Pernahkah Anda merasa bingung saat memasuki rumah sakit? Bingung pada prosedur. Bingung mesti kemana dulu. Dan tambah bingung karena tak ada orang yang bisa ditanya.
Saya pernah mengalami kebingungan itu. Bukan sekedar bingung, tapi bercampur khawatir dan marah. Pengalaman buruk saya di IGD sebuah rumah sakit itu tak akan terjadi jika terdapat sign board yang jelas. Atau ada petugas yang mau mengantarkan pasien ke ruangan tujuannya. Lebih bagus lagi, ada petugas yang menyiapkan kursi roda sekaligus mendorongnya bagi pasien yang sudah sulit berjalan sendiri. Dan bantuan lain menampilan sikap dan perilaku "hospitality" dari esensi pelayanan "hospital".
Dari kejadian yang menimpa diri sendiri itu, saya berfikir; bagaimana jika ada orang, bukan karyawan rumah sakit, secara sukarela mau menolong pasien seperti itu? Maksud saya bukan menolong secara medis. Tetapi menolong pada hal-hal yang secara manusiawi meringankan beban. Seperti menunjukan arah, mengantar pasien pada ruangan tujuan, mendorong kursi roda dan lainnya.
Dari obrolan saya dengan beberapa manajemen rumah sakit, mereka sangat sadar mendesaknya meningkatkan keramahan (hospitality) itu. Mereka juga memahami bahwa kekurangan rata-rata rumah sakit Indonesia dibandingkan negara tetangga bukanlah pada aspek medisnya, tetapi rasa empati petugas dan keramahannya. Disisi lain, para manajer rumah sakit ini juga tidak mudah menambah jumlah atau melakukan diklat pada SDM-nya. Tentu saja ini membutuhkan biaya yang besar.
Dahulu beberapa rumah sakit besar terdapat pekerja sosial (social worker) yang dapat membantu secara non medis pasien. Para pekerja sosial ini biasanya memiliki bekal kemampuan dan ketrampilan akademis untuk itu. Tapi sepertinya saat ini tidak banyak rumah sakit yang memiliki pekerja sosial ini. Pertanyaannya, ketika rumah sakit kekurangan SDM, sementara pekerja sosial juga semakin berkurang, apa yang dilakukan untuk meningkatkan hospitality itu?
Lalu bagaimana jika ada orang atau sekelompok orang mau menjadi sukarelawan, kalau boleh disebut begitu, menolong pasien? Ya seperti tadi menolong pasien dengan menunjukan atau mengantar ke ruangan misalnya. Menuntun pasien lanjut usia dan mendorongkan kursi roda. Menemani pasien yang menunggu antrian. Intinya, sukarelawan yang menjadi sahabat pasien.
Apakah rumah sakitnya mau? Mestinya sih tak keberatan. Toh rumah sakit sangat terbantu dalam hal pelayanan non kesehatannya. Sementara orang atau kelompok orang tersebut sukarela menolong tanpa dibayar. Mereka tekadnya hanya ingin menolong sesama, menjadi sahabat pasien.
Jadi, siapa yang mau? Yuks!
Saya pernah mengalami kebingungan itu. Bukan sekedar bingung, tapi bercampur khawatir dan marah. Pengalaman buruk saya di IGD sebuah rumah sakit itu tak akan terjadi jika terdapat sign board yang jelas. Atau ada petugas yang mau mengantarkan pasien ke ruangan tujuannya. Lebih bagus lagi, ada petugas yang menyiapkan kursi roda sekaligus mendorongnya bagi pasien yang sudah sulit berjalan sendiri. Dan bantuan lain menampilan sikap dan perilaku "hospitality" dari esensi pelayanan "hospital".
Dari kejadian yang menimpa diri sendiri itu, saya berfikir; bagaimana jika ada orang, bukan karyawan rumah sakit, secara sukarela mau menolong pasien seperti itu? Maksud saya bukan menolong secara medis. Tetapi menolong pada hal-hal yang secara manusiawi meringankan beban. Seperti menunjukan arah, mengantar pasien pada ruangan tujuan, mendorong kursi roda dan lainnya.
Dari obrolan saya dengan beberapa manajemen rumah sakit, mereka sangat sadar mendesaknya meningkatkan keramahan (hospitality) itu. Mereka juga memahami bahwa kekurangan rata-rata rumah sakit Indonesia dibandingkan negara tetangga bukanlah pada aspek medisnya, tetapi rasa empati petugas dan keramahannya. Disisi lain, para manajer rumah sakit ini juga tidak mudah menambah jumlah atau melakukan diklat pada SDM-nya. Tentu saja ini membutuhkan biaya yang besar.
Dahulu beberapa rumah sakit besar terdapat pekerja sosial (social worker) yang dapat membantu secara non medis pasien. Para pekerja sosial ini biasanya memiliki bekal kemampuan dan ketrampilan akademis untuk itu. Tapi sepertinya saat ini tidak banyak rumah sakit yang memiliki pekerja sosial ini. Pertanyaannya, ketika rumah sakit kekurangan SDM, sementara pekerja sosial juga semakin berkurang, apa yang dilakukan untuk meningkatkan hospitality itu?
Lalu bagaimana jika ada orang atau sekelompok orang mau menjadi sukarelawan, kalau boleh disebut begitu, menolong pasien? Ya seperti tadi menolong pasien dengan menunjukan atau mengantar ke ruangan misalnya. Menuntun pasien lanjut usia dan mendorongkan kursi roda. Menemani pasien yang menunggu antrian. Intinya, sukarelawan yang menjadi sahabat pasien.
Apakah rumah sakitnya mau? Mestinya sih tak keberatan. Toh rumah sakit sangat terbantu dalam hal pelayanan non kesehatannya. Sementara orang atau kelompok orang tersebut sukarela menolong tanpa dibayar. Mereka tekadnya hanya ingin menolong sesama, menjadi sahabat pasien.
Jadi, siapa yang mau? Yuks!