Sabtu, 29 April 2017

,

E-KATALOG PEREDUP KORUPSI KESEHATAN

Siapa yang tidak bersedih hati membaca rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul “Tren Korupsi Kesehatan periode 2010 - 2015" di Jakarta, 18 April 2017. Menurut pengamatan ICW dari publikasi media dan expose penegakan hukum, selama periode 2003 - 2016 terdapat 219 kasus korupsi dengan 519 orang tersangka dan dugaan kerugian sebesar Rp 890 miliar.

Menurut ICW, mark up atau penggelembungan anggaran menjadi modus terbanyak dengan alat kesehatan sebagai obyek korupsi yang paling tinggi. Sementara kasus daerah sebagian besar terjadi di daerah dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan aktor paling banyak terjerat kasus korupsi sektor kesehatan.

Namun di balik kabar buruk nan menyedihkan itu, ada harapan dan kabar baik. Ibarat pepatah, selalu ada hikmah pada setiap peristiwa. Jika diperhatikan lebih detil datanya, ada tren penurunan signifikan kasus korupsi kesehatan sejak tahun 2013. Mari lihat datanya. Puncak tren korupsi terjadi tahun 2012 dengan 53 kasus. Kemudian tahun 2013 tren turun menjadi 24 kasus, 17 kasus (2014), 2 kasus (2015) dan 0 kasus (2016).

Ada apa di tahun 2013? Apa sebab kasus korupsi kesehatan bisa turun lebih dari 50 persen?

Mari kita ingat bersama. Sejak tahun 2013, Kementerian Kesehatan menerapkan sistem pengadaan obat secara elektronik atau dikenal dengan sebutan e-purchasing berdasarkan e-Katalog melalui Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Menurut data, tahun 2015 sebanyak 796 item obat dan 1.240 item tahun 2016 yang melibatkan 90 industri farmasi. E-Katalog digunakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Kab/Kota, RS Pemerintah dan RS Swasta yang melayani jaminan kesehatan nasional (JKN).

Apakah ada relevansinya, penurunan signifikan tren korupsi kesehatan dengan penerapan E-Kalaog obat? Dengan jelas, ICW menulis bahwa E-katalog menjadi penyebab berkurangnya korupsi Alkes dan obat-obatan karena harganya sudah ditetapkan dalam e-katalog tersebut.

Bahkan dalam bagian kesimpulan, ICW menegaskan bahwa pemberlakuan e-katalog dan INA-CBG’s dalam JKN menyebabkan harga obat dalam pengadaan di faskes dasar dan tingkat lanjut tidak dapat di-mark up karena telah ditentukan harganya.

"Sekarang hampir semua pengadaan alkes (alat kesehatan) dilakukan dengan e-katalog yang harganya sudah termurah," kata Sekretaris Jenderal Kemenkes Untung Suseno di Jakarta, Rabu (19/4) kepada Media Indonesia menanggapi rilis ICW tersebut. Menurutnya, Kemenkes terus mendorong semua alat kesehatan untuk masuk e-katalog. Bahkan, tanpa diminta, para pejabat di daerah telah menggunakan e-katalog karena prosesnya transparan dan harganya sesuai. Pembeli  tinggal mencocokkan harga dan spesifikasi barang yang dibutuhkan berdasarkan data yang ada di e-katalog.

Nah, begitulah. Selalu ada hikmah yang bisa kita syukuri, dibalik peristiwa buruk sekali pun. Ada kabar positif yang bisa kita sebarkan di tengah meredupnya trend korupsi kesehatan, yaitu E-Katalog.

Jakarta, 29 April 2017
@anjarisme

0 komentar:

Posting Komentar