Minggu, 28 Januari 2018

, , ,

Mencermati Data Difteri

Saat ini, Pemerintah masih gencar melakukan outbreak response immunization (ORI) untuk menanggulangi merebaknya kejadian luar biasa difteri. Sepanjang tahun 2017, Kementerian Kesehatan mencatat 939 kasus dan 44 orang meninggal dunia akibat penyakit difteri. KLB Difteri telah menyebar di 170 kabupaten dan kota pada 30 provinsi.

Ada yang menarik sekaligus memprihatinkan. Tahun 2017 merupakan kejadian terbesar jumlah kasus dan sebaran difteri sejak tahun 2013 di Indonesia. Mengapa ini bisa terjadi?

Sekurangnya ada dua hal yang menyebabkan difteri kembali merebak dan menjadi kejadian luar biasa di Indonesia. Pertama, cakupan imunisasi gagal mencapai target. Kedua, imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak. Data menunjukkan hampir 80 persen dari jumlah total pasien yang dilaporkan mengalami difteri belum pernah diimunisasi ataupun imunisasinya tidak lengkap.

KLB difteri ini semestinya membuka mata bahwa pengendalian penyakit difteri melalui imunisasi dasar belum optimal. Program imunisasi yang selama ini digalakkan Pemerintah, belum mampu memutus mata rantai penularan difteri. Bahkan difteri pun saat ini tidak hanya menulari pada anak-anak, tetapi juga menyerang pada usia dewasa. Jika pada tahun 2017, sekitar 77 persen penderita difteri pada anak-anak umur 1 – 18 tahun, maka tahun 2018 ini kasus difteri menyerang usia dewasa diatas 18 tahun sekitar 56 persen.

Data yang disebutkan diatas bukan semata angka. Data ini memberi informasi situasi darurat difteri. Harus ada upaya nyata, sungguh-sungguh dan berkesinambungan dari Pemerintah dan pemangku kepentingan. Kita mendukung penuh upaya Pemerintah melakukan ORI di seluruh negeri. Karena memang imunisasi cara efektif pencegahan difteri. Sasaran ORI memang anak-anak usia dibawah 18 tahun, tetapi usia dewasa diatas 18 tahun pun patut dikampanyekan.

Selain imunisasi, sangat penting segera melakukan secara masih edukasi publik dan penguatan sistem informasi kesehatan. Harus diakui sebagaian besar masyarakat kita masih enggan membawa anaknya ke posyandu dan puskesmas untuk imunisasi. Tidak dipungkiri, masih banyak orang yang tidak mengerti imunisasi lengkap difteri. Keawaman soal imunisasi inilah yang mudah dimanfaatkan oleh segelintir anti vaksin untuk memanipulasi persepsi.

Demikian juga sistem informasi harus diperkuat dari tingkat posyandu, puskesmas, Dinas Kesehatan hingga sampai tingkat pengambil keputusan di Kementerian Kesehatan. Sistem informasi imunisasi yang baik akan memudahkan pengambil keputusan melakuan intervensi yang tepat sehingga wabah difteri dapat ditangani sejak dini.

Kembali melihat fakta penyebarannya yang merata di seantero negeri, KLB difteri tidak bisa ditangani oleh sektor kesehatan, apalagi Kementerian Kesehatan sendiri. Suksesnya penanganan KLB Difteri tergantung bagaimana kita bergandeng tangan diantara pemangku kepentingan ORI. Demi investasi masa depan Indonesia, mari bekerja sama menangani KLB Difteri.



0 komentar:

Posting Komentar