Jumat, 26 April 2013

, , , ,

10 Hal Penting Dalam Memilih Rumah Sakit

Untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa memilih dengan cara melihat-mencoba dulu seperti kita membeli barang di toko. Kita coba dan bandingkan terlebih dulu harganya dengan toko yang lain. Artinya untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa melakukan “window shopping” terlebih dahulu. Saat datang di rumah sakit yang dituju, tentunya proses pelayanan sudah harus berjalan. Karena sakit tak mudah diprediksi. Sakit itu bersifat tidak menentu, mendadak bahkan gawat darurat.

Bagaimana kita tahu rumah sakit yang bagus? Apakah yang bangunannya megah? Perawatnya cantik? Lebih baik, konsultasilah dengan dokter yang biasa menangani kita. Dokter langganan semestinya paling tahu tentang riwayat penyakit dan rumah sakit mana yang harus didatangi apabila perlu perawatan.

Apabila sakitnya datang mendadak dan tidak sempat berkonsultasi dengan dokter langganan, datangilah rumah sakit yang terdekat dan mudah dicapai dengan cepat. Setiap rumah sakit pasti memiliki Unit Emergensi yang dapat menangani keadaan gawat darurat. Setelah pemeriksaan dan tindakan di Unit Emergensi, kita dapat memilih kelas perawatan sesuai kemampuan biaya atau jaminan kesehatan. Atau kita dapat menentukan rumah sakit lain untuk rawat inap.

Berikut 10 hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih rumah sakit. Ciri-ciri Rumah Sakit ini bersifat umum sehingga mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam, yaitu:

1. Keramahan dokter, perawat dan staff lain di rumah sakit;
2. Ketepatan waktu pemeriksaannya;
3. Kondisi sarana dan peralatan medis yang memadai;
4. Customer service yang ramah dan informatif;
5. Administrasi yang mudah dan cepat;
6. Bangunan dan ruangan yang bersih, rapi dan terawat;
7. Tarif pelayanan dan biaya obat yang rasional
8. Papan nama dan petunjuk arah yg jelas di lingkungan rumah sakit;
9. Tempat parkir, ruang tunggu, tempat ibadah yang nyaman;
10.  Rumah sakit tersebut mudah dijangkau.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 24 April 2013

, , , , , , ,

Mengapa Rumah Sakit Harus Berbadan Hukum?

Akhirnya Muhammadiyah mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit kepada Mahkamah Konstitusi. Muhammadiyah menganggap dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit yang menyebutkan rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya di bidang perumahsakitan.

Untuk itu, Muhammadiyah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 7 ayat (4) dan pasal-pasal terkait dibatalkan karena bertentangan dengan hak pemohon yang dijamin Pasal Pasal 28D ayat (1) dan 28I UUD 1945. Atau Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit sepanjang mengenai frasa “yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Membahas tentang uji materi UU Rumah Sakit ini, saya jadi ingat sewaktu menjadi tukang ketik dan "asisten sorot" pada rapat-rapat pembahasan RUU Rumah Sakit sejak tahun 2005. Saya mencoba mengingat apa yang menjadi latar belakang ketentuan harus berbadan hukum khusus bidang perumahsakitan.

1. Sebagai subyek hukum. Dengan ketentuan harus berbentuk badan hukum, maka Rumah Sakit atau swasta pengelola dapat menjadi subyek hukum sendiri sebagaimana layaknya manusia. Sebagai Korporasi dapat melakukan tindakan dan tanggung jawab hukum.
Dengan kata lain, pada badan hukum yang bertindak sebagai subjek hukum adalah perkumpulannya sehingga jika terjadi masalah hukum yang dituntut adalah perkumpulannya bukan kepada masing-masing orang anggotanya.

2. Harta kekayaan terpisah. Sebagai badan hukum, kekayaan rumah sakit terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. Ini wujud transparansi dan akuntabilitas. Sehingga jika terjadi akibat yang tak diinginkan, misalnya pailit, maka yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja. Sementara harta pribadi pengurus atau anggotanya tetap bebas dari sitaan.

3. Mencegah aliran arus modal. Mempertimbangkan karakteristiknya yang uncertainly (ketidakpastian), kegawatdaruratan dan life saving (penyelamatan nyawa), mengharuskan rumah sakit harus siap dan aman secara modal. Jika dalam sebuah badan hukum mengelola lebih dari satu bisnis inti (core business) dikhawatirnya terjadi subsidi silang dan arus modal diantaranya. Misalnya, sebuah badan hukum mengelola pendidikan dan rumah sakit. Jika terjadi kerugian dalam bisnis pendidikannya, apakah modal yang semestinya untuk operasional rumah sakit tidak tersedot untuk menyelamatkan bidang pendidikan? Dan bagaimana pada saat yang sama, rumah sakit harus membeli obat dan bahan habis pakai untuk pasien? Untuk itulah,
rumah sakit harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat dengan mencegah adanya pencampuran modal dan kekayaan perusahaan.

4. Tanggung jawab korporasi. Sebagai subyek hukum, rumah sakit dapat melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya. Ini diantara yang dimaksudkan dengan tanggung jawab korporasi (corporate liability) dimana tanggung jawab hukumnya mencakup aspek administratif, perdata, perdata dan pidana.

Dalam hal ini, mari kita ambil contoh kasus terjadi pada Muhammadiyah; Jika sebuah Rumah Sakit milik Muhammadiyah terjadi gugatan perdata dan dinyatakan pailit, apakah Muhammadiyah juga akan di-pailit-kan? Jika pada RS Muhammadiyah terjadi kasus pidana yang melibatkan korporasi dan harus dilakukan penutupan atau pembubaran atas perintah Pengadilan, apakah Muhammadiyah juga ikut dibubarkan? Ini hanya berandai-andai saja!

Sebagai pemilik dan pengelola sekitar 78 rumah sakit yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, Muhammadiyah berhak mengajukan hak konstitusionalnya. Yang menarik diantara argumentasi yang disampaikan oleh kuasa hukum Muhammadiyah bahwa ketentuan mewajibkan untuk membentuk badan hukum khusus telah mereduksi hak konstitusional pemohon, sebagai persyarikatan yang berstatus badan hukum yang telah diakui negara sejak sebelum kemerdekaan. Tapi menarik juga dengan apa yang disampaikan hakim konstitusi Hamdan Zoelva bahwa dengan UU Rumah Sakit semuanya harus diurus ulang untuk mendapatkan badan hukum khusus rumah sakit. Adakah kerugian yang paling substansial yang dialami Muhammadiyah selain persoalan perizinan? Sebab, kalau persoalan ini bisa diatasi dengan badan khusus itu dengan 100 persen sahamnya dimiliki Muhammadiyah. Nah loh!

Pertanyaan nakalnya, apa ruginya jika rumah sakit dapat dikelola dengan prinsip bisnis yang sehat, profesional dan akuntabel? Wallohu'alam.

Minggu, 21 April 2013

, , , ,

SD Anak Saya Mendadak Berubah Menjadi Madrasah

Ujian Nasional kembali dirundung persoalan yang tak kunjung usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional menuai pro dan kontra disebabkan permasalahannya yang tak pernah diselesaikan. Hal ini kembali membangkitkan pertanyaan; apa yang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa urusan Ujian Nasional saja begitu menyedot energi bangsa ini? Bukankah masih banyak urusan pendidikan yang lebih urgen dan penting?

Tak sedikit anak yang putus sekolah karena orang tuanya miskin. Masih banyak anak Indonesia yang tak mengenyam pendidikan dasar 9 tahun karena harus membantu mencari nafkah. Masih bertebaran bangunan dan sarana sekolah yang rusak tak segera diperbaiki. Bisa jadi ribuan Guru honorer tak juga diangkat sebagai guru tetap atau PNS meski sudah berpuluh tahun mengabdi. Anggaran pendidikan 25 persen dari APBN atau sekitar Rp 300 Trilyun seakan menjadi kutukan bagi negeri ini. Karena anggaran berlimpah itu, tak juga menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan Indonesia.

Bicara pendidikan Indonesia, saya menjadi ingat kejadian 2 minggu lalu. Saya diundang rapat orang tua dan wali murid SDIT Tunas Mulia Rawamangun. Disinilah kedua putri saya menempuh pendidikan; Lala kelas 3 dan Icha kelas 2. SDIT Tunas Mulia Rawamangun didirikan dan dijalankan secara swadaya oleh Yayasan. Sebenarnya, saya tinggal di perkampungan yang di kelilingi oleh banyak SD Negeri dan swasta. Namun saya lebih memilih SDIT Tunas Mulia yang berjarak 5 KM dari rumah. Alasannya, kualitas baik dengan biaya terjangkau.

Pada rapat wali murid tersebut, Ketua Yayasan menyampaikan kabar yang tak diharapkan. Bahwa sekolah yang telah beroperasi selama 7 tahun ini, belum mendapatkan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan sejak lama, namun tak juga membuahkan hasil izin sekolah. Bahkan SDIT Tunas Mulia terancam ditutup jika telah 2 kali berturut-turut dalam Ujian Nasional masih menumpang SD lain. Itu berarti, tahun ini adalah kesempatan terakhir ikut menumpang Ujian Nasional. Dan tahun depan, kelas 1 hingga kelas SDIT Tunas Mulia akan dilebur dengan SD lain.

Ketua Yayasan menyatakan alasan tak dikeluarkannya izin operasional oleh Dinas Pendidikan adalah karena tak punya IMB. Selama 7 tahun, bangunan sekolah SDIT Tunas Mulia berstatus kontrak atau sewa sehingga tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan sendiri. Meski sebenarnya, kata Ketua Yayasan, Pengawas Sekolah masih bisa memaklumi dan semestinya izin bisa keluar. Namun rupanya Pejabat Berwenang tetap bersikukuh tak mau mengeluarkan izin operasional terhadap SDIT Tunas Mulia.

Pengelola SDIT Tunas Mulia mencari terobosan dengan melakukan penjajakan ke Kementerian Agama. Ternyata responnya positif. Setelah melalui proses penilaian administrasi dan kunjungan lapangan, Tunas Mulia layak diberikan izin sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bahkan Kementerian Agama mengapresiasi proses belajar mengajar di Tunas Mulia dan akan dijadikan percontohan MI di wilayah Jakarta Timur.

Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa jika meski sudah diupayakan selama 7 tahun Dinas Pendidikan sulit sekali mengeluarkan izin, tetapi Kementerian Agama hanya dalam tempo singkat mau mengeluarkan izin? Tentu bukan tanpa alasan, jika Kementerian Agama ingin menjadikan Tunas Mulia sebagai percontohan MI di Jakarta Timur. Ini bicara kualitas belajar mengajar, bukan urusan persyaratan administratif belaka. Ini persoalan substansi pendidikan, bukan urusan recehan.

Yayasan berjanji dengan status MI, kualitas belajar mengajar tak berubah. Biaya pun relatif sama. Saya, dan juga orang tua murid lain, tentu tak punya banyak pilihan. Meski diberikan kesempatan pindah sekolah oleh pengelola, namun saya tetap berkeputusan kedua putri saya bersekolah di Tunas Mulia. Pindah sekolah tak menjamin lebih baik dan tanpa masalah. Saya tak peduli lagi, apakah berstatus SDIT atau MI. Yang penting, putri-putri saya senang sekolah, nyaman belajarnya dan berprestasi.

Ternyata anggaran besar sekitar Rp 300 Trilyun hanya untuk membiayai pernak-pernik pendidikan, bukan urusan yang lebih substansial; mutu pendidikan!

Jumat, 19 April 2013

, , , , , ,

Blogger dan Teori Kebutuhan Maslow

Tiba-tiba saya teringat Teori Kebutuhan Abraham Maslow dimana manusia memiliki 5 tingkat kebutuhan hidup. Kebutuhan itu berjenjang secara piramida dari tingkat terendah yang bersifat mendasar dan mendesak hingga kebutuhan yang muncul berikutnya setelah kebutuhan sebelumnya terpenuhi.

Pada setiap level piramida kebutuhan ini menggambarkan aspek kesejahteran hidup manusia yang berhasil dicapainya. Secara sadar atau tidak setiap orang melalui tahap tingkatan kebutuhan ini.

Berikut Teori Kebutuhan oleh Abraham Maslow dari tingkatan terendah hingga tertinggi:

1. Kebutuhan Fisiologis diantaranya berupa kebutuhan akan makan, pakaian, rumah dan kendaraan. Juga kebutuhan biologis manusia seperti bernafas, buang air kecil, buang air besar dan lainnya.

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan diantaranya kesehatan, tidak sakit, kebebasan dan kemerdekaan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa takut

3. Kebutuhan Sosial diantaranya berteman, pergaulan, berkelompok, berorganisasi, punya pacaran, berkeluarga dan punya anak.

4. Kebutuhan Penghargaan diantaranya pujian, penghargaan, piagam, tanda jasa, naik pangkat, naik jabatan dan referensi

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri berupa tindakan nyata terhadap apa yg diyakini dan disenangi yang dapat menunjukan eksistensi diri. Biasanya berbentuk pengabdian kepada masyarakat dan negara, misalnya relawan dan filantropi.

Saya tertarik mengaitkan teori kebutuhan Maslow tersebut dengan motivasi ngeblog. Ketika ngeblog, anda ingin memenuhi kebutuhan yg mana? Apakah anda Blogger yang menjalankan aktivitasnya blognya didorong oleh kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan atau aktualisasi?

Namun dilihat dari aktivitas ngeblog, tipe blogger ini tidak menggambarkan tingkatan berjenjang seperti piramida. Dalam arti blogger tidak secara berurut memenuhi masing-masing tipe dan tidak pula menggambarkan kesejahteraan hidupnya.

Suami Malas, sahabat saya, terang benderang mengaku sebagai Blogger Tipe 1 (Fisiologis). Sebagai blogger profesional, ngeblog dijadikan upaya memenuhi kebutuhan sandang, papan, pangan dan tunggangan yang berkecukupan. Malah dengan ngeblog sepertinya Suami Malas sudah mencapai kebebasan finansial.

Bagaimana dengan anda?

*NB. Jangan terlalu serius*

Kamis, 18 April 2013

, , , ,

Tulisan Biasa Ternyata Bisa Menginspirasi Orang Lain

"Terima kasih ya. Tulisanmu bagus-bagus", kata Prof. Kadir sambil menyalami tangan saya.
"Tulisan yang mana, Prof?", saya belum ngeh.
"Itu yang link-nya kamu share di-milis. Itu saya jadikan referensi mengajar mahasiswa S3 saya".
"Ah, Prof bisa aja". Saya tertawa kecil. Namun dalam hati jingkrak-jingkrak dan kepala terasa membesar.

Itulah percakapan singkat saya dengan Prof. Abdul Kadir, Direktur Utama RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar itu. Bagi saya, pengakuan beliau membesarkan hati dan menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Meskipun itu hanya percakapan personal yang tak didengar orang lain. Hampir tak percaya, bagaimana seorang guru besar dan mantan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar menjadikan tulisan sederhana di blog saya sebagai referensi mengajar mahasiwa S3-nya.

Berawal dari niatan mengajak para direktur rumah sakit memperbanyak konten positif di media online tentang rumah sakit, beberapa kali saya berbagi postingan anjaris.me di mailing list. Dari dua tiga kali saya share postingan itu, barangkali Prof Kadir tertarik menjadikannya referensi. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan ini juga mengaku membaca tulisan lain dari link yang saya sertakan. Padahal, saya bukan orang dengan latar belakang kesehatan namun menulis dunia perumahsakitan. Tentu dilihat substansinya, postingan saya itu dangkal, biasa dan sederhana. Postingan saya bukan tulisan ilmiah, melainkan dalam format blog yang setiap postingannya berkisar 200 - 500 kata. Apalagi postingan saya 100 persen ditulis hanya sambil lalu disela-sela kesibukan dengan menggunakan Blackberry.

Ternyata tulisan yang bagi penulisnya biasa saja, bisa jadi dapat menginspirasi orang lain. Tulisan sederhana pun bisa menjadi referensi bagi orang yang mengerti.

Terima kasih, Prof. Kadir!

Sabtu, 30 Maret 2013

, ,

Rumah Sakit Internasional Juga Untuk Orang Miskin

Adalah Ribka Tjitaning Proletariyati, Ketua Komisi IX DPR menyatakan bahwa satu ruang fasilitas bagi rumah sakit internasional yang dibangun dengan biaya APBN itu sesungguhnya bisa dimanfaatkan oleh lima orang pasien di kelas III yang diperuntukkan bagi pasien tidak mampu. Tapi karena berlabel internasional maka fasilitas tersebut hanya dinikmati oleh satu pasien. Pernyataan ini mengundang polemik meski tak sebesar pernyataan Ribka bahwa dokter lebih jahat dari Polantas.

Entah rumah sakit mana yang dimaksudkan oleh Ibu Ribka yang terhormat ini. Jangan-jangan anggota DPR ini salah persepsi antara rumah sakit berstandar internasional dengan “wing internasional” sebagai unit bisnis rumah sakit. Mungkin Ketua Komisi IX ini tidak membedakan dibangunnya wing RSCM Kencana dengan proses akreditasi JCI yang sedang dijalankan rumah sakit terbesar di Indonesia ini.

Bisa dikatakan, saat ini Indonesia memiliki 5 rumah sakit berstandar internasional. Yang dimaksud berstandar internasional adalah rumah sakit yang telah lulus akreditasi oleh Badan Akreditasi Internasional. Rumah sakit itu adalah RS Siloam di Karawaci Tangerang, RS Eka di BSD Tangerang,  RS Santosa di Bandung, RS Bintaro Premier di Tangerang dan RS Premier di Jatinegara. Kelima rumah sakit swasta ini terakreditasi JCI (Joint Commission International) tanpa menggunakan anggaran negara atau difasilitasi oleh Pemerintah.

Saat ini sedang dipersiapkan beberapa RS Pemerintah memenuhi standar internasional, diantaranya Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan RS Sanglah Denpasar. Pada akhir tahun 2012 kemarin, kedua rumah sakit tersebut menjalani penilaian akreditasi JCI. Kedua rumah sakit ini yang notabene milik Pemerintah berarti menggunakan anggaran negara dalam proses akreditasi JCI. Kita menjadi yakin, pernyataan Ibu Ribka saat ini ditujukan kepada RSCM.

Bagi kita yang pernah ke RSCM atau sering melintas di Jalan Diponegoro disebelah kiri pasti melihat bangunan RSCM Kencana. Itulah "wing internasional" yang dibangun RSCM sebagai bisnis unit. Arsitektur bangunan, tata ruang, fasilitas dan standar layanan pun memang lebih baik dibandingkan pelayanan RSCM secara umum. Sudah pasti tarif pun lebih mahal. Apalagi jika dibandingkan dengan pelayanan kelas 3 rumah sakit pada umumnya. Saya pernah melihat fasilitas dan pelayanan RSCM Kencana yang memang bisa dikatakan diatas standar.

Ada persepsi yang harus kita samakan. Akreditasi JCI di RSCM tidak hanya di "wing internasional" RSCM Kencana, tetapi seluruh pelayanan dari gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap di RSCM. Itu berarti termasuk pelayanan kelas 3 yang sebagian besar diperuntukan masyarakat miskin. Jadi tidak benar pendapat Ibu Ribka yang menyatakan anggaran APBN untuk membangun sebuah fasilitas ruangan berstandar internasional sama saja untuk 5 pasien ruangan kelas III.

Kita harus bisa membedakan rumah sakit berstandar internasional dengan wing internasional dari rumah sakit. Rumah sakit internasional yang sesungguhnya tidak dilihat dari megahnya bangunan, canggihnya alat dan modernnya tata ruang. Melainkan rumah sakit dengan pelayanan yang berorientasi pelanggan dan mengutamakan keselamatan pasien.
Kalau seorang Ketua Komisi IX DPR saja bisa salah persepsi, bagaimana dengan masyarakat awam ya?

Kamis, 21 Maret 2013

, , ,

Mari Memahami Rumah Sakit

Saat ini, Rumah Sakit menjadi sasaran hujatan publik. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" merupakan sindiran sekaligus cibiran publik terhadap pelayanan rumah sakit. Kabar penolakan pasien miskin hampir tiap hari menjadi judul berita media massa.

Manusia macam apa yang tak tersayat hatinya membaca berita bayi Dera yang meninggal dunia (dikesankan) setelah ditolak rumah sakit. Digambarkan pula kondisi keluarga Dera yang hidup sederhana dan miskin. Maka tak bisa dibendung opini dan persepsi yang terbentuk bahwa ditolaknya bayi Dera karena tak mampu bayar pengobatan akibat kemiskinan keluarganya. Ungkapan "orang miskin dilarang sakit" pun seakan menemukan pembenarannya.

Kebanyakan masyarakat tampaknya beranggapan bahwa setiap rumah sakit mampu melakukan seluruh tindakan medis. Banyak orang mengira bahwa pasien yang datang ke rumah sakit harus selamat dan sembuh. Mayoritas publik berharap bahwa rumah sakit dapat menyelesaikan semua permasalahan kesehatan pasien. Dan ketika anggapan, perkiraan dan harapan masyarakat itu tak tercapai menjadi kenyataan, maka kekecewaan, kemarahan dan caci maki publik tertumpah kepada rumah sakit. Rumah sakit dicap tak punya hati nurani, komersial dan berpihak kepada masyarakat miskin.

Faktanya, apakah seperti itu kecenderungan rumah sakit Indonesia? Untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan itu, mari kita fahami bagaimana mekanisme kerja di rumah sakit.

Indonesia ini sangat mulia sekali bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien dalam keadaan kegawatdaruratan. Tak peduli seberapa besar kecilnya rumah sakit harus mampu menangani pasien gawat darurat. Dengan begitu secara sadar atau tidak sadar, muncul persepsi bahwa jika pasien yang sudah masuk unit gawat darurat rumah sakit harus tertolong. Sehingga meskipun respon terhadap kegawatdaruratan telah dilakukan dan ternyata pasien harus dirujuk ke rumah sakit lain, timbulkan kekecewaan dari pasien atau keluarganya. Dan celakanya, alasan tak tersedianya fasilitas pelayanan terlanjur dipersepsikan oleh publik sebagai cara rumah sakit menolak pasien.

Kita lupa, atau masyarakat tidak tahu bahwa kemampuan dan fasilitas rumah sakit itu berbeda. Ada rumah sakit yang mampu menangani berbagai macam penyakit dan kondisi pasien dengan banyak tindakan medis spesialis dan subspesialis. Rumah sakit semacam ini dikategorikan kelas A atau kelas B. Jumlah rumah sakit kelas A dan B tidak banyak. Namun ada pula rumah sakit dengan fasilitas dan kemampuan layanan spesialis umum dan pelayanan medik dasar saja, yang dikategorikan rumah sakit kelas C dan kelas D. Rumah sakit inilah yang sebagian besar ada disekitar kita.

Kemampuan dan fasilitas pelayanan rumah sakit ini tergambar dari pelayanan gawat darurat, rawat jalan dan rawat inap. Bicara fasilitas pelayanan bukan semata ketersediaan tempat tidur (bed) dan ruangan. Tetapi juga kesiapan tenaga, peralatan, perlengkapan dan sistemnya. Tidak mudah untuk menyediakan layanan spesialis dan subspesialis. Perlu investasi sangat besar dalam penyediaan fasilitas pelayanan intensif.

Kembali pada persoalan diatas; rumah sakit telah melaksanakan pelayanan kegawatdaruratan sesuai kemampuannya namun berdasarkan indikasi medis pasien harus dirujuk, apakah berarti bisa disebut rumah sakit menolak pasien? Tidak. Justru rumah sakit wajib merujuk pasien yang tak dapat ditangani ke rumah sakit yang mempunyai kemampuan dan fasilitas pelayanan lebih baik. Artinya, di satu sisi rumah sakit wajib melayani pasien dalam kegawatdaruratan tetapi disisi lain rumah sakit juga wajib merujuk pasien yang tidak dapat ditangani. Sungguh ini bukan persoalan sederhana.

Bisa dibayangkan, dalam suasana "eforia" pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi orang miskin seperti Kartu Jakarta Sehat dilaksanakan sebagai janji politik, dimana ratusan bahkan ribuan pasien mendatangi rumah sakit, termasuk gawat darurat, kemungkinan satu atau dua pasien miskin tak terpuaskan.

Ini baru halaman pertama, kita akan bahas lebih lanjut tentang rumah sakit dan permasalahannya pada postingan berikutnya.