Rabu, 31 Januari 2018

, , ,

Asmat Bukan Hanya Bencana Kesehatan

Tragedi kembali terjadi di tanah Papua. Sebanyak 71 jiwa meninggal akibat campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua. Pemerintah bersama TNI/Polri sigap menurunkan satgas penangan KLB Asmat. Hingga akhir Januari 2018, ditemukan 646 anak terkena wabah campak dan 144 anak menderita gizi buruk. Bantuan makanan, obat dan pelayanan kesehatan diberikan. Lebih dari 13 ribu anak pun telah mendapatkan imunisasi.

Tanggap pertama KLB Asmat memang telah dilakukan, namun sesungguhnya misi penyelamatan anak-anak Asmat ini masih panjang. Persoalan pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Asmat menjadi perhatian jangka panjang pemerintah. Hal ini penting diingatkan agar tragedi, publik menyebutnya bencana kesehatan, tidak terjadi lagi di Bumi Cendrawasih.

Tepatkah KLB Asmat ini semata-mata bencana kesehatan? Pertanyaan ini penting dan bukan bentuk pembelaan diri. Identifikasi sumber masalah yang tepat akan menentukan intervensi yang cocok dan terukur. Identifikasi masalah yang keliru, hanya akan menghilangkan simtom semata.

Jika mau berbesar hati, KLB campak dan gizi buruk yang terjadi di Kabupaten Asmat merupakan akibat dari beragam masalah yang tak tertangani. Ini mulai dari aspek geogratis, sosial budaya, pangan, infrastruktur, sumber daya manusia, anggaran, kesehatan, politik dan sebagainya. Singkat kata, persoalan Asmat tidak sesederhana sebagai hanya masalah kesehatan.

Mari kita sedikit bedah masalah, dimulai dari KLB Campak. Data Dinas Kesehatan Provinsi Papua menyebut cakupan kegiatan imunisasi campak sepanjang 2017 di Kabupaten Asmat rendah, hanya 17,3 persen. Data itu pun hanya diperoleh Dinas Kesehatan Papua sepanjang Januari-Juni 2017. Sementara pelaporan Juli-Desember 2017 tidak ada laporan sama sekali dari kabupaten ke Dinas Kesehatan Provinsi.

Mengapa sedemikian rendah cakupan imunisasi? Diantaranya, luasnya cakupan wilayah tidak sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan. Demikian juga untuk menjangkau setiap wilayah atau rumah penduduk akses jalan dan transportasi yang tidak mudah lagi mahal. Tenaga kesehatan juga sulit melakukan imunisasi karena penduduk lebih mengutamakan mata pencahariandi luar rumah. Ini menyangkut geografis, sosial kultural, pendidikan, infrastruktur dan transportasi yang harus segera diatasi.

Di sisi lain, penduduk Asmat yang mengunjungi Puskemas tidak dapat bertemu tenaga kesehatan. Selain karena jumlah terbatas, kalau pun ada besarnya honor tidak sebanding. Ini menyebabkan tenaga kesehatan enggan ditugaskan. Penyediaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan di daerah menjadi tanggung jawab utama Pemerintah Daerah. Sementara itu besarnya anggaran rutin dan otonomi khusus belum dibelanjakan dengan optimal.

Terlambatnya laporan cakupan imunisasi yang rendah dari Pemda Papua ke Kementerian Kesehatan menyebabkan lambatnya respon Pusat. Lagi-lagi ini menyangkut infrastruktur komunikasi, manajemen dan sumber daya manusia. Semakin kompleks sumber masalahnya hingga terjadi KLB Campak dii Asmat.

Selanjutnya tentang gizi buruk disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi oleh asupan makanan sehari-hari. Penyediaan asupan makanan ditentukan oleh kemampuan ekonomi, ketersediaan pasokan dan pemahaman gizi penduduk. Jika setiap keluarga Asmat tidak terpenuhi asupan makanan sehat dan seimbang dalam waktu lama, terjadilah kekurangan gizi atau kejadian gizi buruk.

Data penelitian menemukan adanya hubungan antara status gizi dengan penyakit campak terjadi secara dua arah dan saling memberatkan. Dimana anak dengan status gizi kurang dapat memperberat infeksi campak dan anak yang terkena infeksi campak jika tidak dijaga asupan makannya dapat terjadi kekurangan gizi. Sungguh semakin komplek masalah yang dihadapi saudara kita Asmat ini.

Memperhatikan uraian singkat diatas, bencana kesehatan bukan definisi kejadian yang tepat. Sesungguhnya ini bukan sebatas persoalan definisi kejadian, melainkan proses penemuan dan identifikasi sumber masalah. Kita khawatir, penyebutan bencana kesehatan menyebabkan kita terjebak pada pemikiran sempit bahwa ini persoalan kesehatan semata.

KLB Asmat bukan bencana kesehatan, melainkan tragedi pembangunan. Kita mengajak adanya pemahaman bahwa KLB campak dan gizi buruk merupakan akibat pembangunan berbagai bidang yang belum sesuai harapan. Oleh karenanya, penting dan urgen keterpaduan berbagai sektor dan pemangku tanggung jawab mengatasi masalah Asmat. Bukan hanya sekarang, melainkan jangka panjang hingga waktu yang akan datang.

Minggu, 28 Januari 2018

, , ,

Mencermati Data Difteri

Saat ini, Pemerintah masih gencar melakukan outbreak response immunization (ORI) untuk menanggulangi merebaknya kejadian luar biasa difteri. Sepanjang tahun 2017, Kementerian Kesehatan mencatat 939 kasus dan 44 orang meninggal dunia akibat penyakit difteri. KLB Difteri telah menyebar di 170 kabupaten dan kota pada 30 provinsi.

Ada yang menarik sekaligus memprihatinkan. Tahun 2017 merupakan kejadian terbesar jumlah kasus dan sebaran difteri sejak tahun 2013 di Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi?

Sekurangnya ada dua hal yang menyebabkan difteri kembali merebak dan menjadi kejadian luar biasa di Indonesia. Pertama, cakupan imunisasi gagal mencapai target. Kedua, imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak. Data menunjukkan hampir 80 persen dari jumlah total pasien yang dilaporkan mengalami difteri belum pernah diimunisasi ataupun imunisasinya tidak lengkap.

KLB difteri ini semestinya membuka mata bahwa pengendalian penyakit difteri melalui imunisasi dasar belum optimal. Program imunisasi yang selama ini digalakkan Pemerintah, belum mampu memutus mata rantai penularan difteri. Bahkan difteri pun saat ini tidak hanya menulari pada anak-anak, tetapi juga menyerang pada usia dewasa. Jika pada tahun 2017, sekitar 77 persen penderita difteri pada anak-anak umur 1 – 18 tahun, maka tahun 2018 ini kasus difteri menyerang usia dewasa diatas 18 tahun sekitar 56 persen.

Data yang disebutkan diatas bukan semata angka. Data ini memberi informasi situasi darurat difteri. Harus ada upaya nyata, sungguh-sungguh dan berkesinambungan dari Pemerintah dan pemangku kepentingan. Kita mendukung penuh upaya Pemerintah melakukan ORI di seluruh negeri. Karena memang imunisasi cara efektif pencegahan difteri. Sasaran ORI memang anak-anak usia dibawah 18 tahun, tetapi usia dewasa diatas 18 tahun pun patut dikampanyekan.

Selain imunisasi, sangat penting segera melakukan secara masih edukasi publik dan penguatan sistem informasi kesehatan. Harus diakui sebagaian besar masyarakat kita masih enggan membawa anaknya ke posyandu dan puskesmas untuk imunisasi. Tidak dipungkiri, masih banyak orang yang tidak mengerti imunisasi lengkap difteri. Keawaman soal imunisasi inilah yang mudah dimanfaatkan oleh segelintir anti vaksin untuk memanipulasi persepsi.

Demikian juga sistem informasi harus diperkuat dari tingkat posyandu, puskesmas, Dinas Kesehatan hingga sampai tingkat pengambil keputusan di Kementerian Kesehatan. Sistem informasi imunisasi yang baik akan memudahkan pengambil keputusan melakuan intervensi yang tepat sehingga wabah difteri dapat ditangani sejak dini.

Kembali melihat fakta penyebarannya yang merata di seantero negeri, KLB difteri tidak bisa ditangani oleh sektor kesehatan, apalagi Kementerian Kesehatan sendiri. Suksesnya penanganan KLB Difteri tergantung bagaimana kita bergandeng tangan diantara pemangku kepentingan ORI. Demi investasi masa depan Indonesia, mari bekerja sama menangani KLB Difteri.