Minggu, 22 Desember 2013

, , , ,

Menyebarkan Cerita Positif Melawan Persepsi Negatif

Dalam sebuah obrolan, kawan saya yang Direktur Rumah Sakit berkeluh kesah. Media massa tidak berlaku adil karena beritanya dipenuhi pelayanan buruk rumah sakit. Satu orang pasien yang mungkin kebetulan mendapat pelayanan tidak menyenangkan menjadi pemberitaan besar. Padahal pada saat yang sama, rumah sakit telah melayani ratusan pasien dengan baik. Tetapi tidak masuk dalam berita media mass meskipun sekedar kecil di pojok halaman.

Saya sadari ini fakta pelayanan rumah sakit. Setiap hari rumah sakit setingkat Kelas B misalnya, melayani ratusan bahkan ribuan pasien di rawat jalan maupun rawat inap. Secara probabilitas, dari ratusan pasien tiap hari itu ada satu, dua atau anggaplah 5 persen tidak terlayani dengan baik. Secara sederhana, 95 persen pasien dilayani rumah sakit dengan baik. Indikator sederhana dalam pelayanan baik ini adalah tidak ada keluhan (complain). Jadi saya sangat mengerti kegundahan Direktur RS, kenapa media massa membentuk persepsi dan opini publik akan buruknya pelayanan RS hanya didasarkan seorang pasien (tidak sengaja) terlantar?

Kemudian kawan saya menutup curhatnya dengan kesimpulan sebagaimana premis yang jadi rahasia umum; bad news is good news. Saya melihatnya menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Ada keprihatinan terhadap opini buruk pelayanan rumah sakitnya, sekaligus pelampiasan terhadap media massa sebagai biang kerok. Ini bukan pertanda baik. Menyalahkan pihak lain, apalagi media massa (dan media sosial) itu tidak produktif. Kenapa energi negatif menyalahkan media itu tidak diubah menjadi energi positif.

"Hei dok! Kapan terakhir undang media massa untuk mendengar kisah kebaikan dan keunggukan rumah sakit anda?" sergah saya memecah kebekuan. Dia menggeleng, belum pernah. Menurutnya, jurnalis media cetak dan elektronik datang ketika ingin bertanya tentang pasien anu yang terlantar. Atau rumah sakit mengundang wartawan hanya saat diadakan konferensi pers terhadap kasus pasien anu tadi.

Kenapa kondisinya dibalik? Rumah sakit mengundang wartawan atau redaktur untuk hospital visit. Dengan suasana santai dan akrab, ceritakan kisah hebat RS dalam melayani 95 persen pasien yang tak komplain tadi. Atau RS bisa menyampaikan keunggulan pelayanan dibanding RS lain. Lebih bagus lagi, Rumah Sakit dapat berbagi ilmu dan berbagi nilai (sharing knowledge - sharing value) sehingga para jurnalis mendapatkan pemahaman dan pengalaman baru. Tapi ingat, jangan bebani media massa yang hadir saat itu untuk memuat keberhasilan dan sisi positif rumah sakit. Jadikan momentum hospital visit untuk menjali kepercayaan, menanamkan pemahaman dan berbagi pengetahuan. Jika diantara jurnalis menampilkan dalam salah satu berita di media massanya, anggap itu sebagai bonus.

Kawan saya yang Direktur RS itu mulai tertarik, tapi masih ada yang mengganjal. Tak mungkin rasanya sering-sering undang wartawan hospital visit. Selain ribet juga membosankan. Selain itu juga persepsi positif belum tentu didapat, karena hanya menunggu bonus pemberitaan media yang hadir. Jika demikian kenapa rumah sakit tidak menggunakan 95 persen pasien yang terlayani baik tadi?

Ketika kita mengunjungi restoran yang ramai pengunjung dan ternama, sering kali tertempel rekomendasi atau testimoni pengunjung di dinding. Rekomendasi itu biasanya berupa foto dari tokoh atau artis dengan dibubuhi kalimat positif (pujian) berikut tanda tangannya. Ini bisa jadi inspirasi rumah sakit. Tak perlu menunggu tokoh atau artis berobat dan dirawat di rumah sakit. Sebaliknya jadikan setiap pasien yang merasa dilayani baik oleh rumah sakit menjadi artis, mintalah menulis sekelumit kata dan tanda tangannya. Dan letakkan kumpulan testimomi berupa kalimat positif dan tanda tangan pasien itu pada tempat yang pasien lain bisa melihat dan membacanya. Bisa ditempel dinding atau dinding khusus testimoni semacam wall of fame. Atau didesain dalam bentuk poster, hiasan kalender, buku agenda, leaflet dan berbagai produk kehumasan lainnya. Ini bisa jadi cara tidak langsung word of mouth public relations, citra positif rumah sakit yang disebarkan dari dan oleh pasien.

Apakah rumah sakit mempunyai website, blog, facebook atau twitter? Bagus sekali, jika testimoni pasien juga disebarkan secara online. Rumah sakit dapat menaruhnya pada beranda depan website sebagai halaman selamat datang. Isi testimoni bisa dikicaukan melalui twitter. Atau bisa juga testimoni dikemas menjadi catatan online berikut kisah latarnya dalam sebuah postingan blog. Satu hal yang tak boleh diabaikan, testimoni pasien dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan pasien tahu testimoninya akan dibaca orang lain.

Akhirnya, saat ini saya menunggu aksi kawan saya, seorang Direktur RS, menyebarkan cerita positif dan kisah baik dibandingkan menyalahkan pihak yang mempersepsikan buruk rumah sakitnya. Bagaimana dengan rumah sakit Saudara?

4 komentar:

  1. Seperti program PKK [peduli kata kunci] @Warung_Blogger lomba nulis yg tujuan utamanya membantu meminimalisir konten negatif menjadi positif.

    BalasHapus
  2. hmmm...sharing is caring...idealnya semakin banyak informasi mengenai RS, termasuk layanannya, semakin baik...tentunya bukan sekedar lip service atau promosi, tapi lebih pada testimoni dan pengalaman asli para pasien terkait pelayanan di RS tersebut..tapi mungkin RS sudah terlalu sibuk melayani pasien. sehingga hal ini tidak terpikirkan..

    BalasHapus
  3. Humas seringkali diposisikan sebagai pelengkap penderita. Ini sudah jamak terjadi. Secara struktural pun biasanya dititipkan pada seksi atau unit sana sini, Saat akreditasi (versi lama) secara struktural dan pendukung adminnya ada.

    Namun setelah itu wusss...
    Menjadi bagian utuh yang selalu siap dipojokan. Siap maju setiap ada serangan mendadak dari luar. Tapi mungkin inilah seni untuk memadukan kompleksitas layanan suatu rumah sakit.

    Akreditasi model JCI ini semoga perlahan-lahan mampu mengubah kabut persepsi para owner RS. Sehingga dapat direalisasikan sebagaimana tupoksi humas yang sebenarnya. :)

    BalasHapus
  4. Saya setuju banget bahwa cerita positif itu perlu disebarkan secara terus-menerus. Sebagaimana media di negara kita, bila yang diberitakan korupsi, kekerasan, terorisme secara terus-menerus maka harapan seakan pupus bagi sebagian besar bangsa Indonesia. Padahal, yang positif tentulah ada. Dan saya yakin lebih banyak.

    BalasHapus