proses hukum dr Ayu dkk ini. Pada tahun 2010, dr A dkk melakukan bedah caesar terhadap seorang ibu yang menjalani persalinan. Bayi dapat terselamatkan, namun paska operasi sang ibu meninggal dunia. Atas kasus ini, ketiga dokter diajukan di pengadilan dengan tuntutan hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Tapi Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.

Karena putusan MA tersebut, ketiga dokter masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak September 2012. Dan tanggal 8 November 2013, dr A ditangkap dan ditahan. Keberatan atas keputusan dan penahanan, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dari kronologi singkat ini, dapat dilihat bahwa proses hukum masih berjalan. Dokter atau dalam hal ini pembela dr A dkk, masih dapat kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan mengajukan bukti-bukti baru dalam Peninjauan Kembali.

Selain proses pengajuan PK, rupanya PB POGI didukung juga PB IDi merasa perlu menggalang solidaritas dan dukungan secara luas dari kalangan dokter. Maka diserukanlah yang disebut aksi keprihatinan solidaritas para dokter dengan berbagai cara. Dari memakai pita hitam di lengan kanan, doa/tafakur, penyampaian pendapat hingga tidak praktek/tutup layanan alias mogok kerja. Aksi solidaritas ini dikemas dalam kampanye "tolak kriminalisasi dokter". Pertanyaanya, dengan proses hukum yang sedang berjalan, apa urgensi aksi solidaritas dokter ini? Apa perlu sampai mogok kerja?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas tentang mogok itu sendiri. Istilah mogok kerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh untuk menghentikan atau memperlambat kerjaan. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh sebagai akibat gagalnya perundingan. Agar sah dan tertib, dalam UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat dan tahapan mogok kerja. UU Ketenagakerjaan juga melarang kegiatan mogok kerja yang membahayakan keselamatan jiwa manusia atau mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Ada yang berpendapat bahwa dokter tidak mogok, hanya tidak praktek. Dokter tidak mogok karena masih melayani pasien gawat darurat. Pertanyaan muncul didasarkan definisi mogok, aktivitas aksi dokter ini memperlambat atau menghentikan pelayanan kesehatan terhadap pasien nggak? Jika pasien yang datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit tidak mendapat layanan kesehatan, bukankah itu bisa dikatakan kepentingan umum terganggu? Pelayanan (kerjaan) dokter menjadi terhenti, bukankah menurut UU disebut mogok?

Ada lagi yang berpendapat, dokter bukan buruh, dokter itu profesi/profesional. Karena bukan buruh dan tidak ada serikat buruh dokter, maka UU Ketenagakerjaan tidak bisa berlaku untuk dokter. Baiklah, mari kita gunakan UU lain. UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter
memberikan pelayanan medis sesuai kebutuhan medis pasien. Kewajiban ini berlaku kepada dokter yang telah memiliki SIP serta dalam masa jam prakteknya, untuk semua pasien, tidak membedakan pasien elektif dan emergensi. Apalagi UUPK juga mewajibkan dokter melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.

Bahkan sumpah yang diucapkan setiap kali seseoran menjadi dokter begitu mulia. Sumpah dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Dokter akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan. Dokter akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita. Dan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, dokter akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.

Kemudian UU Rumah Sakit mewajibkan setiap rumah sakit memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien. Juga Rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai pelayanannya. UU Kesehatan mengamanatkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Praktik Mandiri, melakukan pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan dengan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Rasanya itu sudah cukup, belum lagi jika ditambahkan hak-hak pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Ada lagi yang berpendapat bahwa dokter tetap memberikan pelayanan kepada pasien emergensi. Pak dokter! bu dokter! Mohon bayangkan diri anda adalah pasien itu sendiri. Gambaran Pasien secara umum adalah kondisi fisik lemah, kesakitan karena penyakit, kepayahan, dan perlu bantuan orang lain. Tegakah para dokter tidak menolong orang dengan kondisi demikian? Bagaimana jika anda pasien dengan kondisi sakitnya datang ke dokter dan mendapatkan tanggapan,"maaf, hari ini kami tidak praktek!"

Mari kita bicara fakta lain. Jamak kita temui dokter terlambat memberikan pelayanan dari jam prakteknya. Semestinya klinik buka jam 8, tapi dokter datang jam 9. Tidak jarang kita ketahui, di IGD pun dokter selalu siap ditempat. Lumrah kita dapati di ruang ICU, dokternya datang setelah dipanggil (on call) karena sedang praktek di tempat lain. Jika dalam jam praktek belum tentu dokter melayani tepat waktu. Jika dalam keadaan normal saja, dokter tidak selalu siap ditempat melayani pasien emergensi. Bagaimana dalam keadaan mogok kerja? Apakah pasti siap melayani pasien emergensi?

Dokter juga mengatakan bahwa kondisi pasien tidak mudah diprediksi. Pasien elektif bisa mendadak emergensi. Pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sakit biasa, juga bisa mendadak harus segera ditolong. Bagaimana jika dalam kondisi itu, Dokter sedang bersama-sama aksi solidaritas atau sedang tafakur di rumah. Siapa yang menolong pasien?

Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah "dewa penolong". Itu juga berlaku bagi keluarga, ketika melihat upaya sungguh-sungguh dokter dalam mengobati pasien. Bahkan ketika pasien itu meninggal dunia, keluarga pun akan ikhlas menerima sepanjang mereka menyaksikan upaya dan kesungguhan dokter selamatkan nyawa. Maka banyak ditemukan, anggota keluarga pasien yang marah atau menuntut dokter adalah keluarga yang tidak ada didekat pasien. Singkatnya, pasien dan keluarga akan menganggap dokter adalah pahlawan yang berusaha selamatkan pasien. Bagaimana jika karena dokter sering lakukan aksi bahkan mogok, masyarakat menganggap dokter juga seperti masyarakat biasa seperti lainnya. Dokter bukan lagi dianggap dewa penolong, melainkan anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari uang sebagai dokter. Jika demikian, jangan salahkan banyak orang miskin yang tak punya uang memilih ke dukun atau pengobatan alternatif yang bertarif seikhlasnya.

Kita telah bicarakan dari dari sisi dokter, aspek hukum dan bagaimana pasien memandang dokter. Dari sekilas uraian ini, kita sangat hargai aksi solidaritas dokter dengan cara pakai pita hitam, doa keprihatinan dan tafakur. Kita harus tolak segala bentuk kriminalisasi, oleh sebab itu kita dukung "tolak kriminalisasi dokter". Tapi semestinya dokter tetap buka praktek dan melayani pasien baik elektif maupun emergensi. Dengan berpraktek, dokter bisa memakai pita hitam dan diawali dengan doa keprihatinan bersama. Siapa tahu dengan pita hitam, pasien bertanya-bertanya, tersadarkan dan berempati kepada dokter.

Alih-alih tujuan tercapai, mogok justru memperburuk citra dokter. Mogok bisa dipersepsikan wujud ego dan keangkuhan profesi dokter terhadap masyarakat lain meskipun di mata hukum semua sama. Istilah fikih, mogok mudharatnya jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Oleh sebab itu, energi aksi solidaritas lebih efisien digunakan untuk menyusun strategi dan mengumpulan bukti baru dalam proses Peninjauan Kembali. Semangat solidaritas profesi dokter dikristalkan dengan mengindentifikasi pasal-pasal Undang-Undang dan KUHP yang merugikan praktek dokter untuk diujikan materiil ke Mahkamah Konstitusi. Dan seluruh kekuatan aksi dokter ini bisa diarahkan kepada upaya mencerdaskan pasien sekaligus membangun hubungan dokter-pasien yang lebih komunikatif dan empatif.

Pada bagian akhir, kita sangat mendukung himbauan Kementerian Kesehatan agar aksi solidaritas dokter ini dilakukan dengan tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien seperti biasanya. Toh, untuk apa semua hal ini kita lakukan, selain derajat kesehatan rakyat Indonesia lebih baik.

Selasa, 26 November 2013

, , , , , , ,

Siap-siap ya! Dokter SpOG Akan Tidak Praktek Tanggal 27 November nanti

Prihatin. Sedih. Gundah. Bingung. Baca web POGI. Dokter SpOG akan lakukan Aksi Keprihatinan Nasional lagi. Pengurus Besar Perkumpulan Obsteri & Genekologi Indonesia (PB POGI) mengeluarkan surat edaran kpd POGI Cabang Se-Indonesia untuk aksi keprihatinan.

POGI akan melaksanakan Aksi Solidaritas Keprihatinan Nasional pada tanggal 27 November 2013 dengan;
1. memasang pita hitam di lengan kanan;
2. tidak melakukan praktek & hanya melayani pasien emergensi.

Diulang ya! Tanggal 27 November, Dokter SpOG se-Indonesia berencana TIDAK PRAKTEK, hanya layani pasien emergensi.

Menurut PB POGI, aksi keprihatinan ini untuk solidaritas kasus sejawat dr. Dewa Ayu SP, SpOG dkk yang ditahan atas tuduhan malpraktek. Saya berharap (meski kecil kemungkinan) tidak ada kasus emergensi pasien kebidanan dan kandungan pada tanggal 27 November nanti. Itu beresiko tinggi terhadap pasien.

Saya berharap, kebesaran hati dan pikiran para dokter SpOG se-Indonesia, sehingga membatalkan rencana tutup praktek tgl 27 November nanti . Kita hargai solidaritas atas sejawat dr Ayu dkk. Tetapi rencana tidak praktek dokter SpOG akan berdampak negatif layanan kesehatan. Meski ada niat bahwa pasien emergensi akan dilayani, siapa yang bisa jamin pasien emergensi benar-benar terlayani?

Okelah! Bahwa aksi tolak kriminalisasi dokter harus diperjuangkan. Saya 1000 persen setuju. Tapi ya mbokyao, SpOG jgn sampai tutup praktek. Lagi pula, bapak ibu dokter SpOG, aksi keprihatinan dengan tutup praktek belum tentu mengundang simpati publik lho. Malah bisa sebaliknya.

Bukankah Peninjaun Kembali atas kasus dr Ayu dkk sedang diajukan? Kita hormati proses hukum. Kalau memang tidak adil, lawan dg hukum. Kalau memang kelalaian medis tidak boleh dipidana, ayo berjuanglah melalui mekanisme hukum. Uji ke MK tuh KUHAP! Jgn mogok. Kalau memang bidang pelayanan kesehatan perlu peradilan khusus, ayo kita revisi UU Praktik Kedokteran. Ato Uji ke MK. Jgn tutup praktek.

Percayalah Pak & Bu Dokter se-Indonesia, jika anda tutup praktek itu berdampak besar bagi pasien tapi tak jadikan dokter terlihat besar. Pak dan Bu Dokter khususnya SpOG, mohon dengan sangat, tidak tutup pelayanan tanggal 27 November nanti. Saya yakin, kebesaran hati dan fikiran dokter SpOG tetap buka praktek ditengah keprihatinan atas dr ayu dkk akan membuat banyak pasien yang berterima kasih. Semoga Tuhan meridhoi tugas & perjuangan Anda, para dokter.

Demikianlah harapan dan doa saya, rakyat biasa juga pasien, yang mencintai dokter dan Indonesia.

Jumat, 22 November 2013

, , , , , , , , ,

Analisa Umum Terhadap Kasus Dokter Disiram Kopi Panas oleh Pasien di RS Husada

Hubungan dokter pasien adalah “fiduciary relationship”, hubungan kepercayaan. Saya tak melihat hubungan kepercayaan dalam kasus dokter disiram kopi panas. Hubungan antara dokter dan pasien juga didasari pada perikatan "inspanning verbintens" yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya
. Jadi hubungan antara dokter dan pasien BUKAN didasari perikatan "resultaat verbintenis" yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada hasil akhir.

Pasien berhak mendapatkan penjelasan dan pendapat dokter, tapi wajib memberikan informasi lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
. Pasien berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, tapi juga wajib mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.


Berdasar berita di media massa dan media sosial, pasien menyiram kopi panas karena dokter periksa sambil main BB dan ketika ditanya dokter selalu menjawab tidak tahu.
 Di media pula, dokter mengatakan bahwa ia gunakan BB untuk merekam ucapan kasar pendamping pasien yang marah karena disuruh ke laboratorium.
 Menurut dokter, bahwa ia akan bisa jelaskan apa penyakit pasien setelah melihat hasil lab. Atau dengan kata lain, dokter 'tak tahu' sakit pasien sebelum ada hasil pemeriksaan lab.


Dari dua versi berita media antara pasien dan dokter ini, ada yang bisa ditarik persamaannya, yaitu penggunaan BB dan tidak tahu penyakit.
 Jadi meski terlihat berlawanan, sesungguhnya bisa ditarik benang merah dan merajutnya jadi satu rangkain kisah. Tsah! ;))


Perlu diketahu bahwa pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa atas pemeriksaan fisik dan anamnesa. Pemeriksaan penunjang diantaranya darah, urin, veses, rontgen dll. Sepanjang dilakukan secara wajar, pasien harus mengikuti.
 Tanpa pemeriksaan penunjang seperti cek darah laboratorum, dokter kesulitan menentukan kondisi kesehatan pasien. Singkatnya, tidak tahu!
 Tanpa pemeriksaan laboratorium, dokter itu seperti dukun, hanya menduga-duga. Begitu kata sahabat saya yg seorang dokter.


Bisa jadi, dokternya bilang "tidak tahu sakitnya apa, periksa lab dulu deh". Itu yg membuat pendamping pasien kesal.
 Artinya, dokter sudah benar menyuruh pasien lakukan pemeriksaan laboratorium, tanpa itu dokter "tdk tahu" sakitnya pasien. Ya pasien harus sabar mengikuti prosedur dan standar.

Tentang penggunaan BB, meski alasannya utk rekam ucapan/tindakan pendamping pasien, meskipun boleh tetapi sebaiknya dokter tak lakukan itu. Tindakan merekam oleh dokter terhadap pasien/pendamping justru memancing kemarahan & tindakan kekerasan lainnya yaitu memukul.
 Pada saat pendamping pasien kesal karena disuruh periksa lab dan dokter rekam dengan BB, disaat inilah 'fiduciary relationship' tidak terjadi.

Terhadap mana fakta yg benar, apakah versi pasien atau dokter, mari kita ikuti berita selanjutnya. Secara pribadi, saya menunggu lebih lengkap versi pasien.
 karena kalau versi dokter atau rumah sakit, sudah cukup mendapatkan kisahnya.

Beberapa kawan bertanya, apakah boleh dokter melaporkan pasien ke polisi? Jawab saya, presiden saja boleh melaporkan rakyatnya :))
 Dokter juga manusia pak. Lagipula pelaporan ke polisi itu sebagai orang (subyek hukum) yang kebetulan seorang dokter dan merasa mendapatkan perbuatan tidak menyenangkan.

Kesimpulannya, jika sebagai pasien anda tak mempercayai dokter lebih baik cari dokter lain yg anda percayai. Jangan siram dengan kopi panas!
 :)) Jika anda seorang dokter, berkomunikasilah dengan sabar. Sesungguhnya, senyum dan keramahan anda itu menyembuhkan ;)


Sekian terima kasih. Maaf jika tak berkenan, salam!


 

Rabu, 20 November 2013

, , , , , , , ,

Memaknai Aksi "Stop Kriminalisasi Dokter"

Coba amati daftar kontak BBM anda. Barangkali salah satunya telah mengganti gambar profilnya berupa sosok lelaki berbaju hijau, berkalung steteskop, kedua tangan diborgol dan dilengkapi tulisan "stop kriminalisasi dokter". Atau anda menerima pesan massal BBM berisi kutipan pernyataan Menkes "kalau kalian mogok, saya bunuh pelan-pelan", disertai pesan "stop kriminalisasi dokter". Di facebook, milis, forum, blog dan sosial media lain masih ramai beredar hal ini.

"Stop Kriminalisasi Dokter", merupakan aksi yang dilakukan kalangan Dokter sebagai reaksi atas penahanan seorang dokter atas tuduhan malpraktek. Bentuk aksi "stop kriminalisasi dokter" pun beragam. Di daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo dilakukan penutupan pelayanan kebidanan dan kandungan selma 3 hari sejak tanggal 18 November 2013 kecuali dalam keadaan darurat. Ada juga dokter yang unjuk rasa dan memakai pitam hitam sebagai bentuk solidaritas. Pengurus Besar IDI menghimbau anggotanya dokter di seluruh Indonesia untuk doa keprihatinan profesi dokter ditempat kerja pada tanggal 18 November itu.

Aksi "stop kriminalisasi dokter" sebagai bentuk protes dan solidaritas atas penahanan terhadap dr. A yang oleh Kejaksaan Tinggi Sulut awal November ini. Dr A bersama 2 rekan dokter spesialis kandungan lain diduga melakukan tindakan malpraktek saat melakukan operasi seksio sesaria pada persalinan seorang ibu pada tahun 2010.

Ketiga dokter dituntut Jaksa dengan hukuman 10 bulan penjara. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ke tiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), karena terbukti sebab kematian pasien adalah Emboli udara (gelembung udara) yang ada di bilik kanan jantung jenazah, yang tidak bisa di prediksi dan di cegah. Namun pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa dengan menyatakan ketiga dokter bersalah melakukan malpraktek. Dalilnya, dokter tidak memberi tahu kemungkinan pasien meninggal setelah operasi dan juga dalam operasi darurat tidak dilakukan pemeriksaan lengkap terhadap jantung dan pemeriksaan spesifik lainnya.

PB POGI, induk organisasi obstetri dan ginekologi, keberatan atas keputusan ini dengan melayangkan surat ke Mahkamah Agung. Jawaban MA agar di ajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dimulai dari aksi POGI Sulut dan Gorontalo yang melakukan aksi keprihatinan tersebut, aksi kalangan dokter dan PB IDI ini meluas diberbagai tempat dengan tema "stop kriminalisasi dokter"

Aksi solidaritas dokter terhadap dr. A dkk ini mengingatkan saya kepada salah satu sumpah dokter bahwa saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan. Saya yakin, sesungguhnya aksi ini baik untuk menyadarkan dokter dan masyarakat betapa besarnya resiko medis yang dihadapi oleh pasien dan juga dokter dalam tindakan kedokteran.

Aksi ini menemukan momentum yang tepat, setelah opini yang ditulis seorang dokter di Jawa Pos dengan judul "demo bagi dokter itu pilihan pahit” dikutip dan beredar luas melalui media sosial. Dimana dalam opini ini penulis mengkontraskan dengan pernyataan Menkes “Kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan”. Ini berdampak membangkitkan kebersamaan dan rasa kebersamaan profesi tidak saja terhadap dokter kandungan dan kebidanan, tetapi juga kalangan dokter secara umum. Yang jadi pertanyaan, bagaimana tanggapan tenaga kesehatan lain dan masyarakat umum terhadap aksi "stop kriminalisasi dokter" ini?

Saya menganggap bahwa aksi "stop kriminalisasi dokter" harus dimaknai secara positif. Aksi ini harus menjadi momentum tepat pentingnya perbaikan pelayanan kesehatan oleh dokter terhadap pasien. Diharapkan dokter tidak melakukan aksi yang justru menurunkan kualitas pelayanan atau bahkan membahayakan nyawa pasien, misalnya saja mogok kerja. Sebab alih-alih tercapai tujuannya, aksi mogok dokter bisa jadi menjauhkan dari substansi persoalannya.

Saat ini, mogok kerja yang dilakukan buruh sudah dipandang negatif oleh masyarakat. Sekarang ini pelayanan rumah sakit dan dokter di Indonesia dianggap tidak ramah pada pasien. Belum lagi dengan isu lain seperti biaya berobat mahal, premis 'orang sakit dilarang sakit', dokter galak, rumah sakit komersial, arus pasien ke luar negeri dan obat mahal. Ini semua menjadikan mogok kerja, bukan pilihan bijak para dokter dalam melancarkan aksi "stop kriminalisasi dokter"

Demikian juga ungkapan "if someone does not appreciate your presence, then make them appreciate your absence" bukan inspirasi tepat untuk menguatkan aksi ini. Aksi "Stop kriminalisasi dokter" harus dilakukan dengan tindakan dan bentuk kegiatan yang tidak menyebabkan antipati publik. Atau tindakan yang menciderai rasa keadilan masyarakat sehingga justru semakin menjauhkan dokter dari masyarakatnya.

Sesungguhnya keberhasilan aksi "stop kriminalisasi dokter" dapat dilihat dari seberapa besar simpati publik. Atau dengan kata lain, sukses tidaknya aksi ini tergantung sejauh mana para dokter dapat melibatkan pihak diluar dokter atau partisipasi publik sebagai aksi bersama demi perbaikan pelayanan kesehatan Indonesia.

Oleh sebab itu, pada momentum ini dokter perlu melakukan gerakan simpati dan aksi nyata menandai gerakan "stop kriminalisasi dokter". Di bidang hukum, melakukan pendampingan dan advokasi terhadap kasus hukum dr A dkk atau dokter-dokter lain yang mengalami kasus hukum. Namun lebih fundamental dari itu, perubahan mindset dan budaya dokter dalam melayani pasien. Pentingnya pemahaman bahwa dokter harus memberikan penjelasan yang jelas, benar dan jujur tentang kondisi kesehatan pasien disertai risiko medis, kejadian tak diharapkan, informed concern dan lain-lain. Para dokter dapat mengatakan bahwa pasien yang tak kunjung pulih atau cacat akibat tindakan medis bukan malpraktek. Tetapi sudahkah dokter menjelaskan bahwa suatu kasus malpraktik dinilai bukan dari hasil melainkan dari proses perbuatannya?

Sudahkah pasien mengerti bahwa hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintens? Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik. Ini berarti, dokter berkewajiban membuat pasien cerdas sehingga tidak mudah menuduh dokter melakukan malpraktek.

Atau mulailah dari yang sederhana dan simpel tetapi bermakna, tersenyum kepada pasien. Dokter tersenyum menyambut pasien, bertanya hangat dan mendengar seksama perkataan pasien. Memberi waktu yang cukup untuk anamnesa dan diagnosa terhadap pasien. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang wajar sehingga tidak menimbulkan biaya pengobatan yang normal.

Di pagi hari sebelum klinik dibuka, dokter menyapa ramah pasiennya yang sudah antri menunggu. Selain memeriksa kondisi kesehatannya, dokter meluangkan waktu berbicara dengan pasien disaat waktu kunjungan di ruang rawat. Dokter sabar menjawab pertanyaan pasien dsn tidak marah ketika tahu pasien telah melakukan second opinion.
Singkatnya, dokter dan pasien dapat berkomunikasi dengan baik sehingga meningkatkan kepercayaan dan menghilangan salah faham antara pasien dan dokter.

Akhirnya untuk menutup tulisan ini, saya berangan-angan bahwa aksi "stop kriminalisasi dokter" ini dimulai dengan gerakan simpati dan aksi "Dokter Tersenyum untuk Indonesia". Salam senyum, dok!