Rabu, 15 Mei 2013

, , , , , , ,

Survei Loyalitas Pasien 2013

Pernahkah anda mendapatkan layanan kesehatan khususnya di RS Swasta? Setelah kunjungan itu, apakah anda berniat kembali lagi ke RS tersebut?

Saya punya informasi menarik ketika hadir pada acara Indonesia Healthcare 2013 minggu lalu. Saya mencermati hasil survei perspektif konsumen kesehatan yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Onbee Marketing Research. Bertitel "Indonesia Most Reputable Healthcare Brand 2013" ini dilakukan pada bulan Februari - Maret 2013 dengan 2.917 responden dan teknik random sampling. Rumah Sakit menjadi obyek survei, selain perusahaan farmasi, asuransi kesehatan, apotek, laboratorium kesehatan dan klinik kecantikan. Dan yang saya maksudkan menarik adalah hasil survei terkait dengan tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter.

 

1. Loyalitas Pasien

Menurut survei SWA, 82% mengunjungi rumah sakit swasta sebanyak 1 – 3 kali dalam setahun. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan, dalam sekali kunjungan pasien ke RS swasta sekali rata-rata tidak lebih dari Rp 500.000,-, dan 25% mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 1000.000,-

Dari sisi loyalitas, 74% pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit swasta yang dikunjunginya, dan kualitas pelayanan (28%) adalah alasan utama yang paling banyak dikemukakan. Sedangkan alasan lain seperti lokasi (19%), Dokter (13%), Sudah terbiasa (7%), Kondisi Kesehatan (7%), Harga (7%), Fasilitas (7%), Afiliasi (kantor asuransi) (6%), Tidak ada (4%), Rekomendasi dokter (2%), dan kualitas RS (1%) menjadi alasan untuk kembali ke rumah sakit yang pernah dikunjungi.

Sementara itu, lokasi yang jauh (44%) merupakan alasan pindah rumah sakit. Faktor lain pindah RS yaitu kualitas pelayanan kurang baik (15%), harga mahal (12%), dokter yang kurang memuaskan (9%), fasilitas yang tidak memadai (8%) dan tidak ada dokter spesialis (12%)

 

2. Loyalitas terhadap dokter

Pasien semakin cerdas. Ini dibuktikan dengan hasil survei bahwa 80% pasien RS swasta menyatakan bahwa dokter wajib mempunyai komunikasi yg baik. Alasan mengganti dokter disebabkan tidak berhasil sembuh (39%), tidak komunikatif (34%), biaya konsultasi (11%), terburu-buru (9%) dan resep yang banyak (7%).

Sebaliknya, 32% pasien akan merekomendasikan dokternya jika dokter tersebut komunikatif dan 41% karena dokternya dapat menyembuhkan penyakitnya.

 

3. Sumber Informasi

Sebanyak 64% pasien RS Swasta menyatakan bahwa teman/keluarga merupakan sumber informasi ketika memilih rumah sakit, dan 49% menyatakan bahwa sisi kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih rumah sakit.

Yang menarik, sebanyak 75% pasien RS Swasta mampu menyebarkan positive Word of Mouth (WOM) ke rata-rata 5 orang dan 22% pelanggan mampu menyebarkan negative WOM ke rata-rata 4 orang. Jadi bisa dikatakan bahwa positive WOM 25% lebih disebarluaskan dibanding negative WOM.

Media promosi terpercaya 65% adalah rekomendasi, 34% iklan di media elektronik, 10% iklan di media cetak, 3% iklan di media cetak. Pasien mengharapkan adanya digital media terutama website, karena hal ini akan membantu meningkatkan keyakinan pasien/keluarga terhadap RS Swasta dan sarana informasi.

Dan dibandingkan dengan adanya dokter ahli, banyaknya dokter spesialis, fasilitas modern dan harga terjangkau, ternyata faktor kualitas pelayanan yang baik merupakan faktor utama sebuah RS swasta direkomendasikan kepada orang lain.

Bagaimana menurut anda?

Jumat, 10 Mei 2013

, , , , ,

Mengapa JKN 2014 Berprinsip Gotong Royong?

1 Januari 2014 tinggal esok hari. Sejak itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku. Amanat Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Hal yang membedakan dengan jaminan kesehatan di beberapa negara lain, JKN menggunakan sistem asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Ini artinya adanya kebersamaan, sinergi dan substitusi iuran antara kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan mudan serta yang beresiko tinggi dan rendah.

Ada pembelajaran dari ASKES, betapa urgensinya prinsip kegotongroyongan. Contoh kasus ada dalam paparan sosialisasi JKN yang disampaikan Pak Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes yang terkait dengan pasien Guillian Barre Syndrome (GBS). Masihkan kita ingat dengan kasus GBS yang menghebohkan pertengahan 2011 lalu?

Menurut data Askes, besarnya unit cost per kasus pasien GBS sebesar Rp 900 juta rupiah dengan angka kejadian kurang dari 1 orang dari 15 juta peserta Askes. Jika besarnya biaya ini ditanggung oleh pasien yang bersangkutan, tentu saja sangat berat. Bahkan tidak akan tertutupi dengan premi yang rutin dibayarkan. Namun jika ditanggung iuran dengan prinsip gotong royong, maka iuran peserta Askes yang dikeluarkan adalah 1/15.000.000 x Rp 900.000.000 yaitu Rp 60 perorang pertahun. Atau Rp 5 setiap orang perbulan.

Bandingkan dengan pengobatan influenza. Unit cost sakit Flu Rp 20.000 per kasus. Berdasarkan pengalaman Askes, frekuensi peserta Askes terkena flu adalah sekali setahun. Dengan demikian premi untuk menjamin flu adalah 1/1 x Rp 20.000 yaitu Rp 20.000 per orang per tahun atau Rp 1.650 setiap orang perbulan.

Inilah contoh kasus betapa pentingnya prinsip gotong royong dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional terutama dalam kasus penyakit yang memerlukan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan yang sangat besar.

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.

Kamis, 02 Mei 2013

, , , , , , ,

CLIFF, Kisah Sukses Transplantasi Ginjal Anak di Indonesia

Untuk pertama kalinya di Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) berhasil melakukan transplantasi ginjal pada anak. Setelah 3 tahun melakukan cuci darah secara rutin, Cliff Yehezkiel Mambo (12) menjalani operasi transplantasi ginjal pada pada tanggal 13 Maret 2013. Dan saat ini sudah aktif seperti anak sehat pada umumnya.

Seperti diketahui, transplantasi ginjal dilakukan kepada seseorang yang kondisi ginjalnya sudah tidak mampu lagi melakukan fungsinya dengan baik. Operasi transplantasi ginjal pada pasien dewasa memang sudah biasa, tetapi jarang sekali pada pasien anak.

Cliff, anak dari pasangan Sherli Katili dan James Mambu asal Gorontalo itu mulai memperlihatkan penyakit yang aneh pada Juni 2010. Badannya bengkak-bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, dokter menyatakan bahwa Cliff memiliki kelainan ginjal. Berbeda pada orang dewasa dimana biasanya diabetes atau darah tinggi menjadi penyebab gagal ginjal, pada kasus Cliff penyebabnya termasuk idiopatik, suatu kondisi yang tidak bisa diketahui penyebabnya.

Orang tua Cliff merasa terpukul dan seakan tak mau menerima kondisi ini. Apalagi keluarga sempat mendengar ginjal dari Cliff tinggal 25 persen. Atas saran teman dan keluarga, orang tua membawa Cliff ke salah satu rumah sakit di Malaysia. Tapi setelah beberapa bulan, Cliff tidak menunjukkan perbaikan. Akhirnya orangtua memutuskan untuk membawa Cliff ke RS Cipto Mangunkusumo. Setelah dirawat di RSCM 2 minggu, Cliff terlihat lebih segar.

Menurut orang tua Cliff, pengobatan dan perawatan yang dilakukan RSCM dengan di Malaysia. Misalnya, di Malaysia Cliff diberikan 13 obat dan masih terus kejang. Setelah di RSCM, obatnya dikurangi jadi 6. Kemudian juga obat tensi yang tadinya 4 macam, setelah observasi, akhirnya Cliff hanya diberikan 1 jenis obat.

Menurut Sherli, selama 2 tahun tim dokter RSCM merawat dengan tulus, sabar dan selalu memberikan kekuatan untuk Cliff agar bisa terus hidup. Dengan terapi selama ini yang dilakukan dokter RSCM, keluarga menjadi yakin untuk tetap melakukan transplantasi ginjal. Namun mendapatkan ginjal yang cocok dengan Cliff bukan hal yang mudah. Dari ayah, saudara dan teman, tidak ada yang cocok dengan ginjal Cliff. Namun akhirnya, Cliff mendapatkan donor ginjal yang cocok.

Operasi ginjal dilakukan tim dokter RSCM yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Endang Susalit Sp.PD-KGH. Sebelumya, pasien Cliff ditangani dokter anak konsultan ginjal dan hipertensi, Prof. Dr. Taralan Tambunan Sp.A (K), DPJP. Kini kondisi Cliff berangsur membaik. Kondisi Cliff satu bulan pasca operasi berangsur membaik. Tidak ditemukan tanda penolakan tubuh terhadap organ barunya, dan sekarang fisiknya lebih sehat. Hal ini ditandai dengan kondisi air seni yang bagus atau tidak lagi mengandung darah. Tekanan darahnya juga mendekati normal. Walaupun masih harus melakukan pemeriksaan rutin dan tidak boleh meninggalkan obatnya.
"Kami sangat bersyukur pada Tuhan, dan berterima kasih pada tim dokter RSCM yang lakukan transplantasi. Kami juga yakin menyerahkan keputusan besar ini karena Cliff jadi anak yang pertama kali transplantasi ginjal di Indonesia. Dokter telah memberikan keyakinan pada kami hingga kami tidak ragu. Dengan mantap saat ini kami percaya kalau ini semua ini mukjizat Tuhan," kata Sherli, ibunya Cliff.

CH Soejono, Direktur Utama RSCM, mengatakan bahwa operasi transplantasi ginjal pada anak memiliki kesulitan lebih tinggi dibandingkan pada pasien dewasa. Sebenarnya sejak 2010, RSCM telah melakukan transplantasi ginjal untuk pasien dewasa. Namun pada pasien anak, inilah pertama kali dilakukan dan berhasil dilakukan transplantasi ginjal. Dan ini membuktikan bahwa kemampuan dan mutu pelayanan Rumah Sakit Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan rumah sakit di luar negeri.

Senin, 29 April 2013

, , , , ,

Jika Dirugikan Dokter, Lapor Saja ke MKDKI

Pernah anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran atau mengetahui adanya dugaan malpraktek? Jangan diam saja. Sampaikan keluhan kepada dokter dan rumah sakit dimana yang bersangkutan bekerja. Dan jika dianggap perlu, sampaikan pengaduan kepada MKDKI saja.

Pasal 66 Undang-Undang Praktik Kedokteran menjamin bahwa Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan 
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sesuai tugasnya, MKDKI menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dengan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter.

Apa yang disebut melanggar disiplin kedokteran? Jika dokter dalam melakukan praktik tidak kompeten, tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya serta berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi dokter. Ketika seorang dokter terbukti melanggar disiplin, dikenakan sanksi berupa pemberian peringatan secara tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik (SIP) dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.

Bagi anda yang mengajukan pengaduan ke MKDKI harus disampaikan secara tertulis dalam formulir pengaduan yang disediakan MKDKI. Dalam formulir terdapat beberapa informasi yang harus dilengkapi pelapor seperti identitas pengadu/pelapor, identitas pasien (jika pengadu bukan pasien), nama dan tempat praktik dokter yang diadukan, waktu tindakan dilakukan, alasan pengaduan dan kronologis, serta pernyataan tentang kebenaran pengaduan.

Jika masih bingung, pengadu bisa datang langsung ke kantor MKDI dan petugas akan membantu membuat pengaduan tertulis. Lebih jelasnya, buka www.inamc.or.id dan unduh formulir pengaduannya.

Sekali lagi, jika anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran, jangan ragu dan takut melaporkannya kepada MKDKI. Bisa jadi, laporan dan pengaduan itu akan menglindungi pasien dari malpraktek kedokteran dan memperbaiki mutu pelayanan rumah sakit Indonesia.

 

Minggu, 28 April 2013

, , , , ,

3 Hal Harus Dihindari Rumah Sakit Saat Hadapi Berita Dugaan Malpraktek

Dugaan malpraktek kembali memenuhi media massa dan media sosial. Media pembentuk opini terus menjejali benak pembacanya dengan kelalaian dokter dan rumah sakit terhadap pasiennya. Persepsi publik menelanjangi rumah sakit dengan pelayanan yang buruk, tak manusiawi dan komersial.

Minggu ini musibah itu menimpa RS Harapan Bunda dan RS Persahabatan di Jakarta Timur. Dalam menghadapi pemberitaan dugaan malpraktek, respon rumah sakit berbeda-beda. Saya pernah menulis pada blog ini bagaimana kita dapat belajar dari kasus RS Harapan Kita. Yang pasti, pemberitaan dugaan malpraktek atau krisis komunikasi kehumasan (public relations) yang melanda rumah sakit harus dihadapi. Tetapi jangan lakukan 3 hal berikut :

1. Bersikap tertutup dan defensif. Sikap ini hampir dilakukan oleh mayoritas rumah sakit di Indonesia. Banyak sebab mengapa rumah sakit berlaku tertutup dan defensif ketika hadapi pemberitaan malpraktek. Perilaku tertutup ini biasa ditunjukkan dengan menyatakan bahwa urusan medis hanya dokter yang tahu dan boleh bicara. Atau mengatakan bahwa yang dilakukan rumah sakit telah sesuai prosedur tanpa disertai fakta. Kemudian saling lempar tanggung jawab dari pimpinan, dokter dan humasnya. Awak media kesulitan mendapatkan pernyataan dari narasumber yang kompeten. Akhirnya jurnalis mengais berita dari sumber-sumber yang semakin memperkuat opini buruk kepada rumah sakit. Kalau pun toh melakukan keterangan pers, yang disampaikan sebatas kronologis formal yang tak menjawab pertanyaan publik.

2. Respon tidak tepat. Disebabkan ketidaksiapan dan ketidaktahuan dengan apa yang harus dilakukan, biasanya rumah sakit merespon dengan tidak tepat. Tidak tepat waktu, tidak tepat substansi. Rumah sakit tidak mempunyai radar yang baik untuk membaca situasi dan kondisi opini di luar.

3. Menyalahkan pasien. Awalnya tertutup, defensif dan terlambat merespon, kemudian rumah sakit malah menyalahkan pasien. Misalnya dikatakan bahwa kondisi pasien buruk yang mengakibatkan berita dugaan malpraktek itu disebabkan pasien yang melakukan kesalahan dan tidak kooperatif. Alih-alih berempati dengan apa yang terjadi pada pasien, sebaliknya rumah sakit menunjukan sikap arogan dan benar sendiri.

Sikap tertutup rumah sakit tak akan membuat masalah selesai. Respon yang tak tepat akan memperburuk keadaan. Apalagi menyalahkan pasien akan memupuk antipati publik. Yang terbaik dilakukan adalah menunjukan empati dan menghargai hak pasien. Lakukan komunikasi yang baik dengan publik melalui media massa dan media sosial. Memberikan keterangan dengan kadar yang cukup dan dapat dimengerti.

Dan yakinlah, badai pasti berlalu jika rumah sakit dapat mengelola dengan baik pemberitaan dugaan malpraktek.

Jumat, 26 April 2013

, , , ,

10 Hal Penting Dalam Memilih Rumah Sakit

Untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa memilih dengan cara melihat-mencoba dulu seperti kita membeli barang di toko. Kita coba dan bandingkan terlebih dulu harganya dengan toko yang lain. Artinya untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa melakukan “window shopping” terlebih dahulu. Saat datang di rumah sakit yang dituju, tentunya proses pelayanan sudah harus berjalan. Karena sakit tak mudah diprediksi. Sakit itu bersifat tidak menentu, mendadak bahkan gawat darurat.

Bagaimana kita tahu rumah sakit yang bagus? Apakah yang bangunannya megah? Perawatnya cantik? Lebih baik, konsultasilah dengan dokter yang biasa menangani kita. Dokter langganan semestinya paling tahu tentang riwayat penyakit dan rumah sakit mana yang harus didatangi apabila perlu perawatan.

Apabila sakitnya datang mendadak dan tidak sempat berkonsultasi dengan dokter langganan, datangilah rumah sakit yang terdekat dan mudah dicapai dengan cepat. Setiap rumah sakit pasti memiliki Unit Emergensi yang dapat menangani keadaan gawat darurat. Setelah pemeriksaan dan tindakan di Unit Emergensi, kita dapat memilih kelas perawatan sesuai kemampuan biaya atau jaminan kesehatan. Atau kita dapat menentukan rumah sakit lain untuk rawat inap.

Berikut 10 hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih rumah sakit. Ciri-ciri Rumah Sakit ini bersifat umum sehingga mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam, yaitu:

1. Keramahan dokter, perawat dan staff lain di rumah sakit;
2. Ketepatan waktu pemeriksaannya;
3. Kondisi sarana dan peralatan medis yang memadai;
4. Customer service yang ramah dan informatif;
5. Administrasi yang mudah dan cepat;
6. Bangunan dan ruangan yang bersih, rapi dan terawat;
7. Tarif pelayanan dan biaya obat yang rasional
8. Papan nama dan petunjuk arah yg jelas di lingkungan rumah sakit;
9. Tempat parkir, ruang tunggu, tempat ibadah yang nyaman;
10.  Rumah sakit tersebut mudah dijangkau.

Semoga bermanfaat.