Minggu, 30 Desember 2012

, , , , , , , , , ,

Belajar dari RSAB Harapan Kita

Seorang bocah penderita leukimia, Ayu Tria meninggal dunia, karena terlambat menjalani kemoterapi di RS Harapan Kita (Harkit) Jakarta. Bocah itu, terlambat menjalani kemoterapi karena ruang ICCU rumah sakit tersebut dipakai syuting film Love in Paris hingga larut malam.

Inilah kutipan judul berita tanggal 27 Desember 2012; ICCU Dipakai Syuting, Pasien RSAB Harapan Kita Meninggal Dunia . Apa persepsi kita ketika membaca judul dan isi berita diatas? Bahwa adanya syuting menjadi penyebab kematian pasien. Itulah opini yang dibentuk berita itu. Ada ratusan berita online yang sama dalam 1 hari itu. Kemudian berita itu disebarluaskan pembacanya melalui media sosial terutama twitter. Terjadilah penyebaran berita secara viral, masiv dan cepat tanpa terbendung. Hanya dalam tempo tak lebih 2 jam sejak berita itu muncul, RSAB Harapan Kita menjadi kelimpungan dan bulan-bulanan. Dari sudut pandang kehumasan (public relations), RSAB Harapan Kita mengalami krisis komunikasi kehumasan atau PR Crisis yang berakibat rusaknya citra dan reputasi.

Tingkat Kerusakan Citra

Kerusakan Tingkat I dimulai saat terbentuk opini buruknya pelayanan RSAB Harapan Kita. Opini buruk yang awalnya dari media online ini, kerusakannya atas citra rumah sakit semakin kukuh setelah tersiar melalui radio dan televisi.

Tak cukup sampai disini, awak media meminta komentar para publik figur dan pihak-pihak yang berwenang. Dari DPR, DPRD, pejabat pemerintah, artis, YLKI, KPAI, asosiasi perumahsakitan, dokter, LSM dan publik figur lain. Dengan mendasarkan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya, mereka mengecam dan menyalahkan RSAB Harapan Kita atas meninggalnya pasien disebabkan syuting sinetron Paris in Love tersebut. Inilah Kerusakan Tingkat II.

Pendapat, komentar dan kecaman itu dilengkapi dengan tuntutan agar RSAB Harapan Kita mendapatkan sanksi/hukuman atas kelalaiannya. Atas dasar berita, selanjutnya logika berkembang bahwa rumah sakit melanggar aturan UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya. Opini berkembang, RSAB bisa dituntut baik perdata dan pidana. Tekanan psikologis pun dilancarkan oleh berbagai pihak. DPR ancam memanggil pejabat rumah sakit, KPAI melayangkan surat teguran dan pengaduan, YLKI menyarankan pemecatan. Desakan agar Kemenkes harus memberikan sanksi berat. Fase ini saya sebut sebagai Kerusakan Tingkat III.

Seperti cerita sinetron Parif in Love yang syuting di RSAB Harapan Kita, dramatisasi pun berubah. Media mulai mengorek kekurangan dan keburukan rumah sakit. Tak ada yang lebih menyesakkan selain keburukan yang diceritakan orang dalam. Media mengais remah-remah dari karyawan RSAB guna mendukung opini bahwa kematian pasien itu akibat syuting. Oknum perawat yang terganggu dengan syuting, kelakuan kru film yang merokok sembarangan misalnya. Ada lagi bahwa syuting itu "mainan" oknum direktur dan uangnya masuk kantong sendiri. Terjadilah Kerusakan Tingkat IV pada fase ini. Kalau nanti sampai terjadi tuntutan perdata maupun pidana, bisa dikatakan itu Kerusakan Tingkat V. Semoga tidak terjadi.

Bangkit Disaat Krisis

Andai saja kita bisa tahu sebelum ini terjadi. Atau andai saja waktu bisa diputar ulang, kita bisa memilih skenario lain. Cari kambing hitam atau berargumen pembelaan lazim dilakukan. Tapi yang lebih penting dan utama dilakukan adalah apa yang kita lakukan pada saat menghadapi krisis komunikasi dan krisis humas seperti ini? Bagaimana kita bangkit?

Yang pertama kali harus segera dilakukan adalah bentuk Tim Penanganan Krisis. Tugasnya identifikasi masalah dan tentukan langkah penanganan. Lebih kongkrit output segera yang harus dihasilkan adalah rumusan fact sheet, keypoint press release dan juru bicara. Direktur rumah sakit harus memimpin langsung tim krisis ini.

Penting pula dilakukan adalah lokalisir masalah. Sediakan ruang dan waktu awak media untuk mengakses informasi dengan mudah dan nyaman. Menghindari wartawan bukanlah langkah bijak, sebaliknya akan memperburuk keadaan. Yang terbaik; hadapi, berikan informasi terukur oleh orang yang kompeten dan waktu yang tepat. Ingat pada postulat, the a real PR is a top management.

Klarifikasi dan hak jawab atas pemberitaan yang salah juga harus dilakukan dengan santun. Hindari sikap dan jawaban arogan dan sok benar sendiri. Apalagi sikap tak peduli dan remeh kepada publik apalagi media massa dan media sosial. Ini bisa jadi bumerang. Apalah arti keunggulan rumah sakit berikut fasilitasnya kalau reputasi dan citra terpuruk. Tak ragu menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyaman pelayanan bukanlah selalu wujud pengakuan dosa. Dalam dunia pencitraan, peran mengalah seringkali berhasil membawa kemenangan dalam menunjukan kebenaran.

Dalam dunia humas, krisis komunikasi tidak melulu dipandang sebagai kemalangan semata, tetapi sebagai positioning awareness. Disaat itu bisa jadi momentum tepat perubahan dan akselerasi perbaikan internal. Krisis humas juga bisa jadi peluang bagi rumah sakit yang mampu mengelolanya. Terlepas dari bagaimana kasus sebenarnya terjadi, semestinya kasus RSAB Harapan Kita menjadi pembelajaran sangat berharga bagi rumah sakit lain. Kita menjadi belajar mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya.

Untuk RSAB Harapan Kita, masih ada pekerjaan rumah yang juga besar setelah kehebohan ini yaitu recovery dan titik balik. Semoga berhasil.

Kamis, 13 Desember 2012

, , , , , , , ,

Bolehkah Melahirkan dengan Caesar pada Tanggal Cantik?

Hari ini 12 Desember 2012, tanggal cantik. Cobalah luangkan waktu melihat deretan foto bayi ini. Bayi-bayi mungil ini berasal dari rahim ibu-ibu yang ramai-ramai melahirkan tanggal cantik 12-12-2012. Tidak disebut secara jelas, apakah bayi-bayi cantik ini lahir melalui persalinan normal ataukah bedah caesar.  Ada sesuatu yang menarik ketika pada tanggal 12-12-12, rumah sakit dibanjiri ibu melahirkan. Adalah wajar dan bukan sesuatu yang baru, ketika kita mempunyai hajat pada hari dan tanggal yang terpilih. Orang tua dan leluhur kita menentukan hari baik untuk menikah, perjalanan jauh, membangun rumah dan sebagainya. Itu sudah menjadi warisan budaya, tak bisa dipungkiri. Tapi tidak  para leluhur itu tidak pernah menentukan kapan hari lahir putra putrinya. Memang ada upaya menghitung hari, kemudian berdoa dan pasrah. Kebijaksanaan lokal, demikian juga agama, telah mengajarkan bahwa lahir, rejeki, jodoh dan ajal adalah rahasia Gusti Alloh. Semua telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh.

Ada fenomena dan trend menarik beberapa tahun terakhir. Orang tua menginginkan kelahiran buah hatinya pada hari atau tanggal cantik. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika dengan persalinan normal. Sebuah keberkahan bayi yang diidamkan lahir sehat selamat. Dan bonus jika lahir pada tanggal cantik yang dimimpikannya. Bersyukur pula bayi lahir selamat pada waktunya dengan cara bedah caesar pada hari istimewa tersebut. Namun bagaimana jika orang tua menginginkan sang bayi lahir pada hari istimewa atau tanggal cantik melalui bedah caesar padahal tanpa indikasi medis? Bagaimana hukum "memaksa" bayi lahir dengan caesar disesuaikan dengan tanggal cantik itu?

Saya jadi ingat saat pembahasan salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit beberapa tahun lalu. Pasal 29 Huruf K disebutkan bahwa :
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada saat muncul norma ini, para pakar kesehatan menyebutkan sebagai contoh yang harus ditolak rumah sakit diantaranya melakukan bedah plastik dengan tujuan menghilangkan identitas dan keinginan melakukan bedah caesar tanpa indikasi medis untuk melahirkan anak pada hari/tanggal khusus. Namun apa lacur, justru keinginan seperti itu semakin menjadi trend yang terus meluas belakangan ini. Mari kita urai lagi. Persyaratan (condition) "kewajiban menolak" itu jika bertentangan dengan standar profesi, etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada 2006, ACOG (The American College of Obstetricians and Gynecologists) di Amerika Serikat mengadakan pertemuan khusus membahas masalah: bolehkah seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi melakukan tindakan caesar berdasarkan permintaan pasien tanpa adanya indikasi obstektrik yang nyata? Pertemuan itu sepakat bahwa tindakan caesar atas permintaan pasien boleh dilakukan jika dokter telah memberikan informasi dalam bentuk informed consent yang jelas, misalnya mengenai risiko caesar yang timbul seperti kematian ibu, emboli pulmonal, infeksi, pelengketan, komplikasi anestesi, hingga kemungkinan operasi caesar berulang di masa datang atau kehamilan berikutnya.

Pada Bulan Juli 2011 di Jakarta dilakukan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI  yang menyepakati perubahan pada standar kode etik POGI dimana tindakan sectio/caesar atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien.
Dengan kata lain, standar profesi dan etika (dokter obgyn) membolehkan orang tua meminta tindakan caesar tanpa indikasi medis  dengan informed consent khusus untuk melahirkan bayinya pada hari dan tanggal cantik.

Bagaimana dengan pandangan ulama tentang hal ini? Pada Tahun 2011, Forum Musyawarah Pondok Pesantren di Tulungagung, Jawa Timur mengeluarkan rumusan Bahtsul Masail (fatwa) bahwa memilih tanggal tertentu saat melahirkan anak adalah tindakan haram karena melanggar hukum Islam. Forum berpendapat bahwa  tindakan operasi caesar sebenarnya upaya darurat dan paling terakhir. Jika tidak ada alasan darurat, operasi caesar bisa dianggap salah karena membahayakan diri sendiri dan bayinya. Jadi, mempercepat kelahiran hanya demi mengejar tanggal tertentu yang dinilai cantik merupakan perbuatan haram.

Kita boleh saja berbeda dengan kesepakatan profesi dan pandangan ulama tersebut diatas. Namun saya termasuk orang yang tidak setuju dengan tindakan caesar tanpa indikasi medis hanya karena keingingan bayi lahir pada hari khusus atau tanggal cantik. Keyakinan saya menyatakan lahirnya bayi dari rahim seorang ibu pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Gusti Alloh. Ada waktu hidup pada alam rahim, alam dunia dan alam arwah. Leluhur saya menasehati bahwa kelahiran anak manusia itu rahasia Sang Pencipta, jangan mendahului atau menghambatnya.

Kalau boleh saya mengatakan," Wahai orang tua, bayi buah hati kita berhak menentukan kapan dia menjalani kehidupan rahimnya. Dia juga berhak menetapkan kapan menjalani kehidupan alam dunia. Janganlah mempercepat atau memperlambat waktunya. Bayi kita merupakah anugerah dengan keistimewaan dan keunikannya dibawanya sejak dalam rahim. Untuk itu dia tak membutuhkan keistimewaan dan keistimewaan dengan lahir pada hari yang khusus dan tanggal cantik menurut ukuran orang tuanya".

 

 

 

Jumat, 07 Desember 2012

, , , , , , ,

SJSN: Ada Apa 1 Januari 2014?

Catat baik-baik tanggal ini, 1 Januari 2014. Mulai tanggal itu, seluruh rakyat Indonesia harus memiliki jaminan sosial. Berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap wajib diikuti oleh seluruh WNI yang berjumlah sekitar 240 juta dan WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. Harapannya, universal coverage melalui sistem asuransi sosial tercapai oada tahun 2012. Khusus bagi masyarakat miskin dan hampir miskin dijamin Pemerintah.

Tujuan utama SJSN adalah memberikan akses dan  kemudahan kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang efektif, efisien, berkeadilan, transparan dan portabilitas. SJSN memberikan jaminan pada paket benefit dasar. Artinya menjamin semua kebutuhan dasar kesehatan dan berindikasi medis. Yang bersifat kosmetik dan sekunder tidak dijamin sistem ini.   Saat ini, penyediaan dan pengelolaan asuransi masih sangat bervariasi baik dibawah pengelolaan pemerintah maupunswasta. Yang tercover jaminan masih berasal dari sektor formal (swasta dan pemerintah) dan masyarakat miskin melalui Program JAMKESMAS. Hal ini masih terjadi marjinalisasi bagi penduduk yang berasal dari sektor informal. Tercatat pada tahun 2011 terdapat 87 juta jiwa penduduk (36,87%) belum memiliki jaminan kesehatan.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menjamin masyarakat yang miskin dan tidak mampu melalui Program Nasional JAMKESMAS dengan mengkover 76,4 juta jiwa. Bahkan, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, beberapa daerah sudah mengembangkan sendiri sistem Universal Health Coverage dengan paket benefit (JAMKESDA) tertentu yang bervariasi tiap daerah DAN MENGCOVER LEBIH DARI 30 juta penduduk miskin dan hampir miskin.

Pemerintah telah melakukan pembenahan sistem dan penyiapan menyongsong Universal Health Caverage tahun 2014, terutama berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, pembenahan sistem rujukan, pemutakhiran sistem informasi, transformasi kelembagaan (PT Askes menjadi BPJS) penyiapan anggaran (penetapan besaran premi bagi PBI dan non PBI), serta penyiapan regulasi. Seiring dengan penyiapan kelembagaan BPJS tersebut, Pemerintah meningkatkan cakupan kepesertaan (dikenal sebagai PBI penerima bantuan iuran dari pemerintah) bagi masyarakat miskin dan hampir  miskin dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012 (32%). Pada tahun 2013 menjadi 86,4 juta jiwa dan 96,4 juta jiwa pada tahun 2014.  

Terkait dengan penyiapan infrastruktur, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit di Indonesia cukup memadai. Dari 2080 RS, sebagian besar rumah sakit (60,7%) merupakan rumah sakit milik swasta dan 39,3% merupakan rumah sakit pemerintah. Dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (2010) Indonesia memiliki total keseluruhan tempat tidur RS mencapai 230.459 sehingga cukup aman bila menggunakan standar ratio pemenuhan TT 1:1000 penduduk (standar WHO).  

Namun perlu dilakukan pemetaan kembali distribusi dan tingkat utilisasi fasilitas kesehatan yang ada. Karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang sulit. Terdiri dari +17 ribu pulau/kepulauan, pegunungan sehingga banyak titik-titik dimana akses pelayanan kesehatan sulit dijangkau terutama di garis pantai (klaster 4), kepulauan terluar dan perbatasan, serta pedesaan. Informasi tentang fasilitas kesehatan dapat dilihat di website  www.buk.depkes.go.id. Dari pemenuhan pelayanan kesehatan dasar saat ini Indonesia memiliki 9.437 Puskesmas termasuk 3.028 Puskesmas Perawatan. Dari data tersebut,masih membutuhkan sekurangnya-kurangnya 433 Puskesmas terutama bagi Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.  

Beberapa strategi quick wins Pemerintah dalam pemenuhan fasyankes  yaitu menyediakan tempat tidur tambahan 13.000 pada tahun 2012, mendirikan RS bergerak dan RS Pratama (Community Hospital) di lokasi yang membutuhkan. Juga melaksanakan regionalisasi sistem rujukan kesehatan yang berjenjang dengan penguatan pelayanan primer (Puskesmas) sebagai penapis pelayanan (gatekeeper). Pemerintah mengembangkan pelayanan telemedicine pada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan dokter ahli seperti teleradiologi, tele-ECG maupun telekonsultasi, melaksanakan flying health care pada pada lokasi yang sangat terpencil.  

Secara kualitas, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan belum memenuhi standar input (sarana-prasarana dan alat) sehingga secara kasar, kebutuhan/usulan pemenuhan sarana-prasarana dan alat tahun 2012 mencapai angka 26 triliyun rupiah (2,8 Billion USD). Jumlah ini sangat besar dan hampir sama dengan anggaran total kesehatan tahun 2012. Strategi pemenuhannya diantaranya melalui sharing biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta meningkatkan peran dankontribusi sektor swasta serta melakukan tahapan berbasis prioritas, khususnya utk DTPK dan cluster IV. Bidang kesehatan Indonesia termasuk sangat terbuka masuknya investasi asing dimana kepemilikan modal asing terbuka hingga 67%.

Dalam hal mutu dan biaya pelayanan kesehatan, Pemerintah telah menerapkan sistem pembayaran pola kapitasi untuk tingkat daar dan pola DRG untuk tingkat rujukan. INA-CBG berbasis casemix sejak tahun 2009 dengan segala penyempurnaannya sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas dan mutu pelayanan kepada pasien. Sistem ini tengah dilakukan peninjauan dan pemutakhiran variabel input sehingga dapat menghasilkan output/tarif yang lebih memadai sebagai dasar pembayaran UHC tahun 2014. 

Selain itu, penjaminan mutu pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui kebijakan akreditasi pada rumah sakit (+70%) dan dimulai penyusunan akreditasi untuk Puskmesmas. BPJS selaku pengelola asuransi sosial akan melakukan credentialing kembali kepada fasyankes yang belum terakrediatasi.   Dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM/dokter spesialis, Pemerintah melakukan upaya percepatan kelulusan melalui Program PDSBK (crash programme), dimana dokter spesialis sudah dapat dikirimkan/terjun ke lokasi yang membutuhkan berdasarkan kompetensi tertentu yang telah dikuasai. Untuk program jangka pendek, adalah memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum melalui pelatihan khusus. Saat ini telah lulus 312 dokter PDSBK dan 77 dokter dengan kewenangan tambahan.  

Salah satu tantangan Kementerian Kesehatan adalah melakukan advokasi dan negosiasi besaran dana kesehatan dengan DPR dan Kementerian Keuangan. Saat ini persentase anggaran kesehatan dibandingkan total APBN hanya 2,1%,dengan GDP sekitar 2,4%. Dengan usulan premi/iuran SJSN Kesehatan sebesar Rp 22.000 - Rp 27.000 maka diharapkan akan ada peningkatan anggaran kesehatan.

Sabtu, 24 November 2012

, , , , ,

Humas Jangan Musuhi Wartawan

Wartawan bukanlah "malaikat", sudut pandangnya masih bisa dipengaruhi. Itulah kutipan dari Arif Zulkifli yang saya masih ingat pada media sharing hari ini. Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu juga mengungkapkan, media online mementingkan kecepatan sedangkan media cetak mengutamakan kedalaman.

Saya bersyukur atas batalnya jadwal ke Medan. Dengan begitu, saya dapat mengikuti acara ini. Mata mengantuk kurang tidur semalam dan lelah menghadapi kemacetan perjalanan dari Bogor sejak pagi buta pun tak terasa. Banyak hal yang saya dapatkan tentang bagaimana media bekerja dan wartawan mencari berita khusunya Tempo.

Misalnya saja, mengapa media lebih sering menonjolkan sikap oposisi kepada Pemerintah dibandingkan memberitakan secara berimbang. Misalnya, seorang pasien miskin tidak mempunyai kartu jamkesmas atau jamkesda namun mengharapkan pelayanan gratis. Rumah Sakit mencatatsebagai pasien umum yang harus membayar dengan uang sendiri. Pasien tidak mau, kemudian pulang. Berita yang muncul di media pastilah pasien ditolak rumah sakit. Sementara kelengkapan yang menjadi kewajiban pasien yang tak terpenuhi tak banyak disinggung. Padahal rumah sakit bingung, siapa yang menanggung biaya pengobatan pasien itu. Alasan media, selain secara idealis, memang dari sononya jurnalis melakukan kontrol terhadap pemerintah. Juga pakem; bad news is good news. Good news is no news.

Yang menarik, pernyataan sekaligus "pengakuan" dari Redaktur Eksekutif Tempo tersebut ketika media belum mendapatkan konfirmasi dari narasumber tetapi tetap menerbitkannya. Karena bisa diartikan melanggar prinsip cover both side atau malah cover all side.

Menghadapi 2 hal diatas, Mas Arif memberi beberapa alternatif solusi. Bisa menyampaikan hak jawab secara cepat tepat atau mengadukan keluhan ke Dewan Pers yang akan memakan waktu lama. Tentu pilihan segera merespon pemberitaan adalah pilihan tepat. Tapi jangan sampai Humas hanya sebagai pemadam kebakaran. Urusan hak jawab adalah persoalan hilir, maka sedapat mungkin urusan hulu dimana konfirmasi wartawan terhadap narasumber harus dipenuhi. Sehingga tak mengakibatkan kerusakan terlanjur terjadi, baru kemudian menyampaikan klarifikasi.

Humas harus mampu menjalin hubungan baik dengan wartawan, tidak saja formal tetapi juga personal. Hubungan baik ini sangat membantu pada saat terjadi krisis kehumasan. Untuk memulainya, lakukan kunjungan ke media yang bersangkutan. Manfaatnya, selain mengklarifikasi pemberitaan juga menjalin relasi yang saling percaya.

Wartawan yang militan pantang pulang sebelum mendapatkan berita dari narasumbernya. Dan wartawan yang baik juga tidak menerima amplop, begitu kata Redaktur Eksekutif Majalah Tempo itu.

Selasa, 20 November 2012

, , , , , , , , ,

Maukah Humas Dipecundangi Twitter?

Saya sedang asik meng-chirpstory kicauan bersambung di twitter tentang iklan klinik tongfang yang menyesatkan. Tiba-tiba sudut mata saya menangkap judul kultwit, begitu istilah keren twit bersambung, yang mengangkat keburukan sebuah rumah sakit. Saya sangat kenal nama rumah sakit itu.

Tak menunggu menit berganti, saya mengarahkan kursor mouse, dan klik! Terpampang lebih dari 50 twit yang membeberkan banyak "dugaan" kebobrokan rumah sakit di bandung itu. Copy, Save dan Print, itu langkah saya selanjutnya. Tanpa babibu lagi, saya telepon direkturnya untuk mengabarkan hal ini. Beliau minta diemail sekalian.

Kicauan di twitter ini membeberkan begitu gamblang nama orang, tempat kejadian dan obyeknya. Dan yg "dibongkar" pun juga macam-macam. Si pemilik akun juga mengancam akan menggali lebih dalam borok rumah sakit. Oleh karena dirasa hal ini sangat potensial merusak citra dan reputasi rumah sakit, maka saya sarankan kepada Direktur agar segera ditangani dengan baik.

Sementara saya pun juga coba menyelidiki akun twitter bergambar profil perempuan seksi ini. Ternyata akun psudonim, samaran. Melihat profilnya, akunnya baru belum lama dibuat. Jumlah twitnya masih sedikit. Dan menariknya, akun ini juga follower dari @triomacan2000 yang terkenal karena sering "membuka" aib seseorang/institusi. Biasanya kasus korupsi. Beberapa minggu sebelumnya akun @triomacan2000 juga melakukan kulwit nyaris seminggu mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit Indonesia. Meskipun sangat menggeneralisir dan memsimplifikasi persoalan. Bisa jadi, akun pembeber keburukan rumah sakit di bandung ini terinspirasi oleh TM2000 tersebut.

Sedang asik menjadi "detektif", wakil direktur rumah sakit telepon saya. Mungkin diinstruksikan oleh Direkturnya. Dan lagi, minta dikirim via email. Done. Tapi tak berapa lama, manajer humasnya juga telepon. Tanpa diminta humas rumah sakit menceritakan masalahnya. Dan dia kaget, setelah saya informasikan bahwa yang memergoki kultwit di chirpstory itu adalah saya.



Kemudian saya menanyakan apa yg telah dan akan dilakukan humas RS. Betapa kagetnya saya, sebab di-mention dengan keburukannya, akun twitter RS dinonaktifkan atau ditutup sementara. Lebih kaget lagi, humas mengaku bahwa penutupan itu atas perintah Direktur RS. Saya kemudian bertanya kenapa harus dinonaktifkan? Jawabnya, untuk meredam mention-mention dari kultwit susulan seperti yang dijanjikan.

Saya katakan bahwa upaya tutup akun twitter pada saat seperti ini baik sementara atau selamanya bukanlah tindakan yang tepat. Sebaliknya, ajaklah si akun pembeber itu berkomunikasi. Anggaplah sebagai pasien, keluarga atau publik yang sedang menyampaikan keluhannya (complain). Berdialog dengan baik, siapa tahu akun pembeber ini memberikan data pendukung seperti yang dituduhkan.

Menutup akun twitter akibat "serangan" seperti ini jelas semakin memposisikan rumah sakit terpojok. Dapat dijadikan pembenar anggapan sebagaimana dibeberkan. Ingat ya! sedikit atau banyak, rumah sakit memiliki follower. Dan follower ini akan memperhatikan dengan seksama interaksi di linimasa. Di ujung telepon sana, saya membayangkan si manager humas seperti mahasiswa yang mendengar kuliah dosennya. Bagaimana tidak, saya sudah menyerocos banyak tapi hanya sesekali dia menimpali. Di ujung obrolan telepon, manager humas RS akan berusaha menyampaikan saran saya itu kepada direktur. Saya merasa ada nada ragu, sepertinya ada sedikit takut dengan atasannya. Sebenarnya wajar saja. Kemudian saya titip salam untuk direkturnya.

Syukurlah, akun twitter rumah sakit diaktifkan kembali. Saya perhatikan terjadi interaksi diantara keduanya. Seperti kebanyakan akun pseudonim, tak bakal dia mau datang ketika diundang bertemu muka. Tak pula sudi memberikan fakta-fakta. Hanya klaim informasi yang ditwitkan benar. Yang ada menantang rumah sakit untuk melakukan tindakan dan pembenahan.

Akhirnya setelah 3 hari, akun twitter samaran itu pun tutup selamanya. Tetapi kerja keras dan cerdas humas rumah sakit baru saja mulai, yaitu mengembalikan citra rumah sakit yang sempat tercoreng. Tentu saja, bukan tugas yang mudah dan instant sebagaimana membuat dan menutup akun twitter.

Minggu, 18 November 2012

, , , , , , , , ,

Apakah Bosmu adalah Humas yang Baik?

The real Public Relations is a person who on the top management. Sesungguhnya Humas adalah orang yang memiliki jabatan tertinggi dari organisasi. Begitu jargon yang pernah saya baca. Demikian juga mantra yang sering saya ucapkan di setiap kesempatan.

Jika bos besar kita selalu tampil baik di mata publik maka bercitralah positif organisasi kita. Kalau pimpinan kita termasuk media darling, maka naik daun pula unit kerja kita. Demikian pula, pada organisasi kesehatan, misalnya rumah sakit.

Saya ingin berbagi cerita. Sebuah pengalaman yang sebenarnya membuat saya malu kepada pimpinan. Lebih malu lagi kepada diri sendiri. Tetapi dari kejadian ini, saya dapat mengambil hikmahnya; inilah pemimpin yang melaksanakan fungsi kehumasan (Public Relation) dengan sangat baik.

Awal bulan ini, saya mendampingi pimpinan seorang pejabat Eselon 1, Direktur Jenderal. Beliau menghadiri sebuah event/forum internasional dihadiri investor asing yg diselenggarakan sebuah bank dengan jaringan internasional. Beliau "hanya" sebagai peserta. Sengaja kata hanya diberi tanda kutip, karena biasanya se-level Dirjen menjadi narasumber.

Dari beberapa kali menemani panitia menemui beliau, Pak Dirjen menganggap ini forum penting dan strategis. Jadi saya yakin alasan itulah yg mendorongnya hadir meski "hanya" sebagai peserta. Sejujurnya sih, saya belum pernah melihat Pak Dirjen "hanya" duduk diantara peserta forum, selain saat dampingi Menteri atau Pejabat Negara lain. Minimal kalau jadi peserta ya peserta aktif, bukan sebagai undangan biasa. Di sini, saya melihat kebesaran hati dan kejeliannya melihat prioritas. Hadirnya beliau diantara investor asing dan pembicara top dari dalam dan luar negeri akan membangun kepercayaan terhadap sektor kesehatan.

Pada saat coffee break setelah pembukaan, ternyata banyak peserta healthcare forum mendapat penjelasan lebih detil dari Pemerintah. Sebenarnya ini sudah direncanakan. Istilah panitia, one on one meeting (intimated meeting). Melihat tak ada staff teknis yang hadir pada forum itu, beliau langsung menuju ruangan yang yang sudah disediakan panitia.

Ternyata diruangan sudah banyak para peserta forum yang sebagian besar investor asing menunggu penjelasan detil. Pak Dirjen melayani satu per satu "tamu" yg ingin bertanya dan konsultasi. Seperti "penjaga stand" pameran yg melayani setiap pengunjungnya.

Pak Dirjen sendirian melayani tamu. Saya adalah humas yang notabene stafnya Dirjen. Sebenarnya masalah regulasi masih bisa meng-handle-nya. Tetapi saya dan juga ajudan hanya bisa membantu mempersilahkan tamu duduk dan meminta menunggu antrian. Kenapa demikian? Barangkali para tamu menganggap, buat apa ketemu stafnya kalau dengan bosnya pun bisa. Anda bisa bayangkan?

Kira-kira 2 jam, Pak Dirjen melayani dengan sabar "pengunjungnya". Kenapa sabar? Ya karena setiap tamu tidak dibatasi berapa lama konsultasi. Padahal saya tahu persis jadwal beliau hari itu padat sekali. Saya berbisik kepada ajudan, mestinya yang duduk melayani pertanyaan dan konsultasi peserta forum itu adalah saya. Atau staf lain yang menguasai. Hal ini seharusnya bisa dikerjakan level staf. Tetapi karena tak hadir staff teknis, Pak Dirjen yang harus turun tangan sendiri.

Disinilah kemudian saya ambil hikmahnya bahwa Pemimpin yg baik tidak saja harus mampu memberi arahan, instruksi dan keputusan tetapi juga mengerjakan dengan tuntas ketika bawahan tidak ada. Meskipun sebagai humas, saya mampu menanganinya tetapi Public Relations yang dicari adalah pemimpin tertinggi. Dan saya bersyukur mempunyai bos besar yang memberi teladan bagaimana menjadi PR yang baik.

Jadi, jangan pernah berkecil hati meskipun humas sebagai juru bicara rumah sakit tapi tak didengar. Karena suara sesungguhnya yang dinanti adalah Direktur. Nah, kalau Direkturnya tak juga tampil, berikan sarankan baik-baik. Ingatkan Direktur bagaimana menjadi Humas yang baik.

Jumat, 16 November 2012

, , , , , ,

Humas Hanya Kliping Koran ya?

Saya sudah bersiap berdiri dari kursi ketika datang tamu dari rumah sakit. Ia adalah pejabat humas dari sebuah rumah sakit khusus di Bogor. Dengan besar hati, saya beri pengertian si perut bersabar untuk menunda makan siangnya.

Eh, kenapa harus ditunda? Sekalian saja, saya ajak ke kantin sang tamu. Siang itu, kantin masih sangat ramai. Kami pun ambil duduk di pojok kantin dekat warung tongseng dan es kelapa muda. Agar mempermudah, ya sekalian menu makan siangnya; tongseng kambing plus es kelapa muda murni, tanpa gula. Cocok nggak ya?

Tanpa basa basi lagi, tamu saya yang pejabat humas tadi berkeluh kesah. Apalagi kalau tidak terkait kehumasan rumah sakitnya. Berat juga nih, begitu batin saya. Ditambah pesanan juga belum siap saji, makin kurang konsentrasi.

Dia curhat tentang unit humasnya yang tak diperhatikan. Dicuekin dan tak dianggap ada. Nggak penting lah. Ruangannya dipojok bangunan dekat tangga. Jangan tanya fasilitasnya deh. Pemenuhan sarana dan perlengkapan humas dilakukan jika unit lain sudah tak perlu pengadaan. Kalau belum rusak ya setelah alat kesehatan terbeli.

Itu belum seberapa. Staf humas ditempatkan orang-orang sisa. Kasarnya, pegawai yang tak dibutuhkan unit lain, alias "buangan". Secara masa kerja sudah senior, malah beberapa tinggal nunggu pensiun. Lupakan persepsi bahwa staf humas seperti public relations di kantor swasta yang maju. Muda, cantik, rapi dengan tutur kata yang enak didengar.

Tamu saya ini terus bercerita tanpa titik. Jangan-jangan dia sudah makan dulu ya, jadi energinya masih penuh. Dan saya berusaha fokus mendengar. Resiko jadi tempat curhat ya begini.

Sekarang bicara pekerjaan rutin. Humas rumah sakitnya tiap pagi kliping koran, itu kalau ada berita menyangkut rumah sakit. Kalau tidak ada, pegawai hanya baca saja. Tugas lain, menghadapi wartawan dan LSM agar bosnya bisa menghindar atau syukur-syukur bisa kabur. Dan tugas paling sengsara adalah menyodorkan wajah untuk disemprot pasien atau keluarga yang mengadukan pelayanan rumah sakit.

Ah, syukurlah dia berhenti sejenak curhatnya ketika pesanan akhirnya datang. Saya meminta dia terlebih dahulu menikmati makan siangnya sebelum melanjutkan curhat. Di depan saya sudah tersaji sepiring nasi putih hangat, semangkok tongseng kambing dan segelas besar air kelapa muda tanpa es tanpa gula. Lupakan dulu masalah, saatnya nikmati makan siang.

Sekitar 10 menitan, menu makan siang saya sudah ludes. Kantin makin ramai saja. Suara bersahutan dan semakin bising. Terpaksa saya harus menaikan volume agar terdengar oleh tamu pejabat humas di depan saya. Sebelum dia melanjutkan berkeluh kesah, saya putuskan mendahuluinya berbicara.

Saya awali dengan pertanyaan, pernahkah humas rumah sakit tamu saya ini menunjukan kinerja terbaiknya? Prestasi apa yang humas dapat sumbangsihkan bagi rumah sakit? Tamu saya diam sejenak. Mungkin ragu menjawab. Atau bisa jadi memang belum ada kinerja dan prestasinya.

Kemudian saya sambung dengan kalimat inspiratif ala motivator diberbagai media. Jangan mengiba belas kasihan orang lain untuk menghargai sebelum kita sendiri belum mampu tunjukan betapa berharganya kita. Jangan harap orang lain memahami pentingnya kita, sementara kita sendiri tak mengerti untuk apa kita ada.

Agar lebih konkrit, saya memberikan sedikit saran. Kliping koran yang telah dibuat agar dilanjutkan dengan telaah berupa analisa dan saran solusi. Selanjutnya, telaah itu disampaikan kepada pimpinan dan tembusan ke unit terkait. Ini penting, agar mendapatkan feedback dan tindaklanjut.

Saran kedua adalah kuesioner pelayanan untuk menampung pendapat publik dari pasien, keluarga atau pengunjung. Setelah data terkumpul, diolah, dianalisa dan feedback.

Cukup 2 itu saja dulu. Lakukan dengan konsisten. Baru kemudian memikirkan langkah selanjutnya yang lebih berat. Yaitu bagaimana seharusnya menempatkan kedudukan dan peran humas rumah sakit.

Tak terasa waktu istirahat hampir usai, kami pun bergegas kembali ke ruang kantor untuk segera kembali bekerja.

Selasa, 13 November 2012

Ucapan Selamat untuk rumah baru Anjari

Sebelumnya ayo tengok halaman about me yang tertera di blog anjaris.me ini. Kalimat di awali dengan “mulai ngeblog sejak tahun 2004”. Kalau sudah begitu lama, lantas kenapa blog ini justru baru mulai live terhitung tanggal 13 November 2012?


Memang ini faktanya! Nama Anjaris.me dipilih pria bernama lengkap Anjari Umarjianto ini sebagai rumah baru. Sebelumnya ia mungkin lebih dikenal sebagai eyang dalam komunitas blogdetik. Kala itu ia punya blog yang beralamatkan di anjari.blogdetik.com.


Setelah bertualang beberapa tahun di blogdetik, Anjari pernah memutuskan untuk menghidupkan domain sendiri. Nama yang dipilihnya waktu itu anjari.net. Sayangnya kesibukan yang menyita waktunya membuat blog tersebut sedikit terbengkalai. Hingga akhirnya nama domain tersebut berhasil dibeli orang lain dan dijual kembali dengan nilai tinggi.


Tapi toh bukan anjari namanya kalau betah meratap nasib karena nama blog dibeli orang. Ide di kepalanya pun berputar hingga memutuskan untuk mengambil url domain anjaris.me ini. Kenapa nama ini yang dipilih? Domain ini menyesuaikan dengan akun twitternya yang beralamat di @anjarisme.


Lantas kenapa sekarang? Alasannya berkaitan urusan personal. Karena di tanggal ini pula Anjari kecil lahir, alias ini adalah ulang tahun beliau.


So, posting ini merupakan ucapan selamat untuk dua hal. Pertama selamat ulang tahun dan kedua ucapan selamat menempati rumah baru. Semoga rumah baru ini bertahan dan terus konsisten untuk tetap up date.


Salam
Reza Gardino

Anjaris.me; Anjari Reborn

13 November, bayi anjari lahir. Tahun 2012 pada tanggal yang sama, anjaris.me lahir. Anjarisme is Anjari reborn.

Sejak Tahun 2008 belajar ngeblog dan menua di Blogdetik. Tahun 2004, sempat belajar menulis blog di BlogBoleh setelah klak klik di PhpNuke dan PostNuke.

Dengan percaya diri, Tahun 2011 mengibarkan bendera Anjari.net meski hanya setahun. Dengan akun-akun lain mematok blog di Blogspot, DagDigDug dan Kompasiana.

Dan mulai hari ini, anjaris.me menjadi dunia baru, sejarah baru anjari. Anjarisme is Anjari Reborn.