Tampilkan postingan dengan label keblasuk. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label keblasuk. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Januari 2013

, , , , , ,

Blusukan, Keblusuk, Keblasuk

Masih bicara tentang blusukan. Jika sebelumnya blusukan dari perspektif branding yang tak bisa mudah dipisahkan dari Jokowi, sekarang kita bicara blusukan secara etimologis dan semantis. Dan kemudian dihubungan maknanya secara sosiologis jawa, istilahnya otak atik gathuk.

Kenapa tiba-tiba tertarik membahas blusukan? Dengan sederhana saya katakan bahwa itu disebabkan akhir-akhir ini istilah "blusukan" begitu sangat populer, tak hanya untuk masyarakat umum tapi lebih heboh lagi para elit politikus dan pejabat negara. Bahkan tak hanya disebut oleh orang Jawa dimana kata blusukan berasal. Seperti pernah saya katakan, blusukan yang awalnya istilah ndeso itu kini menjadi terdengar keren dan gaul. Bahkan yang saya khawatirkan cenderung elit dan politis. Dan yang berjasa mempopulerkan adalah Jokowi, Gubernur Jakarta saat ini.

Blusukan, kata kerja dari bahasa Jawa dengan asal kata "blusuk" yang berarti masuk lebih dalam atau masuk terdalam. Variasi "blusukan" bisa juga "mblusuk". Kata kerja "blusukan" ini biasanya digunakan pada tindakan seseorang yang memasuki wilayah atau area yang tak biasa disambangi. Atau area terpelosok atau sudut ruang dimana kebanyakan orang jarang kesana. Blusukan juga diidentikkan memasuki daerah yang kotor, gelap, pinggiran, terpencil atau jarang dijamah.

Ketika Jokowi menyebut blusukan untuk tindakan memasuki pelosok kampung, pasar, gang sempit dan wilayah kumuh, sesungguhnya bermakna banyak. Benar, Jokowi ingin berdialog langsung dengan masyarakat untuk menemukan masalah sesungguhnya Jakarta. Jokowi juga mau menunjukan bahwa yang ia lakukan sesuatu yang tidak dilakukan secara umum oleh pemimpin-pemimpin lain. Dan tentu saja itu bagian dari pencitraan dan kampanye sebagai Gubernur Jakarta.
Blusukan ini memiliki makna yang lebih dalam daripada istilah lain. Misalnya "turun kebawah" alias "turba" pada era orde baru. Apalagi dibandingkan dengan istilah egaliter atau merakyat yang memang tak populer. Turba menunjukan adanya strata sosial dimana ada "orang atas" dan "orang bawah", pejabat dan rakyat. Sementara blusukan mengesankan sikap egaliter, merakyat dan tanpa strata sosial. Disinilah menurut saya, Jokowi cerdik memilih kata dan memilah tindakan yang mampu merebut hati rakyat Jakarta.

Namun semua ada takarannya. Tak baik sesuatu itu berlebihan. Blusukannya Jokowi tentu sudah mendapatkan sumber utama masalah Jakarta. Blusukan Jokowi sudah mencitrakan Jokowi sebagai pemimpin yang egaliter, mau kerja keras secara cerdas dan rendah hati. Sekarang saatnya mengambil keputusan terbaik. Seperti yang dikatakan Jokowi saat kampanye dulu bahwa banyak rencana bagus untuk Jakarta namun lemah dalam eksekusi. Saatnya sekarang mengambil keputusan. Dan nanti Jokowi bisa blusukan lagi untuk mengambil keputusan yang lain lagi.

Hati-hati terlalu banyak blusukan bisa keblusuk dan keblasuk. Terjerumus (keblusuk) dalam pencitraan yang tak berkesudahan. Dan tersesat (keblasuk) dalam tumpukan masalah yang telah tertampung dari masyarakat. Sebelum keblusuk dan keblasuk akibat terlalu sibuk blusukan, lebih tepat saat ini tarik nafas sejenak dan khusyuk untuk mengeksekusi kebijakan konkrit demi Jakarta baru.