Namanya Kunta Adi (14 tahun), tapi kawan sekelasnya lebih mengenalnya Kuntet. Tinggi badan Kunta hanya 128 cm. Padahal ukuran tinggi badan rata-rata anak-anak Indonesia usia 14 tahun sekitar 156 cm. Itulah mengapa kawan-kawan sekolahnya memanggil Kunta dengan panggilan Kuntet, karena badannya yang lebih pendek dibandingkan kawan seusianya.
Selain tubuh pendek, Kunta juga sudah dua kali tertinggal kelas. Itulah mengapa ketika teman sebayanya sudah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah, Kunta (Kuntet) saat ini baru duduk di kelas 6 Sekolah Dasar sebuah Yayasan di Jakarta Timur.
Tinggal di wilayah pinggiran Cakung, keluarga Kunta termasuk keluarga miskin. Penghasilan ayahnya sebagai buruh bangunan tidak mencukupi kebutuhan pokok. Ibunya, seorang ibu rumah tangga yang sudah kerepotan mengurusi Kunta dan 3 adiknya. Karena alasan ekonomi, sejak dalam kandungan hingga masa balita, Kunta dan ketiga adiknya memang tidak tercukupi asupan makanan bergizi dan kebutuhan nutrisi tubuh.
Sadarkah kita, bahwa ternyata Kunta tidak sendiri. WHO mencatat bahwa sebanyak 162 juta anak-anak mengalami perlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis dan 99 juta anak di seluruh dunia kekurangan berat badan. Kasus kekurangan gizi hanya turun 17 persen sejak awal 1990-an, dan masih menyisakan 840 juta masyarakat dalam kondisi kekurangan gizi kronis.
Demikian juga di beberapa daerah di Indonesia banyak ditemukan anak-anak mengalami perlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, di Indonesia, dari 23,7 juta balita terdapat sekitar 8,8 juta (37,2 %) tergolong pendek. Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah berat badan pada saat lahir <2500 gram (BBLR).
Sadarkah kita bahwa masa depan sebuah bangsa, tergantung kepada anak-anak ini. Bagaimana negara Indonesia 10, 30, 50 tahun ke depan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dari anak-anak balita ini. Jika anak-anak kita ini hidup dalam kondisi kekurangan gizi maka dapat diprediksi seperti apa masa depan Indonesia yang semakin kompetit.
Kita perlu mengingatkan penting dan urgensinya siklus kehidupan, 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Masa 1.000 hari pertama kehidupan dihitung sejak 270 hari selama kandungan ibu hingga 730 hari setelah anak lahir atau sampai usia 2 tahun. 1000 hari pertama kehidupan inilah yang disebut periode emas (golden periode) atau window of opportunity.
Pada masa itu otak mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat. Jika ingin anak kita tumbuh dan berkembang dengan optimal, penuhi semua kebutuhan dasarnya seperti; asupan nutrisi, kasih sayang, stimulasi, imunisasi serta pastikan kebersihan tubuh dan lingkungan mereka. Kebutuhan yang tidak terpenuhi pada periode ini akan menimbulkan dampak yang bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampaknya pada pertumbuhan fisik, kecerdasan, atau mental si anak.
Pertumbuhan dan perkembangan ini memerlukan asupan gizi dari ibu, baik yang dikonsumsi ibu maupun yang berasal dari mobilisasi simpanan ibu. Bila pasokan gizi dari ibu ke bayi kurang, bayi akan melakukan penyesuaian, karena bayi bersifat plastis (mudah menyesuaikan diri). Penyesuaian tersebut bisa melalui pengurangan jumlah sel dan pengecilan ukuran organ dan tubuh yang lebih kecil, agar sesuai dengan terbatasnya asupan gizi. Sayangnya, sekali berubah bersifat permanen, artinya bila perbaikan gizi dilakukan setelah melewati kurun 1.000 pertama kehidupan, maka efek perbaikannya kecil, sebaliknya bila dilakukan pada masa 1.000 HPK, terutama didalam kandungan, maka efek perbaikannya bermakna.
Perubahan permanen inilah yang menimbulkan masalah jangka panjang. Mereka yang mengalami kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, mempunyai tiga resiko:
Keadaan ini ternyata tidak hanya bersifat antar-generasi (dari ibu ke anak) tetapi bersifat trans-generasi (dari nenek ke cucunya). Sehingga diperkirakan dampaknya mempunyai kurun waktu 100 tahun, artinya resiko tersebut berasal dari masalah yang terjadi sekitar 100 tahun yang lalu, dan dampaknya akan berkelanjutan pada 100 tahun berikutnya.
Ayo selamatkan generasi penerus Indonesia dimulai sejak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan. 1000 Hari Pertama Kehidupan, kita bisa merubah masa depan Indonesia lebih baik.
Selain tubuh pendek, Kunta juga sudah dua kali tertinggal kelas. Itulah mengapa ketika teman sebayanya sudah mengenyam pendidikan Sekolah Menengah, Kunta (Kuntet) saat ini baru duduk di kelas 6 Sekolah Dasar sebuah Yayasan di Jakarta Timur.
Tinggal di wilayah pinggiran Cakung, keluarga Kunta termasuk keluarga miskin. Penghasilan ayahnya sebagai buruh bangunan tidak mencukupi kebutuhan pokok. Ibunya, seorang ibu rumah tangga yang sudah kerepotan mengurusi Kunta dan 3 adiknya. Karena alasan ekonomi, sejak dalam kandungan hingga masa balita, Kunta dan ketiga adiknya memang tidak tercukupi asupan makanan bergizi dan kebutuhan nutrisi tubuh.
Sadarkah kita, bahwa ternyata Kunta tidak sendiri. WHO mencatat bahwa sebanyak 162 juta anak-anak mengalami perlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis dan 99 juta anak di seluruh dunia kekurangan berat badan. Kasus kekurangan gizi hanya turun 17 persen sejak awal 1990-an, dan masih menyisakan 840 juta masyarakat dalam kondisi kekurangan gizi kronis.
Demikian juga di beberapa daerah di Indonesia banyak ditemukan anak-anak mengalami perlambatan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis. Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, di Indonesia, dari 23,7 juta balita terdapat sekitar 8,8 juta (37,2 %) tergolong pendek. Kejadian anak pendek pada usia balita, terkait dengan masalah berat badan pada saat lahir <2500 gram (BBLR).
Sadarkah kita bahwa masa depan sebuah bangsa, tergantung kepada anak-anak ini. Bagaimana negara Indonesia 10, 30, 50 tahun ke depan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dari anak-anak balita ini. Jika anak-anak kita ini hidup dalam kondisi kekurangan gizi maka dapat diprediksi seperti apa masa depan Indonesia yang semakin kompetit.
Kita perlu mengingatkan penting dan urgensinya siklus kehidupan, 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Masa 1.000 hari pertama kehidupan dihitung sejak 270 hari selama kandungan ibu hingga 730 hari setelah anak lahir atau sampai usia 2 tahun. 1000 hari pertama kehidupan inilah yang disebut periode emas (golden periode) atau window of opportunity.
Pada masa itu otak mengalami tumbuh kembang yang sangat pesat. Jika ingin anak kita tumbuh dan berkembang dengan optimal, penuhi semua kebutuhan dasarnya seperti; asupan nutrisi, kasih sayang, stimulasi, imunisasi serta pastikan kebersihan tubuh dan lingkungan mereka. Kebutuhan yang tidak terpenuhi pada periode ini akan menimbulkan dampak yang bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampaknya pada pertumbuhan fisik, kecerdasan, atau mental si anak.
Pertumbuhan dan perkembangan ini memerlukan asupan gizi dari ibu, baik yang dikonsumsi ibu maupun yang berasal dari mobilisasi simpanan ibu. Bila pasokan gizi dari ibu ke bayi kurang, bayi akan melakukan penyesuaian, karena bayi bersifat plastis (mudah menyesuaikan diri). Penyesuaian tersebut bisa melalui pengurangan jumlah sel dan pengecilan ukuran organ dan tubuh yang lebih kecil, agar sesuai dengan terbatasnya asupan gizi. Sayangnya, sekali berubah bersifat permanen, artinya bila perbaikan gizi dilakukan setelah melewati kurun 1.000 pertama kehidupan, maka efek perbaikannya kecil, sebaliknya bila dilakukan pada masa 1.000 HPK, terutama didalam kandungan, maka efek perbaikannya bermakna.
Perubahan permanen inilah yang menimbulkan masalah jangka panjang. Mereka yang mengalami kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan, mempunyai tiga resiko:
- resiko terjadinya penyakit tidak menular/ kronis, tergantung organ yang terkena. Bila ginjal, maka akan menderita hipertensi dan gangguan ginjal, bila pankreas maka akan beresiko penyakit diabetes tipe 2, bila jantung akan beresiko menderita penyakit jantung, dan seterusnya;
- bila otak yang terkena maka akan mengalami hambatan pertumbuhan kognitif, sehingga kurang cerdas dan kompetitif; dan
- gangguan pertumbuhan tinggi badan, sehingga beresiko pendek/stunting.
Keadaan ini ternyata tidak hanya bersifat antar-generasi (dari ibu ke anak) tetapi bersifat trans-generasi (dari nenek ke cucunya). Sehingga diperkirakan dampaknya mempunyai kurun waktu 100 tahun, artinya resiko tersebut berasal dari masalah yang terjadi sekitar 100 tahun yang lalu, dan dampaknya akan berkelanjutan pada 100 tahun berikutnya.
Ayo selamatkan generasi penerus Indonesia dimulai sejak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan. 1000 Hari Pertama Kehidupan, kita bisa merubah masa depan Indonesia lebih baik.