Tampilkan postingan dengan label wisata medis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wisata medis. Tampilkan semua postingan

Senin, 25 Agustus 2014

, , , , , ,

Belajar Hospital Tourism di Fuda Cancer Hospital, Tiongkok (2)

(JPNN.com) Wajah Hardi Mustakim Tjiong tampak berseri-seri. Senyumnya terus mengembang kepada pembesuknya. Jika Hardi tak memakai baju rumah sakit (RS) dan tidak terlihat infus yang tertancap di tangan kanannya, orang bakal mengira pria 69 tahun itu baik-baik saja. Padahal, dia penderita kanker hati stadium empat. Hanya, dia kini merupakan survivorkanker yang berhasil bertahan dan mendekati sembuh.

”Kalau sedang tidak diinfus, biasanya saya pakai jalan-jalan,” ujar Hardi, pasien asal Indonesia, ketika ditemui Jawa Pos di ruang perawatannya di lantai 4 Fuda Cancer Hospital Guangzhou, Tiongkok, Sabtu pekan lalu (16/8).

Di rumah sakit khusus kanker itu terdapat pasien dari berbagai negara. Salah satunya dari Indonesia. Bahkan, pasien dari Indonesia terbilang paling banyak di antara pasien dari negara lain. Dalam setahun rata-rata ada 300–500 pasien dari Indonesia yang menjalani pengobatan di RS yang memberikan layanan ”plus-plus” tersebut.

Hardi adalah salah seorang pasien yang kini menjalani pengobatan intensif di Fuda. Mengenakan apron antiradiasi, Hardi bercerita bahwa sebelumnya dirinya tidak pernah sakit parah. Sampai pada awal 2003 dia didiagnosis menderita hepatitis C yang mengakibatkan sirosis atau pengerasan hati. Namun, dengan pengobatan teratur, sirosis yang dia derita berhasil disembuhkan.

Kondisi Hardi benar-benar sehat sampai awal Juni 2010 tiba-tiba dadanya sesak. Tak mau mengambil risiko, Hardi langsung pergi ke dokter untuk memeriksakan diri. Awalnya dia hanya di-USG (ultrasonografi). Hasilnya, diketahui ada benjolan di area livernya.

Tak puas, bapak tiga anak itu akhirnya melakukan CT-scan. Hasilnya serupa, ada benjolan sebesar kurang lebih 10 sentimeter di livernya yang menekan paru-paru. Karena itulah, dia kerap merasa sesak. Salah seorang dokter yang memeriksanya menjelaskan bahwa pasien hepatitis C, meski sudah sembuh, harus menjaga pola makan dengan disiplin. Sebab, jika tidak, penyakitnya bisa kambuh dan berkembang menjadi kanker hati sepuluh tahun kemudian. ”Mendengar penjelasan seperti itu, saya langsung shock,” ungkap suami Maria Murniati tersebut.

Hardi lantas mencari second opinion dari dokter lain, namun hasilnya sama. Bahkan, yang menambah kaget, seorang dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Harapan kesembuhannya sangat tipis. Hanya mukjizat yang bisa membuatnya sembuh.

”Saya divonis hanya mampu bertahan enam bulan sejak didiagnosis menderita kanker hati stadium 4B. Masih tahun 2010,” tambah warga Jakarta itu.

Tapi, vonis dokter tersebut tak lantas membuat Hardi terpuruk. Dia tetap bersemangat menjalani hidup. Bagi dia, semangat merupakan 30 persen modal untuk bisa sembuh. Bersama anak-anaknya, Hardi lalu mencari RS yang bisa menyembuhkan kankernya. Baik itu lewat informasi dari kenalan maupun internet. Hasilnya, Hardi dan keluarga memutuskan untuk melakukan pengobatan di Fuda Cancer Hospital. Sebab, di RS tersebut pengobatan kanker bisa dilakukan tanpa operasi.

Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, tim dokter di Fuda juga menyatakan bahwa kanker yang diderita Hardi sudah masuk stadium 4B. Namun, kanker itu belum menyebar. Selama 2010 dia menjalani lima kalicryosurgery dan tujuh kali kemoterapi dengan metode TACE di Fuda.

Cryosurgery adalah metode untuk mematikan sel kanker dengan mendinginkannya, kemudian memanaskannya sehingga sel kanker rusak dan menyusut. Sedangkan metode TACE merupakan kemoterapi yang obatnya diberikan di area kanker saja dengan dosis lebih besar. Hasilnya, kesembuhan lebih cepat dengan efek samping lebih ringan.

Akhir 2010 Hardi dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang ke Indonesia. Dalam dua kali pemeriksaan rutin pada 2011 dan 2012 pun, tidak ditemukan sel kanker di tubuh Hardi. Dia begitu lega.

Tapi, pada 2013 Hardi kembali shock. Pasalnya, ditemukan titik kanker baru di livernya. Sel kanker tersebut ditemukan secara tidak sengaja. Saat itu Hardi mengikuti kegiatan pengobatan dan pemeriksaan kesehatan yang diselenggarakan sebuah lembaga. Tak diduga, hasil pemeriksaan tersebut mengindikasikan sebuah titik yang bergerak. Setelah diteliti lebih jauh, itu ternyata sel kanker baru yang tumbuh lagi. Maka, pada akhir Desember 2013 Hardi kembali berobat ke Fuda di Guangzhou. Dia melakukan cryosurgery satu kali di RS internasional tersebut. Seminggu kemudian dia pulang ke Jakarta.

Terakhir, Sabtu pekan lalu bapak murah senyum itu datang untuk melakukan seed knife therapy. Yaitu terapi dengan menanam pisau halus yang berupa biji radioaktif iodine 125 di area sel kanker. Tubuh Hardi akan mengeluarkan radiasi selama kurang lebih 59 hari. Karena itulah, dia harus memakai apron ke mana-mana agar orang yang berada di dekatnya tetap terlindung dari radiasi yang dipancarkan tubuhnya.

Saking seringnya berobat ke Fuda, Hardi sampai merasa RS itu seperti rumah sendiri. Dia kenal dengan banyak dokter dan perawat. Pribadinya yang ramah juga membuatnya cepat akrab dengan pasien lain. Kini, saat berobat, Hardi pergi sendiri tanpa didampingi keluarga. ”Saya sudah tahu jalannya,” ujar Hardi yang suka jalan-jalan di Kota Guangzhou di sela-sela pengobatannya di Fuda Hospital.

Di Fuda Hospital Hardi juga dikenal karena kemurahan hatinya membantu pasien lain. Dia memiliki keahlian bahasa Mandarin. Maka, saat staf penerjemah Mandarin-Indonesia di RS itu sudah pulang atau libur, Hardi dengan sukarela mau menjadi penerjemah bagi pasien Indonesia dan dokter atau perawat setempat.

”Senang bisa membantu teman-teman pasien lain,” ucapnya sambil tersenyum. Hardi berharap kali ini adalah pengobatan terakhirnya. ”Saya yakin akan sembuh total setelah ini,” ujarnya optimistis.

Pasien lain yang tak kalah bersemangat adalah Brahmana Silalahi, 67. Dia adalah mantan pejabat Pertamina yang divonis menderita kanker prostat pada 2009. Awalnya dia mengeluh saat buang air kecil. Badannya lemas dan sering berkeringat. Bahkan, beberapa kali kencingnya mengeluarkan darah.

Semula Brahmana berobat di sebuah RS swasta di Jakarta. Namun, dokter yang menangani terkesan menggampangkan keluhan Brahmana. Kata dokter, hanya dengan memasang kateter di saluran kencing, penyakit Brahmana sudah bisa sembuh.

Tak puas dengan tindakan dokter RS itu, Brahmana kembali memeriksakan keluhannya di RS di Singapura. Dari situlah penyakitnya diketahui, yakni kanker prostat stadium tiga dan masuk kategori ganas.

Brahmana kaget bukan kepalang ketika divonis terkena kanker ganas. Dia langsung memutuskan pulang. Ayah seorang anak tersebut lalu bersiap menjalani pengobatan lebih lanjut. Namun, sebelum itu, selama setahun dia bertekad menyelesaikan hal-hal yang menurut dia harus dituntaskan. Di antaranya menikahkan putri semata wayangnya serta menyelesaikan utang piutangnya. ”Alhamdulillah, semua bisa selesai dalam setahun,” ujar konsultan perminyakan tersebut.

Brahmana lalu berobat selama 1,5 tahun di Singapura. Pada awal 2011 dia dinyatakan sembuh. Dia kemudian mulai sibuk dengan aktivitas seperti biasa. Namun, pada Juli 2011 dia kembali merasakan sakit, tapi pada tulang-tulang tubuhnya. Maka, dia pun pergi lagi ke Singapura untuk memeriksakan diri. Hasilnya, dokter menyatakan bahwa kanker yang diderita Brahmana ternyata telah menyebar dan sudah masuk stadium empat. Dia harus menjalani kemoterapi, tapi memilih pulang.

Di tengah kegalauan Brahmana mencari pengobatan, Menteri BUMN Dahlan Iskan yang pernah menjalani operasi ganti hati di RS Tianjin, Tiongkok, lalu menyarankan dia berobat ke Negeri Panda itu. Saran tersebut dituruti dan pilihannya jatuh ke Fuda Cancer Hospital. ”Saya percaya kepada Pak Dahlan,” ujarnya singkat.

Di Fuda Brahmana melakukan positron emission tomography (PET) scan. Hasilnya, kanker di tubuhnya telah menyebar ke tulang iga, leher, tulang panggul, dan tulang belakang. Dia pun harus menjalani 8 kali cryosurgerydan 8 kali TACE. ”Pada 2012 saya kembali dinyatakan sembuh,” ujar suami Hariana Brahmana itu.

Namun, kesembuhan tersebut tak berlangsung lama. Pada akhir 2013 kankernya kembali muncul di tempat yang sama, termasuk di prostat. Kini Brahmana kembali ke Fuda Cancer Hospital. Dia menjalani imunoterapi untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuhnya. Dia juga berencana menjalani terapi stem cell.

Selama Brahmana sakit, keluarga menjadi penyokong utama semangatnya melawan penyakit ganas itu. Sang istri dengan setia terus mendampingi. Suara dari cucu saat ditelepon juga membuatnya kian bersemangat untuk kembali sehat.

Brahmana mengakui, saat divonis menderita kanker ganas, dirinya sempat benar-benar down. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Dia kini sudah bisa ”melupakan” penyakitnya tersebut dan justru sering membagi pengalamannya menjadi pasien kanker kepada pasien-pasien lain. Banyak pasien yang datang ke rumahnya untuk bertanya seputar pengobatannya. ”Saya selalu terbuka untuk sharing agar bisa membantu pasien lain,” pungkasnya.

Direktur Fuda Medical Group Indonesia Dr Liu Zhengping mengungkapkan, pasien-pasien di Fuda Cancer Hospital memang menjalin hubungan yang erat satu sama lain. Mereka tak sungkan berbagi pengalaman dengan pasien kanker lainnya. Baik itu yang berobat di Fuda maupun di tempat lain.

”Di Jakarta malah ada perkumpulan pasien-pasien kanker yang pernah berobat di Fuda. Adanya perkumpulan itu diharapkan bisa membantu pasien yang membutuhkan,” tutur Liu. (*/c9/ari)

Sumber: http://m.jpnn.com/news.php?id=253497
, , , , , ,

Belajar Hospital Tourism di Fuda Cancer Hospital, Tiongkok (1)

(JPNN.com) MARYAM, 26, tampak ramah saat berbicara dengan salah seorang keluarga pasien Fuda Cancer Hospital dari Arab Saudi. Perempuan asli Tiongkok itu dengan lancar berbicara dengan menggunakan bahasa Arab. Maryam memang warga muslim Tiongkok yang berasal dari suku Hui.

’’Saya pernah belajar bahasa Arab secara khusus di Arab saat masih berusia 19 tahun,’’ ujar Maryam yang sudah setahun ini bekerja sebagai penerjemah di Fuda Cancer Hospital saat menemui rombongan media dari Indonesia Sabtu (16/8).

Maryam bukan satu-satunya staf translator di rumah sakit tersebut. Total ada sepuluh penerjemah berbagai bahasa. Selain Arab, ada bahasa Melayu (Malaysia), Thailand, Vietnam, Inggris, dan Indonesia. Pasien di rumah sakit khusus kanker itu memang berasal dari berbagai negara. Tapi, yang paling banyak dari wilayah Asia, termasuk Indonesia.

’’Belakangan pasien dari Arab Saudi mulai banyak,’’ terang Maryam sambil menunjuk beberapa keluarga pasien yang mengenakan burqa.

Maryam mengaku tak mengalami kesulitan berarti dalam menjembatani komunikasi antara dokter dan pasien beserta keluarganya dari Arab. Dengan cara demikian, para dokter merasa terbantu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Begitu pula keluarga pasien, merasa nyaman bisa berbicara dengan pihak rumah sakit dengan menggunakan bahasa Arab.

’’Kesulitan baru saya temui bila pasien atau keluarga pasien menggunakan bahasa daerah,’’ tuturnya.

Banyaknya pasien dari negara lain juga mendorong pihak rumah sakit untuk memberikan pelayanan ’’plus’’. Selain menyediakan staf translator,Fuda Cancer Hospital menyediakan fasilitas ’’tidak biasa’’ berupa tempat sembahyang bagi para pasien dan keluarganya. Sejak 2009 mereka memiliki tiga ruang beribadah untuk pasien Islam, Buddha, dan Kristen. Tiga ruang –masing-masing berukuran 4 x 4 meter– itu terletak berjajar di lantai 6.

Di tempat sembahyang umat Islam (musala), pengelola melengkapi dengan beberapa Alquran, mukena, buku-buku tentang Islam, penunjuk waktu salat, tasbih, dan berbagai perlengkapan lainnya. Sedangkan di ruang sembahyang untuk umat Buddha, ada gambar Buddha Gautama di dinding serta perlengkapan untuk bersembahyang.

Sementara itu, di tempat ibadah umat Kristen, selain ada salib dan foto-foto Yesus Kristus, juga berjajar rapi bangku-bangku untuk pasien atau keluarganya yang meminta bimbingan kerohanian dari pastor atau pendeta.

Di Indonesia layanan seperti itu tentu sudah biasa. Tapi, di Tiongkok hal tersebut menjadi sesuatu yang langka dan istimewa. Sebab, di sana sulit ditemukan tempat ibadah. Dengan demikian, ketika ada rumah sakit yang memberikan fasilitas ’’plus’’ berupa tempat ibadah, itu akan mendapat apresiasi dari pasien dan keluarganya.

Tak cukup sampai di situ. Setiap Jumat pihak rumah sakit menyiapkan satu mobil khusus untuk mengantar keluarga pasien yang ingin salat Jumat. Mereka akan diantar jemput ke masjid terdekat yang jaraknya sekitar 30–50 menit dari rumah sakit. Pihak rumah sakit juga bekerja sama dengan sebuah gereja yang siap memberikan pelayanan gratis kepada keluarga pasien yang Nasrani. Termasuk jika pasien ingin memanggil pastor atau pendeta ke kamar mereka untuk memberikan bimbingan rohani.

Yang istimewa lagi, sudah setahun ini seluruh ruang rawat inap di Fuda Cancer Hospital memiliki petunjuk arah kiblat. Jadi, pasien atau keluarganya yang ingin salat di kamar bisa dengan mudah mengetahui arah yang tepat. Kamar mandi di kamar-kamar perawatan juga menggunakan tulisan-tulisan dalam tiga bahasa: Inggris, Arab, dan Mandarin. Di kantin di lantai 6 juga ada stan khusus Islamic food yang menjual makanan-makanan halal.

’’Kami ingin pasien dan keluarganya merasa nyaman selama di sini,’’ ujar Direktur Fuda Medical Group Indonesia Dr Liu Zhengping ketika mendampingi rombongan media Indonesia menginspeksi ruang-ruang di rumah sakit bertingkat tujuh itu.

Menurut Liu, perawatan kanker tidak bisa selesai dalam satu dua hari. Bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Karena itu, pihak rumah sakit berupaya agar pasien atau keluarganya bisa merasa nyaman selama menjalani perawatan.

Representative Office Fuda Hospital Jakarta Fanny Surjono yang ikut dalam rombongan dari Indonesia menambahkan, pasien dari berbagai negara yang menjalani perawatan di Fuda Cancer Hospital punya kebiasaan sendiri-sendiri. Misalnya, pasien dari Timur Tengah umumnya tidak mau bila dokter visite pada pagi hari. Mereka meminta dokter melakukan kunjungan pada sore hari. Padahal, sore merupakan jam istirahat para dokter. Fanny tidak tahu alasan pasti mengapa pasien dari Timur Tengah mempunyai kebiasaan seperti itu.

Ada kemungkinan karena mereka mengenakan burqa (bagi pasien atau keluarganya yang perempuan). Jadi, ketika pagi mereka membuka burqa di ruangan sehingga merasa terganggu jika ada orang asing masuk.

’’Kami bisa memahami (kebiasaan pasien itu, Red) karena dokter di sini total melayani dan untuk visite mereka tidak dibayar,’’ terangnya.

Di Tiongkok dokter tidak boleh berpraktik di lebih dari satu rumah sakit. Tidak seperti di Indonesia yang memungkinkan dokter bertugas di banyak rumah sakit. Karena itu, dokter-dokter di Tiongkok dapat dengan cepat menyesuaikan bila ada perubahan-perubahan jadwal pemeriksaan.

’’Bayaran mereka hanya dari gaji bulanan, plus bonus tahunan jika kinerjanya bagus. Karena itu, dokter di sini bisa lebih fokus terhadap pasiennya,’’ terang Fanny sembari menambahkan gaji dokter di Tiongkok Rp 20 juta–Rp 40 juta per bulan.

Lantaran hanya berpraktik di satu rumah sakit, para dokter jadi lebih ramah dan tidak terburu-buru atau dikejar waktu saat memeriksa pasien. Saat ada visite, pasien juga bisa bertanya sepuasnya. Kerja sama antardokter spesialis juga lebih mudah di Tiongkok sehingga pelayanan kepada pasien lebih prima dan menyeluruh.

Lain lagi dengan kebiasaan pasien dari Indonesia dan keluarganya. Mereka sering memesan makanan sendiri dari para juru masak di kantin rumah sakit. Padahal, pengelola rumah sakit sudah menyediakan stan khusus makanan Indonesia. Lantaran cenderung merugikan pihak rumah sakit, sejak satu setengah tahun lalu, stan itu ditutup.

’’Sekarang tidak ada lagi stan Indonesian food itu,’’ terang Fanny saat mengajak makan di kantin.

Yang juga lain dari rumah sakit di Indonesia, pasien-pasien di Fuda boleh jalan-jalan ke luar rumah sakit. Dengan catatan, mereka harus lapor dulu ke dokter yang bertugas. Setelah itu, dokter akan mengecek kondisi kesehatan si pasien. Jika kondisinya memungkinkan, mereka diperbolehkan pergi. Biasanya para pasien pergi ke pusat perbelanjaan atau sekadar jalan-jalan di sekitar rumah sakit. Tujuannya, membunuh rasa bosan.

’’Setiap pasien asing punya nomor telepon penerjemah yang bertugas di sini. Sehingga, bila terjadi apa-apa, mereka bisa mengontak si penerjemah untuk meminta bantuan,’’ ujar Lina Tjahjadi, salah seorang penerjemah bahasa Indonesia yang asli Indonesia.

Misalnya, ada pasien yang ATM-nya tertelan mesin atau pasien tersesat di jalan dan sebagainya. Pihak rumah sakit akan membantu menguruskan administrasi di bank agar ATM si pasien bisa kembali.

Di Fuda Cancer Hospital juga ada acara rekreasi bagi pasien dan keluarganya setiap Minggu. Kegiatan rekreasi itu diperuntukkan pasien yang kondisinya sudah membaik. Pihak rumah sakit memfasilitasi bus khusus yang akan mengantar dan menjemput pasien ke tempat yang dituju. Bisa ke pusat perbelanjaan atau ke tempat wisata.

’’Tempat wisata di sini jauh-jauh. Jadi, kami memfasilitasi agar keluarga pasien betah dan senang saat berada di Guangzhou,’’ terang Lina yang sudah sepuluh tahun menetap di Guangzhou.

Pihak rumah sakit juga menyediakan kendaraan khusus ke Kedutaan Besar Indonesia di Guangzhou jika ada momen-momen khusus. Misalnya, saat Hari Raya Idul Fitri, pemungutan suara pileg dan pilpres, serta perayaan hari kemerdekaan pada 17 Agustus lalu. Dengan cara begitu, pasien jadi merasa seperti di negara sendiri.

’’Apa pun kesulitan pasien, selama kami bisa bantu, akan kami bantu,’’ tandas Lina. (*/ari/c10/bersambung)

Sumber: http://m.jpnn.com/news.php?id=253490