Senin, 29 April 2013

, , , , ,

Jika Dirugikan Dokter, Lapor Saja ke MKDKI

Pernah anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran atau mengetahui adanya dugaan malpraktek? Jangan diam saja. Sampaikan keluhan kepada dokter dan rumah sakit dimana yang bersangkutan bekerja. Dan jika dianggap perlu, sampaikan pengaduan kepada MKDKI saja.

Pasal 66 Undang-Undang Praktik Kedokteran menjamin bahwa Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan 
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sesuai tugasnya, MKDKI menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dengan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter.

Apa yang disebut melanggar disiplin kedokteran? Jika dokter dalam melakukan praktik tidak kompeten, tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya serta berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi dokter. Ketika seorang dokter terbukti melanggar disiplin, dikenakan sanksi berupa pemberian peringatan secara tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik (SIP) dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.

Bagi anda yang mengajukan pengaduan ke MKDKI harus disampaikan secara tertulis dalam formulir pengaduan yang disediakan MKDKI. Dalam formulir terdapat beberapa informasi yang harus dilengkapi pelapor seperti identitas pengadu/pelapor, identitas pasien (jika pengadu bukan pasien), nama dan tempat praktik dokter yang diadukan, waktu tindakan dilakukan, alasan pengaduan dan kronologis, serta pernyataan tentang kebenaran pengaduan.

Jika masih bingung, pengadu bisa datang langsung ke kantor MKDI dan petugas akan membantu membuat pengaduan tertulis. Lebih jelasnya, buka www.inamc.or.id dan unduh formulir pengaduannya.

Sekali lagi, jika anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran, jangan ragu dan takut melaporkannya kepada MKDKI. Bisa jadi, laporan dan pengaduan itu akan menglindungi pasien dari malpraktek kedokteran dan memperbaiki mutu pelayanan rumah sakit Indonesia.

 

Minggu, 28 April 2013

, , , , ,

3 Hal Harus Dihindari Rumah Sakit Saat Hadapi Berita Dugaan Malpraktek

Dugaan malpraktek kembali memenuhi media massa dan media sosial. Media pembentuk opini terus menjejali benak pembacanya dengan kelalaian dokter dan rumah sakit terhadap pasiennya. Persepsi publik menelanjangi rumah sakit dengan pelayanan yang buruk, tak manusiawi dan komersial.

Minggu ini musibah itu menimpa RS Harapan Bunda dan RS Persahabatan di Jakarta Timur. Dalam menghadapi pemberitaan dugaan malpraktek, respon rumah sakit berbeda-beda. Saya pernah menulis pada blog ini bagaimana kita dapat belajar dari kasus RS Harapan Kita. Yang pasti, pemberitaan dugaan malpraktek atau krisis komunikasi kehumasan (public relations) yang melanda rumah sakit harus dihadapi. Tetapi jangan lakukan 3 hal berikut :

1. Bersikap tertutup dan defensif. Sikap ini hampir dilakukan oleh mayoritas rumah sakit di Indonesia. Banyak sebab mengapa rumah sakit berlaku tertutup dan defensif ketika hadapi pemberitaan malpraktek. Perilaku tertutup ini biasa ditunjukkan dengan menyatakan bahwa urusan medis hanya dokter yang tahu dan boleh bicara. Atau mengatakan bahwa yang dilakukan rumah sakit telah sesuai prosedur tanpa disertai fakta. Kemudian saling lempar tanggung jawab dari pimpinan, dokter dan humasnya. Awak media kesulitan mendapatkan pernyataan dari narasumber yang kompeten. Akhirnya jurnalis mengais berita dari sumber-sumber yang semakin memperkuat opini buruk kepada rumah sakit. Kalau pun toh melakukan keterangan pers, yang disampaikan sebatas kronologis formal yang tak menjawab pertanyaan publik.

2. Respon tidak tepat. Disebabkan ketidaksiapan dan ketidaktahuan dengan apa yang harus dilakukan, biasanya rumah sakit merespon dengan tidak tepat. Tidak tepat waktu, tidak tepat substansi. Rumah sakit tidak mempunyai radar yang baik untuk membaca situasi dan kondisi opini di luar.

3. Menyalahkan pasien. Awalnya tertutup, defensif dan terlambat merespon, kemudian rumah sakit malah menyalahkan pasien. Misalnya dikatakan bahwa kondisi pasien buruk yang mengakibatkan berita dugaan malpraktek itu disebabkan pasien yang melakukan kesalahan dan tidak kooperatif. Alih-alih berempati dengan apa yang terjadi pada pasien, sebaliknya rumah sakit menunjukan sikap arogan dan benar sendiri.

Sikap tertutup rumah sakit tak akan membuat masalah selesai. Respon yang tak tepat akan memperburuk keadaan. Apalagi menyalahkan pasien akan memupuk antipati publik. Yang terbaik dilakukan adalah menunjukan empati dan menghargai hak pasien. Lakukan komunikasi yang baik dengan publik melalui media massa dan media sosial. Memberikan keterangan dengan kadar yang cukup dan dapat dimengerti.

Dan yakinlah, badai pasti berlalu jika rumah sakit dapat mengelola dengan baik pemberitaan dugaan malpraktek.

Jumat, 26 April 2013

, , , ,

10 Hal Penting Dalam Memilih Rumah Sakit

Untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa memilih dengan cara melihat-mencoba dulu seperti kita membeli barang di toko. Kita coba dan bandingkan terlebih dulu harganya dengan toko yang lain. Artinya untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa melakukan “window shopping” terlebih dahulu. Saat datang di rumah sakit yang dituju, tentunya proses pelayanan sudah harus berjalan. Karena sakit tak mudah diprediksi. Sakit itu bersifat tidak menentu, mendadak bahkan gawat darurat.

Bagaimana kita tahu rumah sakit yang bagus? Apakah yang bangunannya megah? Perawatnya cantik? Lebih baik, konsultasilah dengan dokter yang biasa menangani kita. Dokter langganan semestinya paling tahu tentang riwayat penyakit dan rumah sakit mana yang harus didatangi apabila perlu perawatan.

Apabila sakitnya datang mendadak dan tidak sempat berkonsultasi dengan dokter langganan, datangilah rumah sakit yang terdekat dan mudah dicapai dengan cepat. Setiap rumah sakit pasti memiliki Unit Emergensi yang dapat menangani keadaan gawat darurat. Setelah pemeriksaan dan tindakan di Unit Emergensi, kita dapat memilih kelas perawatan sesuai kemampuan biaya atau jaminan kesehatan. Atau kita dapat menentukan rumah sakit lain untuk rawat inap.

Berikut 10 hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih rumah sakit. Ciri-ciri Rumah Sakit ini bersifat umum sehingga mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam, yaitu:

1. Keramahan dokter, perawat dan staff lain di rumah sakit;
2. Ketepatan waktu pemeriksaannya;
3. Kondisi sarana dan peralatan medis yang memadai;
4. Customer service yang ramah dan informatif;
5. Administrasi yang mudah dan cepat;
6. Bangunan dan ruangan yang bersih, rapi dan terawat;
7. Tarif pelayanan dan biaya obat yang rasional
8. Papan nama dan petunjuk arah yg jelas di lingkungan rumah sakit;
9. Tempat parkir, ruang tunggu, tempat ibadah yang nyaman;
10.  Rumah sakit tersebut mudah dijangkau.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 24 April 2013

, , , , , , ,

Mengapa Rumah Sakit Harus Berbadan Hukum?

Akhirnya Muhammadiyah mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit kepada Mahkamah Konstitusi. Muhammadiyah menganggap dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit yang menyebutkan rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya di bidang perumahsakitan.

Untuk itu, Muhammadiyah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 7 ayat (4) dan pasal-pasal terkait dibatalkan karena bertentangan dengan hak pemohon yang dijamin Pasal Pasal 28D ayat (1) dan 28I UUD 1945. Atau Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit sepanjang mengenai frasa “yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Membahas tentang uji materi UU Rumah Sakit ini, saya jadi ingat sewaktu menjadi tukang ketik dan "asisten sorot" pada rapat-rapat pembahasan RUU Rumah Sakit sejak tahun 2005. Saya mencoba mengingat apa yang menjadi latar belakang ketentuan harus berbadan hukum khusus bidang perumahsakitan.

1. Sebagai subyek hukum. Dengan ketentuan harus berbentuk badan hukum, maka Rumah Sakit atau swasta pengelola dapat menjadi subyek hukum sendiri sebagaimana layaknya manusia. Sebagai Korporasi dapat melakukan tindakan dan tanggung jawab hukum.
Dengan kata lain, pada badan hukum yang bertindak sebagai subjek hukum adalah perkumpulannya sehingga jika terjadi masalah hukum yang dituntut adalah perkumpulannya bukan kepada masing-masing orang anggotanya.

2. Harta kekayaan terpisah. Sebagai badan hukum, kekayaan rumah sakit terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. Ini wujud transparansi dan akuntabilitas. Sehingga jika terjadi akibat yang tak diinginkan, misalnya pailit, maka yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja. Sementara harta pribadi pengurus atau anggotanya tetap bebas dari sitaan.

3. Mencegah aliran arus modal. Mempertimbangkan karakteristiknya yang uncertainly (ketidakpastian), kegawatdaruratan dan life saving (penyelamatan nyawa), mengharuskan rumah sakit harus siap dan aman secara modal. Jika dalam sebuah badan hukum mengelola lebih dari satu bisnis inti (core business) dikhawatirnya terjadi subsidi silang dan arus modal diantaranya. Misalnya, sebuah badan hukum mengelola pendidikan dan rumah sakit. Jika terjadi kerugian dalam bisnis pendidikannya, apakah modal yang semestinya untuk operasional rumah sakit tidak tersedot untuk menyelamatkan bidang pendidikan? Dan bagaimana pada saat yang sama, rumah sakit harus membeli obat dan bahan habis pakai untuk pasien? Untuk itulah,
rumah sakit harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat dengan mencegah adanya pencampuran modal dan kekayaan perusahaan.

4. Tanggung jawab korporasi. Sebagai subyek hukum, rumah sakit dapat melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya. Ini diantara yang dimaksudkan dengan tanggung jawab korporasi (corporate liability) dimana tanggung jawab hukumnya mencakup aspek administratif, perdata, perdata dan pidana.

Dalam hal ini, mari kita ambil contoh kasus terjadi pada Muhammadiyah; Jika sebuah Rumah Sakit milik Muhammadiyah terjadi gugatan perdata dan dinyatakan pailit, apakah Muhammadiyah juga akan di-pailit-kan? Jika pada RS Muhammadiyah terjadi kasus pidana yang melibatkan korporasi dan harus dilakukan penutupan atau pembubaran atas perintah Pengadilan, apakah Muhammadiyah juga ikut dibubarkan? Ini hanya berandai-andai saja!

Sebagai pemilik dan pengelola sekitar 78 rumah sakit yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, Muhammadiyah berhak mengajukan hak konstitusionalnya. Yang menarik diantara argumentasi yang disampaikan oleh kuasa hukum Muhammadiyah bahwa ketentuan mewajibkan untuk membentuk badan hukum khusus telah mereduksi hak konstitusional pemohon, sebagai persyarikatan yang berstatus badan hukum yang telah diakui negara sejak sebelum kemerdekaan. Tapi menarik juga dengan apa yang disampaikan hakim konstitusi Hamdan Zoelva bahwa dengan UU Rumah Sakit semuanya harus diurus ulang untuk mendapatkan badan hukum khusus rumah sakit. Adakah kerugian yang paling substansial yang dialami Muhammadiyah selain persoalan perizinan? Sebab, kalau persoalan ini bisa diatasi dengan badan khusus itu dengan 100 persen sahamnya dimiliki Muhammadiyah. Nah loh!

Pertanyaan nakalnya, apa ruginya jika rumah sakit dapat dikelola dengan prinsip bisnis yang sehat, profesional dan akuntabel? Wallohu'alam.

Minggu, 21 April 2013

, , , ,

SD Anak Saya Mendadak Berubah Menjadi Madrasah

Ujian Nasional kembali dirundung persoalan yang tak kunjung usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional menuai pro dan kontra disebabkan permasalahannya yang tak pernah diselesaikan. Hal ini kembali membangkitkan pertanyaan; apa yang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa urusan Ujian Nasional saja begitu menyedot energi bangsa ini? Bukankah masih banyak urusan pendidikan yang lebih urgen dan penting?

Tak sedikit anak yang putus sekolah karena orang tuanya miskin. Masih banyak anak Indonesia yang tak mengenyam pendidikan dasar 9 tahun karena harus membantu mencari nafkah. Masih bertebaran bangunan dan sarana sekolah yang rusak tak segera diperbaiki. Bisa jadi ribuan Guru honorer tak juga diangkat sebagai guru tetap atau PNS meski sudah berpuluh tahun mengabdi. Anggaran pendidikan 25 persen dari APBN atau sekitar Rp 300 Trilyun seakan menjadi kutukan bagi negeri ini. Karena anggaran berlimpah itu, tak juga menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan Indonesia.

Bicara pendidikan Indonesia, saya menjadi ingat kejadian 2 minggu lalu. Saya diundang rapat orang tua dan wali murid SDIT Tunas Mulia Rawamangun. Disinilah kedua putri saya menempuh pendidikan; Lala kelas 3 dan Icha kelas 2. SDIT Tunas Mulia Rawamangun didirikan dan dijalankan secara swadaya oleh Yayasan. Sebenarnya, saya tinggal di perkampungan yang di kelilingi oleh banyak SD Negeri dan swasta. Namun saya lebih memilih SDIT Tunas Mulia yang berjarak 5 KM dari rumah. Alasannya, kualitas baik dengan biaya terjangkau.

Pada rapat wali murid tersebut, Ketua Yayasan menyampaikan kabar yang tak diharapkan. Bahwa sekolah yang telah beroperasi selama 7 tahun ini, belum mendapatkan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan sejak lama, namun tak juga membuahkan hasil izin sekolah. Bahkan SDIT Tunas Mulia terancam ditutup jika telah 2 kali berturut-turut dalam Ujian Nasional masih menumpang SD lain. Itu berarti, tahun ini adalah kesempatan terakhir ikut menumpang Ujian Nasional. Dan tahun depan, kelas 1 hingga kelas SDIT Tunas Mulia akan dilebur dengan SD lain.

Ketua Yayasan menyatakan alasan tak dikeluarkannya izin operasional oleh Dinas Pendidikan adalah karena tak punya IMB. Selama 7 tahun, bangunan sekolah SDIT Tunas Mulia berstatus kontrak atau sewa sehingga tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan sendiri. Meski sebenarnya, kata Ketua Yayasan, Pengawas Sekolah masih bisa memaklumi dan semestinya izin bisa keluar. Namun rupanya Pejabat Berwenang tetap bersikukuh tak mau mengeluarkan izin operasional terhadap SDIT Tunas Mulia.

Pengelola SDIT Tunas Mulia mencari terobosan dengan melakukan penjajakan ke Kementerian Agama. Ternyata responnya positif. Setelah melalui proses penilaian administrasi dan kunjungan lapangan, Tunas Mulia layak diberikan izin sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bahkan Kementerian Agama mengapresiasi proses belajar mengajar di Tunas Mulia dan akan dijadikan percontohan MI di wilayah Jakarta Timur.

Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa jika meski sudah diupayakan selama 7 tahun Dinas Pendidikan sulit sekali mengeluarkan izin, tetapi Kementerian Agama hanya dalam tempo singkat mau mengeluarkan izin? Tentu bukan tanpa alasan, jika Kementerian Agama ingin menjadikan Tunas Mulia sebagai percontohan MI di Jakarta Timur. Ini bicara kualitas belajar mengajar, bukan urusan persyaratan administratif belaka. Ini persoalan substansi pendidikan, bukan urusan recehan.

Yayasan berjanji dengan status MI, kualitas belajar mengajar tak berubah. Biaya pun relatif sama. Saya, dan juga orang tua murid lain, tentu tak punya banyak pilihan. Meski diberikan kesempatan pindah sekolah oleh pengelola, namun saya tetap berkeputusan kedua putri saya bersekolah di Tunas Mulia. Pindah sekolah tak menjamin lebih baik dan tanpa masalah. Saya tak peduli lagi, apakah berstatus SDIT atau MI. Yang penting, putri-putri saya senang sekolah, nyaman belajarnya dan berprestasi.

Ternyata anggaran besar sekitar Rp 300 Trilyun hanya untuk membiayai pernak-pernik pendidikan, bukan urusan yang lebih substansial; mutu pendidikan!

Jumat, 19 April 2013

, , , , , ,

Blogger dan Teori Kebutuhan Maslow

Tiba-tiba saya teringat Teori Kebutuhan Abraham Maslow dimana manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan hidup. Kebutuhan itu berjenjang secara piramida dari tingkat terendah yang bersifat mendasar dan mendesak hingga kebutuhan yang muncul berikutnya setelah kebutuhan sebelumnya terpenuhi.

Pada setiap level piramida kebutuhan ini menggambarkan aspek kesejahteran hidup manusia yang berhasil dicapainya. Secara sadar atau tidak setiap orang melalui tahap tingkatan kebutuhan ini.

Berikut Teori Kebutuhan oleh Abraham Maslow dari tingkatan terendah hingga tertinggi:

1. Kebutuhan Fisiologis diantaranya berupa kebutuhan akan makan, pakaian, rumah dan kendaraan. Juga kebutuhan biologis manusia seperti bernafas, buang air kecil, buang air besar dan lainnya.

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan diantaranya kesehatan, tidak sakit, kebebasan dan kemerdekaan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut

3. Kebutuhan Sosial diantaranya berteman, pergaulan, berkelompok, berorganisasi, punya pacaran, berkeluarga dan punya anak.

4. Kebutuhan Penghargaan diantaranya pujian, penghargaan, piagam, tanda jasa, naik pangkat, naik jabatan dan referensi

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri berupa tindakan nyata terhadap apa yg diyakini dan disenangi yang dapat menunjukan eksistensi diri. Biasanya berbentuk pengabdian kepada masyarakat dan negara, misalnya relawan dan filantropi.

Saya tertarik mengaitkan teori kebutuhan Maslow tersebut dengan motivasi ngeblog. Ketika ngeblog, anda ingin memenuhi kebutuhan yg mana? Apakah anda Blogger yang menjalankan aktivitasnya blognya didorong oleh kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan atau aktualisasi?

Namun dilihat dari aktivitas ngeblog, tipe blogger ini tidak menggambarkan tingkatan berjenjang seperti piramida. Dalam arti blogger tidak secara berurut memenuhi masing-masing tipe dan tidak pula menggambarkan kesejahteraan hidupnya.

Suami Malas, sahabat saya, terang benderang mengaku sebagai Blogger Tipe 1 (Fisiologis). Sebagai blogger profesional, ngeblog dijadikan upaya memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan dan tunggangan yang berkecukupan. Malah dengan ngeblog sepertinya Suami Malas sudah mencapai kebebasan finansial.

Bagaimana dengan anda?

*NB. Jangan terlalu serius*

Kamis, 18 April 2013

, , , ,

Tulisan Biasa Ternyata Bisa Menginspirasi Orang Lain

"Terima kasih ya. Tulisanmu bagus-bagus", kata Prof. Kadir sambil menyalami tangan saya.
"Tulisan yang mana, Prof?", saya belum ngeh.
"Itu yang link-nya kamu share di-milis. Itu saya jadikan referensi mengajar mahasiswa S3 saya".
"Ah, Prof bisa aja". Saya tertawa kecil. Namun dalam hati jingkrak-jingkrak dan kepala terasa membesar.

Itulah percakapan singkat saya dengan Prof. Abdul Kadir, Direktur Utama RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar itu. Bagi saya, pengakuan beliau membesarkan hati dan menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Meskipun itu hanya percakapan personal yang tak didengar orang lain. Hampir tak percaya, bagaimana seorang guru besar dan mantan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar menjadikan tulisan sederhana di blog saya sebagai referensi mengajar mahasiwa S3-nya.

Berawal dari niatan mengajak para direktur rumah sakit memperbanyak konten positif di media online tentang rumah sakit, beberapa kali saya berbagi postingan anjaris.me di mailing list. Dari dua tiga kali saya share postingan itu, barangkali Prof Kadir tertarik menjadikannya referensi. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan ini juga mengaku membaca tulisan lain dari link yang saya sertakan. Padahal, saya bukan orang dengan latar belakang kesehatan namun menulis dunia perumahsakitan. Tentu dilihat substansinya, postingan saya itu dangkal, biasa dan sederhana. Postingan saya bukan tulisan ilmiah, melainkan dalam format blog yang setiap postingannya berkisar 200 - 500 kata. Apalagi postingan saya 100 persen ditulis hanya sambil lalu disela-sela kesibukan dengan menggunakan Blackberry.

Ternyata tulisan yang bagi penulisnya biasa saja, bisa jadi dapat menginspirasi orang lain. Tulisan sederhana pun bisa menjadi referensi bagi orang yang mengerti.

Terima kasih, Prof. Kadir!