Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 November 2013

, , ,

Tanggung Jawab Hukum Menurut UU Ketenagakerjaan Jika Dokter Mogok Kerja

Aksi mogok kerja telah menjadi pilihan dalam penyampaian pendapat dan aspirasi, tak terkecuali dokter. Masih sangat hangat, bagaimana beredar melalui media sosial seperti facebook, twitter, grup dan BBM kutipan dari pernyataan candaan Menkes "Kalau Mogok, Kalian (Dokter) akan Saya Bunuh Pelan-Pelan"

Pertanyaannya, bagaimana pandangan hukum terhadap dokter yang melakukan mogok kerja? Saya ingin mengutip hal-hal mogok kerja dari sudut pandang dilihat dari Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat kerjaan. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat kerja/serikat buruh (SP/SB) dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Pekerja/buruh dan atau SP/SB yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.

Sebelum melakukan mogok kerja,  pekerja/buruh dan SP/SB wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan. Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat :
a.     Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b.     Tempat mogok kerja;
c.     Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja dan
d.    Tanda tangan ketua dan sekretaris dan atau masing-masing ketua dan sekretaris SP/SB sebagai penanggung jawab mogok kerja.

Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak memenuhi syarat pemberitahuan tersebut diatas maka mogok kerja yang tidak sah. Dan bila mogok kerja dilakukan secara sah, tertib dan damai sesuai peraturan & peraturan UU siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh untuk menggunakan hak mogoknya.

Sering menjadi perdebatan, apakah rumah sakit berikut tenaga kesehatan didalamnya termasuk dokter dapat diberlakukan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan ini? Pada prinsipnya, sepanjang tidak diatur secara khusus pada Undang-Undang tersendiri, maka Undang-Undang dapat berlaku umum, termasuk UU Ketenagakerjaan terhadap dokter. Agar lebih jelas mari kita cermati  definisi Perusahaan sebagaimana dimaksud UU Ketenagakerjaan.

Dalam Ketentuan Umum disebutkan bahwa  perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik Badan Hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah, atau imbalan dalam bentuk lain. Perusahaan juga bisa disebut usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Dengan demikian, Rumah Sakit baik publik maupun privat, milik pemerintah maupun swasta, dapat dimaknai terikat dengan ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Lalu bagaimana dengan dokter yang melakukan mogok kerja? Dalam konteks UU Ketenagakerjaan, Dokter bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum yaitu Rumah Sakit. Berdasarkan Pasal 139 UU Ketenagakerjaan, pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan  yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang UU Ketenagakerjaan yang didalamnya mengatur tentang mogok kerja, apabila dokter melakukan mogok kerja namun syarat dan tahapannya tidak dilakukan menurut peraturan perundang-undangan maka para dokter dapat diminta pertanggungjawaban menurut hukum. Hal ini disebabkab Rumah Sakit merupakan institusi yang menyelenggarakan kepentingan umum berupa pelayanan kesehatan masyarakat yang didalamnya sangat mengutamakan keselamatan pasien/orang lain.

Jumat, 08 November 2013

, , , , , , ,

Ini Lho Asal Kata “Rumah Sakit”

Tahukah anda, apa itu Rumah Sakit? Hampir pasti semua orang tahu, bahkan mungkin pernah ke rumah sakit. Semua orang tahu, Rumah Sakit tempat mengobati dan merawat orang sakit.

Tahukah anda, apa itu Hospital? Banyak juga orang yang telah mengerti, kata dari bahasa Inggris “Hospital” diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi “Rumah Sakit”. Pernahkah kita sadari, bahwa secara etimologi kata “rumah sakit” dan “hospital” itu mempunyai asal usul kata yang berbeda.

Di Indonesia, kata “rumah sakit” sudah lazim digunakan untuk merujuk sebuah insitusi yang digunakan untuk mengobati dan merawat orang sakit. Kata “rumah sakit” merupakan terjemahan langsung dari kata Belanda “ziekenhuis”. Serapan kata dengan cara menerjemahkan langsung dari bahasa asing, termasuk bahasa belanda, tentu bisa kita fahami. Hal ini mengingat sejarah betapa panjangnya masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Bukti “rumah sakit” merupakan serapan kata Belanda “ziekenhuis” dapat dijumpai pada sejarah penamaan rumah sakit yang sudah berdiri sejak masa penjajahan Belada. Diantara Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dahulu bernama Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) dan RS Cikini (Koningin Emma Ziekenhuis).

Jika kita lihat penggunaan “rumah sakit” sebagai kata umum yang digunakan untuk merujuk sebagai tempat merawat orang sakit, dapat kita temui dalam bahasa lain selain Belanda. Misalnya saja bahasa Jerman “krankenhaus”, Norwegia “sykehus”, Denmark “sygehus, dan Swedia “sjukhus”. Kata asing itu jika diindonesiakan secara langsung menjadi “rumah sakit”.

Secara etimologi berbeda dengan padanan kata dalam bahasa inggris yaitu Hospital. Kata “Hospital” berasal dari bahasa Latin “hospitale” melalui perantaraan bahasa Perancis “hospital”. Asal kata “hospital” dari kata “ospital” berarti penampungan bagi yang membutuhkan, diambil dari kata Latin “hospitale”, rumah tamu atau penginapan. Atau lebih jauh ditelusuri, “hospitale” mempunyai kata sifat “hospitalis” yaitu tempat tamu atau tuan rumah, dari akar kata “hospes” yang berarti tuan rumah. Berasal dari makna hospitalis atau hospes dari makna bagaimana tuan rumah menyambut tamu dengan keramahannya itu, menjadikan induk atau akar kata dari “hotel”, “hostes”, “host”, “hospitality” dan kata lain yang merujuk pada sifat keramahtamahan.

Meski dari serapan kata berbeda, “ziekenhuis” dan “hospital” memiliki makna yang dapat dikatakan tidak berbeda. Bagaimana kita memberikan pelayanan kesehatan, pengobatan dan perawatan kepada pasien semestinya sebagaimana tuan rumah memperlakukan tamu dengan penuh hormat dan keramahtamahan.

Rabu, 06 November 2013

, , , , ,

Pasien Harus Tahu, Beda Pelayanan IGD dan Poliklinik

"Apa sih susahnya dilayani dulu, administrasi belakangan. RS tidak peduli pasien miskin"
"RS tempatnya pelayanan bukan tempatnya prosedur"
"Birokrasi RS emang berbeli belit. Ribet deh"

Sudah biasa kan menemui komentar seperti diatas. Demikian juga komentar publik terhadap kejadian Naila yang meninggal dunia sebelum mendapatkan pelayanan medis kemarin. Dari catatan saya berdasarkan klarifikasi langsung kepada pihak rumah sakit, didapatkan penjelasan bahwa semestinya Naila dirujuk ke IGD, bukan ke Poliklinik. Dari penelusuran saya, ternyata banyak orang belum mengerti bagaimana standar dan prosedur pelayanan di IGD dengan Poliklinik. Padahal sebagai pengguna rumah sakit, kita harus tahu; kapan saatnya ke Poliklinik, kapan mestinya ke IGD. Yuks, kita bahas!

Secara prinsip, prioritas pelayanan medis terhadap pasien didasarkan kepada kondisi dan indikasi medis. Dari sifat kesegeraan penanganan terdapat pasien emergensi dan elektif. Dikatakan pasien emergensi ketika penyakit dan cidera yang diderita dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancan nyawa pasien. Diluar kondisi itu, apalagi untuk pemeriksaan fisik umum, bisa dikategorikan pasien elektif.

Berbeda dengan pasien emergensi yang harus segera ditangani, pelayanan pasien elektif melalui sistem antrian; yang dahulu lebih awal terlayani. Untuk mendapatkan pelayanan, pasien elektif harus melakukan pendaftaran dahulu dilengkapi persyaratan tertentu. Pasien yang membayar jasa layanan secara tunai tentu berbeda persyaratannya dengan pasien jaminan/asuransi. Demikian juga, pasien jamkesmas/jamkesda harus memenuhi persyaratan pada saat daftar sebagai pasien elektif.

Di bagian mana rumah sakit pasien elektif dan emergensi dilayani? Secara sederhana, pasien emergensi pertama kali akan dilayani pada Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sedangkan pasien elektif dilayani di Instalasi Rawat Jalan (IRJ) yang biasanya berbentuk Poliklinik, kumpulan klinik dengan pelayanan medik dasar oleh dokter umum dan pelayanan medik spesialistik oleh dokter spesialis. Untuk lebih memahaminya, mari kita bahas pelayanan di IGD dan IRJ.

Pada beberapa rumah sakit, IGD disebut dengan Unit Gawat Darurat (UGD) atau Emergency Unit. Seperti disebutkan bahwa IGD tempat melayani pasien yang memerlukan penanganan segera. Jika tidak ditolong akan mengakibatkan kecacatan permanen atau malah mengancan nyawa. Karenanya jangan heran, pasien korban kecelakaan, bencana atau kejadian kegawatdaruratan ditangani di IGD.

Ya, memang ruang Instalasi Gawat Darurat selalu identik dengan kecelakaan dan berbagai peristiwa darurat lain yang berkaitan dengan kebutuhan untuk pertolongan segera.

Setiap pasien yang masuk ruang IGD akan melalui proses triage (triase) yang dilakukan oleh dokter IGD.  Triase merupakan tindakan pengelompokan pasien berdasarkan berat ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat keberhasilan yang akan dicapai sesuai standar pelayanan kegawatdaruratan. Mengapa perlu dilakukan triase? Kenapa pelayanan kepada pasien tidak didasarkan sistem antrian; first in first out?

Pelayanan pada keadaan gawat darurat harus mengupayakan efisiensi dan efektifitas. Sedapat mungkin dokter dan tenags kesehatan menyelamatkan sebanyak - banyaknya pasien yang datang ke IGD dalam waktu sesingkat singkatnya. Melihat begitu kritis dan urgensinya pelayanan IGD, maka sumber daya manusia dan sarana di IGD sangat menentukan keberhasilan pelayanan kepada pasien. Dokter dan tenaga kesehatan IGD dituntut untuk dapat melakukan triase secepat dan setepat mungkin. Kemampuan konsep, teori dan pengalaman penanganan keadaan gawat darurat sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan pemilahan saat triase.

Nah, bagaimana sistem kerja Triase? Pasien IGD akan dikelompokan dan ditandai dengan warna merah, kuning, hijau dan hitam. Pasien dengan tanda merah berarti membutuhkan pertolongan darurat dan cepat. Tanda kuning berarti pelayanan dapat ditunda dan tanda hijau pasien tidak dalam kondisi gawat darurat dan dapat ditunda. Sedangkan tanda hitam berarti pasien sudah tidak dapat ditolong, usia harapan hidup sangat tipis atau telah meninggal dunia.

Untuk lebih jelasnya dapat kita beri contoh. Pasien triase merah diantaranya pasien dengan keadaan gawat darurat kecelakaan, patah tulang, perdarahan otak dan luka bakar, stroke, jantung dan gagal nafas dan tidak sadar.

Pasien dengan tanda kuning seperti pasien dengan penyakit infeksi luka ringan, usus buntu, patah tulang, luka bakar ringan. Pasien yang mendapat tanda hijau adalah pasien dengan kondisi kesehatan yang masih dapat ditunda pelayanan, misalkan benturan memar di permukaan kulit, luka lecet, tertusuk duri, dan demam ringan, radang lambung.

Sedangkan pasien dengan tanda triage hitam adalah pasien yang tidak memungkinkan memiliki harapan hidup kendati dilakukan tindakan medis. Misalnya pasien dengan kondisi  kerusakan berat dari seluruh organ penting tubuh, misalnya akibat kecelakaan, bencana alam dan luka bakar. Seorang dokter atau tenaga kesehatan IGD harus peka menggunakan kemampuan mata, telinga, indra peraba, lebih peka, tanggap situasi, cepat dan tepat  dalam menilai perubahan mendadak pasien IGD, sebab sewaktu - waktu kondisi status triase bisa berubah.

Nah, pada fase triase inilah sering terjadi kesalahpahaman dari pihak keluarga pasien. Misalnya pasien yang datang terlebih dahulu, kadang terpaksa ditunda pelayanannya untuk segera mendahulukan pasien yang datang belakangan. Itu disebabkan pasien awal dengan tanda hijau, sementara pasien yang datang belakang dengan tanda merah. Melihat hal itu, tidak sedikit keluarga menganggap pasien ditelantarkan atau tidak diapa-apakan meski sudah di IGD.

Kemudian bagaimana pelayanan di IRJ atau Poliklinik? Pasien yang datang ke Poliklinik pada umumnya datang dengan keluhan/penyakit yang berulang maupun sakit yang masih dapat ditunda. Yaitu pasien yang memerlukan pemeriksaan kesehatan umum, general check up atau pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kondisi kesehatan. Poliklinik biasanya terdiri dari pelayanan dokter umum dan dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, kandungan, kulit dan kelamin, mata, gigi dan lain-lain.

Karena sifatnya elektif, masih bisa ditunda dan tidak gawat darurat maka pelayanannya didasarkan pada sistem antrian. Pasien yang datang lebih dahulu dilayani lebih awal. Semakin banyak kunjungan pasien pada klinik, semakin panjang pula antriannya.

Sebagai pasien, kita dapat merasakan penyakit, cidera dan kondisi diri sendiri. Oleh sebab itu, pasien atau keluarga tentu dapat melakukan penilaian subyektif atas tingkat kesegaraan ini; apakah emergensi atau elektif. Jika pasien/keluarga menduga adanya kondisi gawat darurat, datanglah ke IGD. Disana dokter IGD akan melakukan triase dan menentukan apakah benar emergensi atau hanya elektif. Jadi gawat daruratnya pasien ditentukan oleh dokter bukan oleh penilaian subyektif pasien atau keluarga. Dan kalau tidak darurat atau cukup pemeriksaan kesehatan, pelayanan pasien dilakukan di Polinik. Jangan terbolak-balik ya!

Minggu, 03 November 2013

, , , , ,

Agar Tidak Ditolak Rumah Sakit, Beginilah Semestinya Pasien Dirujuk

Bayi mungil Naila yg dikabarkan ditolak RS dan meninggal dunia di depan loket, kembali menyadarkan kita pentingnya sistem rujukan yang berjalan baik. Jika boleh berandai-andai, jika saja Naila dirujuk dengan baik dari puskemas ke rumah sakit, boleh jadi ceritanya akan lain.
Naila mengingatkan saya kepada bayi Dera di awal tahun ini. Dahulu Dera juga dikabarkan meninggal dunia setelah ditolak pasien. Namun ada kesamaan dalam dua kejadian ini, sistem rujukan pasien yang tidak berjalab semestinya. Saya pribadi, dan tentunya kita semua, tak ingin kejadian tragis ini terjadi lagi. Apalagi jika terus berulang, sungguh terlalu!

Saya ingin berbagi sedikit bagaimana semestinya rujukan pasien dilaksanakan. Rujukan pasien sebagai sebuah sistem bukan saja menjadi tanggung jawab puskesmas, rumah sakit, dokter, tenaga kesehatan, dan pemerintah. Sistem rujukan akan berjalan baik ketika pasien dan keluarga memahami bagaimana semestinya. Dengan kata lain, pasien turut andil suksesnya sistem rujukan.

Pertama yang harus kita ketahui adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Dengan kata lain, pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pasien. Hal ini penting saya tekankan agar pasien mengerti bahwa rujukan merupakan salah satu hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan di puskesmas, rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Dengan sudut pandang hak, pasien atau keluarga dapat secara proaktif mengkomunikasikan hak rujukan kepada dokter atau pihak Rumah Sakit.

Namun kewajiban rumah sakit dalam merujuk pasien dapat dikecualikan jika pasien dalam kondisi tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis. Ketentuan ini termuat dalam  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.

Setiap kali rumah sakit melakukan rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. Dalam penjelasan rumah sakit terhadap pasien/keluarga sebelum merujuk sekurangnya mencakup:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.

Kemudian rumah sakit membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan.  Dalam surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat; identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja, terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan, tujuan rujukan serta nama  dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

Apakah penjelasan saja cukup? Belum cukup. Dalam hal keadaan pasien dalam keadaan gawat darurat, rumah Sakit harus melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis dan kemampuan sebelum melakukan rujukan. Hal ini harus dilakukan demi keselamatan pasien dan memungkinkan pasien ditransportasikan ke rumah sakit penerima rujukan.

Rumah sakit juga harus melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat. Dalam komunikasi tersebut, Rumah sakit penerima rujukan berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan. Dan perlu diingat, pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

Itulah sekelumit bagaimana cara semestinya rujukan pasien dari puskesmas ke rumah sakit atau dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Jika beberapa persyaratan dan ketentuan itu tak terpenuhi, boleh jadi kejadian ditolaknya pasien oleh rumah sakit terulang kembali. Atau tragisnya menyebabkan pasien meninggal dunia akibat terlambat ditangani. Aduh, amit-amit jabang bayi ;(

Jumat, 01 November 2013

, , ,

Belajar dari Kasus Naila, Apa yang Harus Diketahui Keluarga Pasien

Kita turut berduka cita untuk Naila, bayi mungil yang meninggal dunia sebelum mendapat perawatan di RSU Lasinrang, Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan judul "Ditolak Rumah Sakit, Bayi Meninggal di Depan Loket" pasti akan menyentuh hati siapa saja yang membaca. Merasa miris dengan pelayanan Rumah Sakit.

Muncul kesan kuat, karena prosedur berbelit-belit itulah Rumah Sakit abai terhadap pasien yang harus segera mendapatkan pertolongan. Rumah Sakit tak lagi peduli terhadap pasien miskin. Di berita lain, pasien jamkesda ini karena tak lengkap persyaratannya kemudian ditolak/tdk dilayani sehingga mengakibatkan bayi Naila meninggal dunia. Tentu kita sedih mendengarnya. Siapa pun baca berita itu akan berkesimpulan; RS tak punya empati kepada pasien miskin. Atas nama prosesur, nyawa tak terselamatkan.

Pagi tadi saya berkomunikasi dengan pihak Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan dan pihak RSU Lasinrang untuk konfirasi berita Naila ini.

Keterangan atau konfirmasi pihak RS penting untuk tahu kronologi kejadian penanganan Naila di RSU Lasinrang. Dengan begitu kita tahu informasi versi media dan versi RS sehingga informasinya berimbang.

Menurut RSU Lasinrang, bayi Naila dirujuk dari Puskesmas Lampa ditujukan ke Poli Anak untuk mendapatkan pelayanan dokter spesialis anak. Pihak puskesmas telah menawarkan untuk mengantarkan dengan ambulan, tapi orang tua memilih menggunakan mobil. Sampai klinik, mendaftar di loket.

Sebagai pasien jamkesda, setiap pasien/keluarga harus melengkapi persyaratnya diantaranya Kartu Keluarga dan KTP. Karena bayi belum punya KTP, maka diminta surat keterangan lahir. Menurut pihak RS, saat mendaftar di loket, bayi Naila berada jauh dari loket jadi tak terpantau kondisinya. Standar RS, kalau pasien yg harus segera perlu pertolongan datangnya ke IGD, bukan poli klinik. Oleh karena di klinik, dianggap pasien rawat jalan

Meski belum memenuhi syarat, karena pihak orang tua terus mendesak harua segera ditolong, RS meloloskan sebagai pasien jamkesda dan naila dibawa ke IGD. Sesampai di IGD, orang tua Naila menolak ketika dokter akan memeriksa pasien. Pihak keluarga berkesimpulan Naila sudah meninggal disebabkan kelamaan menunggu. Akhirnya Naila dibawa pulang ke rumah dengan ambulan. Innalillahi, kita semua pasti trenyuh melihat kenyataan ini.

Itulah cerita kejadian versi berita dan versi rumah sakit. Mana cerita yg benar, kita tidak tahu. Namun ada yg bisa digarisbawahin dan dicermati.

Pertama, sebelum merujuk puskesmas semestinya memberikan informasi yang jelas kepada keluarga dan RS tentang kondisi pasien, gawat darurat atau elektif. Jika pasien gawat darurat dan memungkinkan dirujuk, pasien harusnya dibawa ke IGD, bukan ke poliklinik.

Kedua, pasien tidak ditolak rumah sakit, tetapi masih dalam proses daftar di poliklinik. Sekali lagi, klinik diperuntukan pasien bukan gawat darurat. Ketiga, kesimpulan meninggal dunia seorang pasien mestinya oleh dokter, bukan penilaian subyektif keluarga pasien.

Belajar kasus ini, jika berkenan ada beberapa saran yg perlu disampaikan kepada kita semua terkait pelayanan rumah sakit.

1. Bagi pasien dengan jaminan kesehatan/asuransi, siapkan semua persyaratanya ketika anda masih sehat. Sehingga saat dibutuhkan sudah lengkap dan siap digunakan.

2. Perjelas status dan kondisi pasien, darurat atau tidak. Jika anda ragu dan khawatir lebih baik langsung ke IGD, jangan datang ke poliklinik. Karena poliklinik diperuntukan pasien yang memerlukan pemeriksaan bukan tindakan segera.

3. Jika pasien harus dirujuk, mintalah Puskesmas atau Rumah Sakit mencarikan RS yang siap menerima rujukan. Boleh saja keluarga pasien membantu mencari RS rujukan, tapi itu tidak harus.

4. Jangan pernah membawa pasien keluar Puskesmas/RS jika belum jelas RS mana yang siap terima rujukan pasien. Apalagi jika menurut dokter dan indikasi medis kondisi pasien not transferable.

5. Pasien berhak atas informasi yang jujur, jelas dan benar. Jangan sungkan bertanya kepada dokter atau petugas RS, meski akan dibilang bawel. Itu hak pasien, demi nyawa pasien.

6. Jadi pasien atau keluarga, jangan alergi prosedur dan standar. Pelayanan RS itu padat prosedur dan standar. Itu semua demi keselamatan dan ketertiban, tapi komunikasikan!

7. Bersabarlah menjadi pasien jamkesmas/jamkesda jika antriannya panjang. Karena memang jumlah pasiennya banyak. Yang terpenting, RS tidak melanggar hak pasien.

8. Tidak ada RS yang berniat celakai pasien. Tidak ada pasien yg mau ditolak RS. Untuk itu, berkomunikasilah dengan baik dan jangan memaksakan kehendak.

Semoga kita menjadi orang yang dapat mengambil hikmah dari kejadian di sekitar kita, meski itu kisah tragis. Semoga kita jadi orang sabar lagi tahu hak kewajibannya. Harapan besarnya, tidak ada lagi Naila-Naila yang lain.

Kamis, 24 Oktober 2013

, , , , , , ,

Benarkah Rakyat Miskin Dapat Berobat Gratis?

"@SBYudhoyono: Dgn BPJS Kesehatan, rakyat miskin dpt berobat & dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit. BPJS utk penuhi hak hidup sehat bagi semua."

Mari kita perhatikan kicauan akun resmi twitter Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah pencanangan BPJS di Sukabumi kemarin. Pernyataan Presiden tersebut nampak pro rakyat. Saya mendukung program populis. Tetapi saya berhati-hati pernyataan yang bernuansa politis. Sekilas tak tampak tak ada yang salah dengan kicauan akun @SBYudhoyono tersebut. Namun tanpa sadar bisa menimbulkan sesat pikir. Benarkah dengan BPJS Kesehatan, rakyat miskin dapat berobat dan dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit?

Sejenak saya ingin sampaikan peristiwa menarik pada kegiatan Rapat Kerja Kesehatan Nasional di Makassar awal tahun ini. Ini juga terkait pandangan pejabat publik tentang "pengobatan gratis" bagi rakyat miskin ini. Sebagai pembicara utama, Menteri Kesehatan dan Gubernur Sulawesi Selatan berbeda pandang dan saling adu argumen secara sengit dihadapan peserta Rakerkesnas. Ujung pangkal persoalan adalah pandangan Pak Gubernur bahwa dengan adanya Jamkesmas dan Jamkesda maka rakyat dapat berobat gratis. Ibu Menkes, sebagai penanggung jawab program Jamkesmas, tidak setuju dengan pandangan itu. Sebab, kata Ibu Menkes, biaya pengobatan rakyat miskin di rumah sakit dan puskesmas ditanggung oleh negara. Besarnya anggaran Jamkesmas lebih dari Rp 7,4 trilyun diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Tentu saja Gubernur Sulsel tetap bersikukuh dengan pendapatnya. Karena pengobatan gratis itu sebagaimana janjinya pada kampanye Pemilu Kepala Daerah. Pokoknya, rakyat tahunya gratis, tidak keluar uang, begitu Pak Gubernur bersikukuh.

Ibu Menkes tentu bisa memahami cara pandang para Gubernur, Bupati dan Walikota tentang pengobatan gratis bagi rakyat miskin. Karena itu janjinya saat kampanye, agar terlihat populis. Tetapi kemasan bahasa ini bisa menimbulkan sesat pikir dan cenderung pembodohan. Kata "Gratis" bisa menyesatkan rakyat seakan-akan menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan semaunya dan tidak bertanggung jawab. Karena merasa tidak mengeluarkan uang seperser pun. Padahal Negara mengalokasikan anggaran trilyunan rupiah untuk itu. Benar rakyat tidak keluar uang langsung, tetapi negara membayar biaya berobat itu. Oleh sebab itu Menkes menghimbau agar para Kepala Daerah menyampaikan fakta secara apa adanya. Dengan Jamkesmas, juga Jamkesda, biaya berobat bagi orang miskin ditanggung oleh Negara melalui APBN dan APBD. Oleh sebab itu, gunakan secara bertanggung jawab, bijak dan sesuai indikasi medis.

Dari gambaran tiga pandangan Pejabat Negara tersebut; Presiden, Menkes dan Gubernur Sulses, kita bisa melihat bagaimana sudut pandang dan kemasan bahasa yang disampaikan kepada masyarakat. Presiden dan Gubernur Sulsel adalah Pejabat publik yang diajukan oleh Partai Politik dan dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Cara pandang dan bahasa yang digunakan cenderung memilih kesan populis. Karena itu sebagai pemanis dan pemupuk citra politiknya. Sementara itu, Menkes adalah pejabat publik yang diangkat presiden didasarkan pada kapasitas profesionalnya. Menkes mempunyai cara pandang dan kemasan bahasa yang faktual apa adanya. Dari pernyataaan Menkes, kita bisa fahami ada makna edukasi kepada masyarakat.

Seorang kawan saya berkata,"kan sama saja mas. ditanggung APBN sama saja gratis bagi rakyat". Tentu saja beda. Mari kita urai sedikit dengan analogi sederhana. Anda makan di sebuah Warteg dengen menu favorit nasi sepiring penuh, sayur lodeh, jengkol, oreg tempe, ikan kembung dan segelas es teh. Setelah sendawa tiga kali karena kekenyanangan, bertanyalah kepada penjaga warung.

"Sudah nih pakde. berapa semua?"

"Wah, tidak usah bayar. Saya sudah senang lihat sampean makan. berarti masakan saya enak"

"Bener pakde, gratis nih. Saya gak perlu bayar? jadi enak nih. ngomong-ngomong, pakde masih punya anak perempuan singel nggak?"

Nah ini ngelunjak namanya. Tapi pasti hatinya seneng, karena tanpa mengeluarkan uang perut pun kenyang. Demikian juga Pakde, pemilik warteg, hanya cukup merasa puas dengan "kerakusan" pelanggannya dalam menyantap makanan. Meski demikian, ia tak menerima uang sebagai imbal jasa.

Tapi akan beda dengan jika dialognya begini.

"Sudah nih pakde. berapa semua?"

"Oh, sudah dibayar semua oleh cewek yang duduknya di samping sampean tadi"

"Ah, yang bener? Jadi saya ditraktir nih. Ngomong-ngomong, cewek tadi siapa ya Pakde?. Saya ndak kenal je"

"Lah, saya kira itu teman sampean"

Ya sudahlah, yang penting bisa makan kenyang tanpa bayar, alias ditraktir. Pakde, pemilik warteg, juga tak kehilangan haknya untuk menerima uang sebagai imbal jasa makanannya. Secara manusiawi, anda akan merasa tidak enak hati dan malu, akan makan sepuasnya "cenderung rakus" bila tahu ditraktir. Sebaliknya, jika tahu ditraktir sampean akan makan secukupnya. Kecuali memang, tidak tahu diri.

Dari analogi cerita itu, disebut "GRATIS" jika penerima layanan tidak mengeluarkan uang dan pemberi layanan tidak menerima uang. Akan beda, jika penerima layanan tidak mengerluarkan uang, namun pemberi layanan tetap mendapatkan uang sebagai hak imbal saja. Demikian juga dalam program Jamkesmas, Jamkesda dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) nantinya. Negara menanggung iuran sebesar Rp 19.200 bagi setiap penduduk miskin dan tidak mampu. Negara menanggung sebanyak 96,4 juta rakyat miskin dan tidak mampu. Itu artinya Negara mengeluarkan anggaran sebesar hampir Rp 20 trilyun dari APBN. Uang itu nantinya akan dibayarkan kepada fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk rumah sakit dan puskesmas, sebagai bentuk imbal jasa bagi rakyat miskin/tidak mampu yang memerlukan pengobatan dan perawatan.

Pertanyaan selanjutnya, darimanakah uang APBN itu? Sebagaimana kita tahu,  APBN berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Rasanya tidak ada orang di Indonesia ini, termasuk rakyat miskin, yang terbebas sama sekali dari pajak. Singkatnya, jika iuran Penerima Bantuan Iuaran (PBI) JKN yaitu bagi rakyat miskin dan tidak mampu, berasal dari APBN. Demikian juga iuran untuk non PBI, sebesar 1% iurannya ditanggung negara melalui APBN. Itu berarti  berasal dari pajak rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kita telah "meng-iur" iuran JKN melalui pajak kita.

Jika demikian, apakah tepat pendapat bahwa dengan BPJS (sebenarnya lebih tepat, JKN)  rakyat miskin dapat berobat dan dirawat gratis di Puskesmas & rumah sakit? Sungguh pernyataan itu tidak mencerdaskan rakyat. Bisa dikatakan, itu pembodohan!

 

Kamis, 10 Oktober 2013

, , , , , , ,

Jangan Katakan, Apakah Sudah Buat Janji?

Saya bergegas mendahului naik lift menuju lantai 6 di sebuah rumah sakit di kawasan BSD Tangerang. Sebelumnya saya sudah bertanya kepada seorang staf dimana kantor manajemen atau direksi rumah sakit. Saya bersama sekitar 15 orang sengaja berkunjung mendadak untuk meminta klarifikasi atas suatu perkara di rumah sakit tersebut.

Sampai di lantai 6 terdapat seorang resepsionis yang sedang duduk dan sambil bertelepon.

"Selamat siang. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan ingin bertemu dengan direktur atau manejemen rumah sakit". Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kunjungan, sesaat setelah resepsionis meletakkan gagang telepon.
"Bapak darimana?", tanya resepsionis sambil tetap duduk. Entah tidak mendengar perkenalan saya atau sekedar memastikan.
"Kementerian Kesehatan," saya mengulang dengan lebih jelas.

Dia mengangguk dan kembali mengangkat gagang telepon. Saya mundur beberapa langkah sambil memperhatikan sekeliling.  Di sebelah kanan ada ruangan kecil. Mungkin ruang tamu. Kawan-kawan saya sudah sampai juga di lantai 6. Mereka masih bergerombol di depan lift. Saya melihat ke arah resepsionis, masih bertelepon. Mungkin sedang melapor ke atasannya atau berkoordinasi ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri dan memandang ke arah saya.

"Bu, ada tamu dari Kementerian Kesehatan", resepsionis melaporkan kepada perempuan yang datang dari arah belakang dimana saya berdiri.
"Selamat siang Ibu. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan. Ingin bertemu dengan direktur atau dengan manajen rumah sakit"
"Apakah sudah buat janji? Atau kirim surat resmi?," tukasnya tanpa balas memperkenalkan diri. Sorot matanya penuh selidik. Raut mukanya datar tanpa ekspresi keramahan.

"Belum bu. Apakah harus kami buat janji atau kirim surat resmi?," saya bertanya balik.
"Oh tidak. Ada keperluan apa ya?"
"Kami dari Kementerian Kesehatan bersama rombongan dari KKI, IDI, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi ingin klarifikasi tentang suatu hal dengan direksi. Apakah Ibu, Direkturnya?"
"Oh bukan. Saya bagian dari manajemen. Boleh saya masuk dulu, nanti sebentar kami keluar lagi menemui bapak dan ibu kembali"
"Silahkan. Boleh para pimpinan kami menunggu di dalam ruangan itu?", jawab saya sambil menunjuk ruanh kecil di sebelah kanan.

Wanita itu masuk ke dalam. Resepsionis pun asik menunduk dan membuka-buka sebuah buku. Saya mempersilahkan para pejabat lembaga yg tadi saya sebutkan untuk menunggu di dalam ruang tamu yang hanya cukup sekitar 7 orang.

Saya masih berdiri sambil mematut diri. Dalam hati bertanya, apa yang kurang pada diri saya sehingga mendapat tanggapan yang tak ramah. Resepsionis dan wanita tadi menerima dengan kesan kaku. Malah cenderung diwarnai kecurigaan. Dari busana, saya pakai baju batik dan semi jas lengkap dengan tanda pengenal. Dari tata krama, saya sudah memperkenalkan diri.

"Penampilan saya kurang meyakinkan ya? Sepertinya ibu tadi tak yakin kalau saya dari Kemenkes," canda saya kepada seorang kawan.
"Ah bapak bisa aja. Kayaknya disini sudah biasa begitu. Masa dia nggak lihat bos-bos kita pakai jas dan blus resmi gitu. Malah ada yang pakai seragam. Ada kumisnya lagi," serentak kami berdua terkekeh. Sekedar menghibur diri untuk mengusir kejenuhan. Kurang lebih 30 menit menunggu tak juga ada orang yang menenui kami di ruang tunggu.

Setiap ingat kejadian itu, hingga saya menulisnya saat ini, saya merasa tak habis pikir. Bagaimana sebuah rumah sakit swasta yang terkesan mewah dan besar, namun mempunyai gaya menerima tamu sedemikian kaku dan tidak bersahabat. Alih-alih mengedepankan hospitality dan customer care, sebaliknya justru menagih surat resmi dan menanyakan apakah sudah buat janji.

Seperti sudah kita maklumi bahwa pertanyaan "apakah sudah buat janji" biasa digunakan untuk menyeleksi tamu pimpinan kantor. Atau bahkan jadi alasan untuk menolak tamu karena waktu bos tidak bisa dibuang-buang untuk perkara tamu yang tak penting. Boleh dan sah-sah saja itu diterapkan. Pertanyaannya, kepada siapa dan disaat kapan pertanyaan "apakah sudah buat janji" itu disampaikan?   Semestinya si penanya harus dapat menilai kapan waktu dan kepada orang yang tepat. 

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik yang mengedepankan empati dan kepedulian. Tidak hanya staf di garda depan, meski Direktur sekalipun, harus siap menerima tamu untuk mendengar dan menerima keperluannya. Benar, tidak semua tamu harus diterima dan diseleksi Direktur. Namun cara seleksi tamu pun jangan terkesan birokratif, tertutup dan kaku.

Cara terbaik seleksi tamu adalah dengan menanyakan siapa orang dan apa keperluannya. Setelah tahu, kita bisa mengerti seberapa penting si tamu bertemu dengan direktur rumah sakit. Jika memang dianggap penting, jangan sekali-kali menanyakan "apakah sudah buat janji atau kirim surat resmi". Itu tidak etis lagi tak bersahabat. Jika tamu itu pun dirasa biasa saja, barangkali bisa ditawarkan untuk dibantu pejabat atau staf lain selain direktur. Misalnya, "mungkin bisa saya bantu sebelum nanti bertemu dengan atasan saya". Itu berempati lagi ramah.

Kemudian saya coba bandingkan dengan kebiasaan di ruang tata usaha Dirjen. Sepanjang yang saya ketahui, belum pernah staf TU Dirjen menanyakan surat resmi atau buat janji terhadap tamu yang sudah terlanjur bertamu. Tapi prosedurnya tentu ditanya siapa dan apa keperluannya.

Ah, lain lubuk lain ikannya. Membiarkan tamu sekitar 45 menit tanpa kejelasan itu benar-benar perilaku yang tidak berempati lagi tak bersahabat. Apalagi terhadap tamu dari institusi negara dengan tugas khusus. Dan ketidakramahan itu semakin lengkap, setelah kami berinteraksi dengan Direktur rumah sakitnya. Ahh!

Sabtu, 05 Oktober 2013

, , , , , , , , ,

6 Kesalahan Dinkes Tangsel Dalam Penggunaan Dokter Asing

Gara-gara dokter asing, Kota Tangerang Selatan heboh jadi bahan berita. Puluhan dokter berunjuk rasa memprotes keberadaan dokter asing yang melakukan tindakan medis di RSUD Tangerang Selatan. Akibat unjuk rasa tersebut, Kepala Dinas Kesehatan memecat 5 dokter kontrak. Sementara itu, Direktur RSUD Tangsel membubarkan Komite Medik rumah sakit.

Menurut kabar terbaru, Direktur RSUD Tangsel sudah diberhentikan dan dimutasikan ke Provinsi Banten. Untuk mengisi kekosongan, Kadinkes Tangsel merangkap menjadi pejabat sementara Direktur dan Ketua Komite Medik rumah sakit.

Apa sesungguhnya yang salah dengan keberadaan dokter asing di Tangerang Selatan ini? Saya mencoba identifikasi kesalahan Tangerang Selatan dalam mendayagunakan dokter asing.

1/ Dokter asing tidak punya Surat Tanda Registrasi

Setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran harua memiliki surat izin praktik (SIP)dari Dinas Kesehatan setempat. Salah satu syarat izin praktik adalah Surat Tanda Registrasi yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Demikian juga untuk Dokter Asing yang menjalankan praktik kedokteran harus memiliki SIP dan STR. Meskipun punya "surat izin transfer of knowledge" yang ditandatangani Kadinkes Tangsel, 2 dokter Malaysia praktik di RSUD tersebut terbukti belum memiliki STR dari KKI.

2/ Surat Izin Kadinkes Tangsel Cacat Hukum.

Berdasarkan penjelasan Kadinkes Tangsel bahwa Dinkes telah mengajukan STR kepada KKI. Namun selama 14 hari STR tidak keluar sehingga Kadinkes mengeluarkan "surat izin transfer of knowledge' dengan dasar hukum Perda No. 8 Tabun 2010 tentang retribusi daerah. Dari penjelasan tersebut, Kadinkes memberlakukan kesalahan dalam logika hukum, landasan yuridis dan penerapan hirarki peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks pendayagunaan dokter asing sudah sangat jelas dan detil diatur oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil dan Keputusan Konsil. Dengan peraturan-peraturan diberlaku asas lex specialis derogat legi generalis, dimana peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan umum. Penerapan dasar hukum UU Pelayanan Publik dan Peraturan Daerah jelas tidak tepat, apalagi kedua peraturan tersebut tidak menyebut sama sekali substansi dokter asing.

3/ Salah kaprah antara pelayanan medis dengan transfer of knowledge.

Dalam Permenkes yang mengatur pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing bahwa dokter asing dibedakan menjadi dokter asing pemberi pelayanan dan pendidikan alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Kedua kategori itu mempunyai  persyaratan, teknis tindakan medis dan STR berbeda. Jika dokter asing melakukan tindakan medis kepada pasien umum di rumah sakit maka itu disebut pemberi pelayanan. Dokter asing alih ilmu pengetahuan hanya dilakukan pada kasus sulit yang tidak dapat ditangani dokter setempat atau adanya metode baru.

Sementara itu, kedua dokter malaysia itu melakukan pelayanan tindakan medis kepada pasien RSUD Tangsel namun dikatakan sebagai transfer of knowledge.

4/ Kompetensi Dokter

Menurut para dokter yang melakukan unjuk rasa dan IDI setempat, tindakan medis yang dilakukan 2 dokter asing itu juga bisa dikerjakan dokter lokal dan bukan metode baru.

Untuk STR Sementara,  kolegium yang bersangkutan akan melakukan evaluasi dan verifikasi kompetensi dokter asing di negaranya. Sementara kedua dokter asing tersebut masih belum jelaa kompetensinya karena proses pengajuan STR tidak tuntas.

5/ Pasport dan Visa

Berdasar informasi yang saya dapat bahwa izin keimigrasian pasport dan visa kunjungan biasa bukan untuk kerja. Padahal visa kunjungan tentu berbeda dengan visa kerja. Apakah bisa dikatakan penyalahgunaan visa, tentu perlu ditelusuri lebih lanjut.

6/ Rumah Sakit Tidak Punya Izin Penggunaan Dokter Asing

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit yang mendayagunakan dokter asing harus memiliki rencana pendayagunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA) dari Kementerian Tenaga Kerja. Selain itu dokter asing hanya dapat melakukan pendidikan alih ilmu pengetahuan pada rumah sakit pendidikan atau bekerjasama dengan RS Pendidikan. Faktanya, RSUD Tangsel bukan RS Pendidikan atau kerjasama dengan RS Pendidikan.

Itulah 6 kesalahan yang dilakukan Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dalam pendayagunaan dokter asing.

Senin, 26 Agustus 2013

, , , ,

Bu Yati, Humas Idola Saya

Bu Yati tergopoh-gopoh menemui pasien. Setengah berlari dia mendahului saya untuk mendekati seorang lelaki yang nampak sedang marah dengan petugas customer service. Setelah dekat, Bu Yati dengan senyum mengembang mengucap salam dan bertanya kabar kepada pasien yang sudah lanjut usia tersebut. Tidak cukup itu, tanpa menunggu respon lelaki tua itu, Bu Yati memeluknya dengan hangat.

Saya takjub sejenak. Dalam hati, saya kagum dengan bagaimana Bu Yati memperlakukan pasiennya yang sedang marah. Pasien itu memang aedang komplain terhadap pelayanan rumah sakit dimana Bu Yati bekerja. Sebagai Humas, Bu Yati menjadi pihak yang jadi sasaran kemarahan dan harus mampu menangani dengan baik.

Sambil memegang erat kedua tangan lelaki tua itu, Bu Yati menuntunnya untuk duduk di kursi didekatnya. Dengan lembut, Bu Yati meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan pasien. Dan sekaligus memastikan bahwa pasien lansia tersebut akan mendapatkan pelayanan terbaik dari rumah sakit. Sejenak pasien itu ragu, dia mengalihkan pandangan kepada saya. Saya tersenyum dan mengangguk. Kemudian saya menjelaskan apa yang terjadi setelah pasien itu menyampaikan pengaduannya tadi pagi. Akhirnya pasien lansia itu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah sekelumit pengalaman saya ketika menyaksikan langsung bagaimana Bu Yati, petugas humas, menangani komplain pasien. Fragmen tersebut biasa? Menurut saya, itu luar biasa jika dirunut dari kejadian beberapa jam sebelumnya.

Pagi-pagi sekali, seorang pasien menelepon saya untuk mengadukan  pelayanan rumah sakit yang mengecewakan. Saya menuju rumah sakit untuk melakukan klarifikasi. Saya langsung menuju ruang humas dimana biasa pasien/keluarga menyampaikan keluhan pelayanan.

Seorang perempuan, Bu Yati yang berusia sekitar 50 tahun menyambut ramah kedatangan saya. Saya sudah mengenalnya, beliau salah seorang petugas humas yang juga menerima pengaduan dan tempat luapan kemarahan pasien tersebut sebelum yang bersangkutan telepon saya pagi tadi. Badannya subur, berbusana dengan kerudung polos dan sederhana. Singkatnya, penampilan fisik dan berbusana jauh dari stereotif humas pada umumnya, perempuan muda, cantik dan gaya pakaian masa kini.

Bu Yati mendengar dengan seksama apa yang menjadi kepentingan saya. Tidak memotong sama sekali. Sesekali mengangguk. Begitu selesai saya bicara, petugas humas ini menanggapi dengan tutur kata dan sikap yang menunjukkan empati. Ucapan dengan gaya bahasa formal meski tak kaku. Intonasinya terjaga, sehingga membuat nyaman.

Dalam tanggapannya, dia mengakui bahwa pasien belum mendapatkan pelayanan kesehatan disebabkan menunggu keputusan dari Direktur rumah sakit. Meski diterima dengan baik, saya menyampaikan keberatan atas terlambatnya pelayanan. Saya meminta dipertemukan dengan Direkturnya. Saya dapat merasakan bahwa dia bingung dan tertekan. Pertama, jadi sasaran kemarahan pasien yang tak segera terlayani. Kedua, mendapatkan teguran saya sekaligus harus mengantarkan saya kepada Direkturnya.

Di dalam sebuah ruangan, kami bertiga bicara. Bu Yati melaporkan secara singkat duduk perkara dan keperluan saya kepada Direktur. Kemudian saya menegaskan perlunya segera pasien mendapatkan pelayanan. Mendengar apa yang saya dan humas sampaikan, alih-alih berbesar hati mengambil alih tanggung jawab, sang Direktur justru menyalahkan Humas atas keterlambatan pelayanan. Alasannya, Direktur menganggap Humas tidak mencerna dengan baik instruksinya. Sebenarnya Humas bersikukuh bahwa Direktur belum memberikan keputusan. Namun apalah daya, Humas tak dapat lagi menyampaikan pembelaannya. Keputusan pertemuan itu, pasien segera ditangani dengan baik.

Baru saja keluar dari ruangan Direktur, Humas mendapatkan laporan dari satpam bahwa tadi pasien datang ingin menemui Direktur rumah sakit. Satpam menolak permintaan itu dan diminta pasien menunggu di lantai bawah. Bu Yati marah dengan perilaku satpam. Bisa juga Bu Yati marah karena meluapkan tumpukan kedongkolan hatinya karena telah mendapatkan tekanan sana sini baik pasien maupun Direktur. Dengan  terburu-buru, Bu yati dan saya segera menemui pasien tersebut di lantai bawah. Dia bergumam, "sebagai pasien, saya pun akan marah diperlakukan seperti ini'

Demikianlah, di mata saya Bu Yati adalah tauladan kehumasan bagaimana menangani pengaduan dan kemarahan pasien. Dia sendiri tidak dalam kondisi damai secara psikologis. Pagi-pagi telah kena damprat pasien, tertekan dengan kedatangan saya dan puncaknya disalahkan Direktur. Dia marah, dia dongkol hatinya. Namun tak mengurangi keramahan, kehangatan dan ketenangan menghadapi kemarahan pasien.

Kalau tak salah, tahun ini beliau pensiun. Saya akan kehilangan sosok humas yang luar biasa dan berdedikasi. Salut dan salam hormat kepada Bu Yati.

Sabtu, 22 Juni 2013

, , , , , ,

Inilah Manfaat Penggunaan INA CBGs Bagi Pasien dan Rumah Sakit

Sistem Casemix INA CBGs merupakan suatu pengklasifikasian dari episode perawatan pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinik yang sejenis. Case Base Groups (CBGs), yaitu cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh suatu kelompok diagnosis.

Dalam pembayaran menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider/asuransi atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya. Perkiraan waktu lama perawatan (length of stay) yang akan dijalani oleh pasien juga sudah diperkirakan sebelumnya disesuaikan dengan jenis diagnosis maupun kasus penyakitnya. Bukan hanya dari segi pembayaran, tentu masih banyak lagi manfaat dengan penggunaan sistem INA CBGs.

Bagi pasien, adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan, dan mengurangi pemeriksaan serta penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.

Manfaat bagi Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya, dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan Rumah Sakit, dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan. Juga meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA dengan cara yang lebih objektif.

Rumah sakit dapat perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat. Rumah sakit juga dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi, keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran, dan mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway.

Kemudian manfaat bagi penyandang dana Pemerintah (provider) dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan, dengan anggaran pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan akan terjangkau, secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/Pemerintah, dan penghitungan tarif pelayanan lebih objektif serta berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya.

Sabtu, 15 Juni 2013

, , , , ,

Sekilas tentang INA CBGs

Pada postingan sebelumnya, saya sedikit mengulas sistem tarif yang dijalankan rumah sakit Indonesia. Disitu mulai disinggung INA CBGs. Apa sih itu?

INA CBGs merupakan kelanjutan dari aplikasi Indonesia Diagnosis Related Groups (INA DRGs). Aplikasi INA CBGs menggantikan fungsi dari aplikasi INA DRG yang saat itu digunakan pada Tahun 2008. Dalam persiapan penggunaan INA CBG dilakukan pembuatan software entry data dan migrasi data, serta membuat surat edaran mengenai implementasi INA-CBGs.

Sistem yang baru ini dijalankan dengan menggunakan grouper dari United Nation University Internasional Institute for Global Health (UNU - IIGH). Universal Grouper artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat dinamis yang artinya total jumlah CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan jika terdapat perubahan dalam pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.

Pengelompokan ini dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD – 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan (ICD – 9 CM ). Mengombinasikan ribuan kode diagnosa dan prosedur tersebut, tidak mungkin dilakukan secara manual. Untuk itu diperlukan sebuah perangkat lunak yang disebut grouper. Grouper ini menggabungkan sekitar 23.000 kode ke dalam banyak kelompok atau group yang terdiri dari 23 MDC (Major Diagnostic Category), terdiri pula dari 1077 kode INA DRG yang terbagi menjadi 789 kode untuk rawat inap dan 288 kode untuk rawat jalan.
Tahun 2011, National Casemix Center Kemenkes melihat adanya ketidakcocokan tarif INA CBGs bagi rumah sakit, kemudian dilakukan evaluasi secara berkala dan menghasilkan tarif sesuai dengan Kepmenkes Nomor 440 tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Rumah Sakit Berdasarkan Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs). Bahwa tarif INA CBG dibagi menjadi empat regional terdiri dari regional 1 daerah Jawa dan Bali, regional 2 Sumatera, Regional 3 daerah Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan regional 4 daerah Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Sekaligus menjelaskan tarif INA CBG dalam setiap regional menurut tipe dan kelas rumah sakit, terdiri dari tarif Rumah Sakit Umum dan Khusus Kelas A, Kelas B Pendidikan, Kelas B Non Pendidikan, Kelas C dan Kelas D, Tarif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta , Tarif RSAB Harapan Kita Jakarta , Tarif RSJP Harapan Kita Jakarta dan Tarif RS Kanker Dharmais Jakarta, Tarif RS Khusus Stroke Nasional Bukittinggi, Tarif RSKO Jakarta dan Tarif RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta.

Kemudian adanya penambahan pada 7 kelompok CBGs baru yang dibayarkan terpisah, yaitu kasus kronik, kasus sub kronik, prosedur mahal, obat mahal, pemeriksaan mahal dan prosthesis/implant yang mahal. Tentunya setiap periode tertentu dilakukan perubahan dari segi metodologinya dan akan melibatkan banyak pihak. Nantinya juga tarif akan digunakan untuk kelas III, II, dan I.

Standar nasional inilah yang digunakan untuk pengelolaan tarif Jamkesmas, maka penerapan INA CBGs ini mengharuskan rumah sakit untuk melakukan kendali mutu, kendali biaya dan akses. Sehingga rumah sakit bisa lebih efisien terhadap biaya perawatan yang diberikan kepada pasien, tanpa mengurangi mutu pelayanan. Dengan demikian, tarif dapat diprediksi dan keuntungan yang diperoleh rumah sakit pun dapat lebih pasti.

Sabtu, 08 Juni 2013

, , , , , , ,

Beginilah Sistem Tarif Rumah Sakit Indonesia

Ini hanya sebagai contoh kasus. Seorang pasien, sebut saja A, menjalani perawatan selama lima hari di rumah sakit. Setelah dinyatakan sembuh, biaya perawatan pasien tersebut sebesar Rp 5 juta rupiah. Ada juga, pasien B dengan diagnosa yang sama dirawat pada rumah sakit lain selama sepuluh hari. Biaya pengobatan dan perawatannya sebesar Rp 6 juta. Kedua pasien tersebut mendapatkan pelayanan kelas III, namun tarifnya berbeda.

Kemudian contoh lain. Ada pasien sakit demam berdarah dirawat di sebuah rumah sakit. Beberapa hari menjalani pengobatan dan perawatan. Pada pukul 7 pagi, perawat menginformasikan bahwa pasien sudah boleh pulang. Namun tetap harus menunggu dokter yang merawatnya yang direncanakan akan melakukan kunjungan pada siang hari. Hingga jam tujuh malam, dokter belum melakukan kunjungan dan pemeriksaan terakhir sehingga pasien tertunda kepulangannya. Akibatnya, pasien atau keluarga harus menanggung bertambahnya biaya perawatan.

Kedua contoh diatas menggambarkan kondisi variasi tarif rumah sakit pada diagnosa penyakit dan kelas perawatan yang sama. Juga tidak efisiennya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit. Bicara tentang tarif, saat ini sebagain besar rumah sakit menggunakan sistem fee for services. Dimana rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Besarnya biaya pengobatan dan perawatan tergantung pada setiap tindakan pengobatan dan jasa pelayanan yang diberikan rumah sakit.

Sementara itu khusus untuk pasien jamkesmas, rumah sakit di seluruh Indonesia telah menggunakan sistem tarif prospektif secara paket. Besaran tarif sudah ditentukan didasarkan pada diagnosa penyakit. Demikian juga, tindakan dan obat yang mesti digunakan telah ditentukan. Besar tarif tetap atau konstan, apapun dan berapapun tindakan medis yang dilakukan. Sistem paket tarif ini disebut INA CBGs.

Pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG.

Kementerian Kesehatan telah melaksanakan sistem INA CBGs untuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat (jamkesmas) sejak tahun 2010. Hingga saat ini Tahun 2013, INA CBGs telah digunakan dalam klaim Jamkesmas pada sebanyak 515 RS Swasta dan 747 RS Pemerintah. Tarif ini diberlakukan untuk perhitungan biaya klaim bagi jamkesmas yang dirawat atau mendapat layanan kesehatan di rumah sakit penerima Jamkesmas.

Jumat, 31 Mei 2013

, , , , , , , , , ,

INA CBGs itu makhluk apa?

"INA CBGs itu makhluk apa?"

Mohon angkat tangan, siapa diantara kita yang masih mempunyai pertanyaan seperti itu. Masih ada?  Berbahagilah! Berarti anda sama dengan Wanda Hamidah, anggota DPRD Jakarta yang cantik itu.

Jauh sebelum Wanda Hamidah mengungkapkan pertanyaan, "INA CBGs itu makhluk apa?", saya merasa orang terakhir yang tidak memahami apa itu INA CBGs. Namun kesamaan dengan Wanda Hamidah dalam hal ketidaktahuan tentang INA CBGs, tidak menjadikan saya geer alias besar diri. Sebaliknya merasa malu, sebagai orang yang bergelut sehari-hari dalam bidang perumahsakitan tidak mengerti dengan sistem INA CBGs yang sudah berjalan sejak Tahun 2010.

Adalah berita 16 rumah sakit mundur dari program Kartu Jakarta Sehat, menjadikan INA CBGs lebih dikenal. Klaim rumah sakit tersebut, tarif INA CBGs rendah sehingga merugikan mereka. Sontak kabar ini memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa sih INA CBGs? Makhluk apa itu INA CBGs? Tidak saja, Wanda Hamidah dan anggota DPRD Jakarta lainnya yang beberapa diantaranya mengusung wacana interpelasi. Tetapi juga anggota DPR dan pihak yang berkepentingan terhadap BPJS dan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

Kasus KJS dan INA CBGs ini menjadi topik hangat media cetak, online, televisi dan radio minggu-minggu ini. Namun jika disimak seksama, apa yang berseliweran di media itu belum menjawab secara substansi apa itu INA CBGs. Sulitnya mencari referensi, semakin tidak mudah memahami INA CBGs. Apalagi pertentangannya pun sudah bergeser kepada sisi politis dan interpelasi. Saya bukan ahli, namun hanya sekedar berbagi informasi secara konsepsi tentang makhluk apa itu INA CBGs.

Mari kita awali dengan pertanyaan mudah. Sebagai pasien lebih pilih mana; anda tahu besaran tarif dan jumlah biaya yang harus dibayarkan sebelum atau sesudah pelayanan pengobatan dan perawatan? Saya yakin mayoritas pasien (kalau tidak bisa dikatakan semua) ingin tahu besarnya biaya sebelum dilakukan semua tindakan pengobatan. Dengan INA CBGs, pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Pada INA CBGs bersifat paket sehingga besaran tarifnya dan jumlah biaya tetap.

Sekarang bandingkan dengan sistem tarif yang digunakan oleh sebagian besar rumah sakit saat ini. Pasien baru tahu besaran tarif dan jumlah biaya setelah semua tindakan pelayanan. Dan rumah sakit memungut biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Dengan kata lain, rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Inilah yang disebut fee for service, dimana besarnya biaya tergantung pada setiap tindakan pengobatan yang dilakukan.

Itulah sekilas konsepsi makhluk yang bernama INA CBGs. Oh ya, saya baca di salah satu media online bahwa Wanda Hamidah telah mengeluarkan pernyataan: INA CBG's lebih bagus dan lebih sistematis daripada Jamkesda.

Nah, jangan-jangan sekarang sudah mengerti INA CBGs. Waaaanndatahu, saya!

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.

Kamis, 02 Mei 2013

, , , , , , ,

CLIFF, Kisah Sukses Transplantasi Ginjal Anak di Indonesia

Untuk pertama kalinya di Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) berhasil melakukan transplantasi ginjal pada anak. Setelah 3 tahun melakukan cuci darah secara rutin, Cliff Yehezkiel Mambo (12) menjalani operasi transplantasi ginjal pada pada tanggal 13 Maret 2013. Dan saat ini sudah aktif seperti anak sehat pada umumnya.

Seperti diketahui, transplantasi ginjal dilakukan kepada seseorang yang kondisi ginjalnya sudah tidak mampu lagi melakukan fungsinya dengan baik. Operasi transplantasi ginjal pada pasien dewasa memang sudah biasa, tetapi jarang sekali pada pasien anak.

Cliff, anak dari pasangan Sherli Katili dan James Mambu asal Gorontalo itu mulai memperlihatkan penyakit yang aneh pada Juni 2010. Badannya bengkak-bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, dokter menyatakan bahwa Cliff memiliki kelainan ginjal. Berbeda pada orang dewasa dimana biasanya diabetes atau darah tinggi menjadi penyebab gagal ginjal, pada kasus Cliff penyebabnya termasuk idiopatik, suatu kondisi yang tidak bisa diketahui penyebabnya.

Orang tua Cliff merasa terpukul dan seakan tak mau menerima kondisi ini. Apalagi keluarga sempat mendengar ginjal dari Cliff tinggal 25 persen. Atas saran teman dan keluarga, orang tua membawa Cliff ke salah satu rumah sakit di Malaysia. Tapi setelah beberapa bulan, Cliff tidak menunjukkan perbaikan. Akhirnya orangtua memutuskan untuk membawa Cliff ke RS Cipto Mangunkusumo. Setelah dirawat di RSCM 2 minggu, Cliff terlihat lebih segar.

Menurut orang tua Cliff, pengobatan dan perawatan yang dilakukan RSCM dengan di Malaysia. Misalnya, di Malaysia Cliff diberikan 13 obat dan masih terus kejang. Setelah di RSCM, obatnya dikurangi jadi 6. Kemudian juga obat tensi yang tadinya 4 macam, setelah observasi, akhirnya Cliff hanya diberikan 1 jenis obat.

Menurut Sherli, selama 2 tahun tim dokter RSCM merawat dengan tulus, sabar dan selalu memberikan kekuatan untuk Cliff agar bisa terus hidup. Dengan terapi selama ini yang dilakukan dokter RSCM, keluarga menjadi yakin untuk tetap melakukan transplantasi ginjal. Namun mendapatkan ginjal yang cocok dengan Cliff bukan hal yang mudah. Dari ayah, saudara dan teman, tidak ada yang cocok dengan ginjal Cliff. Namun akhirnya, Cliff mendapatkan donor ginjal yang cocok.

Operasi ginjal dilakukan tim dokter RSCM yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Endang Susalit Sp.PD-KGH. Sebelumya, pasien Cliff ditangani dokter anak konsultan ginjal dan hipertensi, Prof. Dr. Taralan Tambunan Sp.A (K), DPJP. Kini kondisi Cliff berangsur membaik. Kondisi Cliff satu bulan pasca operasi berangsur membaik. Tidak ditemukan tanda penolakan tubuh terhadap organ barunya, dan sekarang fisiknya lebih sehat. Hal ini ditandai dengan kondisi air seni yang bagus atau tidak lagi mengandung darah. Tekanan darahnya juga mendekati normal. Walaupun masih harus melakukan pemeriksaan rutin dan tidak boleh meninggalkan obatnya.
"Kami sangat bersyukur pada Tuhan, dan berterima kasih pada tim dokter RSCM yang lakukan transplantasi. Kami juga yakin menyerahkan keputusan besar ini karena Cliff jadi anak yang pertama kali transplantasi ginjal di Indonesia. Dokter telah memberikan keyakinan pada kami hingga kami tidak ragu. Dengan mantap saat ini kami percaya kalau ini semua ini mukjizat Tuhan," kata Sherli, ibunya Cliff.

CH Soejono, Direktur Utama RSCM, mengatakan bahwa operasi transplantasi ginjal pada anak memiliki kesulitan lebih tinggi dibandingkan pada pasien dewasa. Sebenarnya sejak 2010, RSCM telah melakukan transplantasi ginjal untuk pasien dewasa. Namun pada pasien anak, inilah pertama kali dilakukan dan berhasil dilakukan transplantasi ginjal. Dan ini membuktikan bahwa kemampuan dan mutu pelayanan Rumah Sakit Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan rumah sakit di luar negeri.

Senin, 29 April 2013

, , , , ,

Jika Dirugikan Dokter, Lapor Saja ke MKDKI

Pernah anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran atau mengetahui adanya dugaan malpraktek? Jangan diam saja. Sampaikan keluhan kepada dokter dan rumah sakit dimana yang bersangkutan bekerja. Dan jika dianggap perlu, sampaikan pengaduan kepada MKDKI saja.

Pasal 66 Undang-Undang Praktik Kedokteran menjamin bahwa Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan 
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Sesuai tugasnya, MKDKI menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin dokter dengan menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter.

Apa yang disebut melanggar disiplin kedokteran? Jika dokter dalam melakukan praktik tidak kompeten, tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya serta berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi dokter. Ketika seorang dokter terbukti melanggar disiplin, dikenakan sanksi berupa pemberian peringatan secara tertulis, rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi (STR) atau surat izin praktik (SIP) dan kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran.

Bagi anda yang mengajukan pengaduan ke MKDKI harus disampaikan secara tertulis dalam formulir pengaduan yang disediakan MKDKI. Dalam formulir terdapat beberapa informasi yang harus dilengkapi pelapor seperti identitas pengadu/pelapor, identitas pasien (jika pengadu bukan pasien), nama dan tempat praktik dokter yang diadukan, waktu tindakan dilakukan, alasan pengaduan dan kronologis, serta pernyataan tentang kebenaran pengaduan.

Jika masih bingung, pengadu bisa datang langsung ke kantor MKDI dan petugas akan membantu membuat pengaduan tertulis. Lebih jelasnya, buka www.inamc.or.id dan unduh formulir pengaduannya.

Sekali lagi, jika anda merasa dirugikan atas tindakan kedokteran, jangan ragu dan takut melaporkannya kepada MKDKI. Bisa jadi, laporan dan pengaduan itu akan menglindungi pasien dari malpraktek kedokteran dan memperbaiki mutu pelayanan rumah sakit Indonesia.

 

Minggu, 28 April 2013

, , , , ,

3 Hal Harus Dihindari Rumah Sakit Saat Hadapi Berita Dugaan Malpraktek

Dugaan malpraktek kembali memenuhi media massa dan media sosial. Media pembentuk opini terus menjejali benak pembacanya dengan kelalaian dokter dan rumah sakit terhadap pasiennya. Persepsi publik menelanjangi rumah sakit dengan pelayanan yang buruk, tak manusiawi dan komersial.

Minggu ini musibah itu menimpa RS Harapan Bunda dan RS Persahabatan di Jakarta Timur. Dalam menghadapi pemberitaan dugaan malpraktek, respon rumah sakit berbeda-beda. Saya pernah menulis pada blog ini bagaimana kita dapat belajar dari kasus RS Harapan Kita. Yang pasti, pemberitaan dugaan malpraktek atau krisis komunikasi kehumasan (public relations) yang melanda rumah sakit harus dihadapi. Tetapi jangan lakukan 3 hal berikut :

1. Bersikap tertutup dan defensif. Sikap ini hampir dilakukan oleh mayoritas rumah sakit di Indonesia. Banyak sebab mengapa rumah sakit berlaku tertutup dan defensif ketika hadapi pemberitaan malpraktek. Perilaku tertutup ini biasa ditunjukkan dengan menyatakan bahwa urusan medis hanya dokter yang tahu dan boleh bicara. Atau mengatakan bahwa yang dilakukan rumah sakit telah sesuai prosedur tanpa disertai fakta. Kemudian saling lempar tanggung jawab dari pimpinan, dokter dan humasnya. Awak media kesulitan mendapatkan pernyataan dari narasumber yang kompeten. Akhirnya jurnalis mengais berita dari sumber-sumber yang semakin memperkuat opini buruk kepada rumah sakit. Kalau pun toh melakukan keterangan pers, yang disampaikan sebatas kronologis formal yang tak menjawab pertanyaan publik.

2. Respon tidak tepat. Disebabkan ketidaksiapan dan ketidaktahuan dengan apa yang harus dilakukan, biasanya rumah sakit merespon dengan tidak tepat. Tidak tepat waktu, tidak tepat substansi. Rumah sakit tidak mempunyai radar yang baik untuk membaca situasi dan kondisi opini di luar.

3. Menyalahkan pasien. Awalnya tertutup, defensif dan terlambat merespon, kemudian rumah sakit malah menyalahkan pasien. Misalnya dikatakan bahwa kondisi pasien buruk yang mengakibatkan berita dugaan malpraktek itu disebabkan pasien yang melakukan kesalahan dan tidak kooperatif. Alih-alih berempati dengan apa yang terjadi pada pasien, sebaliknya rumah sakit menunjukan sikap arogan dan benar sendiri.

Sikap tertutup rumah sakit tak akan membuat masalah selesai. Respon yang tak tepat akan memperburuk keadaan. Apalagi menyalahkan pasien akan memupuk antipati publik. Yang terbaik dilakukan adalah menunjukan empati dan menghargai hak pasien. Lakukan komunikasi yang baik dengan publik melalui media massa dan media sosial. Memberikan keterangan dengan kadar yang cukup dan dapat dimengerti.

Dan yakinlah, badai pasti berlalu jika rumah sakit dapat mengelola dengan baik pemberitaan dugaan malpraktek.

Jumat, 26 April 2013

, , , ,

10 Hal Penting Dalam Memilih Rumah Sakit

Untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa memilih dengan cara melihat-mencoba dulu seperti kita membeli barang di toko. Kita coba dan bandingkan terlebih dulu harganya dengan toko yang lain. Artinya untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, kita tidak bisa melakukan “window shopping” terlebih dahulu. Saat datang di rumah sakit yang dituju, tentunya proses pelayanan sudah harus berjalan. Karena sakit tak mudah diprediksi. Sakit itu bersifat tidak menentu, mendadak bahkan gawat darurat.

Bagaimana kita tahu rumah sakit yang bagus? Apakah yang bangunannya megah? Perawatnya cantik? Lebih baik, konsultasilah dengan dokter yang biasa menangani kita. Dokter langganan semestinya paling tahu tentang riwayat penyakit dan rumah sakit mana yang harus didatangi apabila perlu perawatan.

Apabila sakitnya datang mendadak dan tidak sempat berkonsultasi dengan dokter langganan, datangilah rumah sakit yang terdekat dan mudah dicapai dengan cepat. Setiap rumah sakit pasti memiliki Unit Emergensi yang dapat menangani keadaan gawat darurat. Setelah pemeriksaan dan tindakan di Unit Emergensi, kita dapat memilih kelas perawatan sesuai kemampuan biaya atau jaminan kesehatan. Atau kita dapat menentukan rumah sakit lain untuk rawat inap.

Berikut 10 hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih rumah sakit. Ciri-ciri Rumah Sakit ini bersifat umum sehingga mudah dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam, yaitu:

1. Keramahan dokter, perawat dan staff lain di rumah sakit;
2. Ketepatan waktu pemeriksaannya;
3. Kondisi sarana dan peralatan medis yang memadai;
4. Customer service yang ramah dan informatif;
5. Administrasi yang mudah dan cepat;
6. Bangunan dan ruangan yang bersih, rapi dan terawat;
7. Tarif pelayanan dan biaya obat yang rasional
8. Papan nama dan petunjuk arah yg jelas di lingkungan rumah sakit;
9. Tempat parkir, ruang tunggu, tempat ibadah yang nyaman;
10.  Rumah sakit tersebut mudah dijangkau.

Semoga bermanfaat.

Rabu, 24 April 2013

, , , , , , ,

Mengapa Rumah Sakit Harus Berbadan Hukum?

Akhirnya Muhammadiyah mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit kepada Mahkamah Konstitusi. Muhammadiyah menganggap dirugikan hak konstitusionalnya disebabkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit yang menyebutkan rumah sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya di bidang perumahsakitan.

Untuk itu, Muhammadiyah mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar Pasal 7 ayat (4) dan pasal-pasal terkait dibatalkan karena bertentangan dengan hak pemohon yang dijamin Pasal Pasal 28D ayat (1) dan 28I UUD 1945. Atau Pasal 7 ayat (4) UU Rumah Sakit sepanjang mengenai frasa “yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Membahas tentang uji materi UU Rumah Sakit ini, saya jadi ingat sewaktu menjadi tukang ketik dan "asisten sorot" pada rapat-rapat pembahasan RUU Rumah Sakit sejak tahun 2005. Saya mencoba mengingat apa yang menjadi latar belakang ketentuan harus berbadan hukum khusus bidang perumahsakitan.

1. Sebagai subyek hukum. Dengan ketentuan harus berbentuk badan hukum, maka Rumah Sakit atau swasta pengelola dapat menjadi subyek hukum sendiri sebagaimana layaknya manusia. Sebagai Korporasi dapat melakukan tindakan dan tanggung jawab hukum.
Dengan kata lain, pada badan hukum yang bertindak sebagai subjek hukum adalah perkumpulannya sehingga jika terjadi masalah hukum yang dituntut adalah perkumpulannya bukan kepada masing-masing orang anggotanya.

2. Harta kekayaan terpisah. Sebagai badan hukum, kekayaan rumah sakit terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus/anggotanya. Ini wujud transparansi dan akuntabilitas. Sehingga jika terjadi akibat yang tak diinginkan, misalnya pailit, maka yang terkena sita hanyalah harta perusahaan saja. Sementara harta pribadi pengurus atau anggotanya tetap bebas dari sitaan.

3. Mencegah aliran arus modal. Mempertimbangkan karakteristiknya yang uncertainly (ketidakpastian), kegawatdaruratan dan life saving (penyelamatan nyawa), mengharuskan rumah sakit harus siap dan aman secara modal. Jika dalam sebuah badan hukum mengelola lebih dari satu bisnis inti (core business) dikhawatirnya terjadi subsidi silang dan arus modal diantaranya. Misalnya, sebuah badan hukum mengelola pendidikan dan rumah sakit. Jika terjadi kerugian dalam bisnis pendidikannya, apakah modal yang semestinya untuk operasional rumah sakit tidak tersedot untuk menyelamatkan bidang pendidikan? Dan bagaimana pada saat yang sama, rumah sakit harus membeli obat dan bahan habis pakai untuk pasien? Untuk itulah,
rumah sakit harus dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis yang sehat dengan mencegah adanya pencampuran modal dan kekayaan perusahaan.

4. Tanggung jawab korporasi. Sebagai subyek hukum, rumah sakit dapat melakukan hubungan hukum dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu rumah sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya. Ini diantara yang dimaksudkan dengan tanggung jawab korporasi (corporate liability) dimana tanggung jawab hukumnya mencakup aspek administratif, perdata, perdata dan pidana.

Dalam hal ini, mari kita ambil contoh kasus terjadi pada Muhammadiyah; Jika sebuah Rumah Sakit milik Muhammadiyah terjadi gugatan perdata dan dinyatakan pailit, apakah Muhammadiyah juga akan di-pailit-kan? Jika pada RS Muhammadiyah terjadi kasus pidana yang melibatkan korporasi dan harus dilakukan penutupan atau pembubaran atas perintah Pengadilan, apakah Muhammadiyah juga ikut dibubarkan? Ini hanya berandai-andai saja!

Sebagai pemilik dan pengelola sekitar 78 rumah sakit yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia, Muhammadiyah berhak mengajukan hak konstitusionalnya. Yang menarik diantara argumentasi yang disampaikan oleh kuasa hukum Muhammadiyah bahwa ketentuan mewajibkan untuk membentuk badan hukum khusus telah mereduksi hak konstitusional pemohon, sebagai persyarikatan yang berstatus badan hukum yang telah diakui negara sejak sebelum kemerdekaan. Tapi menarik juga dengan apa yang disampaikan hakim konstitusi Hamdan Zoelva bahwa dengan UU Rumah Sakit semuanya harus diurus ulang untuk mendapatkan badan hukum khusus rumah sakit. Adakah kerugian yang paling substansial yang dialami Muhammadiyah selain persoalan perizinan? Sebab, kalau persoalan ini bisa diatasi dengan badan khusus itu dengan 100 persen sahamnya dimiliki Muhammadiyah. Nah loh!

Pertanyaan nakalnya, apa ruginya jika rumah sakit dapat dikelola dengan prinsip bisnis yang sehat, profesional dan akuntabel? Wallohu'alam.

Kamis, 18 April 2013

, , , ,

Tulisan Biasa Ternyata Bisa Menginspirasi Orang Lain

"Terima kasih ya. Tulisanmu bagus-bagus", kata Prof. Kadir sambil menyalami tangan saya.
"Tulisan yang mana, Prof?", saya belum ngeh.
"Itu yang link-nya kamu share di-milis. Itu saya jadikan referensi mengajar mahasiswa S3 saya".
"Ah, Prof bisa aja". Saya tertawa kecil. Namun dalam hati jingkrak-jingkrak dan kepala terasa membesar.

Itulah percakapan singkat saya dengan Prof. Abdul Kadir, Direktur Utama RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar itu. Bagi saya, pengakuan beliau membesarkan hati dan menumbuhkan kebanggaan tersendiri. Meskipun itu hanya percakapan personal yang tak didengar orang lain. Hampir tak percaya, bagaimana seorang guru besar dan mantan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar menjadikan tulisan sederhana di blog saya sebagai referensi mengajar mahasiwa S3-nya.

Berawal dari niatan mengajak para direktur rumah sakit memperbanyak konten positif di media online tentang rumah sakit, beberapa kali saya berbagi postingan anjaris.me di mailing list. Dari dua tiga kali saya share postingan itu, barangkali Prof Kadir tertarik menjadikannya referensi. Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Provinsi Sulawesi Selatan ini juga mengaku membaca tulisan lain dari link yang saya sertakan. Padahal, saya bukan orang dengan latar belakang kesehatan namun menulis dunia perumahsakitan. Tentu dilihat substansinya, postingan saya itu dangkal, biasa dan sederhana. Postingan saya bukan tulisan ilmiah, melainkan dalam format blog yang setiap postingannya berkisar 200 - 500 kata. Apalagi postingan saya 100 persen ditulis hanya sambil lalu disela-sela kesibukan dengan menggunakan Blackberry.

Ternyata tulisan yang bagi penulisnya biasa saja, bisa jadi dapat menginspirasi orang lain. Tulisan sederhana pun bisa menjadi referensi bagi orang yang mengerti.

Terima kasih, Prof. Kadir!