Jumat, 11 Januari 2013

, , , , ,

Siapa Ingin Menolong Sesama Jadi Sahabat Pasien?

Pernahkah Anda merasa bingung saat memasuki rumah sakit? Bingung pada prosedur. Bingung mesti kemana dulu. Dan tambah bingung karena tak ada orang yang bisa ditanya.

Saya pernah mengalami kebingungan itu. Bukan sekedar bingung, tapi bercampur khawatir dan marah. Pengalaman buruk saya di IGD sebuah rumah sakit itu tak akan terjadi jika terdapat sign board yang jelas. Atau ada petugas yang mau mengantarkan pasien ke ruangan tujuannya. Lebih bagus lagi, ada petugas yang menyiapkan kursi roda sekaligus mendorongnya bagi pasien yang sudah sulit berjalan sendiri. Dan bantuan lain menampilan sikap dan perilaku "hospitality" dari esensi pelayanan "hospital".

Dari kejadian yang menimpa diri sendiri itu, saya berfikir; bagaimana jika ada orang, bukan karyawan rumah sakit, secara sukarela mau menolong pasien seperti itu? Maksud saya bukan menolong secara medis. Tetapi menolong pada hal-hal yang secara manusiawi meringankan beban. Seperti menunjukan arah, mengantar pasien pada ruangan tujuan, mendorong kursi roda dan lainnya.

Dari obrolan saya dengan beberapa manajemen rumah sakit, mereka sangat sadar mendesaknya meningkatkan keramahan (hospitality) itu. Mereka juga memahami bahwa kekurangan rata-rata rumah sakit Indonesia dibandingkan negara tetangga bukanlah pada aspek medisnya, tetapi rasa empati petugas dan keramahannya. Disisi lain, para manajer rumah sakit ini juga tidak mudah menambah jumlah atau melakukan diklat pada SDM-nya. Tentu saja ini membutuhkan biaya yang besar.

Dahulu beberapa rumah sakit besar terdapat pekerja sosial (social worker) yang dapat membantu secara non medis pasien. Para pekerja sosial ini biasanya memiliki bekal kemampuan dan ketrampilan akademis untuk itu. Tapi sepertinya saat ini tidak banyak rumah sakit yang memiliki pekerja sosial ini. Pertanyaannya, ketika rumah sakit kekurangan SDM, sementara pekerja sosial juga semakin berkurang, apa yang dilakukan untuk meningkatkan hospitality itu?

Lalu bagaimana jika ada orang atau sekelompok orang mau menjadi sukarelawan, kalau boleh disebut begitu, menolong pasien? Ya seperti tadi menolong pasien dengan menunjukan atau mengantar ke ruangan misalnya. Menuntun pasien lanjut usia dan mendorongkan kursi roda. Menemani pasien yang menunggu antrian. Intinya, sukarelawan yang menjadi sahabat pasien.

Apakah rumah sakitnya mau? Mestinya sih tak keberatan. Toh rumah sakit sangat terbantu dalam hal pelayanan non kesehatannya. Sementara orang atau kelompok orang tersebut sukarela menolong tanpa dibayar. Mereka tekadnya hanya ingin menolong sesama, menjadi sahabat pasien.

Jadi, siapa yang mau? Yuks!

Rabu, 09 Januari 2013

, , , , ,

Pengalaman Buruk di IGD Rumah Sakit

Suatu ketika saya mengantar isteri naik taksi menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit. Isteri saya dalam keadaan kesakitan luar biasa, kejang, nafas tersengal-sengal dan nyaris tak sadarkan diri. Ketika sampai rumah sakit ternyata ruang IGD sedang renovasi. Untuk sementara pelayanan gawat darurat dipindahkan pada ruangan dan lokasi lain.

Dalam keadaan panik, saya bertanya dimana letak IGD sementara itu? Maukah mengantar saya ke IGD sementara itu? Lokasi IGD sementara itu berada pada sisi berbeda dari rumah sakit. Untuk sampai kesana dengan mobil harus berjalan jauh memutar dan berbelok-belok. Sementara jika melewati lorong dalam rumah sakit tak ada tersedia kursi roda. Petugas rumah sakit menolak ikut masuk taksi untuk ikut mengantar dan menunjukan jalan ke IGD. Petugas hanya bilang ikuti jalan saja, nanti juga sampai.

Jika dalam keadaan biasa, mencari lokasi ruangan tak menjadi soal. Tetapi dalam keadaan darurat dan mengancam nyawa adalah persoalan besar. Saya meminta sopir taksi segera putar arah mengikuti jalan yang ditunjukan petugas. Begitu melewati persimpangan, mata saya melotot petunjuk arah yang ada. Eh, malah semakin bingung, ikut jalan yang mana? Tak ada tanda yang menunjukan ke arah mana IGD yang baru.

Saya semakin bingung, gugup dan sangat khawatir. Di kursi belakang taksi, istri saya terlentang. Dalam keadaan setengah sadar, kepalanya saya pangku. Tangan dan kaki kaku. Giginya tertutup hampir rapat. Hanya keluar suara mendesis tanda menahan sakit yang luar biasa.

Saya terus bertanya kepada siapa pun, terutama karyawan rumah sakit, yang saya temui di sepanjang jalan memutar rumah sakit. IGD dimana? Ada yang menjawab; tidak tahu! Ada yang bilang; sono! Saya memohon; bisa tolong tunjukan? Dijawabnya; jalan terus saja!

Sudah dua kali belokan tapi IGD tak juga ditemukan. Melewati belakang bangunan rumah sakit terasa sepi. Sopir menghentikan taksinya. Dia bingung di depannya bukan jalanan kendaraan, tapi selasar. Saya sudah tak bisa berfikir lagi. Saya teriak kepada petugas yang jauh di depan saya; dimana IGD? Dijawabnya; jalan terus! naik saja ke selasar dan belok kiri! Sopir taksi langsung tancap gas, sambil mengomel; gila aja mobil naik selasar!

Setelah belok kiri, nampak bangunan seperti depan lobi. Saya berfikir, pasti ini IGDnya. Taksi berhenti, saya berteriak panik; tolong isteri saya! Tolong, bantu angkat! Tangan satpam menunjuk suatu arah dan bilang; bapak jalan terus belok, IGD di depan situ!

Sopir taksi lagi-lagi tancap gas. Saya teriak; dimana pak? Belok mana? Satpam juga teriak; iya disitu masuk aja! Sopir belok melewati jalanan yang sepertinya memasuki tempat parkir. Tepat di depan sebuah pintu, taksi berhenti. Pintu itu tertutup rapat, tak dapat terlihat aktivitas di balik pintu itu. Suasananya sepi. Isteri saya sudah tak sadarkan diri. Detak dadanya tak terasa lagi.

Saya menjura dan mendobrak pintu. Blak! Didalam ternyata banyak orang berseragam. Pasti mereka perawat dan dokter. Tolong isteri saya! Tolong angkat! Mana bed, mana bed!

Entah suara siapa; bapak cari apa? Tenang saja! nanti kami tolong! Saya bingung, kok tak ada petugas yang keluar pintu bawa ranjang pasien. Tak ada satu pun petugas menuju taksi yang pintunya terbuka mempertontonkan isteri saya yang terlentang tak sadarkan diri.

Saya kalap, lari menuju taksi lagi. Saya bopong isteri saya masuk ke ruang IGD. Terdengar petugas memarahi saya; Bapak sabar dong, nanti juga diangkat! Ada lagi yang bilang: taruh aja di bed pojok itu.

Tolong, tolong isteri saya! sambil meletakan isteri saya pada ranjang yang kosong disudut ruangan. Bapak mundur! Bapak mundur! Biar ditangani petugas!

Saya berdiri terpaku tak jauh dari ranjang. Mata tak berkedip memandang istri saya yang diam terbujur. Tangannya membentang kaku dengan telapaknya menggenggam. Kelopak matanya erat terpejam.

Dokter menanyakan sesuatu kepada saya. Tapi saya tidak jelas mendengarnya. Tapi kemudian saya menceritakan bahwa isteri saya sudah beberapa kali sesak dada, kejang dan kesadarannya hilang timbul sejak dalam perjalanan ke rumah sakit ini. Rupanya dokter merasa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaaannya. Dia membentak saya; Bapak! Tadi istri bapak makan apa?

Saya tertegun. Diam, menahan marah yang luar biasa. Kemudian saya menggelengkan kepala dan lirih menjawab; Belum makan apa-apa. Saya lihat petugas memasang selang oksigen pada hidung isteri saya. Sementara dokter sibuk dengan stetoskopnya. Tangan kiri memegang denyut nadi isteri saya. Beberapa saat, terlihat isteri saya menarik nafas dengan lemah. Mulai tersadar meski kondisinya sangat lemas.

Saya menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan; Alhamdulillah...

Senin, 07 Januari 2013

, , , ,

Wartawan Bukan Malaikat

Direktur sebuah rumah sakit panik. Banyak wartawan berkumpul di rumah sakitnya ingin meminta keterangan dan meliput salah satu pasien. Sejak sehari sebelumnya, si pasien dengan sakit dan keadaanya memang menjadi headline pemberitaan di berbagai media massa. Sang Direktur bingung harus berbuat apa. Jika tak memenuhi kemauan wartawan, dia khawatir rumah sakit dituduh menutupi informasi yg semestinya diketahui publik. Tapi dia juga tahu tentang hak pasien berikut rahasia medis/kedokteran.

Bingungnya sang direktur karena dibayangi pada suatu kasus belum lama dimana sebuah rumah sakit lain menjadi "bulan-bulanan" pemberitaan media massa. Memang kasusnya berbeda, namun proses penanganan pers yang tidak tepat menjadikan keadaan semakin buruk. Tentu saja sang direktur tak mau kejadian ini menimpa rumah sakitnya.

Melihat kasus diatas, saya menjadi ingat adagium yang pernah saya dengar; wartawan bukan malaikat. Apa artinya itu?

Pertama, kemauan dan pandangan wartawan tidak selalu benar. Tugas utama wartawan menggali informasi sedalam mungkin, jadi jangan heran kalau mereka banyak bertanya. Niatan awal mereka demi kepentingan publik, maka tak perlu risau jika mereka berani menabrak sekat prosedur birokrasi. Mereka mendasarkan pada keterbukaan informasi, maka tak kenal lelah mendobrak sikap dan ucapan yang terkesan menutupi. Tapi banyak hal yang wartawan belum ketahui. Pertanyaan yang mereka lontarkan bukan berarti menguji, tetapi sering kali memang tidak mengerti. Dengan demikian sikap menghindari wartawan justru menghalangi tersebarnya informasi yang semestinya publik harus tahu. Berani menghadapi wartawan dan menjelaskan duduk permasalahannya dapat memberikan pandangan yang berbeda dari sebelumnya.

Kedua, wartawan bisa dipengaruhi opininya. Bukan hanya wartawan, setiap orang baik secara sadar maupun tidak telah memiliki pola persepsi pada suatu hal. Demikian juga wartawan, apa yang dituliskannya atau diwartakannya tak terlepas dari pandangan pribadi atau korporasinya. Tapi sekali lagi, mereka tak mengetahui setiap masalah. Disitulah justru peluang rumah sakit untuk menjelaskan secara sistematis dilengkapi fakta-fakta sehingga memberi pencerahan si wartawan. Dengan demikian opini yang dibangunnya pun berubah. Wartawan juga seperti manusia lain yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan, persahabatan dan kedekatan.

Ketiga, wartawan bisa diajak dialog bahkan kerjasama. Menerima wartawan dengan ramah di dalam ruangan yang nyaman merupakan langkah awal yang baik. Sang wartawan akan merasa dihargai dan dimanusiakan. Saat itulah, kita bisa bicara dengan lebih santai atau malah dari hati ke hati. Berikan informasi yang semestinya on the record. Jangan sekali waktu beri informasi off the record untuk memberi gambaran lebih luas pada sebuah permasalahan. Ini juga sangat membantu dalam membangun hubungan kepercayaan. Dengan demikian akan terjalin dialog dan kerjasama yang positif antara wartawan dan rumah sakit.

Wartawan bukan malaikat, tapi juga jangan perlakukan mereka seperti syaitan. Wartawan juga manusia yang semestinya ditemui, dihadapi dan diajak dialog dengan baik.

Minggu, 06 Januari 2013

, , , , , , , ,

Hati-Hati Terhadap Media Massa dan Media Sosial

Dalam tulisan sebelumnya, Belajar dari RSAB Harapan Kita, saya mengatakan bahwa kasus RSAB Harapan Kita dapat menjadi pembelajaran yang sangat penting khususnya mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya. Pernyataan saya tersebut sebagai wujud ajakan berhati-hati terhadap media massa dan media sosial. Media memiliki potensi besar dalam pembentukan opini yang berdampak pada baik atau buruknya sebuah citra rumah sakit.

Masih dalam konteks belajar dari kasus RSAB Harapan Kita, mari kita beberapa poin penting yang memperkuat alasan agar berhati-hati terhadap media massa dan media sosial.

Menurut informasi dari sumber penulis, sejak awal keluarga pasien tidak mengeluh terhadap pelayanan RSAB Harapan Kita. Bahkan ketika pasien meninggal dunia pun, keluarga tetap mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih atas pelayanan yang cepat tanggap dan tanpa diskriminasi. Hal ini dapat dirasakan oleh keluarga pasien karena memang sebagai pasien RSAB Harapan Kita sudah lama menjalani pengobatan dan perawatan. Sudah berkali-kali pasien menjalani pengobatan dan perawatan termasuk kemoterapi. Meski "hanya" dengan jaminan KJS, namun RSAB melayani dengan cepat, tanggap dan tanpa diskriminasi, begitu pengakuan orang tua pasien.

Muncul pertanyaan, kenapa jika awalnya pasien tidak komplain tetapi malah menjadi pemberitaan yang sedemikian menghebohkan? Orang tua pasien adalah pekerja teknisi pada sebuah media kantor berita. Katanya dengan alasan kepentingan publik, media tersebut mengangkat dalam pemberitaan kejadian pasien meninggal dunia di ICU. Yang pada saat bersamaan berlangsung syuting sinetron. Jalinan cerita dibangun oleh media sehingga terbentuklah opini bahwa meninggalnya pasien disebabkan tak tertangani dengan baik oleh karena ruang ICU digunakan syuting sinetron.

Kita bisa cek atau browsing bagaimana judul berita online tanggal 27 desember 2012. Atau media cetak pada esok harinya. Mayoritas menggiring opini bahwa kematian pasien disebabkan oleh aktivitas syuting sinetron. Berita ini tentu saja mengusik nurani publik yang kembali mengungkit persepsi kolektif massa tentang rumah sakit yang diskriminasi kepada pasien terutama dari masyarakat miskin. Ditambah lagi opini seakan-akan nyawa seorang anak dipertaruhkan dengan syuting sinetron yang selama ini tergambarkan secara glamor.

Opini kematian pasien karena syuting ini menyulut psikologi dan emosi publik. Media dengan jaringan saling mengutip berita yang memang punya nilai berita ini. Kembali kita diingatkan pada adagium, bad news is good news. Demikian juga publik pembaca online yang sudah tersentuh "sisi kemanusiaannya" turut menyebarkan berita itu. Mereka ini terutama pengguna media sosial seperti twitter misalnya. Hanya dengan satu tombol "retweet", berita itu secara viral tersebar kepada followernya. Mayoritas pengguna media sosial tidak melakukan klarifikasi informasi sebelum me-retweet.

Secara online, opini sudah terbentuk baik melalui portal berita maupun media sosial. Ingat sebuah survey, 7 dari 10 jurnalis memanfaatkan internet sebagai sumber berita. Demikian juga media elektronik, dengan hebohnya kasus ini pada media online maka televisi pun memberitakannya bahkan secara live. Televisi merupakan media informasi dengan potensi membentuk opini sedemikian masif. Dampaknya, persepsi kematian pasien di ruang ICU RSAB Harapan Kita karena syuting begitu dalam tertanam di benak publik.

Sulit sekali menghilangkan persepsi dari opini buruk yang terlanjur tersebar. Meskipun orang tua pasien secara live di televisi sudah mengatakan terima kasih atas pelayanan RSAB Harapan Kita. Rumah Sakit tak harus meminta maaf atas kematian anaknya, karena memang bukan disebabkan terganggunya penangan pasien akibat syuting. Tetapi opini terlanjut sudah terbentuk. Para pejabat dan publik figur pun sudah berkomentar dan mengecam rumah sakit. Itu bukti bahwa mereka juga tak melakukan klarifikasi. Lagi-lagi, mereka lakukan atas nama simpati publik dan sikap populis.

Mari kita cermati lagi. Setelah berkali orang tua mengklarifikasi di berbagai media akan kematian pasien, orientasi media pun berubah menjadi boleh tidaknya syuting di ruang ICU. Pihak keluarga pasien tidak lagi menjadi narasumber yang "seksi" untuk berita. Tetapi tetap saja, RSAB menjadi pihak yang "disalahkan". Hanya saja, awalnya fokus kepada kematian pasien akibat syuting. Kemudian ketika terbukti tak ada relevansinya, maka obyek berita berubah menjadi syuting di ICU. Sekilas memang tak berbeda, namun jika diperhatikan seksama ada penekanan yang berbeda. Dan dari aspek pembentukan opini, pengalihan obyek berita ini akan mengukuhkan opini yang sudah terbangun.

Dengan demikian, bagi RSAB Harapan Kita akan bertambah buruk citranya. Jika sebelumnya diopinikan bahwa RSAB Harapan Kita melakukan kelalaian yg menyebabkan kematian pasien akibat syuting, dan selanjutnya ditambah RSAB melanggar aturan karena ICU digunakan syuting.

Apa yang kita petik dari kasus ini? Media massa dan media sosial mempunyai potensi pembentuk opini yang luar biasa. Rumah Sakit, atau apapun instansi dan siapapun kita, tak bisa mengkambinghitamkan media itu. Menyalahkan media massa dan media sosial hanya membuang energi dan mengurangi kreatifitas dalam mengembalikan citra positif. Karena mereka itu refleksi dari perilaku dan persepsi publik.

Yang terbaik kita lakukan adalah memanfaatkan potensi media massa dan media sosial itu. Mari mengenali perilaku media dan memahaminya. Kemudian tangani media dengan baik. Jika belum mampu menangani media eksternal, lakukan pengelolaan media internal. Bentuk persepsi positif publik dan perangi opini buruk terutama dengan media internal. Lebih baik lagi jika memiliki jaringan dan hubungan baik dengan media eksternal.

Dan jika itu semua belum bisa dilakukan, ya berhati-hatilah dengan media massa dan media sosial. Dan cara berhati-hati yang paling tepat adalah memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat.

Minggu, 30 Desember 2012

, , , , , , , , , ,

Belajar dari RSAB Harapan Kita

Seorang bocah penderita leukimia, Ayu Tria meninggal dunia, karena terlambat menjalani kemoterapi di RS Harapan Kita (Harkit) Jakarta. Bocah itu, terlambat menjalani kemoterapi karena ruang ICCU rumah sakit tersebut dipakai syuting film Love in Paris hingga larut malam.

Inilah kutipan judul berita tanggal 27 Desember 2012; ICCU Dipakai Syuting, Pasien RSAB Harapan Kita Meninggal Dunia . Apa persepsi kita ketika membaca judul dan isi berita diatas? Bahwa adanya syuting menjadi penyebab kematian pasien. Itulah opini yang dibentuk berita itu. Ada ratusan berita online yang sama dalam 1 hari itu. Kemudian berita itu disebarluaskan pembacanya melalui media sosial terutama twitter. Terjadilah penyebaran berita secara viral, masiv dan cepat tanpa terbendung. Hanya dalam tempo tak lebih 2 jam sejak berita itu muncul, RSAB Harapan Kita menjadi kelimpungan dan bulan-bulanan. Dari sudut pandang kehumasan (public relations), RSAB Harapan Kita mengalami krisis komunikasi kehumasan atau PR Crisis yang berakibat rusaknya citra dan reputasi.

Tingkat Kerusakan Citra

Kerusakan Tingkat I dimulai saat terbentuk opini buruknya pelayanan RSAB Harapan Kita. Opini buruk yang awalnya dari media online ini, kerusakannya atas citra rumah sakit semakin kukuh setelah tersiar melalui radio dan televisi.

Tak cukup sampai disini, awak media meminta komentar para publik figur dan pihak-pihak yang berwenang. Dari DPR, DPRD, pejabat pemerintah, artis, YLKI, KPAI, asosiasi perumahsakitan, dokter, LSM dan publik figur lain. Dengan mendasarkan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya, mereka mengecam dan menyalahkan RSAB Harapan Kita atas meninggalnya pasien disebabkan syuting sinetron Paris in Love tersebut. Inilah Kerusakan Tingkat II.

Pendapat, komentar dan kecaman itu dilengkapi dengan tuntutan agar RSAB Harapan Kita mendapatkan sanksi/hukuman atas kelalaiannya. Atas dasar berita, selanjutnya logika berkembang bahwa rumah sakit melanggar aturan UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya. Opini berkembang, RSAB bisa dituntut baik perdata dan pidana. Tekanan psikologis pun dilancarkan oleh berbagai pihak. DPR ancam memanggil pejabat rumah sakit, KPAI melayangkan surat teguran dan pengaduan, YLKI menyarankan pemecatan. Desakan agar Kemenkes harus memberikan sanksi berat. Fase ini saya sebut sebagai Kerusakan Tingkat III.

Seperti cerita sinetron Parif in Love yang syuting di RSAB Harapan Kita, dramatisasi pun berubah. Media mulai mengorek kekurangan dan keburukan rumah sakit. Tak ada yang lebih menyesakkan selain keburukan yang diceritakan orang dalam. Media mengais remah-remah dari karyawan RSAB guna mendukung opini bahwa kematian pasien itu akibat syuting. Oknum perawat yang terganggu dengan syuting, kelakuan kru film yang merokok sembarangan misalnya. Ada lagi bahwa syuting itu "mainan" oknum direktur dan uangnya masuk kantong sendiri. Terjadilah Kerusakan Tingkat IV pada fase ini. Kalau nanti sampai terjadi tuntutan perdata maupun pidana, bisa dikatakan itu Kerusakan Tingkat V. Semoga tidak terjadi.

Bangkit Disaat Krisis

Andai saja kita bisa tahu sebelum ini terjadi. Atau andai saja waktu bisa diputar ulang, kita bisa memilih skenario lain. Cari kambing hitam atau berargumen pembelaan lazim dilakukan. Tapi yang lebih penting dan utama dilakukan adalah apa yang kita lakukan pada saat menghadapi krisis komunikasi dan krisis humas seperti ini? Bagaimana kita bangkit?

Yang pertama kali harus segera dilakukan adalah bentuk Tim Penanganan Krisis. Tugasnya identifikasi masalah dan tentukan langkah penanganan. Lebih kongkrit output segera yang harus dihasilkan adalah rumusan fact sheet, keypoint press release dan juru bicara. Direktur rumah sakit harus memimpin langsung tim krisis ini.

Penting pula dilakukan adalah lokalisir masalah. Sediakan ruang dan waktu awak media untuk mengakses informasi dengan mudah dan nyaman. Menghindari wartawan bukanlah langkah bijak, sebaliknya akan memperburuk keadaan. Yang terbaik; hadapi, berikan informasi terukur oleh orang yang kompeten dan waktu yang tepat. Ingat pada postulat, the a real PR is a top management.

Klarifikasi dan hak jawab atas pemberitaan yang salah juga harus dilakukan dengan santun. Hindari sikap dan jawaban arogan dan sok benar sendiri. Apalagi sikap tak peduli dan remeh kepada publik apalagi media massa dan media sosial. Ini bisa jadi bumerang. Apalah arti keunggulan rumah sakit berikut fasilitasnya kalau reputasi dan citra terpuruk. Tak ragu menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyaman pelayanan bukanlah selalu wujud pengakuan dosa. Dalam dunia pencitraan, peran mengalah seringkali berhasil membawa kemenangan dalam menunjukan kebenaran.

Dalam dunia humas, krisis komunikasi tidak melulu dipandang sebagai kemalangan semata, tetapi sebagai positioning awareness. Disaat itu bisa jadi momentum tepat perubahan dan akselerasi perbaikan internal. Krisis humas juga bisa jadi peluang bagi rumah sakit yang mampu mengelolanya. Terlepas dari bagaimana kasus sebenarnya terjadi, semestinya kasus RSAB Harapan Kita menjadi pembelajaran sangat berharga bagi rumah sakit lain. Kita menjadi belajar mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya.

Untuk RSAB Harapan Kita, masih ada pekerjaan rumah yang juga besar setelah kehebohan ini yaitu recovery dan titik balik. Semoga berhasil.

Kamis, 13 Desember 2012

, , , , , , , ,

Bolehkah Melahirkan dengan Caesar pada Tanggal Cantik?

Hari ini 12 Desember 2012, tanggal cantik. Cobalah luangkan waktu melihat deretan foto bayi ini. Bayi-bayi mungil ini berasal dari rahim ibu-ibu yang ramai-ramai melahirkan tanggal cantik 12-12-2012. Tidak disebut secara jelas, apakah bayi-bayi cantik ini lahir melalui persalinan normal ataukah bedah caesar.  Ada sesuatu yang menarik ketika pada tanggal 12-12-12, rumah sakit dibanjiri ibu melahirkan. Adalah wajar dan bukan sesuatu yang baru, ketika kita mempunyai hajat pada hari dan tanggal yang terpilih. Orang tua dan leluhur kita menentukan hari baik untuk menikah, perjalanan jauh, membangun rumah dan sebagainya. Itu sudah menjadi warisan budaya, tak bisa dipungkiri. Tapi tidak  para leluhur itu tidak pernah menentukan kapan hari lahir putra putrinya. Memang ada upaya menghitung hari, kemudian berdoa dan pasrah. Kebijaksanaan lokal, demikian juga agama, telah mengajarkan bahwa lahir, rejeki, jodoh dan ajal adalah rahasia Gusti Alloh. Semua telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh.

Ada fenomena dan trend menarik beberapa tahun terakhir. Orang tua menginginkan kelahiran buah hatinya pada hari atau tanggal cantik. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika dengan persalinan normal. Sebuah keberkahan bayi yang diidamkan lahir sehat selamat. Dan bonus jika lahir pada tanggal cantik yang dimimpikannya. Bersyukur pula bayi lahir selamat pada waktunya dengan cara bedah caesar pada hari istimewa tersebut. Namun bagaimana jika orang tua menginginkan sang bayi lahir pada hari istimewa atau tanggal cantik melalui bedah caesar padahal tanpa indikasi medis? Bagaimana hukum "memaksa" bayi lahir dengan caesar disesuaikan dengan tanggal cantik itu?

Saya jadi ingat saat pembahasan salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit beberapa tahun lalu. Pasal 29 Huruf K disebutkan bahwa :
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada saat muncul norma ini, para pakar kesehatan menyebutkan sebagai contoh yang harus ditolak rumah sakit diantaranya melakukan bedah plastik dengan tujuan menghilangkan identitas dan keinginan melakukan bedah caesar tanpa indikasi medis untuk melahirkan anak pada hari/tanggal khusus. Namun apa lacur, justru keinginan seperti itu semakin menjadi trend yang terus meluas belakangan ini. Mari kita urai lagi. Persyaratan (condition) "kewajiban menolak" itu jika bertentangan dengan standar profesi, etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada 2006, ACOG (The American College of Obstetricians and Gynecologists) di Amerika Serikat mengadakan pertemuan khusus membahas masalah: bolehkah seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi melakukan tindakan caesar berdasarkan permintaan pasien tanpa adanya indikasi obstektrik yang nyata? Pertemuan itu sepakat bahwa tindakan caesar atas permintaan pasien boleh dilakukan jika dokter telah memberikan informasi dalam bentuk informed consent yang jelas, misalnya mengenai risiko caesar yang timbul seperti kematian ibu, emboli pulmonal, infeksi, pelengketan, komplikasi anestesi, hingga kemungkinan operasi caesar berulang di masa datang atau kehamilan berikutnya.

Pada Bulan Juli 2011 di Jakarta dilakukan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI  yang menyepakati perubahan pada standar kode etik POGI dimana tindakan sectio/caesar atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien.
Dengan kata lain, standar profesi dan etika (dokter obgyn) membolehkan orang tua meminta tindakan caesar tanpa indikasi medis  dengan informed consent khusus untuk melahirkan bayinya pada hari dan tanggal cantik.

Bagaimana dengan pandangan ulama tentang hal ini? Pada Tahun 2011, Forum Musyawarah Pondok Pesantren di Tulungagung, Jawa Timur mengeluarkan rumusan Bahtsul Masail (fatwa) bahwa memilih tanggal tertentu saat melahirkan anak adalah tindakan haram karena melanggar hukum Islam. Forum berpendapat bahwa  tindakan operasi caesar sebenarnya upaya darurat dan paling terakhir. Jika tidak ada alasan darurat, operasi caesar bisa dianggap salah karena membahayakan diri sendiri dan bayinya. Jadi, mempercepat kelahiran hanya demi mengejar tanggal tertentu yang dinilai cantik merupakan perbuatan haram.

Kita boleh saja berbeda dengan kesepakatan profesi dan pandangan ulama tersebut diatas. Namun saya termasuk orang yang tidak setuju dengan tindakan caesar tanpa indikasi medis hanya karena keingingan bayi lahir pada hari khusus atau tanggal cantik. Keyakinan saya menyatakan lahirnya bayi dari rahim seorang ibu pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Gusti Alloh. Ada waktu hidup pada alam rahim, alam dunia dan alam arwah. Leluhur saya menasehati bahwa kelahiran anak manusia itu rahasia Sang Pencipta, jangan mendahului atau menghambatnya.

Kalau boleh saya mengatakan," Wahai orang tua, bayi buah hati kita berhak menentukan kapan dia menjalani kehidupan rahimnya. Dia juga berhak menetapkan kapan menjalani kehidupan alam dunia. Janganlah mempercepat atau memperlambat waktunya. Bayi kita merupakah anugerah dengan keistimewaan dan keunikannya dibawanya sejak dalam rahim. Untuk itu dia tak membutuhkan keistimewaan dan keistimewaan dengan lahir pada hari yang khusus dan tanggal cantik menurut ukuran orang tuanya".

 

 

 

Jumat, 07 Desember 2012

, , , , , , ,

SJSN: Ada Apa 1 Januari 2014?

Catat baik-baik tanggal ini, 1 Januari 2014. Mulai tanggal itu, seluruh rakyat Indonesia harus memiliki jaminan sosial. Berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap wajib diikuti oleh seluruh WNI yang berjumlah sekitar 240 juta dan WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. Harapannya, universal coverage melalui sistem asuransi sosial tercapai oada tahun 2012. Khusus bagi masyarakat miskin dan hampir miskin dijamin Pemerintah.

Tujuan utama SJSN adalah memberikan akses dan  kemudahan kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang efektif, efisien, berkeadilan, transparan dan portabilitas. SJSN memberikan jaminan pada paket benefit dasar. Artinya menjamin semua kebutuhan dasar kesehatan dan berindikasi medis. Yang bersifat kosmetik dan sekunder tidak dijamin sistem ini.   Saat ini, penyediaan dan pengelolaan asuransi masih sangat bervariasi baik dibawah pengelolaan pemerintah maupunswasta. Yang tercover jaminan masih berasal dari sektor formal (swasta dan pemerintah) dan masyarakat miskin melalui Program JAMKESMAS. Hal ini masih terjadi marjinalisasi bagi penduduk yang berasal dari sektor informal. Tercatat pada tahun 2011 terdapat 87 juta jiwa penduduk (36,87%) belum memiliki jaminan kesehatan.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menjamin masyarakat yang miskin dan tidak mampu melalui Program Nasional JAMKESMAS dengan mengkover 76,4 juta jiwa. Bahkan, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, beberapa daerah sudah mengembangkan sendiri sistem Universal Health Coverage dengan paket benefit (JAMKESDA) tertentu yang bervariasi tiap daerah DAN MENGCOVER LEBIH DARI 30 juta penduduk miskin dan hampir miskin.

Pemerintah telah melakukan pembenahan sistem dan penyiapan menyongsong Universal Health Caverage tahun 2014, terutama berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, pembenahan sistem rujukan, pemutakhiran sistem informasi, transformasi kelembagaan (PT Askes menjadi BPJS) penyiapan anggaran (penetapan besaran premi bagi PBI dan non PBI), serta penyiapan regulasi. Seiring dengan penyiapan kelembagaan BPJS tersebut, Pemerintah meningkatkan cakupan kepesertaan (dikenal sebagai PBI penerima bantuan iuran dari pemerintah) bagi masyarakat miskin dan hampir  miskin dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012 (32%). Pada tahun 2013 menjadi 86,4 juta jiwa dan 96,4 juta jiwa pada tahun 2014.  

Terkait dengan penyiapan infrastruktur, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit di Indonesia cukup memadai. Dari 2080 RS, sebagian besar rumah sakit (60,7%) merupakan rumah sakit milik swasta dan 39,3% merupakan rumah sakit pemerintah. Dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (2010) Indonesia memiliki total keseluruhan tempat tidur RS mencapai 230.459 sehingga cukup aman bila menggunakan standar ratio pemenuhan TT 1:1000 penduduk (standar WHO).  

Namun perlu dilakukan pemetaan kembali distribusi dan tingkat utilisasi fasilitas kesehatan yang ada. Karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang sulit. Terdiri dari +17 ribu pulau/kepulauan, pegunungan sehingga banyak titik-titik dimana akses pelayanan kesehatan sulit dijangkau terutama di garis pantai (klaster 4), kepulauan terluar dan perbatasan, serta pedesaan. Informasi tentang fasilitas kesehatan dapat dilihat di website  www.buk.depkes.go.id. Dari pemenuhan pelayanan kesehatan dasar saat ini Indonesia memiliki 9.437 Puskesmas termasuk 3.028 Puskesmas Perawatan. Dari data tersebut,masih membutuhkan sekurangnya-kurangnya 433 Puskesmas terutama bagi Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.  

Beberapa strategi quick wins Pemerintah dalam pemenuhan fasyankes  yaitu menyediakan tempat tidur tambahan 13.000 pada tahun 2012, mendirikan RS bergerak dan RS Pratama (Community Hospital) di lokasi yang membutuhkan. Juga melaksanakan regionalisasi sistem rujukan kesehatan yang berjenjang dengan penguatan pelayanan primer (Puskesmas) sebagai penapis pelayanan (gatekeeper). Pemerintah mengembangkan pelayanan telemedicine pada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan dokter ahli seperti teleradiologi, tele-ECG maupun telekonsultasi, melaksanakan flying health care pada pada lokasi yang sangat terpencil.  

Secara kualitas, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan belum memenuhi standar input (sarana-prasarana dan alat) sehingga secara kasar, kebutuhan/usulan pemenuhan sarana-prasarana dan alat tahun 2012 mencapai angka 26 triliyun rupiah (2,8 Billion USD). Jumlah ini sangat besar dan hampir sama dengan anggaran total kesehatan tahun 2012. Strategi pemenuhannya diantaranya melalui sharing biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta meningkatkan peran dankontribusi sektor swasta serta melakukan tahapan berbasis prioritas, khususnya utk DTPK dan cluster IV. Bidang kesehatan Indonesia termasuk sangat terbuka masuknya investasi asing dimana kepemilikan modal asing terbuka hingga 67%.

Dalam hal mutu dan biaya pelayanan kesehatan, Pemerintah telah menerapkan sistem pembayaran pola kapitasi untuk tingkat daar dan pola DRG untuk tingkat rujukan. INA-CBG berbasis casemix sejak tahun 2009 dengan segala penyempurnaannya sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas dan mutu pelayanan kepada pasien. Sistem ini tengah dilakukan peninjauan dan pemutakhiran variabel input sehingga dapat menghasilkan output/tarif yang lebih memadai sebagai dasar pembayaran UHC tahun 2014. 

Selain itu, penjaminan mutu pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui kebijakan akreditasi pada rumah sakit (+70%) dan dimulai penyusunan akreditasi untuk Puskmesmas. BPJS selaku pengelola asuransi sosial akan melakukan credentialing kembali kepada fasyankes yang belum terakrediatasi.   Dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM/dokter spesialis, Pemerintah melakukan upaya percepatan kelulusan melalui Program PDSBK (crash programme), dimana dokter spesialis sudah dapat dikirimkan/terjun ke lokasi yang membutuhkan berdasarkan kompetensi tertentu yang telah dikuasai. Untuk program jangka pendek, adalah memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum melalui pelatihan khusus. Saat ini telah lulus 312 dokter PDSBK dan 77 dokter dengan kewenangan tambahan.  

Salah satu tantangan Kementerian Kesehatan adalah melakukan advokasi dan negosiasi besaran dana kesehatan dengan DPR dan Kementerian Keuangan. Saat ini persentase anggaran kesehatan dibandingkan total APBN hanya 2,1%,dengan GDP sekitar 2,4%. Dengan usulan premi/iuran SJSN Kesehatan sebesar Rp 22.000 - Rp 27.000 maka diharapkan akan ada peningkatan anggaran kesehatan.