Tampilkan postingan dengan label jokowi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jokowi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Juni 2015

, , , , , , ,

Program PR Bukan Sekedar Pencitraan

Presiden Joko Widodo menahan nafas dan terdiam sejenak. Pandangan matanya diarahkan kepada ratusan anak muda berseragam batik merah marun dihadapannya. Didampingi Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Jokowi melepas tim Nusantara Sehat yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia di wilayah perbatasan dan terpencil di Istana Negara, Senin (4/5/2015).

"Saya bangga sekali melihat saudara-saudara mempunyai sebuah tekad kuat dan niat baja. Ada yang akan ditempatkan di ujung-ujung, tetapi saya lihat wajah-wajah optimis semuanya. Itu yang kita cari,” ungkap Presiden Jokowi disambut tepuk tangan meriah dari tim Nusatara Sehat dan para hadirin.

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, Kementerian Kesehatan melepaskan 143 tenaga kesehatan teridiri dari dokter, bidan, perawaat dan lain-lain di 20 puskesmas perbatasan dan kepulauan terluar yang tersebar di 19 kabupaten dan 9 provinsi. Tujuannya sejalan dengan semangat Nawa Cita  yaitu membangun dari pinggiran dengan memperkuat Puskesmas di daerah perbatasan sebagai ujung tombak upaya kesehatan masyarakat.

“Ini bukan sekedar pencitraan. Tetapi bagaimana program Kementerian Kesehatan memberi solusi terhadap permasalahan bangsa dan memberi manfaat bagi rakyat,” tegas Murti Utami, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan.

Tim Nusantara Sehat yang semuanya anak-anak muda ini, kata Ami (panggilan akrab), diharapkan mampu mengatasi permasalahan kesehatan di daerah tugasnya dan berdampak pada menurunnya angka kematian ibu bayi dan menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Sebagai Public Relations Pemerintah citra memang penting, tetapi apakah program itu baik dan bermanfaat bagi public itu lebih utama. Untuk diketahui, Kementerian Kesehatan memperoleh Gold Champion WOW BRAND 2014 dari MarkPlus terutama untuk program JKN sebagai The Most Most Valuable Policy. Dalam melaksanakan program PRnya, Kementerian Kesehatan menggandeng stakeholder termasuk awak media massa dan pegiat media sosial.

Jumat, 31 Mei 2013

, , , , , , , , , ,

INA CBGs itu makhluk apa?

"INA CBGs itu makhluk apa?"

Mohon angkat tangan, siapa diantara kita yang masih mempunyai pertanyaan seperti itu. Masih ada?  Berbahagilah! Berarti anda sama dengan Wanda Hamidah, anggota DPRD Jakarta yang cantik itu.

Jauh sebelum Wanda Hamidah mengungkapkan pertanyaan, "INA CBGs itu makhluk apa?", saya merasa orang terakhir yang tidak memahami apa itu INA CBGs. Namun kesamaan dengan Wanda Hamidah dalam hal ketidaktahuan tentang INA CBGs, tidak menjadikan saya geer alias besar diri. Sebaliknya merasa malu, sebagai orang yang bergelut sehari-hari dalam bidang perumahsakitan tidak mengerti dengan sistem INA CBGs yang sudah berjalan sejak Tahun 2010.

Adalah berita 16 rumah sakit mundur dari program Kartu Jakarta Sehat, menjadikan INA CBGs lebih dikenal. Klaim rumah sakit tersebut, tarif INA CBGs rendah sehingga merugikan mereka. Sontak kabar ini memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa sih INA CBGs? Makhluk apa itu INA CBGs? Tidak saja, Wanda Hamidah dan anggota DPRD Jakarta lainnya yang beberapa diantaranya mengusung wacana interpelasi. Tetapi juga anggota DPR dan pihak yang berkepentingan terhadap BPJS dan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

Kasus KJS dan INA CBGs ini menjadi topik hangat media cetak, online, televisi dan radio minggu-minggu ini. Namun jika disimak seksama, apa yang berseliweran di media itu belum menjawab secara substansi apa itu INA CBGs. Sulitnya mencari referensi, semakin tidak mudah memahami INA CBGs. Apalagi pertentangannya pun sudah bergeser kepada sisi politis dan interpelasi. Saya bukan ahli, namun hanya sekedar berbagi informasi secara konsepsi tentang makhluk apa itu INA CBGs.

Mari kita awali dengan pertanyaan mudah. Sebagai pasien lebih pilih mana; anda tahu besaran tarif dan jumlah biaya yang harus dibayarkan sebelum atau sesudah pelayanan pengobatan dan perawatan? Saya yakin mayoritas pasien (kalau tidak bisa dikatakan semua) ingin tahu besarnya biaya sebelum dilakukan semua tindakan pengobatan. Dengan INA CBGs, pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Pada INA CBGs bersifat paket sehingga besaran tarifnya dan jumlah biaya tetap.

Sekarang bandingkan dengan sistem tarif yang digunakan oleh sebagian besar rumah sakit saat ini. Pasien baru tahu besaran tarif dan jumlah biaya setelah semua tindakan pelayanan. Dan rumah sakit memungut biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Dengan kata lain, rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Inilah yang disebut fee for service, dimana besarnya biaya tergantung pada setiap tindakan pengobatan yang dilakukan.

Itulah sekilas konsepsi makhluk yang bernama INA CBGs. Oh ya, saya baca di salah satu media online bahwa Wanda Hamidah telah mengeluarkan pernyataan: INA CBG's lebih bagus dan lebih sistematis daripada Jamkesda.

Nah, jangan-jangan sekarang sudah mengerti INA CBGs. Waaaanndatahu, saya!

Kamis, 23 Mei 2013

, , , , , ,

Jangan Politisasi KJS

Kartu Jakarta Sehat (KJS) adalah janji politik. Sebagai sebuah janji politik, KJS tak lepas dari pencitraan dan popularitas. Dan ketika janji politik telah direalisasikan maka menjadi komoditas politik yang bisa dikemas sesuai kepentingannya. Karena masuk area politik, maka menutup kemungkinan terjadi politisasi KJS dimana berebut sisi kelebihan dan kekurangan KJS guna diambil keuntungan bagi diri dan golongannya.

Pada era Fauzi Bowo sudah berjalan program bantuan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang tidak mampu. Dengan Surat Keterangan Tidak Mampu, warga bisa mendapatkan pelayanan berobat di puskesmas dan rumah sakit dengan biaya ditanggung APBD. Kemudian Joko Widodo, sebagai calon gubernur, menawarkan program Kartu Jakarta Sehat.

Sesungguhnya secara prinsip tidak beda dengan program SKTM. Namun harus diakui Jokowi membuat kemasan yang lebih baik dan populis. Bentuk kepersertaan dengan kartu dan bagi yang belum punya kartu KJS cukup dengan menunjukkan KTP Jakarta. Dampaknya luar biasa, KJS dipersepsikan "sesuatu yang baru".

Jokowi dan Ahok pun menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Janji politik harus ditunaikan. Tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan infrastruktur dan sistem pelayanan kesehatan, KJS diluncurkan. Puskesmas dan Rumah Sakit menerima tsunami kunjungan pasien. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan petugasnya menjerit kelebihan beban. Namun bisa apa? Puskesmas dan rumah sakit yang tak mampu melayani pasien akan dicap menolak pasien yang berarti melawan opini publik. Diperkuat pula dengan pernyataan Jokowi sebagai Gubernur bahwa tunggakan klaim di RS adalah warisan SKTM sebelumnya. Popularitas Jokowi dan Ahok memang pada posisi tertinggi dan secara politik sulit tergoyahkan, sehingga kebijakannya, meski ada kekurangan, KJS harus dijalankan.

Sekitar 3 bulan, rumah sakit di Jakarta melayani pasien-pasien KJS. Bulan april ini, program KJS dijalankan bekerjasama dengan PT Askes dengan sistem INA CBGs. Sesungguhnya sistem INA CBGs dimaksudkan agar terjadi efektivitas dan efisiensi pelayanan sehingga terjadi kendali mutu dan kendali biaya. Sistem INA CBGs yang prospective payment diharapkan mengubah perilaku rumah sakit dan tenaga kesehatan dan tentu saja pasien.

Namun Jakarta sudah terlanjur terlalu lama pada zona nyaman pelayanan rumah sakit dengan sistem fee for service. Maka ketika INA CBGs dengan sistem paket menggantikannya pada program KJS, 16 rumah sakit swasta (belakangan menyusut menjadi 2 RS) berontak mundur dari KJS. Ini luar biasa. Bagaimana mungkin secara terang-terangan ada RS Swasta "melawan" kebijakan Gubernur Jakarta yang popularitasnya masih tinggi?

Karena KJS adalah produk politik, maka isu ini pun terangkat secara politis. Pihak yang awalnya tiarap menunggu momentum, seakan saat ini menemukan saat tepat. Mereka komentar, mengecam dan nyinyir atas program KJS dan INA CBGs. Alih-alih turut mencari solusi, perdebatannya pun tidak pada substansi penyebab mundurnya 16 RS Swasta.

Bahkan lawan politik Jokowi Ahok di Jakarta menggalang interpelasi bahkan pemakzulan, meski dengan alasan yang lemah dan tidak substansial. Sementara anggota DPR menyinyir jika kasus yang terjadi KJS ini merupakan gambaran gagalnya Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Kesimpulan yang terlalu gegabah. Tapi itulah, politik adalah bagaimana anda memanfaatkan momentum utl pencitraan, popularitas dan elektabilitas.

KJS adalah janji politik yang kemudian menjadi produk politik. Namun sesungguhnya terdapat agenda politik yang lebih luhur bagaimana penduduk Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. Dan itu bisa dicapai dengan sistem jaminan kesehatan dengan kendali mutu, kendali biaya dan berkeadilan bagi semua. Jadi hentikan politisasi KJS!

Senin, 14 Januari 2013

, , , , , ,

Blusukan, Keblusuk, Keblasuk

Masih bicara tentang blusukan. Jika sebelumnya blusukan dari perspektif branding yang tak bisa mudah dipisahkan dari Jokowi, sekarang kita bicara blusukan secara etimologis dan semantis. Dan kemudian dihubungan maknanya secara sosiologis jawa, istilahnya otak atik gathuk.

Kenapa tiba-tiba tertarik membahas blusukan? Dengan sederhana saya katakan bahwa itu disebabkan akhir-akhir ini istilah "blusukan" begitu sangat populer, tak hanya untuk masyarakat umum tapi lebih heboh lagi para elit politikus dan pejabat negara. Bahkan tak hanya disebut oleh orang Jawa dimana kata blusukan berasal. Seperti pernah saya katakan, blusukan yang awalnya istilah ndeso itu kini menjadi terdengar keren dan gaul. Bahkan yang saya khawatirkan cenderung elit dan politis. Dan yang berjasa mempopulerkan adalah Jokowi, Gubernur Jakarta saat ini.

Blusukan, kata kerja dari bahasa Jawa dengan asal kata "blusuk" yang berarti masuk lebih dalam atau masuk terdalam. Variasi "blusukan" bisa juga "mblusuk". Kata kerja "blusukan" ini biasanya digunakan pada tindakan seseorang yang memasuki wilayah atau area yang tak biasa disambangi. Atau area terpelosok atau sudut ruang dimana kebanyakan orang jarang kesana. Blusukan juga diidentikkan memasuki daerah yang kotor, gelap, pinggiran, terpencil atau jarang dijamah.

Ketika Jokowi menyebut blusukan untuk tindakan memasuki pelosok kampung, pasar, gang sempit dan wilayah kumuh, sesungguhnya bermakna banyak. Benar, Jokowi ingin berdialog langsung dengan masyarakat untuk menemukan masalah sesungguhnya Jakarta. Jokowi juga mau menunjukan bahwa yang ia lakukan sesuatu yang tidak dilakukan secara umum oleh pemimpin-pemimpin lain. Dan tentu saja itu bagian dari pencitraan dan kampanye sebagai Gubernur Jakarta.
Blusukan ini memiliki makna yang lebih dalam daripada istilah lain. Misalnya "turun kebawah" alias "turba" pada era orde baru. Apalagi dibandingkan dengan istilah egaliter atau merakyat yang memang tak populer. Turba menunjukan adanya strata sosial dimana ada "orang atas" dan "orang bawah", pejabat dan rakyat. Sementara blusukan mengesankan sikap egaliter, merakyat dan tanpa strata sosial. Disinilah menurut saya, Jokowi cerdik memilih kata dan memilah tindakan yang mampu merebut hati rakyat Jakarta.

Namun semua ada takarannya. Tak baik sesuatu itu berlebihan. Blusukannya Jokowi tentu sudah mendapatkan sumber utama masalah Jakarta. Blusukan Jokowi sudah mencitrakan Jokowi sebagai pemimpin yang egaliter, mau kerja keras secara cerdas dan rendah hati. Sekarang saatnya mengambil keputusan terbaik. Seperti yang dikatakan Jokowi saat kampanye dulu bahwa banyak rencana bagus untuk Jakarta namun lemah dalam eksekusi. Saatnya sekarang mengambil keputusan. Dan nanti Jokowi bisa blusukan lagi untuk mengambil keputusan yang lain lagi.

Hati-hati terlalu banyak blusukan bisa keblusuk dan keblasuk. Terjerumus (keblusuk) dalam pencitraan yang tak berkesudahan. Dan tersesat (keblasuk) dalam tumpukan masalah yang telah tertampung dari masyarakat. Sebelum keblusuk dan keblasuk akibat terlalu sibuk blusukan, lebih tepat saat ini tarik nafas sejenak dan khusyuk untuk mengeksekusi kebijakan konkrit demi Jakarta baru.

Minggu, 13 Januari 2013

, , , , , , , , ,

Karena Jokowi, Blusukan Jadi Brand, Keren dan Populer

Siapa yang belum pernah mendengar istilah "blusukan"? Boleh jadi, "blusukan" menjadi kosa kata paling populer saat ini. Adalah Joko Widodo, atau lebih akrab dipanggil Jokowi, orang yang mempopulerkan istilah blusukan. Pada saat melakukan kampanye pilkada dulu, Jokowi rajin keluar masuk pelosok kampung hingga ke pinggiran kota. Perkampungan kumuh di bantaran kali yang rawan banjir hingga kampung nelayan yang identik dengan kemiskinan tak luput ditelusupi Walikota Solo ini. Dari tindakannya keluar masuk kampung ini, Jokowi menyebutnya sebagai blusukan.

Seiring dengan semakin seringnya Jokowi menemui dan berdialog langsung dengan wong cilik ini, semakin populer pula istilah blusukan. Bisa dikatakan Jokowi menjadi identik dengan blusukan. Atau sebaliknya, kalau menyebut blusukan akan diasosiasikan dengan Jokowi. Meminjam istilah public relations atau marketing, Jokowi sudah menjadi brand terkenal yang sedang memimpin pasar (market leader). Sehingga apapun "produk" Jokowi, akan diikuti, ditiru dan dijiplak "kompetitornya"

Demikian juga blusukan telah menjadi ikon dan karakteristik pemimpin yang merakyat sekaligus mengambil hati rakyat. Berbeda dengan baju merah kotak-kotak hitam yang merupakan brand iconik yang bersifat trend sesaat. Blusukan dapat menjadi media branding yang tidak terlalu kentara pencitraannya. Sebaliknya kesan pemimpin merakyat, turun di lapangan, egaliter dan mau mendengar wong cilik begitu kuat. Disinilah kemudian para politikus atau bakal calon pejabat negara/daerah berusaha mencitrakan dirinya layak dipilih menjadi pemimpin dengan cara blusukan.

Bisa dikatakan blusukan Jokowi telah mengalahkan hegemoni dan konglomerasi partai politik yang mendukung Gubernur Jakarta incumbent waktu itu. Blusukan telah menghancurkan kampanye masif dan vulgar yang disokong dana yang sangat besar. Blusukan, perwujudan sikap bersahaja, jujur, apa adanya, banyak kerja sedikit bicara dan rendah hati dari Jokowi. Blusukan identik dengan kepolosan "wong ndeso" yang berhasil menaklukan angkuhnya kota metropolitan. Tentu saja "resep masakan ndeso" blusukan ini akan dipakai oleh mereka untuk mengejar hal sama yang dicapai Jokowi.

Ibarat sebuah brand dan market leader bahwa blusukan itu Jokowi, maka siapa pun dia, politikus dan bakal calon pejabat, melakukan blusukan akan dikatakan meniru Jokowi. Tetapi mereka tak peduli, meski sadar sekedar ikut-ikutan, tetapi bukan politikus kalau tak pandai bersilat lidah. Apalagi faktanya, sejak dulu blusukan (dengan berbagai istilah dan variannya) sebagai "resep murah" menjadi pemimpin. Maka ketika ada yang orang blusukan kemudian diasosiasikan dengan Jokowi akan punya kilah.

Seperti halnya Presiden SBY yang belum lama ini blusukan ke sebuah kampung nelayan. Orang-orang istana dan lingkarannya kebakaran jengkot ketika SBY dicap meniru Jokowi. Sejak sebelum presiden, SBY sudah blusukan, begitu kilahnya. Itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Orang-orang lingkaran istana ini lupa bahwa sekarang blusukan itu "milik" Jokowi. Mereka tak mengerti bedanya blusukan (yang asli) Jokowi dengan blusukan SBY. Mereka tak ingat kalau setelah jadi Gubernur, Jokowi tambah rajin blusukan, sedangkan SBY duduk enak dan bernyanyi sambil main gitar setelah menjadi presiden. Dapat dilihat bahwa SBY yang "ahli pencitraan" pun tak berkutik ketika merebut brand blusukan dari Jokowi. Dan puncak dari rebutan "siapa pemilik blusukan" sebenarnya ditandai dengan "pukulan telak" dari Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden SBY lebih dulu blusukan.

Bagi mereka yang memahami falsafah Jawa, Jokowi telah melancarkan jurus "nglulu", yaitu merelakan dan mendorong orang lain dengan kemauannya sendiri. Justru dengan mengakui Presiden SBY lebih dulu blusukan, maka sesungguhnya Jokowi telah memenangkan pertarungan. Sikap Jokowi yang rendah hati dengan pengakuan itu justru memperkukuh brand Jokowi atas blusukan.

Disadari atau tidak, blusukan menjadi keren saat ini. Siapapun dia yang melakukan kunjungan langsung ke daerah atau kampung akan senang dan bangga disebut blusukan. Bahkan kunjungan biasa saja kalau perlu disebut blusukan. Jangan heran jika banyak bakal calon pejabat ingin disematkan blusukan pada setiap aktivitasnya. Silahkan saja SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau siapa pun melakukan dan mengklaim blusukan, tetapi hanya Jokowi yang punya orisinalitas blusukan.

Bisa dikatakan sekarang blusukan menjadi gaya hidup yang keren. Blusukan yang awalnya mengesankan ndeso dan kampungan itu saat ini terlihat keren dan populer. Dan itu karena sebuah brand, Jokowi!