Tampilkan postingan dengan label fatwa mui tentang aborsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fatwa mui tentang aborsi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Agustus 2014

, , , , , , , , , , , , , , , ,

Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi di PP Kesehatan Reproduksi


“Saya kira cara-cara melegalkan aborsi, akan berbahaya bagi kehidupan,” kata Kapolri Jenderal Sutarman (MetroTVnews, 14/8/2014).


“Kami disumpah untuk melestarikan kehidupan. Jadi, saya berharap agar tidak melibatkan dokter dalam tindakan aborsi " ujar Ketua IDI, Zainal Abidin (Republika, 14/8/204).



Pernyataan Kapolri Jenderal Sutarman dan Ketua IDI Zainal Abidin tersebut menanggapi disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang ditangani Presiden RI akhir Juli ini.

Setiap orang berhak berkomentar dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Peraturan yang telah ditetapkan. Namun pernyataan kedua tokoh tersebut patut disayangkan. Polisi sebagai penegak hukum dan Kapolri sebagai Pembantu Presiden bertugas melaksanakan Undang-Undang dalam hal penegakan hukum. Bukan malah mempertanyakan norma hukum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah yang telah ditandatangani Presiden.

Demikian juga Ketua IDI yang belum memahami secara utuh bahwa salah satu tujuan PP Kesehatan Reproduksi yaitu pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam PP ini memang mengatur pengecualian tindakan aborsi dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Dengan demikian selain Ibu dan Bayi, dokter sebagai pemberi layanan kesehatan justru akan terlindungi dengan adanya PP Kesehatan Reproduksi ini.

Untuk mendapatkan pemahaman jelas dan utuh, mari ktia bahas beberapa hal penting terkait pengecualian tindakan aborsi sebagaimana diatur dalam PP Kesehatan Reproduksi ini.

1.  Bukan PP tentang aborsi. 

Yang benar Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi terdiri 52 pasal yang didalamnya mengatur pelayanan kesehatan ibu mulai dari sistem kesehatan reproduksi, kesehatan reproduksi remaja, masa kehamilan, kontrasepsi, kesehatan seksual hingga reproduksi dengan bantuan. Pengaturan pengecualian atas larangan aborsi hanyalah bagian kecil (9 pasal) dari PP Kesehatan reproduksi ini.

2.  Bukan legalisasi aborsi

PP Kesehatan Reproduksi ditetapkan sebagai peraturan pelaksanaan beberapa pasal dalam Undang-Undang Kesehatan yang telah diundangkan sejak tahun 2009. Menurut UU Kesehatan norma hukumnya mengatur secara tegas bahwa pada prinsipnya aborsi adalah dilarang, kecuali karena indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Ketentuan pengecualian larangan atas aborsi itulah yang diatur dalam PP No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

3.  Aborsi adalah tindakan terlarang

Pasal 75 UU Kesehatan secara jelas dan tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Norma ini mengandung makna bahwa hukum dasar atau prinsip hukum bahwa aborsi itu sesuatu yang dilarang oleh hukum atau sesuatu tindakan melawan hukum. Oleh karenanya, UU Kesehatan mengancam setiap orang yang melakukan secara sengaja melakukan aborsi dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 1 milyar.

Dalam norma hukum ada larangan yang memiliki pengecualian, demikian juga halnya dalam aborsi. Secara prinsip aborsi dilarang, namun dengan syarat dan ketentuan tertentu aborsi dibolehkan. Terdapat 2 hal pengecualian atas larangan aborsi sebagaimana diatur UU Kesehatan yaitu didasarkan pada indikasi medis dan kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Oleh karena itu, larangan aborsi dapat dikecualikan (boleh dilakukan) hanya ketika menuhi syarat dan ketentuan yang diatur UU Kesehatan dan peraturan pelaksananya. Dalam hal ini, tindakan aborsi tidak termasuk tindakan melawan hukum dan pelakunya terbebas dari ancaman hukuman pidana dan denda.

4.  PP 61/2014 tidak mendorong tindakan aborsi

Tujuan mendasar dari pengaturan pengecualian larangan aborsi dalam PP Kesehatan Reproduksi adalah mencegah dan melindungan tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengecualian (dibolehkannya) tindakan aborsi hanya boleh didasarkan pada indikasi medis dan kehamilan akibat korban perkosaan yang traumatis dengan syarat dan ketentuan yang ketat.

Yang dimaksud indikasi medis yang mendasari pengeculian larangan aborsi meliputi :

  • kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau

  • kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.


Sedangkan pengecualian larangan aborsi disebabkan kehamilan akibat perkosaan yang traumatis harus dibuktikan dengan:

  • usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter.

  • keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.


Dibolehkannya aborsi sebagai pengecualian larangan aborsi ini hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang, setelah memenuhi syarat yaitu :

  • sebelum kehamilan berumur 40 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis

  • atas permintaan atau persetujuan ibu hamil yang bersangkutan

  • dengan izin suami, kecuali korban perkosaan.


Jika syarat diatas terpenuhi, pengecualian larangan aborsi boleh dilakukan sepanjang memenuhi ketentuan bahwa :

  • dilakukan oleh dokter yang telah mendapatkan pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.

  • fasilitas pelayanan kesehatan memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

  • pelayanan tindakan aborsi dilakukan sesuai standar, tidak diskriminatif dan tidak mengutamakan imbalan materi.


Pengaturan pengecualian larangan aborsi yang diatur dalam PP Kesehatan Reproduksi ini sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi. Menurut fatwa MUI bahwa aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi) kecuali adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat.

Menurut fatwa MUI, keadaan darurat itu dimana perempuan hamil menderita sakit fisik berat dan keadaan kehamilan yang mengancam nyawa si ibu. Keadaan hajat disebabkan janin yang dikandung dideteksi menderita cacat genetic yang kalau lahir kelak sulit disembuhkan dan kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang. Kebolehan aborsi harus dilakukan sebelum janin berusia 40 hari dan bukan kehamilan akibat zina.

Bahwa dengan pengecualian larangan aborsi ini dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh pelaku zina dan penjaja seks komersial (PSK), itu masih sebatas dugaan dan kekhawatiran yang perlu dibuktikan. Dan itu juga bukan maksud dan tujuan ditetapkannya PP Kesehatan Reproduksi. Jika ada orang yang mengaku-aku diperkosa sebagai pembenaran atas tindakan aborsi sebagaimana diatur UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi, tentu memerlukan pembuktian yang tidak mudah. Ditambah pula tindakan aborsi diatur dengan kriteria, syarat, ketentuan dan standar ketat. UU Kesehatan dan PP Kesehatan Reproduksi ditetapkan justru untuk melindungi ibu yang disebabkan oleh uzur yang bersifat darurat dan hajat melakukan tindakan aborsi. Perlindungan yang dimaksud adalah dari tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, tidak bertanggung jawab dan bertentangan dengan norma agama.

Dihalalkannya sesuatu yang haram karena keadaan dan sebab tertentu, tidak menyebabkan sesuatu berubah hukumnya menjadi sesuatu yang halal. Diperbolehkannya sesuatu tindakan yang dilarang oleh norma hukum dengan syarat dan ketentuan tertentu, tidak berarti norma larangan itu secara prinsip dan mendasar tidak berlaku.

Analogi sederhana, membunuh orang lain tanpa hak itu haram dan melanggar hukum. Pelaku pembunuhan pasti berdosa dan diancam pidana. Namun dalam keadaan membela diri dan mempertahankan hidup seseorang boleh membunuh, tidak menjadikan pembunuhan itu hukumnya halal dan dibolehkan undang-undang.

Demikianlah dengan aborsi. Itu sesuatu tindakan yang diharamkan agama dan dilarang undang-undang. Pengecualian atas tindakan aborsi didasarkan indikasi medis dan disebabkan kehamilan akibat perkosaan, tidak menjadikan aborsi merupakan sesuatu yang secara prinsip dan mendasar dihalalkan agama dan dilegalkan undang-undang. Itu hanyalah pintu keluar yang dibuka dalam keadaan darurat dan ketika menyelamatkan kehidupan.