Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kesehatan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Desember 2013

, , , , , , , , ,

Kondom dan Cermin Masyarakat Gagal Paham serta Buruknya Komunikasi Publik

Saya terhenyak dengan kenyataan hebohnya isu “bagi-bagi kondom”, Pekan Kondom Nasional. Seorang Menteri Kesehatan, Ibu Nafsiah Mboi, menjadi sasaran hujatan dan cercaan melalui media massa dan media sosial dari sekelompok orang yang tidak setuju adanya Pekan Kondom Nasional. Menkes dianggap sebagai pihak yang menginisiasi program bagi-bagi kondom gratis kepada masyarakat awam, pelajar dan mahasiswa yang dibungkus dengan istilah Pekan Kondom Nasional.

Tuduhan itu diperkuat dengan beredarnya foto bis warna merah bergambar Julia Peres bertuliskan Pekan Kondom Nasional. Disertai pula kabar, bagi-bagi kondom di kampus dengan anjuran mencobanya saat melakukan hubungan seks dengan pasangan. Persepsi publik terbentuk; bagi-bagi kondom yang diprogramkan Menkes sama saja melegalkan dan menyebarkan perilaku seks bebas. Menkes dianggap sebagai “musuh publik” yang harus dihujat dan dicerca karena program yang tidak bermoral.

Nasi telah menjadi bubur. Persepsi publik yang dibangun kelompok orang, sebagian besar tokoh agama dan organisasi berbendera Islam, terlanjur menggelinding liar. Selain tokoh agama, juga DPR, Menteri, ormas dan tentunya publik tetap garang menghujat Menkes meskipun sudah dilakukan klarifikasi informasi dan pelurusan berita oleh pihak Kementerian Kesehatan, Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN) dan DKT Indonesia (produsen kondom).

Hari itu (29/12), Menkes hadir pada konferensi pers dalam rangka Hari Aids Sedunia dengan tema “Cegah HIV dan AIDS, Lindungi Pekerja, Keluarga, dan Bangsa” di Kantor KPAN Jakarta.  Menkes sempat menjawab pertanyaan seputar “bagi-bagi kondom”, bahwa Kondom bukanlah barang terlarang seperti narkotika sehingga tidak dibagikan kepada kelompok beresiko.
“Pembagian kondom itu, kata Nafsiah, jangan diasumsikan sebagai dukungan terhadap perilaku seks bebas. Tapi bagi-bagi kondom tujuannya untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS yang sangat berbahaya,” tulis JPNN.com (29/12).

"Jadi, tidak benar bagi-bagi kondom itu untuk menyuruh melakukan perbuatan berisiko dan kalau orang-orang datang ke tempat lokalisasi itu memang sudah niat melakukan perbuatan berisiko," tulis Okezone.com (29/12).

Reaksi keras dan kecaman pun deras mengalir di media massa dan media sosial. Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Sulton FatoniPBNU memberikan reaksi keras terhadap bagi-bagi kondom ini. Ia menyatakan bahwa kegiatan itu jelas bertentangan dengan ajaran agama. Sosialisasi kondom dengan dalih menyelamatkan masyarakat dari HIV & AIDS, juga membenci rokok dengan dalih menjaga kesehatan masyarakat, itu terdengar indah, namun sesungguhnya manipulatif dan tendensius (Republika.co.id, 30/12)

Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab mengatakan, pekan kondom yang dicanangkan Menkes Nafsiah Mboi merupakan penyesatan, pembodohan serta pembangkangan terhadap tatanan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Indonesia (Inilah.com, 4/12)

Ketua MUI KH Amidan menyatakan penyelenggaraan acara tersebut, adalah kepentingan industri kondom bukan untuk menyampaikan kegunaan kondom sebagai alat kontrasepsi. Hal itu bisa disalahgunakan, dikhawatirkan terjadinya seks bebas pada remaja (Republika.co.id, 2/12) 

Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan bahwa membagi-bagikan kondom ini seperti melegalkan, mengajak orang berzina. Jadi tinggal hukum Allah dengan penyakit itu (Republika.co.id, 2/12)

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera  Hidayat Nur Wahid menilai, gerakan Pekan Kondom Nasional  oleh Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional salah kaprah. Kampanye itu justru mendorong orang untuk melakukan seks bebas (kompas.com, 2/12)

Anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatullah, menilai kalau Kemenkes lanjut terus dengan program tersebut ya berarti memang Kemenkes sudah hilang sensitivitas adat dan gagal memahami budaya Indonesia dengan baik (Okezone.com, 3/12)

Bahkan Menteri Agama, Suryadharma Ali pun memberikan reaksi pedas bahwa pembagian kondom seolah-olah melegalisir paham seks bebas. “Boleh seks bebas asal pakai kondom, kira-kira seperti itu maksudnya," ucapnya (Tribunnews.com, 3/12)

Ustaz Yusuf mengaku tidak bisa menahan amarah mengetahui kabar tersebut. "Apalagi di kampus2, kondom itu dibagikan, &yg bagi2in bilang, 'Kamu jajal yaaa. Pake sama pacar kamu...'. Duh, sedih banget saya... Saya ga bisa kalem nih... Hampir meledak2," kicau Ustaz Yusuf (Republika.co.id, 3/12). Bahkan demonstrasi mengecam bagi-bagi kondom pun merebak diberbagai daerah. Seperti yang dilakukan KAMMI di Banda Aceh.

Dan banyak lagi komentar dan reaksi senada dari tokoh-tokoh nasional baik dari ormas, partai polik dan DPR. Pendapat, kecaman dan hujatan “bagi-bagi kondom” dan Pekan Kondom Nasional membesar dan menjadi polemik di media massa cetak, elektronik, online dan media sosial seperti twitter.

Dari berbagai kutipan diatas, dapat ditarik kesimpulan atas persepsi dan opini publik terhadap isu bagi-bagi kondom dan pekan kondom nasional yaitu :

  1. Pembagian kondom dilakukan secara umum kepada masyarakat luas (terutama pelajar dan mahasiswa)

  2. Pembagian kondom sama dengan perilaku seks bebas

  3. Pembagian kondom bukan cara penanggulangan penyebaran Aids, semestinya dengan ceramah dan menyeru kepada jalan agama.

  4. Membicarakan kondom hal yang tabu karena menyangkut hubungan seks.


Menteri Kesehatan telah melakukan klarifikasi dan pelurusan informasi atas isu bagi-bagi kondom yang sudah keluar dari konten dan konteksnya. Demikian juga Kementerian Kesehatan telah menyebarkan media realease dan konferensi pers. Secara ringkat disampaikan bahwa :

  1. Pekan Kondom Nasional (PKN) bukan Program Kemkes RI

  2. Pembagian kondom gratis bukan program Kemkes. Ini adalah kegiatan KPAN dan DKT Indonesia

  3. Tidak ada kebijakan Kemenkes terkait pembagian kondom ke masyarakat luas selain pembagian media komunikasi dan edukasi. PEmbagian kondom hanya kepada kelompok beresiko seperti prostitusi.

  4. KPA dan DKI Indonesia menyatakan bahwa  mobil “Pekan Kondom  Nasional” hanya ada di Jakarta dan tidak masuk  ke kampus.


Namun ternyata penjelasan Kemenkes tak meredakan polemik dan menyurutkan protes. Bahkan hingga tanggal 5 Desember, FPI melakukan demonstrasi di Kantor Kementerian Kesehatan dengan memajang spanduk berisikan “Menkes sebagai Ratu Kondom” (Liputan6.com 5/12).

Apa yang terjadi sesungguhnya? Menurut pandangan saya; pertama, kita hidup ditengah masyarakat yang tidak terbiasa melakukan verifikasi atas kebenaran suatu informasi. Kita terbiasa, tanpa memeriksa benar tidaknya berita, memberikan pendapat dan penilaian atas kabar tersebut. Dalam Islam, kita diajarkan Tabayyun, mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Dan orang-orang yang semestinya menjadi panutan umat itulah yang mencontohkan bagaimana semestinya bertabayyun.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu". [Al Hujurat : 6]

Kedua, gagal paham terhadap konten dan konteks. Orang-orang yang kontra PKN gagal memahami bahwa bagi-bagi kondom hanya terbatas kepada kelompok berisiko, yaitu kelompok orang yang terbiasa melakukan hubungan seks tidak hanya dengan pasangan yang sah. Mereka gagal memahami bahwa kondon seperti barang terbuat dari lateks seperti barang produksi industri lain yang digunakan sebagai alat kontrasepsi. Orang-orang itu gagal memahami, kondom merupakan satu upaya kecil di fase hilir dalam  pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS. Mereka gagal memahami bahwa Kementerian Kesehatan tugas utamanya adalah pengobatan, perawatan, pengendalian penyakit, termasuk penyakit menular HIV/AID, bukan ceramah agama dan melarang orang pergi ke pelacuran.

Ketiga, pilihan komunikasi publik yang tidak tepat. Terlepas dari niatan benar dari sebuah kebijakan Pemerintah, semestinya Panitia Hari Aids Sedunia melakukan evaluasi khususnya bagaimana berkomunikasi publik dan menyampaikan pesan. Alih-alih tema tema dan pesan Hari Aids Sedunia terdistribusi dengan benar kepada masyarakat, sebaliknya kemasan “Pekan Kondom Nasional” menimbulkan kontroversi dan polemik publik. Tidak terlihat jelas pesan kunci komunikasi dalam “bagi-bagi kondom” diselaraskan dengan tema “Cegah HIV dan AIDS, Lindungi Pekerja, Keluarga, dan Bangsa”

Komisi Penanggulangan Aids Nasional, dibawah komando Menko Kesra, salah satu fokus kerjanya terkait upaya penanggulangan HIV dan AIDS dengan risiko penularan melalui transmisi seksual hanya diprioritaskan bagi populasi berisiko tinggi. Fokus ini perlu dilakukan dengan cara, kemasan dan pilihan komunikasi yang tepat, baik dan benar. Kementerian Kesehatan juga harus mampu memilih dan memilah program/kegiatan yang tepat dalam mendukung upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitas penyakit HIV/AIDS.

Akhirnya kita semua, siapapun kita; tokoh agama, pimpinan ormas, DPR, pelaku media massa, penggiat media sosial dan masyarakat luas, pasti sangat mendukung penanggulangan HIV/AIDS. Hanya saja, bentuk dukungan itu perlu juga disampaikan dengan baik dan benar.

Kita tentu tidak mau termasuk masyarakarat yang gagal paham dan berkemampuan komunikasi yang buruk. Betul kan?

Minggu, 17 November 2013

, , , ,

Inilah Pernyataan Menkes "PB IDI Saya Bunuh Pelan-Pelan Kalau Ancam Mogok Lagi"

Akhirnya saya mendapatkan rekaman suara Menkes yang ada kalimat “bunuh pelan-pelan kalau ancam mogok lagi”. Jika menyimak nada bicara, intonasi suara dan gaya bicara Menkes pada saat itu, bisa dipastikan siapa pun yang hadir menganggapnya sebagai candaan. Itu terbukti dengan riuh ketawa audiens yang saat itu hadir, tentunya mayoritas dokter.

Dan ternyata secara redaksional, kalimat seloroh itu ditujukan kepada PB IDI, bukan dokter secara umum. Dan secara spesifik, Menkes melontarkan gurauan itu untuk menanggapi kabar ancaman pengurus besar IDI yang pernah mengancam mau mogok karena tidak setuju SJSN.

Pada saat itu, Menkes sebagai salah satu keynote speaker pada Urun Rembug Nasional IDI dalam rangka Hari Bakti Dokter Indonesia 2013. Dengan tema “Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Yang Berkeadilan di Negeri Berdaulat” forum Urun Rembug Nasional IDI dilaksanakan Senin, 26 Agustus 2012 di JIE Kemayoran Jakarta.

Setelah mengucapkan salam kepada hadirin, Menkes tidak langsung membacakan naskah pidatonya, melainkan mengajak dialog dengan peserta forum. Menkes mengawalinya dengan bercerita bagimana beliau bertanya kepada stafnya yang asli orang jawa sehingga bisa menjelaskan arti kata dan makna “urun rembug”. Suasananya cair dan dialogis. Peserta yang hadir pun merespon dengan tertawa.

“Semalam saya tanya, siapa orang jawa di sekitar saya. urun rembug itu artinya apa? Ternyata tidak ada. Baru tadi pagi, ketemu prof budi. Prof, orang jawa beneran kan? Urun rembug itu artinya apa? Dia bilang, urun itu sharing. Jadi kita mau sharing aja. Terus Rembug itu apa? Berembug itu berdiskusi.ohh gitu. Itu sama dengan musyawarah untuk mufakat nggak? Nggak! dia bilang. Karena tidak perlu ada mufakat. Alhamdulillah (hadirin tertawa riuh). Berarti tidak perlu ada mufakat toh? Yg penting sharing. Kemudian kita omongkan”. Terdengar sayup sisa-sisa hadirin yang tertawa.

Kemudian Menkes menyampaikan terima kasih dan apresiasi terhadap forum yang digagas PB IDI ini. Dan secara khusus Menkes mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dokter di seluruh Nusantara ini yang selama ini telah berbakti dan melayani rakyat dengan sepenuh hati. Hadirin pun menyambut dengan tepuk tangan.

Sampai disini, Menkes pun belum membacakan naskah pidato. Secara dialogis dan naratif, Menkes tanpa teks bercerita tentang suasana diskusi cukup ramai antara Menkes dan pengurus PB IDI membahas wajib kerja sarjana saat sebelum acara dimulai.

“Bu, ini mestinya Menteri itukan lagi wajib kerja sarjana. Yee, enak saja. (hadirin tertawa). Kan pengurus besar IDI kan yang melanggar itu melanggar HAM. Dibilang, itu dulu bu. Lain bengkulu lain semarang, lain dulu lain sekarang. Sekarang dokter-dokter muda ini dokter dokter pejuang, jadi boleh lagi. Benar nggak nih? (hadirin tepuk tangan). Ini urun rembug. Bener nih? Nah, ada yang bilang nggak. Nah kalian urun rembug dulu”

Kemudian Menkes sedikit mengomentari terlalu luasnya bahasan yang harus disampaikan Menkes tentang Kebijakan Kemenkes dalam Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Yang Berkeadilan di Negeri Berdaulat. Melihat rundown, Menkes akan banyak bicara tentang SJSN.

“Waktunya berapa menit? Kalau 10 menit saya pulang sekarang (hadirin tertawa riuh). 30 menit? Kalau begitu langsung saja.. tapi kalau ketemu teman-teman, saya tidak mau baca sambutan. Saya ingin bicara dari hati ke hati. Mungkin itulah maknanya urun rembug bahwa kita ngomong dari hati ke hati (hadirin tepuk tangan).

Kemudian Menkes memulai membaca naskah sambutannya hingga pada bahasan tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang mulai 1 Januari 2014. Dan disela-sela membaca, Menkes selinggi dengan komentar untuk mencairkan suasana.

Pada menit 16:07, Menkes menjelaskan diluar teks pidato mengenai besaran iuran,

"Besar iuran belum ditentukan oleh Presiden. Insya Alloh dalam waktu dekat, presiden akan mengeluarkan peraturannya berapa. Karena saudara-saudara dari ini, saya buka memang sekarang apa yang kami usulkan ya, sebab pengurus besar IDI pernah mengancam mau mogok toh, bilang mau mogok karena tidak setuju SJSN"

Menkes kembali menjelaskan tentang JKN dengan membaca teks sambutan maupun diluar naskah. Hingga sampailah komentar Menkes diluar naskah sambutan untuk mencairkan suasana.

"Nah, jadi, inilah yang akan mulai 1 Januari 2014, dan silahkan Saudara urun rembug tentang pandangan saudara. Asal jangan saudara ancam mogok, kalau kamu ancam mogok, saya bunuh kau pelan-pelan satu per satu. (dan disambut tawa riuh). Seluruh PB IDI saya bunuh pelan-pelan kalau ancam mogok lagi. Ya yang bener aja, masa kalian sama dengan buruh. Saya kira engga lah ya".

Menkes  pun melanjutkan tugasnya sebagabuni Keynote Speaker dengan gaya berpidato dan berdialog dengan gaya yang komunikatif dan tidak membosankan hingga menit 48.18. Diakhiri tepuk tangan riuh peserta forum Urun Rembug Nasional  IDI 2013.
, , , , , , ,

Memahami Pernyataan Menkes, “Kalau Mogok, Kalian (Dokter) akan Saya Bunuh Pelan-Pelan”

Saya telusuri latar dan jalan cerita, kemudian mencoba merangkaikan untukj dikisahkan secara utuh tentang dokter, mogok, menkes dan bunuh pelan-pelan. Sebenarnya ceritanya biasa saja, hanya seakan-akan heboh. Dan dibentur-benturkan agar terasa nyaring dan riuh antara Menkes dan Dokter. Dikaitkan pula dengan (konon) pernyataan Menkes "Kalau mogok, kalian (dokter) akan saya bunuh pelan-pelan". Terkesan kasar dan seram ya?

Suasana menjadi semakin dramatis, karena dikaitkan dengan aksi keprihatinan dokter di Menado yang menyatakan tutup pelayanan obgyn selama 3 hari. Aksi keprihatinan ini dibumbui dengan ajakan agar dokter mogok sebagai bentuk kampanye "stop kriminalisasi dokter". Maka ceritanya jadi seru. Pertanyaannya, adakah kaitan langsung masing-masing keyword: “dokter”, “mogok”, “menkes”, dan “bunuh pelan-pelan” ini? Apakah ini satu rangkaian cerita?

Berdasar penelusuran saya, pernyataan dan kejadiannya pada waktu, tempat dan konteks yang berbeda. Tidak terkait langsung. Tidak sebab akibat. Adalah sebuah opini dr Ario Djatmiko di Jawa Pos "Demo Pilihan pahit bagi dokter" yg menyoroti aksi demo pada hari dokter. Saya telusuri latar dan jalan cerita, kemudian mencoba merangkaikan untuk dikisahkan secara utuh tentang dokter, mogok, menkes & bunuh pelan-pelan.

Menurut saya opininya bagus, menyoal demo dalam hal dokter sebagai profesi atau pekerja. Itulah yg oleh penulis disebut pilihan pahit. Dalam penutup opini yg mengulas demo dokter, penulis mengutip (konon) pernyataan Menkes di forum Rembug IDI 26 Agustus 2013 sekitar 3 bulan lalu.

Dalam persepsi saya, ditengah kebimbangan "demo bagi dokter itu pilihan pahit" penulis ingin mengkontraskan dengan pernyataan Menkes sekitar 3 bulan lalu. Dalam forum IDI itu konon Menkes berkata "Kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan". Tapi blm jelas konteksnya Menkes bilang itu.

Forum Urun Rembug Nasional IDI tanggal 26-28 Agustus 2013 adalah event besar dan pastinya tak luput publikasi termasuk dari media massa/pers. Namun pada acara sebesar itu dan pernyataan sebombastis itu, saya kesulitan menemukan link beritanya. Berbeda dengan pernyataan Menkes pada Hari Kesehatan Nasional (HKN) tanggal 15 November 2013 kemarin. Pada HKN kemarin Menkes bercanda "Mau cek kesehatan keluar negeri? Saya tembak pelan-pelan nanti. Cek saja di rumah sakit Indonesia," Pernyataan itu dengan mudah kita temukan di media massa dan media sosial. Tapi tidak pada "dokter mogok dibunuh pelan2". Ini nggak lazim.

Opini dr Ario Djatmiko itu ditulis tgl 15 Nov 2013, 2 hari lalu. Disaat yang hampir sama, muncul gerakan aksi keprihatinan dokter di Menado. Ada pengumuman bahwa praktek dokter kebidanan di Sulut & Manado tutup tanggal 18-20 November (3 hari) sebagai aksi keprihatinan. Sepertinya ada momentum antara opini di Jawa Pos, rencana tutup praktek dokter obgyn, ajakan mogok dan pernyataan menkes. Opini pun liar.

Ada kesan bahwa rencana tutupnya layanan obgyn di menado, dianggap sebagai seruan mogok dokter yang oleh Menkes akan dibunuh pelan-pelan. Rencana tutupnya praktek dokter obgyn sebagai bentuk aksi keprihatinan terhadap 3 dokter kandungan yg dinyatakan bersalah melakukan malpraktik. Sebagai bentuk solidaritas, aksi keprihatinan dokter obgyn terhadap sejawatnya dapat dimengerti. Tapi bisa jadi momentum ini digunakan utk tujuan lain.

Opini berkembang bahwa aksi keprihatinan ini sebagai bentuk mogok dokter utk "stop kriminalisasi dokter". Dan opini ini terus bergulir liar. Kampanye "stop kriminalisasi dokter" atau apapun bentuk kriminalisasi terhadap profesi/pekerjaan lain memang harus dihentikan. Stop!. Pertanyaannya apakah bentuk kampanye "stop kriminalisasi dokter" itu harus dengan Mogok? Disinilah titik singgungnya dengan pernyataan Menkes.

Ketika bicara dokter mogok, opini beralih pada (konon) pernyataan Menkes sekitar 3 bulan lalu di forum IDI "jika dokter mogok, dibunuh pelan-pelan". Dan isu pun berganti, dari "stop kriminalisasi dokter" menjadi seakan-akan Menkes akan bunuh pelan-pelan jika dokter mogok. Liar deh jadinya. Jadi dari rangkaian waktu, pernyataan dan kejadian itu beda tempat waktu dan konteks yg tidak saling terkait.

Mari cerita Menkes dan Dokter ini kita lihat dari sisi yg berbeda terhadap pernyataan Menkes pada forum rembug nasional IDI itu. Anggaplah benar Menkes mengatakan "Kalau mogok, kalian (dokter) akan saya bunuh pelan-pelan". Kira-kira apa ya maksud Menkes? Apakah Menkes akan bunuh pelan-pelan dokter mogok, sebagaimana makna bunuh sebenarnya? Ataukah becanda? Konteksnya apa ya saat itu?

Saya sepakat bhw semestinya pejabat publik yang harus memahami publik, bukan sebaliknya masyarakat yg harus mengerti pejabatnya. Namun demikian, tidakkah publik apalagi masyarakat dokter, tidak bertanya, dlm konteks apa Menkes bicara seperti itu? Pantaskah forumnya?

Saya coba gambarkan hubungan dokter dan Menkes seperti ikatan keluarga dalam sebuah bangunan rumah tangga. Terserah siapa ibu anaknya. Ketika itu Menkes bicara diantara para dokter sebagai sebuah keluarga dalam rumah bernama forum rembug nasional Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dalam keluarga, ada tawa, obrolan, candaan, sindiran, marah, kata-kata lembut bahkan bisa jadi kata-kata kasar. Itu terjadi di dalam rumah. Ada kalanya Ibu marah dengan keras, membentak bahkan memukul anaknya, untuk mendidik mana yg boleh dan tidak dilakukan. Itu di dalam rumah. Sekali lagi, sekasar apapun ucapan entah serius atau becanda, dilakukan seorang ibu kepada anaknya, cukup terjadi di dalam rumah itu.

Bisa jadi Menkes bicara "Kalau mogok, kalian akan saya bunuh pelan-pelan" bentuk didikan keras terhadap keluarga di dalam rumah kesehatan. Namun ternyata anggota keluarga ini tak terima, sehingga keluar rumah dan teriak-teriak "menkes bunuh pelan2 dokter mogok". Se-kampung tahu. Itu dari analogi keluarga dan rumah tangga.

Sekarang kita komparasi 2 pernyataan Menkes yang mirip antara di forum IDI dan HKN. "Mau cek kesehatan keluar negeri? Saya tembak pelan-pelan nanti. Cek saja di rumah sakit Indonesia," canda Menkes disambut tepuk tangan. Pernyataan Menkes di HKN tanggal 15 November 2013 ini mirip dengan tanggal 26 Agustus 2013 di forum IDi kan? Apakah ini menjadikan pasien penduduk Indonesia jadi heboh? Atau apakah penduduk Indonesia yang suka berobat ke luar negeri yangg saatu itu kebetulan hadir dan yang tidak hadir pada acacara HKN itu protes? Mogok? Mengecam?

Sudah 2 hari pernyataan Menkes itu, beritanya pun mudah sekali ditemukan. Rekaman ada. Tapi damai-damai saja. Itu karena Publik mengerti konteksnya. Publik mengerti bahwa konteks pernyataan Menkes ada;aj mengajak penduduk Indonesia yg selama ini berobat ke luar negeri, datanglah ke RS dalam negeri. Itu saja.

Ada yang menyesalkan pilihan bahasa yang digunakan Menkes. Kasar dan tidak simpati. Boleh jadi itu benar. Tapi menurut saya itu gaya canda. Bagi sebagian orang gaya canda dan bicara mungkin kasar, tapi sebagian lain masih dianggap wajar. Tergantung waktu, tempat & konteks.

Kembali pada pokok persoalan, dalam kehebohan ini beberapa hal yg harus dipisahkan. Pertama tentang aksi keprihatinan terhadap 3 dokter obgyn. PB IDI serukan "Doa Keprihatinan Profesi Dokter” yang dilakukan secara serentak di tempat kerja masing-masing pada Senin,18 November 2013 pukul 08:00.

Terhadap kasus hukum 3 dokter obgyn di Menado, Ketua Umum IDI, dr Zainal Abidin, mengirim sms ke Menkes agar turut membantu sejawat dokter di Manado. Berdasarkan seruan induk organisasi resmi dan satu-satunya dokter Indonesia, IDI, maka dokter tidak mogok. Aksi keprihatinan berupa doa. Ketua IDI menyatakan juga bahwa Menkes RI Ibu Nafsiah sudah membalas sms Ketum PB IDI, jawab Menkes bahwa sudah menghubungi Jaksa Agung agar ada jalan keluar bagi 3 dokter yang ditahan.

Terkait dengan "stop kriminalisasi dokter", kita semua, tidak hanya dokter, pasti tidak setuju kriminalisasi dalam segala bentuk dan siapapun. Hati-hati menyebut kriminalisasi dokter. Tidak serta merta seorang dokter yang dipidana karena kesalahannya bisa disebut kriminalisasi dokter. Ada pe-er besar bagi sejawat dokter untuk jelaskan kepada pasien apa itu risiko medis, kejadian tak diharapkan, informed concern dan lain-lain. Ada tugas besar sejawat dokter untuk memahamkan pasien apa itu konsep hukum ispanning verbitenis, sehingga bisa menghindarkan kriminalisasi dokter.

Yang terakhir tentang mogok. Mari cermati betul tulisan opini dr ario djatmiko di Jawa Pos itu dengan baik-baik. Pantaskah dokter mogok? Silahkan sejawat dokter mendefinisikan sendiri dokter itu sebagai profesi atau pekerja. Dokter sebagai pengabdian atau sarana pendapatan. Silahkan para dokter menilai sendiri dulu apakah baik dan benar jika dokter melakukan mogok kerja seperti buruh pabrik?

Terima kasih. Mohon maaf kepada para dokter yang tidak berkenan.

Minggu, 29 September 2013

, , , , , , , , , , , , , ,

Tahun 2013, Kementerian Kesehatan Raih 6 Penghargaan

Apa yang terlintas pertama kali jika ditanyakan pendapat anda tentang Kementerian Kesehatan?

Setiap orang mempunyai persepsi berbeda terhadap Kementerian Kesehatan.  Namun bisa juga masyarakat memiliki opini yang sama terhadap Kemenkes. Persepsi buruk atau opini positif pada setiap orang biasanya didasarkan pada pengalaman pribadi berinteraksi dan terdampak langsung kebijakan Kemenkes. Persepsi dan opini juga sangat terpengaruh oleh pemberitaan media massa dan media sosial terhadap kasus tertentu.

Jamkesmas, atau pelayanan rumah sakit misalnya. Tak lepas dari faktor pengaruh baik dan buruknya persepsi terhadap Kementerian Kesehatan. Jika berbicara persepsi atau opini publik (masyarakat), tahukah anda bahwa pada tahun 2013 ini Kementerian Kesehatan telah  mendapatkan 6 penghargaan terkait pelayanan publik. Penghargaan ini sebagai representasi pengakuan publik melalui lembaga/badan yang kredibilitas dan kapasitasnya terpercaya.

Inilah 6 penghargaan yang didapatkan Kementerian Kesehatan sepanjang tahun 2013 yaitu:

1/ Rapor Hijau Kepatuhan terhadap Undang-Undang Pelayanan Publik dari Ombudsman RI

Pada Bulan Juli, Ombudsman RI (ORI) melakukan observasi terkait penyelenggaraan pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan. Observasi itu dilakukan oleh tim Ombudsman selama tiga bulan, mulai Maret hingga Mei 2013 dengan didasarkan standar pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Berdasar penilaian Ombudsman, Kementerian Kesehatan berada di zona aman atau berada di zona hijau karena tingkat kepatuhan dalam pelaksanaan undang-undang tentang pelayanan publik sangat tinggi. Selain Kemenkes, 3 Kementerian juga mendapat rapor hijau dari Ombudsman yaitu Kementerian ESDM, Kemendag dan Kemenperin. Sementara itu 9 Kementerian mendapat rapor kuning dan rapor merah untuk 5 Kementerian.

Ombudsman menggunakan variabel penilaian mencakup standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik, sumber daya manusia dan unit pengaduan. Selain itu, sarana bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus, visi, misi dan motto, sertifikat ISO, atribut dan sistem pelananan terpadu.

2/ Instansi Integritas Tinggi berdasarkan Survei Integritas Sektor Publik Komisi Pemberantasan Korupsi

Kementerian Kesehatan termasuk dalam besar Kementerian/Lembaga dengan skor tertinggi pada survei sektor publik yang dilakukan KPK pada Tahun 2013. Survei Integritas Sektor Publik dilakukan dengan menggabungkan dua unsur, yakni pengalaman integritas yang merefleksikan pengalaman responden terhadap tingkat korupsi yang dialaminya; dan potensi integritas yang merefleksikan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi.

Setiap tahun sejak Tahun 2011 hingga Tahun 2013, Kementerian Kesehatan berhasil masuk 5 besar instansi dengan skor tertinggi dalam penilaian integritas KPK. Setiap tahun KPK melakukan survei integritas terhadap tak kurang dari 80 instansi pusat dan daerah.

Tahun 2011, skor tertinggi survei integritas KPK yaitu BKPM, Kementerian Kesehatan, PT. Jamsostek, Kemenperin, PT. Pelindo II (Pesero). Pada tahun 2012 yaitu PT. Jamsostek, Kemendikbud, BKPM, BPOM, Kementerian Kesehatan. Dan pada tahun 2013 yaitu Kemdikbud, PT.Jamsostek, PT.Angkasa Pura II, BKPN dan Kementerian Kesehatan.

3/ Instansi dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Tahun 2013 ini, Kementerian Kesehatan berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-PP) atas laporan keuanganya tahun 2012 berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penilaian WTP diberikan BPK terhadap instansi yang mampu mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Pencapaian opini WTP bagi Kementerian Kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu upaya sungguh-sungguh dan terus menerus. Selama dua tahun berturut-turut yaitu pada 2009 dan 2010, BPK memberikan Opini Disclaimer terhadap laporan keuangan Kementerian Kesehatan. Berbagai upaya perbaikan pengelolaan keuangan negara yang telah dilakukan memberikan hasil nyata, sehingga BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada 2011. Dan akhirnya, tahun 2013 kerja keras dan perbaikan Kemenkes dapat memperoleh opini WTP atas laporan keuangan oleh BPK.

4/The Most Prefered Policy of Public Institution.
5/ The Most Valuable Policy of Public Institution.
6/ The Most Trusted Public Institution.


Ketiga penghargaan diperoleh Kementerian Kesehatan dalam Indonesia Brand Champion Award 2013. Tidak tanggung-tanggung, Kementerian Kesehatan menyabet 3 predikat Platinum Brand untuk kategori "ministry".

Indonesia Brand Champion Award merupakan penghargaan yang diberikan berdasarkan berdasarkan survei publik dengan indikator awareness, image, likeability, dan usefulness oleh MarkPlus Insight dan majalah Marketeers. Penghargaan untuk kategori Layanan Publik diberikan sebagai apresiasi terhadap instansi publik yang telah memberikan pelayanan dan kebijakan terbaik bagi masyarakat selama satu tahun terakhir.

Markplus Insight dan Marketeers secara acak melakukan survei kepada masyarakat umum (diluar kalangan pemerintahan, BUMN dan anggota POLRI/TNI) yang melakukan pengurusan, menerima maupun melakukan transaksi layanan publik yang disediakan di instansi bersangkutan.

Apresiasi masyarakat melalui  Indonesia Brand Champion Award 2013 ini membuktikan  bahwa Kementerian Kesehatan merupakan instansi publik yang memiliki kebijakan paling disukai, kebijakan yang paling bernilai sekaligus instansi publik yang paling dipercaya oleh masyarakat.

Itulah 6 penghargaan untuk Kementerian Kesehatan yang diperoleh sepanjang tahun 2013. Bagaimana menurut anda?

Rabu, 25 September 2013

, , , , , , ,

Kementerian Kesehatan Juara Layanan Publik pada Indonesia Brand Champion Award 2013

Hati bersorak kegirangan saat membaca halaman the Marketeers, Kementerian Kesehatan menjadi Jawara Pelayanan Publik. Dengan dada deg-degan dan mata sedikit berkaca-kaca, saya cermati rentetan kalimat dalam berita Indonesia Brand Champion Award 2013 itu.

Wow, fantastis! Ternyata Kementerian Kesehatan memenangi 3 brand untuk kategori Ministry (Kementerian) pada Indonesia Brand Champion Award 2013 yang diselenggarakan MarkPlus yaitu :

  1. MOST PREFERED POLICY of Public Institution

  2. MOST VALUABLE POLICY of public institution

  3. MOST TRUSTED public instituion


Bangga rasanya! Betapa tidak, diberbagai kesempatan dan rapat saya selalu mengangkat tentang pentingnya institution branding Kementerian Kesehatan. Dan saya mensyukuri apresiasi yang diberikan sebuah institusi ternama dan kapabel dalam bidang marketing dan branding ini.

Sebagaimana ditulis the Marketeers, kebutuhan akan layanan publik yang profesional dan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat terus berkembang semakin tinggi. Hal ini mengharuskan instansi Layanan Publik di Indonesia terus melakukan pembenahan, baik dalam pelayanan maupun pembuatan kebijakan.

Untuk persepsi masyarakat terhadap institusi, MarkPlus Insight kembali melakukan survei tentang awareness, Image, Likeability, dan Usefullness Kebijakan Instansi Layanan Publik di Indonesia. Survei ini bertujuan mengukur penilaian masyarakat terhadap kebijakan dan layanan yang diterima dalam setahun terakhir ini.

Survei menggunakan metode kuantitatif dengan survei telepon ini dilakukan pada medio September 2013 dengan melibatkan 700 responden masyarakat umum di enam kota besar, yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Makassar.

Responden dalam survei ini adalah masyarakat umum yang merupakan pengguna/penerima layanan yang dalam satu tahun terakhir pernah melakukan pengurusan, menerima, maupun melakukan transaksi pembelian pada layanan publik. Responden bukan seorang pegawai di lingkungan pemerintahan/BUMN/TNI-POLRI dan pada masing-masing kota dipilih dengan metode random sampling dan dilakukan dengan phone survei. Responden mewakili masyarakat kelas menegah keatas (SEC AB). Berdasarkan hasil survei tersebut, MarkPlus Insight bersama Marketeers kembali memberikan penghargaan Indonesia Brand Champion Award 2013.

Adapun para pemenang penghargaan Indonesia Brand Champion Award 2013 kategori Layanan Publik adalah:

 

[caption id="attachment_258" align="alignnone" width="653"] Kementerian Kesehatan Pemenang Layanan Publik pada Indonesia Brand Champion Award 2013 oleh MarkPlus[/caption]

Jumat, 20 September 2013

, , , , , ,

Perda Lansia, Hanya Indah Diatas Kertas

"Kami tak ingin Perda ini hanya menjadi peraturan yang tidur"

Hari ini saya merasa punya semangat menerima tamu yang berasal dari Semarang. Tamu itu adalah 20-an anggota DPRD Jawa Temgah yang ingin berkonsultasi penyusunan Perda tentang kesejahteraan lanjut usia.

Hal menarik patut dicermati adalah niatan para wakil rakyat Jawa Tengah ini. Dengan kunjungan konsultasi mereka ingin memastikan apakah Perda yang mengatur kesejahteraan bagi orang-orang lanjut usia ini perlu diteruskan atau dibatalkan. Alasannya seluruh muatan pasal-pasal dalam Perda ini pada dasarnya telah diatur dan dikerjakan oleh berbagai sektor SKPD. Namun demikian, tidak terasa gregetnya dilapangan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran anggota DPRD Jateng jika perda disahkan hanya menjadi peraturan tidur, tidak jelas dalam pelaksanaannya.

Ini yang saya suka. Kunjungan kerja DPRD kali ini terasa beda ruh dan semangatnya. Selain materi Perda yang terkesan "antik", kesejahteraan lansia bukanlah topik seksi, juga topik diskusi berkualitas, bagaimana agar perda bukan hanya indah diatas kertas. Istilah peraturan yang indah diatas kertas biasa saya gunakan untuk peraturan yang tersusun berupa pasal-pasal berisi aturan bersifat normatif dengan bahasa konseptual dan tidak operasional. Dengan kata lain, peraturannya ada, sudah ditetapkan, tetapi tidak dapat dilaksanakan atau andai ditegakkan pun tak terasa dampaknya bagi masyarakat.

Mencermati pertanyaan dan pernyataan beberapa anggota DPRD Jateng, saya rumuskan sebagai berikut:
1. Bahwa kesejahteraan lansia merupakan program yang menjadi urusan banyak sektor, bahkan bisa jadi semua sektor, dan lintas SKPD, tetapi kesan masyarakat lansia tidak diurusi begitu kuat.
2. Sudah terbentuk Komisi Daerah Lansia di tingkat Provinsi bahkan sebagian besar Kabupaten/Kota juga ada Komda Lansia tetapi perannya tidak maksimal.
3. Permasalahan anggaran program lansia dan perlunya menggandeng pihak swasta.

Setelah apa yang dirasakan dan permasalahan yang dihadapi, dibenak para wakil rakyat ini muncul pertanyaan; perlukah sebenarnya Perda Lansia ini?

Ditengah kegaulauan hati para anggota Dewan ini, rencana penyusunan Perda Kesejahteraan Lansia ini patut diapresiasi. Malah harua dikasih jempol. Mencermati materi dan norma pasal per pasal, Perda ini harus ditiru oleh daerah lain. Perda ini wujud kepedulian Pemerintah Daerah terhadap perkembangan jumlah manusia lanjut usia yang semakin besar seiring meningkatnya angka harapan hidup manusia Indonesia. Perda Lansia ini justru bisa menjadi payung hukum yang secara operasional dapat mensinergikan sektor dan SKPD Provinsi Jateng yang mengurusi lansia.

Agar Perda Kesejahteraan Lansia ini tidak hanya indah diatas kertas, sebuah peraturan harus dilengkapi secara jelas tegas siapa pelaksana eksekutornya (leading sector). Secara konkrit, saya sarankan agar dilakukan penguatan Komisi Daerah Lansia secara kelembagaan dan penganggaran. Sebagai lembaga non SKPD yang memikul tanggung jawab koordinasi, integrasi dan sinkronisasi kesejahteraan lansia, Komda Lansia harus kuat organisasi, sumberdaya dan anggarannya. Dengan penguatan Komda Lansia dimasukkan dalam Perda, tentu bukan hal sulit dalam pelaksanaan kesejahteraan lansia.

Muncul pertanyaan anggota DPRD, bagaimana caranya agar Komda Lansia dapat didukung anggaran rutin?

Komda Lansia memerlukan anggaran operasional yang tidak sedikit. Bisa saja menggandeng sektor swasta, namun ini memerlukan upaya yang tidak mudah dan bentuk kerjasamany

Mestinya bisa diambilkan dari kewajiban UU Kesehatan yang diamanatkan kepada setiap daerah menganggarkan 10 persen APBDnya untuk sektor kesehatan. Dan untuk memperkuat operasionalnya, dibentuklah Sekretariat yang secara ex officio SKPD pembina teknis bidang kesejahteraan lansia. Bisa saja setingkat eselon 2 atau eselon 3 Dinas Sosial yang secara rutin mempunyai anggaran terkait kesejahteraan lansia. Dengan kata lain, anggaran operasional yang berasal dari APBD Komda Lansia ditempelkan kepada Dinas Sosial.

Secercah kelegaan terpancar di wajah Ketua Baleg DPRD Jateng yang memimpin rombongan. Ketika saya tanyakan, apakah ada yang perlu didiskusikan lagi, jawabnya;

"Nah, point terakhir inilah yang menjadi intinya. Kami belum terpikirkan penguatan Komda Lansia. Juga tidak ngeh untuk menempelkan anggaran pada SKPD. Terima kasih"

Terima kasih juga pak. Semoga Perda Kesejahteraan Lansia segera ditetapkan dan tidak hanya indah diatas kertas, alias peraturan tidur. Mari kita ingat bahwa dengan izin Gusti Alloh, kita juga akan menjadi lansia.

Sabtu, 07 September 2013

, , , , , ,

RUU Keperawatan: Kemenkes Mencari yang Baik

"...berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan"

Saat ini RUU Keperawatan tengah dibahas antara DPR dengan Pemerintah. Dalam suatu kesempatan ngobrol dengan Prof Budi Sampurna (Staff Ahli Menkes Bidang Medicolegal), saya pernah tanyakan beberapa hal terkait RUU Keperawatan. Saya tuliskan beberapa hal yang dapat saya rangkum seperti dibawah ini :

Prof, benar nggak sih tudingan Kemenkes tidak berperan dalam RUU Keperawatan?

Dari awal, RUU Keperawatan itu dicanangkan sebagai inisiatif DPR. Oleh sebab itu peran Pemerintah dilakukan dengan memberikan masukan pada saat Rapat Dengar Pendapat. Beberapa kali kita diundang oleh DPR maupun DPD untuk memberikan masukan. Saya kira ada perannya, tetapi tidak dalam arti inisiatif pembahasan.

Benarkah Kemenkes terlambat ajukan DIM RUU Keperawatan?

Pemerintah baru terima RUU Keperawatan tanggal 18 Februari dan Ampres (Amanat Presiden) bulan April. Kemudian kita menyusun DIMnya (Daftar Infentarisasi Masalah) masih dalam batas waktu 2 bulan atau agak lebih sedikit.

Ada opini yang dibangun bahwa usulan memasukkan Kebidanan itu hidden agenda Kemenkes hambat RUU Keperawatan. Pendapat Prof?

Saya kira Bu Menkes sudah berkali-kali tegaskan, Pemerintah tak ingin menggagalkan RUU Keperawatan. Tidak ada niat juga mendiskriminasi antara perawat dan bidan. Kita ingin dua-duanya sama berhasil. Kesempatan yg baik pada pembahasan RUU Keperawatan, alangkah baiknya sekaligus substansi kebidanan juga dimasukkan. Toh, masih sama dalam satu rumpun. Meskpun tugas fungsinya berbeda.

Hal yang sama juga kita lakukan pada UU Praktek Kedokteran terhadap kedokteran gigi, berada dalam satu. Kalau ada yang mengatakan dalam UU Kedokteran itu sama-sama dokter. Bukan, di luar negeri tidak pernah kita kenal dokter gigi itu sebagai dokter gigi. Tetapi dentist. Itu berbeda dengan dokter. Tetapi kita coba cari persamaanya. Demikian juga pada waktu kita membahas RUU Pendidikan Kedokteran di Komisi X. Itu pun kita cari persamaannya. Meskipun bedanya banyak, tetapi kita cari persamaannya. Dan memang berhasil kita melakukan itu.

Gimana teknis penggabungan menjadi RUU Keperawatan dan Kebidanan?

Ini yang kita mohon. Jika dapat disepakati bisa kita bahas RUU Keperawatan dan Kebidanan, idenya adalah mencari persamaanya. Kita sudah melakukan itu dalam DIM RUU kita inventarisasi persamaan. Bedanya hanya satu kok!. Yaitu pada waktu praktek. Praktek perawat tentu saja beda denang praktek bidan. Itu yg kita bedakan dalam 2 Bab yang berbeda.

Perubahan DIM RUU Keperawatan itu disebabkan penambahan substansi. Juga adanya penyesuaian substansi oleh karena ada Undang-Undang baru yaitu UU Pendidikan Tinggi dan UU Pendidikan Kedokteran. Yang kita sesuaikan modelnya dengan UU Dikdok misalnya bagaimana pendidikan keperawatan itu sejak akademik hingga profesi digabung dan seterusnya.

Begitu pula ada usulan mengubah Konsil. Itu tentu saja dapat kita bahas bagaimana jalan keluarnya. Kita memang mendapatkan surat resmi dari Menpan agar tidak membentuk lembaga baru. (Dalam hal Konsil) kemudian dari Kemendikbud saat ini juga berproses RUU Keinsiyuran. Tadinya disana juga diusulkan ada konsil, kemudian mereka bersepakat tidak ada konsil tetapi menguatkan organisasi profesi. Tetapi silahkan kita dapat kembangkan dalam pembahasan kita untuk cari jalan keluar terbaik.

Yang penting dicatat, berkurangnya DIM tidak mengakibatkan lebih buruknya hasil atau pengaturan. Dimasukkannya Kebidanan juga tidak mengurangi substansi norma Keperawatan. Saya cenderung untuk saat ini mari kita bahas bersama-sama lebih dahulu untuk melihat, sebetulnya apakah substansinya lebih buruk atau lebih baik. Tentu kita semua mencari yang baik.

Jumat, 30 Agustus 2013

, , , , , , , , , ,

Menkes: Tidak Sedikit pun Berfikir Menolak RUU Keperawatan

“Saya kok curiga pemerintah ada niatan menghambat lahirnya UU (Keperawatan) ini,” ujar Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR pada Rapat Kerja bersama Pemerintah (28/8/2013).

Pernyataan politisi PDIP itu, tidak begitu mengagetkan. Beberapa anggota Komisi IX menyatakan hal yang relatif senada bahwa Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mempersulit penetapan RUU Keperawatan menjadi Undang-Undang. Pendapat ini setali tiga uang dengan organisasi keperawatan PPNI, yang sudah berkali-kali menggiring opini bahwa Kemenkes menghalang-halangi pengesahan RUU Keperawatan. Bahkan bisa jadi pernyataan anggota DPR ini juga disebabkan tekanan luar biasa yang dilakukan oleh organisasi profesi keperawatan ini melalui berbagai forum bahkan melalui banyak aksi demonstrasi.

Usulan Pemerintah agar dimasukannya kebidanan dalam RUU Keperawatan semata-mata didasari selain pada rumpun tenaga kesehatan yang sama juga alasan efisiensi dan efektifitas. Jika dilihat pasal per pasal Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) tidak ada norma yang hilang. Khususnya, dalam hal pendirian Konsil dan Kolegium, Menteri Kesehatan menjanjikan untuk dibahas bagaimana baiknya demi kemanfaatan bersama.

Dalam raker tersebut, Ibu Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan mewakili Pemerintah, mendengarkan secara seksama pernyataan para anggota DPR yang cenderung menuduh Kemenkes tak pro RUU Keperawatan Kesehatan.

“Saya ucapkan terima kasih. Pertama saya menghargai anggota DPR yang terhormat sudah membahas RUU Keperawatan dengan mendalam dan cukup lama,” dengan tenang Menkes mengawali tanggapannya.

Kemudian Ibu Nafsiah Mboi melanjutkan dengan bercerita saat awal menjadi Menkes.

“Saya kaget, baru pada bulan April terima ampres tetapi Mei saya dibanjiri lebih dari 1000 sms tanpa nama. Kata-katanya sangat kasar. Terus terang malu sebagai seorang menteri dikasari begitu. Saya tidak tahu siapa, tetapi mengatasnamakan diri perawat. Sms itu menyalahkan menkes, kenapa RUU Keperawat tidak dibahas. Padahal Kita selalu menghormati perawat, menghormati bidan. Tidak ada masalah bagi kami, sama pentingnya”, kata Menkes dengan sungguh-sungguh.

“Oleh karena itu saya mohon supaya miss komunikasi diantara kita itu hilang. Kami tidak sedikit pun berfikir menolak RUU Keperawatan. Kami menyatukan (RUU Keperatan & Kebidanan) demi efisiensi. Juga sekaligus efektifitas. Oleh karena itu benar kata salah seorang anggota DPR, justru dalam menyiapkan Jaminan Kesehatan Nasional dan pencapaian MDGs, kita membutuhkan dua-duanya,” tegas Menkes.

“Saya undang PPNI dan PB IDI. Dan saya minta secara terbuka menjelaskan apa sebenarnya masalahnya. Keperawatan bilang perlu pengakuan luar negeri. Kebidanan mengatakan, kami juga menghadapi hal yg sama. PPNI mengatakan kami membutuhkan perlindungan hukum, bidan mengatakan kami juga. Lalu saya mohon kepada perawat dan bidan, bagaimana jika kita bersatu saja. Kita butuh bersatu. Pekerjaan kita besar sekali. Bagaimana kalau bersatu, bikin satu undang-undang”, jelas Menkes dengan mantab tanpa ragu.

Menkes mengambil jeda sejenak. Seluruh orang yang hadir, seakan terkesima dengan pernyataan Menkes. Anggota Komisi IX DPR pun tak melakukan interupsi seperti yang biasa dilakukan.

“Sekali lagi, jika boleh saya tegaskan. Tidak ada sedikit pun keinginan dari kami untuk membeda-bedakan, mendiskriminasikan perawat dan bidan. Sama sekali tidak. Juga tidak sedikit pun, tidak dalam hati kami ingin meniadakan usaha atau upaya anggota dewan yang terhormat. Sama sekali tidak.

Bapak ibu anggota dewan yth, percayalah kami ingin yang terbaik. Betul, percaya kepada saya. Tidak ada keinginan untuk tidak menghargai siapa-siapa. Hanya mengingat kebutuhan di lapangan. Kita membutuhkan tenaga perawat dan bidan, saling mendukung, saling bekerjsama dan mempunyai dasar hukum yg disepakati oleh semua,” ujar Menkes menutup tanggapannya. Akhirnya pembahasan RUU Keperawatan dilanjutkan pada rapat kerja selanjutnya.

Apakah mereka percaya dengan Menteri Kesehatan? Ahh..!

 

Jumat, 31 Mei 2013

, , , , , , , , , ,

INA CBGs itu makhluk apa?

"INA CBGs itu makhluk apa?"

Mohon angkat tangan, siapa diantara kita yang masih mempunyai pertanyaan seperti itu. Masih ada?  Berbahagilah! Berarti anda sama dengan Wanda Hamidah, anggota DPRD Jakarta yang cantik itu.

Jauh sebelum Wanda Hamidah mengungkapkan pertanyaan, "INA CBGs itu makhluk apa?", saya merasa orang terakhir yang tidak memahami apa itu INA CBGs. Namun kesamaan dengan Wanda Hamidah dalam hal ketidaktahuan tentang INA CBGs, tidak menjadikan saya geer alias besar diri. Sebaliknya merasa malu, sebagai orang yang bergelut sehari-hari dalam bidang perumahsakitan tidak mengerti dengan sistem INA CBGs yang sudah berjalan sejak Tahun 2010.

Adalah berita 16 rumah sakit mundur dari program Kartu Jakarta Sehat, menjadikan INA CBGs lebih dikenal. Klaim rumah sakit tersebut, tarif INA CBGs rendah sehingga merugikan mereka. Sontak kabar ini memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa sih INA CBGs? Makhluk apa itu INA CBGs? Tidak saja, Wanda Hamidah dan anggota DPRD Jakarta lainnya yang beberapa diantaranya mengusung wacana interpelasi. Tetapi juga anggota DPR dan pihak yang berkepentingan terhadap BPJS dan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

Kasus KJS dan INA CBGs ini menjadi topik hangat media cetak, online, televisi dan radio minggu-minggu ini. Namun jika disimak seksama, apa yang berseliweran di media itu belum menjawab secara substansi apa itu INA CBGs. Sulitnya mencari referensi, semakin tidak mudah memahami INA CBGs. Apalagi pertentangannya pun sudah bergeser kepada sisi politis dan interpelasi. Saya bukan ahli, namun hanya sekedar berbagi informasi secara konsepsi tentang makhluk apa itu INA CBGs.

Mari kita awali dengan pertanyaan mudah. Sebagai pasien lebih pilih mana; anda tahu besaran tarif dan jumlah biaya yang harus dibayarkan sebelum atau sesudah pelayanan pengobatan dan perawatan? Saya yakin mayoritas pasien (kalau tidak bisa dikatakan semua) ingin tahu besarnya biaya sebelum dilakukan semua tindakan pengobatan. Dengan INA CBGs, pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Pada INA CBGs bersifat paket sehingga besaran tarifnya dan jumlah biaya tetap.

Sekarang bandingkan dengan sistem tarif yang digunakan oleh sebagian besar rumah sakit saat ini. Pasien baru tahu besaran tarif dan jumlah biaya setelah semua tindakan pelayanan. Dan rumah sakit memungut biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Dengan kata lain, rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Inilah yang disebut fee for service, dimana besarnya biaya tergantung pada setiap tindakan pengobatan yang dilakukan.

Itulah sekilas konsepsi makhluk yang bernama INA CBGs. Oh ya, saya baca di salah satu media online bahwa Wanda Hamidah telah mengeluarkan pernyataan: INA CBG's lebih bagus dan lebih sistematis daripada Jamkesda.

Nah, jangan-jangan sekarang sudah mengerti INA CBGs. Waaaanndatahu, saya!

Kamis, 23 Mei 2013

, , , , , ,

Jangan Politisasi KJS

Kartu Jakarta Sehat (KJS) adalah janji politik. Sebagai sebuah janji politik, KJS tak lepas dari pencitraan dan popularitas. Dan ketika janji politik telah direalisasikan maka menjadi komoditas politik yang bisa dikemas sesuai kepentingannya. Karena masuk area politik, maka menutup kemungkinan terjadi politisasi KJS dimana berebut sisi kelebihan dan kekurangan KJS guna diambil keuntungan bagi diri dan golongannya.

Pada era Fauzi Bowo sudah berjalan program bantuan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang tidak mampu. Dengan Surat Keterangan Tidak Mampu, warga bisa mendapatkan pelayanan berobat di puskesmas dan rumah sakit dengan biaya ditanggung APBD. Kemudian Joko Widodo, sebagai calon gubernur, menawarkan program Kartu Jakarta Sehat.

Sesungguhnya secara prinsip tidak beda dengan program SKTM. Namun harus diakui Jokowi membuat kemasan yang lebih baik dan populis. Bentuk kepersertaan dengan kartu dan bagi yang belum punya kartu KJS cukup dengan menunjukkan KTP Jakarta. Dampaknya luar biasa, KJS dipersepsikan "sesuatu yang baru".

Jokowi dan Ahok pun menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Janji politik harus ditunaikan. Tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan infrastruktur dan sistem pelayanan kesehatan, KJS diluncurkan. Puskesmas dan Rumah Sakit menerima tsunami kunjungan pasien. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan petugasnya menjerit kelebihan beban. Namun bisa apa? Puskesmas dan rumah sakit yang tak mampu melayani pasien akan dicap menolak pasien yang berarti melawan opini publik. Diperkuat pula dengan pernyataan Jokowi sebagai Gubernur bahwa tunggakan klaim di RS adalah warisan SKTM sebelumnya. Popularitas Jokowi dan Ahok memang pada posisi tertinggi dan secara politik sulit tergoyahkan, sehingga kebijakannya, meski ada kekurangan, KJS harus dijalankan.

Sekitar 3 bulan, rumah sakit di Jakarta melayani pasien-pasien KJS. Bulan april ini, program KJS dijalankan bekerjasama dengan PT Askes dengan sistem INA CBGs. Sesungguhnya sistem INA CBGs dimaksudkan agar terjadi efektivitas dan efisiensi pelayanan sehingga terjadi kendali mutu dan kendali biaya. Sistem INA CBGs yang prospective payment diharapkan mengubah perilaku rumah sakit dan tenaga kesehatan dan tentu saja pasien.

Namun Jakarta sudah terlanjur terlalu lama pada zona nyaman pelayanan rumah sakit dengan sistem fee for service. Maka ketika INA CBGs dengan sistem paket menggantikannya pada program KJS, 16 rumah sakit swasta (belakangan menyusut menjadi 2 RS) berontak mundur dari KJS. Ini luar biasa. Bagaimana mungkin secara terang-terangan ada RS Swasta "melawan" kebijakan Gubernur Jakarta yang popularitasnya masih tinggi?

Karena KJS adalah produk politik, maka isu ini pun terangkat secara politis. Pihak yang awalnya tiarap menunggu momentum, seakan saat ini menemukan saat tepat. Mereka komentar, mengecam dan nyinyir atas program KJS dan INA CBGs. Alih-alih turut mencari solusi, perdebatannya pun tidak pada substansi penyebab mundurnya 16 RS Swasta.

Bahkan lawan politik Jokowi Ahok di Jakarta menggalang interpelasi bahkan pemakzulan, meski dengan alasan yang lemah dan tidak substansial. Sementara anggota DPR menyinyir jika kasus yang terjadi KJS ini merupakan gambaran gagalnya Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Kesimpulan yang terlalu gegabah. Tapi itulah, politik adalah bagaimana anda memanfaatkan momentum utl pencitraan, popularitas dan elektabilitas.

KJS adalah janji politik yang kemudian menjadi produk politik. Namun sesungguhnya terdapat agenda politik yang lebih luhur bagaimana penduduk Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. Dan itu bisa dicapai dengan sistem jaminan kesehatan dengan kendali mutu, kendali biaya dan berkeadilan bagi semua. Jadi hentikan politisasi KJS!

Jumat, 10 Mei 2013

, , , , ,

Mengapa JKN 2014 Berprinsip Gotong Royong?

1 Januari 2014 tinggal esok hari. Sejak itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku. Amanat Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Hal yang membedakan dengan jaminan kesehatan di beberapa negara lain, JKN menggunakan sistem asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Ini artinya adanya kebersamaan, sinergi dan substitusi iuran antara kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan mudan serta yang beresiko tinggi dan rendah.

Ada pembelajaran dari ASKES, betapa urgensinya prinsip kegotongroyongan. Contoh kasus ada dalam paparan sosialisasi JKN yang disampaikan Pak Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes yang terkait dengan pasien Guillian Barre Syndrome (GBS). Masihkan kita ingat dengan kasus GBS yang menghebohkan pertengahan 2011 lalu?

Menurut data Askes, besarnya unit cost per kasus pasien GBS sebesar Rp 900 juta rupiah dengan angka kejadian kurang dari 1 orang dari 15 juta peserta Askes. Jika besarnya biaya ini ditanggung oleh pasien yang bersangkutan, tentu saja sangat berat. Bahkan tidak akan tertutupi dengan premi yang rutin dibayarkan. Namun jika ditanggung iuran dengan prinsip gotong royong, maka iuran peserta Askes yang dikeluarkan adalah 1/15.000.000 x Rp 900.000.000 yaitu Rp 60 perorang pertahun. Atau Rp 5 setiap orang perbulan.

Bandingkan dengan pengobatan influenza. Unit cost sakit Flu Rp 20.000 per kasus. Berdasarkan pengalaman Askes, frekuensi peserta Askes terkena flu adalah sekali setahun. Dengan demikian premi untuk menjamin flu adalah 1/1 x Rp 20.000 yaitu Rp 20.000 per orang per tahun atau Rp 1.650 setiap orang perbulan.

Inilah contoh kasus betapa pentingnya prinsip gotong royong dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional terutama dalam kasus penyakit yang memerlukan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan yang sangat besar.

Kamis, 13 Desember 2012

, , , , , , , ,

Bolehkah Melahirkan dengan Caesar pada Tanggal Cantik?

Hari ini 12 Desember 2012, tanggal cantik. Cobalah luangkan waktu melihat deretan foto bayi ini. Bayi-bayi mungil ini berasal dari rahim ibu-ibu yang ramai-ramai melahirkan tanggal cantik 12-12-2012. Tidak disebut secara jelas, apakah bayi-bayi cantik ini lahir melalui persalinan normal ataukah bedah caesar.  Ada sesuatu yang menarik ketika pada tanggal 12-12-12, rumah sakit dibanjiri ibu melahirkan. Adalah wajar dan bukan sesuatu yang baru, ketika kita mempunyai hajat pada hari dan tanggal yang terpilih. Orang tua dan leluhur kita menentukan hari baik untuk menikah, perjalanan jauh, membangun rumah dan sebagainya. Itu sudah menjadi warisan budaya, tak bisa dipungkiri. Tapi tidak  para leluhur itu tidak pernah menentukan kapan hari lahir putra putrinya. Memang ada upaya menghitung hari, kemudian berdoa dan pasrah. Kebijaksanaan lokal, demikian juga agama, telah mengajarkan bahwa lahir, rejeki, jodoh dan ajal adalah rahasia Gusti Alloh. Semua telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh.

Ada fenomena dan trend menarik beberapa tahun terakhir. Orang tua menginginkan kelahiran buah hatinya pada hari atau tanggal cantik. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika dengan persalinan normal. Sebuah keberkahan bayi yang diidamkan lahir sehat selamat. Dan bonus jika lahir pada tanggal cantik yang dimimpikannya. Bersyukur pula bayi lahir selamat pada waktunya dengan cara bedah caesar pada hari istimewa tersebut. Namun bagaimana jika orang tua menginginkan sang bayi lahir pada hari istimewa atau tanggal cantik melalui bedah caesar padahal tanpa indikasi medis? Bagaimana hukum "memaksa" bayi lahir dengan caesar disesuaikan dengan tanggal cantik itu?

Saya jadi ingat saat pembahasan salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit beberapa tahun lalu. Pasal 29 Huruf K disebutkan bahwa :
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada saat muncul norma ini, para pakar kesehatan menyebutkan sebagai contoh yang harus ditolak rumah sakit diantaranya melakukan bedah plastik dengan tujuan menghilangkan identitas dan keinginan melakukan bedah caesar tanpa indikasi medis untuk melahirkan anak pada hari/tanggal khusus. Namun apa lacur, justru keinginan seperti itu semakin menjadi trend yang terus meluas belakangan ini. Mari kita urai lagi. Persyaratan (condition) "kewajiban menolak" itu jika bertentangan dengan standar profesi, etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada 2006, ACOG (The American College of Obstetricians and Gynecologists) di Amerika Serikat mengadakan pertemuan khusus membahas masalah: bolehkah seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi melakukan tindakan caesar berdasarkan permintaan pasien tanpa adanya indikasi obstektrik yang nyata? Pertemuan itu sepakat bahwa tindakan caesar atas permintaan pasien boleh dilakukan jika dokter telah memberikan informasi dalam bentuk informed consent yang jelas, misalnya mengenai risiko caesar yang timbul seperti kematian ibu, emboli pulmonal, infeksi, pelengketan, komplikasi anestesi, hingga kemungkinan operasi caesar berulang di masa datang atau kehamilan berikutnya.

Pada Bulan Juli 2011 di Jakarta dilakukan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI  yang menyepakati perubahan pada standar kode etik POGI dimana tindakan sectio/caesar atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien.
Dengan kata lain, standar profesi dan etika (dokter obgyn) membolehkan orang tua meminta tindakan caesar tanpa indikasi medis  dengan informed consent khusus untuk melahirkan bayinya pada hari dan tanggal cantik.

Bagaimana dengan pandangan ulama tentang hal ini? Pada Tahun 2011, Forum Musyawarah Pondok Pesantren di Tulungagung, Jawa Timur mengeluarkan rumusan Bahtsul Masail (fatwa) bahwa memilih tanggal tertentu saat melahirkan anak adalah tindakan haram karena melanggar hukum Islam. Forum berpendapat bahwa  tindakan operasi caesar sebenarnya upaya darurat dan paling terakhir. Jika tidak ada alasan darurat, operasi caesar bisa dianggap salah karena membahayakan diri sendiri dan bayinya. Jadi, mempercepat kelahiran hanya demi mengejar tanggal tertentu yang dinilai cantik merupakan perbuatan haram.

Kita boleh saja berbeda dengan kesepakatan profesi dan pandangan ulama tersebut diatas. Namun saya termasuk orang yang tidak setuju dengan tindakan caesar tanpa indikasi medis hanya karena keingingan bayi lahir pada hari khusus atau tanggal cantik. Keyakinan saya menyatakan lahirnya bayi dari rahim seorang ibu pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Gusti Alloh. Ada waktu hidup pada alam rahim, alam dunia dan alam arwah. Leluhur saya menasehati bahwa kelahiran anak manusia itu rahasia Sang Pencipta, jangan mendahului atau menghambatnya.

Kalau boleh saya mengatakan," Wahai orang tua, bayi buah hati kita berhak menentukan kapan dia menjalani kehidupan rahimnya. Dia juga berhak menetapkan kapan menjalani kehidupan alam dunia. Janganlah mempercepat atau memperlambat waktunya. Bayi kita merupakah anugerah dengan keistimewaan dan keunikannya dibawanya sejak dalam rahim. Untuk itu dia tak membutuhkan keistimewaan dan keistimewaan dengan lahir pada hari yang khusus dan tanggal cantik menurut ukuran orang tuanya".

 

 

 

Jumat, 07 Desember 2012

, , , , , , ,

SJSN: Ada Apa 1 Januari 2014?

Catat baik-baik tanggal ini, 1 Januari 2014. Mulai tanggal itu, seluruh rakyat Indonesia harus memiliki jaminan sosial. Berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap wajib diikuti oleh seluruh WNI yang berjumlah sekitar 240 juta dan WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. Harapannya, universal coverage melalui sistem asuransi sosial tercapai oada tahun 2012. Khusus bagi masyarakat miskin dan hampir miskin dijamin Pemerintah.

Tujuan utama SJSN adalah memberikan akses dan  kemudahan kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang efektif, efisien, berkeadilan, transparan dan portabilitas. SJSN memberikan jaminan pada paket benefit dasar. Artinya menjamin semua kebutuhan dasar kesehatan dan berindikasi medis. Yang bersifat kosmetik dan sekunder tidak dijamin sistem ini.   Saat ini, penyediaan dan pengelolaan asuransi masih sangat bervariasi baik dibawah pengelolaan pemerintah maupunswasta. Yang tercover jaminan masih berasal dari sektor formal (swasta dan pemerintah) dan masyarakat miskin melalui Program JAMKESMAS. Hal ini masih terjadi marjinalisasi bagi penduduk yang berasal dari sektor informal. Tercatat pada tahun 2011 terdapat 87 juta jiwa penduduk (36,87%) belum memiliki jaminan kesehatan.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menjamin masyarakat yang miskin dan tidak mampu melalui Program Nasional JAMKESMAS dengan mengkover 76,4 juta jiwa. Bahkan, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, beberapa daerah sudah mengembangkan sendiri sistem Universal Health Coverage dengan paket benefit (JAMKESDA) tertentu yang bervariasi tiap daerah DAN MENGCOVER LEBIH DARI 30 juta penduduk miskin dan hampir miskin.

Pemerintah telah melakukan pembenahan sistem dan penyiapan menyongsong Universal Health Caverage tahun 2014, terutama berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, pembenahan sistem rujukan, pemutakhiran sistem informasi, transformasi kelembagaan (PT Askes menjadi BPJS) penyiapan anggaran (penetapan besaran premi bagi PBI dan non PBI), serta penyiapan regulasi. Seiring dengan penyiapan kelembagaan BPJS tersebut, Pemerintah meningkatkan cakupan kepesertaan (dikenal sebagai PBI penerima bantuan iuran dari pemerintah) bagi masyarakat miskin dan hampir  miskin dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012 (32%). Pada tahun 2013 menjadi 86,4 juta jiwa dan 96,4 juta jiwa pada tahun 2014.  

Terkait dengan penyiapan infrastruktur, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit di Indonesia cukup memadai. Dari 2080 RS, sebagian besar rumah sakit (60,7%) merupakan rumah sakit milik swasta dan 39,3% merupakan rumah sakit pemerintah. Dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (2010) Indonesia memiliki total keseluruhan tempat tidur RS mencapai 230.459 sehingga cukup aman bila menggunakan standar ratio pemenuhan TT 1:1000 penduduk (standar WHO).  

Namun perlu dilakukan pemetaan kembali distribusi dan tingkat utilisasi fasilitas kesehatan yang ada. Karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang sulit. Terdiri dari +17 ribu pulau/kepulauan, pegunungan sehingga banyak titik-titik dimana akses pelayanan kesehatan sulit dijangkau terutama di garis pantai (klaster 4), kepulauan terluar dan perbatasan, serta pedesaan. Informasi tentang fasilitas kesehatan dapat dilihat di website  www.buk.depkes.go.id. Dari pemenuhan pelayanan kesehatan dasar saat ini Indonesia memiliki 9.437 Puskesmas termasuk 3.028 Puskesmas Perawatan. Dari data tersebut,masih membutuhkan sekurangnya-kurangnya 433 Puskesmas terutama bagi Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.  

Beberapa strategi quick wins Pemerintah dalam pemenuhan fasyankes  yaitu menyediakan tempat tidur tambahan 13.000 pada tahun 2012, mendirikan RS bergerak dan RS Pratama (Community Hospital) di lokasi yang membutuhkan. Juga melaksanakan regionalisasi sistem rujukan kesehatan yang berjenjang dengan penguatan pelayanan primer (Puskesmas) sebagai penapis pelayanan (gatekeeper). Pemerintah mengembangkan pelayanan telemedicine pada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan dokter ahli seperti teleradiologi, tele-ECG maupun telekonsultasi, melaksanakan flying health care pada pada lokasi yang sangat terpencil.  

Secara kualitas, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan belum memenuhi standar input (sarana-prasarana dan alat) sehingga secara kasar, kebutuhan/usulan pemenuhan sarana-prasarana dan alat tahun 2012 mencapai angka 26 triliyun rupiah (2,8 Billion USD). Jumlah ini sangat besar dan hampir sama dengan anggaran total kesehatan tahun 2012. Strategi pemenuhannya diantaranya melalui sharing biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta meningkatkan peran dankontribusi sektor swasta serta melakukan tahapan berbasis prioritas, khususnya utk DTPK dan cluster IV. Bidang kesehatan Indonesia termasuk sangat terbuka masuknya investasi asing dimana kepemilikan modal asing terbuka hingga 67%.

Dalam hal mutu dan biaya pelayanan kesehatan, Pemerintah telah menerapkan sistem pembayaran pola kapitasi untuk tingkat daar dan pola DRG untuk tingkat rujukan. INA-CBG berbasis casemix sejak tahun 2009 dengan segala penyempurnaannya sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas dan mutu pelayanan kepada pasien. Sistem ini tengah dilakukan peninjauan dan pemutakhiran variabel input sehingga dapat menghasilkan output/tarif yang lebih memadai sebagai dasar pembayaran UHC tahun 2014. 

Selain itu, penjaminan mutu pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui kebijakan akreditasi pada rumah sakit (+70%) dan dimulai penyusunan akreditasi untuk Puskmesmas. BPJS selaku pengelola asuransi sosial akan melakukan credentialing kembali kepada fasyankes yang belum terakrediatasi.   Dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM/dokter spesialis, Pemerintah melakukan upaya percepatan kelulusan melalui Program PDSBK (crash programme), dimana dokter spesialis sudah dapat dikirimkan/terjun ke lokasi yang membutuhkan berdasarkan kompetensi tertentu yang telah dikuasai. Untuk program jangka pendek, adalah memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum melalui pelatihan khusus. Saat ini telah lulus 312 dokter PDSBK dan 77 dokter dengan kewenangan tambahan.  

Salah satu tantangan Kementerian Kesehatan adalah melakukan advokasi dan negosiasi besaran dana kesehatan dengan DPR dan Kementerian Keuangan. Saat ini persentase anggaran kesehatan dibandingkan total APBN hanya 2,1%,dengan GDP sekitar 2,4%. Dengan usulan premi/iuran SJSN Kesehatan sebesar Rp 22.000 - Rp 27.000 maka diharapkan akan ada peningkatan anggaran kesehatan.