Tampilkan postingan dengan label unit gawat darurat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label unit gawat darurat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Januari 2013

, , , , ,

Pengalaman Buruk di IGD Rumah Sakit

Suatu ketika saya mengantar isteri naik taksi menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit. Isteri saya dalam keadaan kesakitan luar biasa, kejang, nafas tersengal-sengal dan nyaris tak sadarkan diri. Ketika sampai rumah sakit ternyata ruang IGD sedang renovasi. Untuk sementara pelayanan gawat darurat dipindahkan pada ruangan dan lokasi lain.

Dalam keadaan panik, saya bertanya dimana letak IGD sementara itu? Maukah mengantar saya ke IGD sementara itu? Lokasi IGD sementara itu berada pada sisi berbeda dari rumah sakit. Untuk sampai kesana dengan mobil harus berjalan jauh memutar dan berbelok-belok. Sementara jika melewati lorong dalam rumah sakit tak ada tersedia kursi roda. Petugas rumah sakit menolak ikut masuk taksi untuk ikut mengantar dan menunjukan jalan ke IGD. Petugas hanya bilang ikuti jalan saja, nanti juga sampai.

Jika dalam keadaan biasa, mencari lokasi ruangan tak menjadi soal. Tetapi dalam keadaan darurat dan mengancam nyawa adalah persoalan besar. Saya meminta sopir taksi segera putar arah mengikuti jalan yang ditunjukan petugas. Begitu melewati persimpangan, mata saya melotot petunjuk arah yang ada. Eh, malah semakin bingung, ikut jalan yang mana? Tak ada tanda yang menunjukan ke arah mana IGD yang baru.

Saya semakin bingung, gugup dan sangat khawatir. Di kursi belakang taksi, istri saya terlentang. Dalam keadaan setengah sadar, kepalanya saya pangku. Tangan dan kaki kaku. Giginya tertutup hampir rapat. Hanya keluar suara mendesis tanda menahan sakit yang luar biasa.

Saya terus bertanya kepada siapa pun, terutama karyawan rumah sakit, yang saya temui di sepanjang jalan memutar rumah sakit. IGD dimana? Ada yang menjawab; tidak tahu! Ada yang bilang; sono! Saya memohon; bisa tolong tunjukan? Dijawabnya; jalan terus saja!

Sudah dua kali belokan tapi IGD tak juga ditemukan. Melewati belakang bangunan rumah sakit terasa sepi. Sopir menghentikan taksinya. Dia bingung di depannya bukan jalanan kendaraan, tapi selasar. Saya sudah tak bisa berfikir lagi. Saya teriak kepada petugas yang jauh di depan saya; dimana IGD? Dijawabnya; jalan terus! naik saja ke selasar dan belok kiri! Sopir taksi langsung tancap gas, sambil mengomel; gila aja mobil naik selasar!

Setelah belok kiri, nampak bangunan seperti depan lobi. Saya berfikir, pasti ini IGDnya. Taksi berhenti, saya berteriak panik; tolong isteri saya! Tolong, bantu angkat! Tangan satpam menunjuk suatu arah dan bilang; bapak jalan terus belok, IGD di depan situ!

Sopir taksi lagi-lagi tancap gas. Saya teriak; dimana pak? Belok mana? Satpam juga teriak; iya disitu masuk aja! Sopir belok melewati jalanan yang sepertinya memasuki tempat parkir. Tepat di depan sebuah pintu, taksi berhenti. Pintu itu tertutup rapat, tak dapat terlihat aktivitas di balik pintu itu. Suasananya sepi. Isteri saya sudah tak sadarkan diri. Detak dadanya tak terasa lagi.

Saya menjura dan mendobrak pintu. Blak! Didalam ternyata banyak orang berseragam. Pasti mereka perawat dan dokter. Tolong isteri saya! Tolong angkat! Mana bed, mana bed!

Entah suara siapa; bapak cari apa? Tenang saja! nanti kami tolong! Saya bingung, kok tak ada petugas yang keluar pintu bawa ranjang pasien. Tak ada satu pun petugas menuju taksi yang pintunya terbuka mempertontonkan isteri saya yang terlentang tak sadarkan diri.

Saya kalap, lari menuju taksi lagi. Saya bopong isteri saya masuk ke ruang IGD. Terdengar petugas memarahi saya; Bapak sabar dong, nanti juga diangkat! Ada lagi yang bilang: taruh aja di bed pojok itu.

Tolong, tolong isteri saya! sambil meletakan isteri saya pada ranjang yang kosong disudut ruangan. Bapak mundur! Bapak mundur! Biar ditangani petugas!

Saya berdiri terpaku tak jauh dari ranjang. Mata tak berkedip memandang istri saya yang diam terbujur. Tangannya membentang kaku dengan telapaknya menggenggam. Kelopak matanya erat terpejam.

Dokter menanyakan sesuatu kepada saya. Tapi saya tidak jelas mendengarnya. Tapi kemudian saya menceritakan bahwa isteri saya sudah beberapa kali sesak dada, kejang dan kesadarannya hilang timbul sejak dalam perjalanan ke rumah sakit ini. Rupanya dokter merasa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaaannya. Dia membentak saya; Bapak! Tadi istri bapak makan apa?

Saya tertegun. Diam, menahan marah yang luar biasa. Kemudian saya menggelengkan kepala dan lirih menjawab; Belum makan apa-apa. Saya lihat petugas memasang selang oksigen pada hidung isteri saya. Sementara dokter sibuk dengan stetoskopnya. Tangan kiri memegang denyut nadi isteri saya. Beberapa saat, terlihat isteri saya menarik nafas dengan lemah. Mulai tersadar meski kondisinya sangat lemas.

Saya menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan; Alhamdulillah...