Minggu, 06 Januari 2013

, , , , , , , ,

Hati-Hati Terhadap Media Massa dan Media Sosial

Dalam tulisan sebelumnya, Belajar dari RSAB Harapan Kita, saya mengatakan bahwa kasus RSAB Harapan Kita dapat menjadi pembelajaran yang sangat penting khususnya mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya. Pernyataan saya tersebut sebagai wujud ajakan berhati-hati terhadap media massa dan media sosial. Media memiliki potensi besar dalam pembentukan opini yang berdampak pada baik atau buruknya sebuah citra rumah sakit.

Masih dalam konteks belajar dari kasus RSAB Harapan Kita, mari kita beberapa poin penting yang memperkuat alasan agar berhati-hati terhadap media massa dan media sosial.

Menurut informasi dari sumber penulis, sejak awal keluarga pasien tidak mengeluh terhadap pelayanan RSAB Harapan Kita. Bahkan ketika pasien meninggal dunia pun, keluarga tetap mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang cepat tanggap dan tanpa diskriminasi. Hal ini dapat dirasakan oleh keluarga pasien karena memang sebagai pasien RSAB Harapan Kita sudah lama menjalani pengobatan dan perawatan. Sudah berkali-kali pasien menjalani pengobatan dan perawatan termasuk kemoterapi. Meski "hanya" dengan jaminan KJS, namun RSAB melayani dengan cepat, tanggap dan tanpa diskriminasi, begitu pengakuan orang tua pasien.

Muncul pertanyaan, kenapa jika awalnya pasien tidak komplain tetapi malah menjadi pemberitaan yang sedemikian menghebohkan? Orang tua pasien adalah pekerja teknisi pada sebuah media kantor berita. Katanya dengan alasan kepentingan publik, media tersebut mengangkat dalam pemberitaan kejadian pasien meninggal dunia di ICU. Yang pada saat bersamaan berlangsung syuting sinetron. Jalinan cerita dibangun oleh media sehingga terbentuklah opini bahwa meninggalnya pasien disebabkan tak tertangani dengan baik oleh karena ruang ICU digunakan syuting sinetron.

Kita bisa cek atau browsing bagaimana judul berita online tanggal 27 desember 2012. Atau media cetak pada esok harinya. Mayoritas menggiring opini bahwa kematian pasien disebabkan oleh aktivitas syuting sinetron. Berita ini tentu saja mengusik nurani publik yang kembali mengungkit persepsi kolektif massa tentang rumah sakit yang diskriminasi kepada pasien terutama dari masyarakat miskin. Ditambah lagi opini seakan-akan nyawa seorang anak dipertaruhkan dengan syuting sinetron yang selama ini tergambarkan secara glamor.

Opini kematian pasien karena syuting ini menyulut psikologi dan emosi publik. Media dengan jaringan saling mengutip berita yang memang punya nilai berita ini. Kembali kita diingatkan pada adagium, bad news is good news. Demikian juga publik pembaca online yang sudah tersentuh "sisi kemanusiaannya" turut menyebarkan berita itu. Mereka ini terutama pengguna media sosial seperti twitter misalnya. Hanya dengan satu tombol "retweet", berita itu secara viral tersebar kepada followernya. Mayoritas pengguna media sosial tidak melakukan klarifikasi informasi sebelum me-retweet.

Secara online, opini sudah terbentuk baik melalui portal berita maupun media sosial. Ingat sebuah survey, 7 dari 10 jurnalis memanfaatkan internet sebagai sumber berita. Demikian juga media elektronik, dengan hebohnya kasus ini pada media online maka televisi pun memberitakannya bahkan secara live. Televisi merupakan media informasi dengan potensi membentuk opini sedemikian masif. Dampaknya, persepsi kematian pasien di ruang ICU RSAB Harapan Kita karena syuting begitu dalam tertanam di benak publik.

Sulit sekali menghilangkan persepsi dari opini buruk yang terlanjur tersebar. Meskipun orang tua pasien secara live di televisi sudah mengatakan terima kasih atas pelayanan RSAB Harapan Kita. Rumah Sakit tak harus meminta maaf atas kematian anaknya, karena memang bukan disebabkan terganggunya penangan pasien akibat syuting. Tetapi opini terlanjut sudah terbentuk. Para pejabat dan publik figur pun sudah berkomentar dan mengecam rumah sakit. Itu bukti bahwa mereka juga tak melakukan klarifikasi. Lagi-lagi, mereka lakukan atas nama simpati publik dan sikap populis.

Mari kita cermati lagi. Setelah berkali orang tua mengklarifikasi di berbagai media akan kematian pasien, orientasi media pun berubah menjadi boleh tidaknya syuting di ruang ICU. Pihak keluarga pasien tidak lagi menjadi narasumber yang "seksi" untuk berita. Tetapi tetap saja, RSAB menjadi pihak yang "disalahkan". Hanya saja, awalnya fokus kepada kematian pasien akibat syuting. Kemudian ketika terbukti tak ada relevansinya, maka obyek berita berubah menjadi syuting di ICU. Sekilas memang tak berbeda, namun jika diperhatikan seksama ada penekanan yang berbeda. Dan dari aspek pembentukan opini, pengalihan obyek berita ini akan mengukuhkan opini yang sudah terbangun.

Dengan demikian, bagi RSAB Harapan Kita akan bertambah buruk citranya. Jika sebelumnya diopinikan bahwa RSAB Harapan Kita melakukan kelalaian yg menyebabkan kematian pasien akibat syuting, dan selanjutnya ditambah RSAB melanggar aturan karena ICU digunakan syuting.

Apa yang kita petik dari kasus ini? Media massa dan media sosial mempunyai potensi pembentuk opini yang luar biasa. Rumah Sakit, atau apapun instansi dan siapapun kita, tak bisa mengkambinghitamkan media itu. Menyalahkan media massa dan media sosial hanya membuang energi dan mengurangi kreatifitas dalam mengembalikan citra positif. Karena mereka itu refleksi dari perilaku dan persepsi publik.

Yang terbaik kita lakukan adalah memanfaatkan potensi media massa dan media sosial itu. Mari mengenali perilaku media dan memahaminya. Kemudian tangani media dengan baik. Jika belum mampu menangani media eksternal, lakukan pengelolaan media internal. Bentuk persepsi positif publik dan perangi opini buruk terutama dengan media internal. Lebih baik lagi jika memiliki jaringan dan hubungan baik dengan media eksternal.

Dan jika itu semua belum bisa dilakukan, ya berhati-hatilah dengan media massa dan media sosial. Dan cara berhati-hati yang paling tepat adalah memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

1 komentar:

  1. Pemaknaan hati-hati juga berlaku terhadap pelaku pers. Hanya, sebagaimana tuntutan pasar, bad is a good news lebih memancing perhatian dibanding good news.

    Ini saya sarikan dari pengalaman saat mengabdi pada sebuah media online dahulu.

    BalasHapus