Tampilkan postingan dengan label joko widodo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label joko widodo. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juni 2014

, , , , , , , , , , , , ,

Menerawang Kartu Indonesia Sehat-nya Jokowi

Siapa yang mampu menjelaskan apa itu Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Apa bedanya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan?

Saat ini, mungkin hanya Pak Joko Widodo yang mampu menjawabnya. Tidak ada penjelasan komprehensif tentang KIS. Kalau pun toh ada keterangan, itu pun sangat sedikit. Semalam dalam debat Capres, Pak Jokowi telah menunjukkan bentuk kartu KIS. Namun tidak ada penjelasan yang jelas, apa dan bagaimana KIS nanti.
Untuk sedikit mengerti apa itu KIS, saya mengajak anda mempelajari sedikit petunjuk atau sinyal yang dikirimkan oleh Jokowi atau tim suksesnya.

Dalam kampanye di Tasikmalaya, Jokowi menyampaikan bahwa :

  1. Sistem Kartu Indonesia Sehat, lanjutnya, mengadopsi milik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sudah berjalan di Jakarta

  2. Kartu Indonesia sehat adalah penyempurnaan dari sistem BPJS Kesehatan


Poempida (Timses Jokowi) menyatakan bahwa dengan adanya Kartu Indonesia Sehat, program BPJS akan lebih mudah diterapkan tentunya. Masyarakat tinggal membawa kartu, tanpa persyaratan muluk. Timses Jokowi lainnya, Rieke Dyah Pitaloka, menambahkan bahwa Kartu (KIS) ini tidak terpengaruh domisili pengguna namun untuk nasional.

Mengutip pernyataan Pak Nizar Shihab (Pansus BPJS DPR) menyitir pendapat Pak Surya Chandra (Timses Jokowi) bahwa baik dalam program BPJS maupun KIS, masyarakat diwajibkan masuk asuransi dan membayar iuran. Untuk masyarakat kurang mampu, kata Nizar, pemerintah akan membiayainya dengan APBN. Dengan kata lain, kata pak Nizar, BPJS dan KIS sama saja, capres Jokowi hanya memberi nama baru saja.

Jika kita amati seksama, beberapa petunjuk diatas, sedikit bisa terkuak apa itu KIS sebagaimana disampaikan Pak Nizar bahwa Kartu Indonesia Sehat (KIS) hanyalah nama baru dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
KIS bukanlah sistem jaminan kesehatan sosial yang baru sebagaimana yang digembar-gemborkan Pak Jokowi. Sinyalemen bahwa KIS hanyalah kemasan nama baru dari JKN diperkuat dengan pernyataan Pak Jokowi sendiri bahwa KIS mengadobsi Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diterapkan di Jakarta selama Jokowi menjadi Gubernur 1,5 tahun ini. Ini semakin jelas bahwa modus KIS sama dengan KJS.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah sedikit apa itu KJS? Sukseskah di Jakarta?

Fakta 1, KJS bukan produk baru. Begitu dilantik Gubernur, Jokowi memberi nama program Jamkesda dan SKTM yang sudah dijalankan oleh gubernur Fauzi Bowo menjadi Kartu Jakarta Sehat. Jamkesda dan KJS sama-sama diperuntukkan untuk orang miskin, menggunakan APBD, dan sistem Paket Pelayanan Esensial (PPE).

Fakta 2, KJS mengadobsi sistem pembiayaan JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Ketika pertama dijalankan, KJS menggunakan sistem diagnosa penyakit dan pembayaran dengan PPE sebagaimana dijalankan Jamkesda. Karena Jokowi hanya mensyarakatkan cukup dengan KTP untuk mendapatkan layanan KJS, maka terdapat eforia penduduk Jakarta mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sakit. Akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran APBD sehingga Pemda sempat menunggak Rp 355 milyar kepada rumah sakit. Untuk menghindarkan membengkaknya APBD, maka Pemda mengalihkan sistem pembiayaannya dengan pembiayaan INA CBGS (Kementerian Kesehatan) yang digunakan untuk JKN.

Fakta 3, KJS tidak mencakup seluruh penduduk Jakarta. Dari data jumlah penduduk yang harus ditanggung KJS sebanyak 4,7 juta penduduk, ternyata Pemda KJS baru menjangkau 2,3 juta penduduk. Dan sejumlah 2,3 juta penduduk itulah yang saat ini diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Ditambah penduduk miskin sebanyak 1,2 juta yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Bagaimana sisanya? Coba tanya ke Pak Jokowi deh.

Fakta 4, Jakarta tidak memiliki sistem rujukan regional kesehatan. Persoalan utama membludaknya pasien di rumah sakit adalah sistem rujukan kesehatan di pelayanan primer dan rujukan yang tidak berjalan. Namun faktanya, sampai saat ini tidak ada Peraturan Gubernur yang mengatur bagaimana sistem rujukan kesehatan regional sebagaimana dihimbau oleh Kementerian Kesehatan. Di satu sisi, Rieke (timses Jokowi) mengatakan portabilitas, tetapi ternyata Jakarta yang dijadikan model KIS saja tidak mempunyai regulasi sistem rujukan regional.

Fakta 5, Jakarta perlu peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Ada fakta menarik, bahwa selain rumah sakit daerah, diwilayah Jakarta banyak disokong oleh banyak sekali Rumah Sakit Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan). Seperti kita ketahui, RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Dharmais dan lain-lain, merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional dengan fasilitas lengkap. Namun itu pun tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan yang bersifat intensif dan severity level tingkat lanjut seperti NICU, ICCU, PICU. Artinya, ini ada persoalan yang lebih mendasar dari sekedar merubah JKN menjadi KIS. Jika di ibukota negara saja fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan, bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia?

Fakta 6, KJS hanya setingkat Provinsi sedangkan JKN tingkat Nasional. Jamkesda atau penggantinya KJS dilaksanakan hanya dengan Keputusan Gubernur. Tentu cukup membutuhkan kebijakan dan keputusan  selevel Gubernur saja dalam pelaksanaannya. Sedangkan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dilaksanakan dengan landasan UUD 1945 dan seperangkat Undang-Undang (SJSN, SJSN). Undang-Undang dibentuk dengan persetujuan DPR yang tentu saja bukan perkara mudah mengubah suatu kebijakan.

Itu sedikit fakta tentang KJS. Sementara fakta lain di sisi JKN sudah sangat menggembirakan. Mari kita lihat sedikit.

Fakta 1, Rumah sakit mengalami surplus balance. Ketika muncul pertama kali, JKN diisukan akan membangkrutkan rumah sakit. Tarif INA CBGS dikabarkan terlalu rendah. Faktanya, setelah bulan Februari klaim rumah sakit masuk, ternyata rata-rata 96 persen rumah saki mengalami surplus balance. Dengan kata lain, rumah sakit untung. Karena ternyata tarif INA CBGs banyak yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif RS selama ini.

Fakta 2, Jumlah Peserta JKN tahun 2014 melampaui target. Menurut peta jalan JKN, bahwa pada akhir tahun 2014 ini, jumlah peserta JKN adalah 121 juta penduduk. Ternyata terhitung sejak bulan Juni ini sudah tercatat Rp 123 juta penduduk. Itu sudah termasuk lebih dari 2 juta penduduk dengan kepesertaan mandiri.

Fakta 3, Sistem INA CBGs pelayanan kesehatan menjadi semakin efektif. Sistem INA CBGs adalah sistem paket pelayanan dalam diagnosa penyakit. Ini berbeda dengan pelayanan fee for service, dimana biaya didasarkanp ada setiap tindakan kesehatan. Dengan sistem INA CBGs rumah sakit dan tenaga kesehatan diharuskan efektif tanpa mengurangi mutu layanan.

Fakta 4, JKN terus disempurnakan. Sudah banyak peraturan dan kebijakan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka perbaikan sistem JKN ini. Tarif INA CBGs dan Kapitasi pun sudah diperbaiki. Lambat laun pun rakyat Indonesia semakin menyadari betapa besarnya manfaat dari JKN ini.

Dari penjelasan diatas, baik dari petunjuk tentang KIS disampaikan pak Jokowi dan tim, juga paparan fakta-fakta atas KJS dan JKN tersebut, apa yang dapat anda simpulkan? Mungkin kesimpulan kita sama, apa urgensi dari Kartu Indonesia Sehat ini?

Sejauh ini, belum ada diferensiasi KIS atas JKN. Cukuplah, KJS menjadi bukti cara kerja Pak Jokowi bagaimana KIS ini ke depan. Kesimpulannya, sepertinya KIS hanya nama baru dari JKN.

Senin, 02 Juni 2014

, , , , , , , ,

Menguji Visi Misi Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta Dalam Bidang Kesehatan

Ketika mulai muncul dan menghangat nama-nama bakal calon presiden, saya menuliskan kalimat ini:
"aku ora mikir copras capres, emang mereka mikir kita?"

Kalimat itu sekian lama menjadi cover profile di halaman utama facebook saya. juga beberapa kali saya share melalui akun twitter saya. Anda tahu kan, siapa tokoh yang sering menggunakan kalimat "ora mikir copras capres" ini? Ya, Joko Widodo. Yang akhirnya saat ini telah secara resmi menjadi salah satu calon presiden. Sosok yang dulu sering ditanya wartawan tentang kansnya diajukan jadi Capres dan sering menjawab "ora mikir ora mikir copras capres" itu akhirnya maju juga jadi Capres.

Sepertinya saya kena "tulah Jokowi". Meski saya menulis di facebook dan twitter saya,"ora mikir copras capres, emang mereka mikir kita", ternyata dalam kenyataannya saya lebih banyak membaca berita capres/cawapres, setelah berita kesehatan. Tidak hanya itu, beberapa kali saya menulis status di media social dan sharing berita politik itu. Saya harus jujur mengakui bahwa urusan politik, khususnya pemilihan presiden, bukan persoalan sepele. Ini masalah besar bagaimana bangsa Indonesia memilih pemimpin yang akan jadi manajer sekurangnya 5 tahun ke depan. Sesungguhnya kepemimpinan presiden 5 tahun, akan sangat berdampak pada kehidupan berbangsa bernegara berpuluh-puluh tahun ke depan. Jadi tidak ada alas an lagi, saya sebagai warga negara untuk tidak peduli pada pemilu.

Seperti halnya tulisan ini sebagai wujud kepedulian saya terhadap peristiwa 5 tahunan ini. Sebagaimana perhatian dan keseharian saya bidang kesehatan, maka saya ingin sedikit menguji, lebih tepatnya membandingkan, visi bidang kesehatan dari pasangan capres/cawapres Joko Widodo - Jusuf Kalla (JKWJK) dengan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (PSHR).

Saya tertarik menulis ini berawal dari membaca berita politik yang membandingkan visi misi JKWJK dan PSHR. Bahwa visi misi JKWJK setebal 41 halaman, sedangkan PSHR hanya 9 lembar. Sungguh timpang kan. Kemudian saya mencari dan mendownload visi misi kedua pasangan capres/cawapres itu di situs Komisi Pemilihan Umum. Tidak cukup puas, saya juga mendownloadnya di situs tim pemenangan mereka.

 

FORMAT DOKUMEN

Sebelum menguji visi misi bidang kesehatan, saya tertarik secara selintas mendeskripsikan format penulisan visi misi JKWJK dan PSHR. Mengapa format ini penting? Saya menganggap bahwa format penulisan visi misi ini mencerminkan bagaimana struktur berfikir capres/cawapres (atau tim penyusunnya) dalam menyampaikan ide gagasan dan apa-apa yang akan dilakukan selama memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.

Tata letak, penempatan, penomoran tentu menjadi hal yang bias menggambarkan bidang-bidang kehidupan apa saja yang menjadi prioritas program mereka. Bahkan menurut saya, jumlah lembaran dokumen visi misi ini juga dapat menggambarkan bagaimana cara pikir dan cara kerja mereka. Malah saya juga berfikir, banyaknya lembar visi misi ini, sejauh mana keterlibatan pasangan JKWJK dan PSHR dalam menyusun kata demi kata yang tertuang dalam point-point gagasan visi misi ini? Mari kita uji, kita bandingkan.

1.  Joko Widodo - Jusuf Kalla;

  • 42 halaman terdiri 1 halaman sampul dan 41 halaman isi;

  • Visi : Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong;

  • Visi misi dijabarkan dalam "9 Agenda Prioritas (nawa cita)"

  • Penjabaran visi misi dijelaskan dengan kalimat panjang dan normatif yang tercakup dalam 12 agenda politik, 26 agenda ekonomi dan 3 agenda budaya;

  • minim dilengkapi angka/data dan tanpa dilengkapi anggaran;

  • Dokumen tidak dibubuhkan tanggal dan tidak ditandatangani oleh JKWJK


2.  Prabowo Subianto - Hatta Rajasa

  • 9 halaman, tanpa halaman sampul;

  • Visi : Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur serta Bermartabat;

  • Visi misi dijabarkan dalam "8 Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia"

  • Penjabaran visi misai disusun dengan penomoran yang terstruktur, dan sederhana berupa point-point.

  • Penjabaran banyak dilengkapi angka data dan disertai  anggarannya;

  • Dokumen dibubuhi tanggal 20 Mei 2014 dan ditandatangani oleh Prabowo Subianto sebagai Capres dan Hatta Rajasa sebagai Cawapres diatas materai Rp 6000.


Membandingkan dokumen visi misi kedua pasangan capres/cawapres ini, seakan 2 dokumen yang saling antithesis. Visi misi JKWJK sejak pendahuluan, latar belakang, penegasan visi misi hingga penjabaran disampaikan dalam kalimat panjang, berbahasa normatif, dan terkesan membosankan untuk dibaca. Bayangkan saja. Anda harus membaca sebuah poin-point pernyataan yang ditulis menyambung dan seakan tak tahu dimana titiknya.

Sementara itu, visi misi PSHR dari latar belakang, pernyataan visi misi dan penjabaran ditulis lebih terlihat terstruktur dan langsung pada inti masalah.. Penjabaran disusun dalam tiap-tiap nomor yang kalimatnya mencerminkan satu masalah. Terkesan lebih simpel dan mudah dibaca. Apalagi agenda-agenda dilengkapi dengan angka/data dan anggaran sehingga terkesan lebih meyakinkan dan bias diukur. Itulah selintas gambaran format penulisan visi misi kedua pasangan capres/cawapres. Silahkan anda membaca lebih dalam.

 

PROGRAM KESEHATAN CAPRES/CAWAPRES

Sekarang saatnya kita membandingkan agenda program dan prioritas sebagai penjabaran inti dari visi dan misi capres/cawapres. Sebagaimana disampaikan diatas bahwa penjabaran visi misi JKWJK diperas dalam "9 Agenda Prioritas" yang disebut Nawa Cita. Sedangkan PSHR penjabarannya visi misinya disebut sebagai "Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia" yang berjumlah 8 point.

Oleh karenanya dalam membandingkan visi misi bidang keshatan, saya lebih menitikberatkan pada "agenda prioritas" ini. Saya akan cari dan garisawahi diantara  "9 Agenda Prioritas"  dan "Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia", yang memuat agenda/program bidang kesehatan. Mari kita lihat, siapa yang lebih pro bidang Kesehatan.

 

1.  Joko Widodo - Jusuf Kalla

Visi misi bidang kesehatan dari pasangan JKWJK sebagaimana yang termaktub dalam "9 Agenda Prioritas" dalam ditemukan pada halaman 9 nomor 5, (saya kutipkan utuh);
"Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program ―Indonesia Pintar‘‘ dengan wajib belajar 12 Tahun bebas pungutan; peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi kartu ‘Indonesia Sehat‘‘; Serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program ‘Indonesia Kerja‖ dan ‘Indonesia Sejahtera‘‘ dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 Juta Hektar; program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta Jaminan Sosial untuk seluruh rakyat di tahun 2019"

Mari kita baca kutipan kalimat itu baik-baik. Disitu yang terkait kesehatan adalah peningkatan layanan kesehatan masyarakat dengan menginisiasi kartu ‘Indonesia Sehat". Yang lainnya? Tidak ada. Saya coba membaca kembali dari awal nomer 1 hingga 9 dari Nawa Cita dan saya hanya menemukan 1 program kesehatan  yaitu "kartu Indonesia Sehat" sebagai agenda prioritas pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla.

Kok cuma satu ya? Kok bisa? Begitu pikiran saya. Baiklah karena hanya 1 program kesehatan, sebagai "bonus" saya melacak program kesehatan diluar "9 agenda prioritas". Saya mencari program kesehatan pada penjabaran bidang politik, ekonomi dan budaya. Masa dari 41 halaman visi misi JKWJK tidak ditemukan program kesehatan lain. Semestinya sesuai aturan tadi yang hanya membandingkan agenda prioritas, pencarian ini tidak boleh saya lalukan. Tapi apa boleh buat, terpaksa dilakukan. Karena saya tidak rela jika capres/cawapres hanya punya 1 program kesehatan sebagai prioritasnya.

Alhamdulillah, saya menemukannya program kesehatan pada bagian "Berdaulat dalam bidang Politik" pada komitmen nomer 10 sebagari prioritas "Pemberdayaan Perempuan dalam Politik dan Pembangunan" pada huruf d, (hal 23) yaitu :
"Kami berkomitmen untuk memperjuangkan kebijakan khusus untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, perangkat dan alat kesehatan dan tenaga – khususnya bagi penduduk di pedesaan dan daerah terpencil sesuai dengan situasi dan kebutuhan mereka. Menyediakan system perlindungan sosial bidang kesehatan yang inklusif dan menyediakan jaminan persalinan gratis bagi setiap perempuan yang melakukan persalinan. Mengalokasikan anggaran negara sekurang-kurangnya 5% dari anggaran negara untuk penurunan AKI, Angka kematian bayi dan balita, pengendalian HIV dan AIDS, penyakit menular dan penyakit kronis.

Hati saya senang menemukan program ini, meskipun normatif. Tetapi saya bertanya-tanya, mengapa program kesehatan yang nyata-nyata tidak hanya identik dengan perempuan (kecuali persalinan, AKI, AKB), ditempatkan pada  program pemberdayaan perempuan? Mengapa program kesehatan ini tidak ditempatkan dalam 1 nomer tersendiri, misalnya bagaimana secara politik berpihak pada pembangunan kesehatan.

Selain masalah penempatan program kesehatan yang tidak tepat, saya tertarik mengomentari alokasi sekurangnya 5% APBN. Saat ini Tahun 2014 alokasi anggaran kesehatan sekitar 3,6 persen merupakan total anggaran kesehatan termasuk untuk Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS Kesehatan). Pertanyaannya, apakah mungkin mampu laksana jika JKWJK ingin mengalokasikan 5% APBN hanya untuk AKI, AKB, HIV/AID, penyakit menular dan kronis?

Dengan masih geleng-geleng kepala, kemudian saya terus mencari pada bagian lain, dan menemukan program kesehatan pada bagian "Berdikari dalam Bidang Ekonomi" prioritas program nomer 5 pada "Pemberdayaan Buruh" (hal. 33):
"Kami berkomitmen untuk membangun pemberdayaan Buruh, melalui, (1) pengendalian inflasi harus dlihat sebagai bagian integral dari perjuangan buruh, (2) Pembangunan perumahan untuk buruh di kawasan industri tidak dapat ditunda lagi, (3) APBN harus menjadi bagian penting dari pelayanan hak-hak buruh. (3) penambahan iuran BPJS kesehatan yang berasal dari APBN dan APBD perlu dilakukan, (4) Pelarangan kebijakan alih tenaga kerja di BUMN, (5) Mencipatakan pertumbuhan ekonomi yang terkait dengan penyerapan tenaga kerja, (6) mekanisme proteksi terselubung untuk melindungi tenaga kerja dalam pelaksanaan Masyarkat Ekonomi Asean., (7) Melakukan revisi terhadap UU 39/2004 tentang penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan menekankan pada aspek perlindungan, (8) Mendukung pegesahan UU Tentang Sistem dan Komite Pengawas Ketenagakerjaan, UU Tentang Sistem Pengupahan dan Perlindungan Upah; UU Tentang Kesehatan, UU Tentang Keperawatan, UU Tentang Kebidanan;..."

Disini lagi-lagi saya tak habis pikir, mengapa program kesehatan hanya untuk mendukung pemberdayaan buruh. Apakah JKWJK tidak tahu bahwa yang perlu penambahan iuran BPJS itu tidak hanya buruh. Seluruh rakyat miskin, gelandangan, pengemis, orang terlantar, petani, pedagang asongan, intinya iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) memang perlu dinaikan iurannya. Yang agak janggal adalah mendukung pengesahan UU tentang Kesehatan. Padahal UU Kesehatan baru saja disahkan tahun 2009 (UU 36 Tahun 2009).

Pencarian dilakukan pada bagian "Mandiri dalam bidang ekonomi" pada program "Perimbangan Pembangunan Kawasan" yaitu :
Kami berkomitmen untuk membangun perimbangan pembangunan kawasan melalui; ..... (8) Implementasi pelayanan publik dasar yang prima melalui pembangunan 50.000 rumah sehat dan mengembangkan 6000 puskesmas dengan fasilitas rawat inap, (9) Implementasi sistem jaminan sosial nasional secara merata di seluruh Indonesia ....

Ini program baik, tetapi lagi-lagi mengapa penempatannya disini. apakah pengembangan puskesmas semata-mata urusan perimbangan pembangunan kawasan? Terus apa yang dimaksudkan implementasi SJSN secara merata itu?

Sampai disini penelurusan saya terhadap program kesehatan pada visi misi JKWJK. Saya tidak menemukan program kesehatan yang orisinal, istimewa dan bersifat kebaruan. Tidak juga program itu bersifat konkrit dan terukur. Padahal dengan dokumen setebal 41 halaman, semestinya JKWJK memiliki ruang untuk menjelaskan sebagian dari program kesehatan. Contohlah Kartu Indonesia Sehat sebagai agenda Nawa Cita, mengapa tidak ada penjelasan lebih detil? Apa relevansinya KIS dengan JKN dan BPJS? Apakah itu program baru atau penamaan baru dari JKN (BPJS)?

 

2.  Prabowo Subianto - Hatta Rajasa

Sekarang giliran saya menelusuri program kesehatan dari pasangan PSHR. Sebagaimana saya sebutkan diatas, penjabaran visi misi PSHR disusun secara terstruktur, tersaji pointer dengan penomoran yang jelas. Dokumen hanya memuat ""Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia" setebal 9 halaman sehingga sangat mudah mencari program kesehatannya.

Program kesehatan PSHR tercantum dalam agenda ke-5 yaitu Meningkatkan Kualitas Pembangunan Sosial melalui program Kesehatan, sosial, Agama, Budaya dan olahraga. Dari 9 program, 6 diantaranya terkait dengan kesehatan yaitu :

  •  Menjamin pelayanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin melalui percepatan pelaksanaan BPJS Kesehatan.

  •  Mengembangkan rumah sakit modern di setiap kabupaten dan kota.

  •  Memberikan jaminan sosial untuk fakir miskin, penyandang cacat dan rakyat terlantar.

  •  Meningkatkan peran PKK, Posyandu dan Puskesmas, dan mengembangkan program Keluarga Berencana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

  •  Menggerakkan revolusi putih mandiri dengan menyediakan susu untuk anak-anak miskin di sekolah melalui peternakan sapi dan kambing perah.

  •  Mewajibkan sarjana dan dokter yang baru lulus untuk mengabdi di daerah miskin dan tertinggal.


Sayang sekali, dokumen visi misi PSHR hanya 9 halaman dan berupa poin-point saja, sehingga tak bias diketahui bagaimana cara mencapai agenda dan program nyata itu. Dan saya juga kecewa karena program Kesehatan tidak mendapatkan prioritas sendiri sebagaimana Pendidikan sehingga bias dieksplorasi lebih jauh keperpihakan PSHR terhadap bidang kehidupan yang bersifat dasar dan asasi. Padahal kita tahu bidang kesehatan dan pendidikan itu urusan kebutuhan dasar manusia.

Dan menjadi pertanyaan saya, mengapa pada program kesehatan ini tidak dilengkapi angka/data dan anggaran seperti program prioriras PSHR lainnya? Meski demikian, ada yang menarik untuk dicermati dengan adanya program revolusi putih, wajib dokter mengabdi di daerah tertinggal dan rumah sakit modern di setiap kabupaten/kota. Program ini terasa baru, tidak seperti biasa saya dengar, lebih nyata dan tidak normatif.

 

KESIMPULAN

Setelah menelusuri dan membandingkan program kesehatan terutama pada "program prioritas" sebagai penjabaran inti dari visi misi capres/cawapres, saya berkesimpulan bahwa program kesehatan tidak menjadi bagian utama dari program JKWJK maupun PSHR jika terpilih sebagai presiden/wakil presiden. Visi misi JKWJK maupun PSHR tidak cukup banyak menyentuh isu kesehatan diantaranya disparitas, akses dan mutu layanan kesehatan termasuk akreditasi, promotif dan preventif kesehatan, tingginya harga alat kesehatan dan obat, kekurangan dokter dan tenaga kesehatan, perlindungan hukum pasien dan tenaga kesehatan, health tourism, penelitian pengembangan kesehatan, pertumbuhan industri kesehatan dalam negeri, dan reformasi kesehatan Indonesia.

Namun demikian jika dibandingkan dari keduanya, program prioritas bidang kesehatan pasangan PSHR lebih baik dibandingkan JKWJK. Jumlah program prioritas bidang kesehatan PSHR lebih banyak dibandingkan JKWJK.Visi bidang kesehatan PSHR terasa lebih nyata dan relative tidak normatif. Konkritnya begini, saya menganggap percepatan pelaksanaan BPJS realistis dibandingkan meningkatkan jumlah iuran BPJS. PSHR dalam program kesehatannya menyebutkan puskesmas, posyandu, pkk dan keluarga berencana.Dan menariknya adalah penyediaan susu untuk anak-anak miskin serta menghidupkan kembali wajib pengabdian di daerah terpencil bagi sarjana dan dokter yang akan mendorong pembangunan kesehatan.

Demikianlah pendapat saya atas hasil penelusuran dan membandingkan visi misi bidang kesehatan yang tertulis antara JKWJK dan PSHR. Orang bilang,"ah, ini kan hanya janji politik. Yang penting kan bagaimana pelaksanaannya". Memang benar, sebuah ide akan bernilai ketika dilaksanakan. Demikian juga visi misi ini hanya sekedar tulisan diatas kertas jika akhirnya tidak dilaksanakan. Namun saya berpendapat bahwa kualitas dan kapasitas seseorang dapat dilihat dari seperti apa gagasaan dan bagaimana menyampaikannya. Dalam konteks inilah, menurut saya menjadi penting untuk menilai, membandingkan dan menguji visi misi calon pemimpin, capres dan cawapres Indonesia.

Pilihan ada ditangan saya, anda dan kita semua, kepada siapa bangsa dan negara ini kita serahkan untuk memimpin. Siapa pun pilihannya, mari saling menghormati dan menghargai. Dan untuk bukti nyata, kita lihat saja siapa yang ditakdirkan Alloh menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan kita akan jadi saksi, apakah kinerja Presiden dan Wakil Presiden terpilih seperti yang ditulis dalam visi misi ini.

Semoga Indonesia lebih baik.

Minggu, 13 Januari 2013

, , , , , , , , ,

Karena Jokowi, Blusukan Jadi Brand, Keren dan Populer

Siapa yang belum pernah mendengar istilah "blusukan"? Boleh jadi, "blusukan" menjadi kosa kata paling populer saat ini. Adalah Joko Widodo, atau lebih akrab dipanggil Jokowi, orang yang mempopulerkan istilah blusukan. Pada saat melakukan kampanye pilkada dulu, Jokowi rajin keluar masuk pelosok kampung hingga ke pinggiran kota. Perkampungan kumuh di bantaran kali yang rawan banjir hingga kampung nelayan yang identik dengan kemiskinan tak luput ditelusupi Walikota Solo ini. Dari tindakannya keluar masuk kampung ini, Jokowi menyebutnya sebagai blusukan.

Seiring dengan semakin seringnya Jokowi menemui dan berdialog langsung dengan wong cilik ini, semakin populer pula istilah blusukan. Bisa dikatakan Jokowi menjadi identik dengan blusukan. Atau sebaliknya, kalau menyebut blusukan akan diasosiasikan dengan Jokowi. Meminjam istilah public relations atau marketing, Jokowi sudah menjadi brand terkenal yang sedang memimpin pasar (market leader). Sehingga apapun "produk" Jokowi, akan diikuti, ditiru dan dijiplak "kompetitornya"

Demikian juga blusukan telah menjadi ikon dan karakteristik pemimpin yang merakyat sekaligus mengambil hati rakyat. Berbeda dengan baju merah kotak-kotak hitam yang merupakan brand iconik yang bersifat trend sesaat. Blusukan dapat menjadi media branding yang tidak terlalu kentara pencitraannya. Sebaliknya kesan pemimpin merakyat, turun di lapangan, egaliter dan mau mendengar wong cilik begitu kuat. Disinilah kemudian para politikus atau bakal calon pejabat negara/daerah berusaha mencitrakan dirinya layak dipilih menjadi pemimpin dengan cara blusukan.

Bisa dikatakan blusukan Jokowi telah mengalahkan hegemoni dan konglomerasi partai politik yang mendukung Gubernur Jakarta incumbent waktu itu. Blusukan telah menghancurkan kampanye masif dan vulgar yang disokong dana yang sangat besar. Blusukan, perwujudan sikap bersahaja, jujur, apa adanya, banyak kerja sedikit bicara dan rendah hati dari Jokowi. Blusukan identik dengan kepolosan "wong ndeso" yang berhasil menaklukan angkuhnya kota metropolitan. Tentu saja "resep masakan ndeso" blusukan ini akan dipakai oleh mereka untuk mengejar hal sama yang dicapai Jokowi.

Ibarat sebuah brand dan market leader bahwa blusukan itu Jokowi, maka siapa pun dia, politikus dan bakal calon pejabat, melakukan blusukan akan dikatakan meniru Jokowi. Tetapi mereka tak peduli, meski sadar sekedar ikut-ikutan, tetapi bukan politikus kalau tak pandai bersilat lidah. Apalagi faktanya, sejak dulu blusukan (dengan berbagai istilah dan variannya) sebagai "resep murah" menjadi pemimpin. Maka ketika ada yang orang blusukan kemudian diasosiasikan dengan Jokowi akan punya kilah.

Seperti halnya Presiden SBY yang belum lama ini blusukan ke sebuah kampung nelayan. Orang-orang istana dan lingkarannya kebakaran jengkot ketika SBY dicap meniru Jokowi. Sejak sebelum presiden, SBY sudah blusukan, begitu kilahnya. Itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Orang-orang lingkaran istana ini lupa bahwa sekarang blusukan itu "milik" Jokowi. Mereka tak mengerti bedanya blusukan (yang asli) Jokowi dengan blusukan SBY. Mereka tak ingat kalau setelah jadi Gubernur, Jokowi tambah rajin blusukan, sedangkan SBY duduk enak dan bernyanyi sambil main gitar setelah menjadi presiden. Dapat dilihat bahwa SBY yang "ahli pencitraan" pun tak berkutik ketika merebut brand blusukan dari Jokowi. Dan puncak dari rebutan "siapa pemilik blusukan" sebenarnya ditandai dengan "pukulan telak" dari Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden SBY lebih dulu blusukan.

Bagi mereka yang memahami falsafah Jawa, Jokowi telah melancarkan jurus "nglulu", yaitu merelakan dan mendorong orang lain dengan kemauannya sendiri. Justru dengan mengakui Presiden SBY lebih dulu blusukan, maka sesungguhnya Jokowi telah memenangkan pertarungan. Sikap Jokowi yang rendah hati dengan pengakuan itu justru memperkukuh brand Jokowi atas blusukan.

Disadari atau tidak, blusukan menjadi keren saat ini. Siapapun dia yang melakukan kunjungan langsung ke daerah atau kampung akan senang dan bangga disebut blusukan. Bahkan kunjungan biasa saja kalau perlu disebut blusukan. Jangan heran jika banyak bakal calon pejabat ingin disematkan blusukan pada setiap aktivitasnya. Silahkan saja SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau siapa pun melakukan dan mengklaim blusukan, tetapi hanya Jokowi yang punya orisinalitas blusukan.

Bisa dikatakan sekarang blusukan menjadi gaya hidup yang keren. Blusukan yang awalnya mengesankan ndeso dan kampungan itu saat ini terlihat keren dan populer. Dan itu karena sebuah brand, Jokowi!