Tampilkan postingan dengan label resiko medis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label resiko medis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Januari 2013

, , , , , ,

Mari Memahami Malpraktik dan Resiko Medis

Begitu mudah kita mengatakan malpraktik kepada dokter atau rumah sakit, ketika hasil pengobatan tak sesuai yang diharapkan. Padahal terjadinya suatu kasus malpraktik dinilai bukan dari hasil melainkan dari proses perbuatannya.

Kenapa demikian? Karena hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Dugaan malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, bukan sekedar adanya cidera pada pasien. Sebab, cedera tidak selalu akibat kesalahan dokter tetapi bisa merupakan yang merupakan kejadian tak diharapkan. Kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian.

Dalam praktik kedokteran khususnya tindakan medis selalu diiringi dengan resiko tinggi yang mengakibatkan hasil yang tidak terduga. Resiko medis merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap tindakan medis, dan sebagian dianggap dapat diterima. Sebab, kita tidak pernah tahu pada siapa, atau pada dosis berapa suatu tindakan atau obat akan berdampak tidak seperti yang kita inginkan. Semua tidak bisa diprediksi.

Syarat resiko medis yang bisa diterima ketika tindakan medis yang diambil mempunyai tingkat probabilitas dan keparahannya minimal. Atau, tindakan itu memang tidak bisa dihindari karena merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup pasien. Resiko yang memang tidak bisa diduga sebelumnya, yang berujung pada untoward results, adalah konsekuensi dari probabilitas yang terjadi dalam praktik kedokteran.

Ada hal yang harus disadari akan adanya sistem yang kompleks yang melingkupi praktik kedokteran mulai dari tenaga medis, rumah sakit, hingga negara turut meningkatkan resiko medis. Spesialisasi dalam dunia kedokteran, teknologi kedokteran yang terus berkembang serta interdependensi di dalam sistem medis makin memudahkan terjadinya kecelakaan. Karena pelayanan kedokteran dilakukan dalam suatu sistem, maka pendekatan untuk memahaminya juga harus dilakukan dari segi sistem, tidak saja hanya berhenti di human factors.

Kebijakan yang dibuat negara pun memberi sumbangsih bagi terjadinya resiko medis. Makin bagus sistemnya, makin kecil resiko yang mungkin terjadi. Faktor kontribusi yang mempengaruhi praktik klinis antara lain berasal dari pasien sendiri, individu pemberi layanan, faktor tugas, faktor tim dan sosial, faktor komunikasi, pendidikan dan pelatihan, peralatan dan sumber daya, kondisi kerja serta faktor organisasi dan strategi.

Bagaiamana undang-undang di Indonesia mengatur malpraktik medis ini? Jika ditelusuri, istilah malpraktik tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional.

Ada pun menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 359-360 menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya, cedera/kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidakhati-hatian yang nyata di mana tidak terdapat faktor pemaaf atau faktor pembenar.