Pada saat yang hampir bersamaan, media juga diramaikan dengan peristiwa lain. Ada CD, seorang dokter rumah sakit di Jakarta, dituduh dan diopinikan rasis karena tulisan dan sikapnya yang mendukung aksi dan gerakan tertentu. Ada pula M dan K, dua dokter yang dikabarkan menolak melayani pasien BPJS karena anggapan pribadi adanya unsur riba pada asuransi komersial juga termasuk BPJS. Peristiwa ini menjadi perbincangan media sosial dan pemberitaan media massa.
Kehidupan kita sehari-hari tidak bisa lepas dari media sosial. Kebutuhan dan kebiasaan mengakses media sosial tidak berbeda dengan makan dan minum. Mungkin terlalu ekstrim, tapi mari kita melihat diri masing-masing. Berapa lama waktu kita membaca dan menulis pesan melalui Whatsapp? Berapa kali mengeposkan foto diri ke Instagram? Berapa sering menulis kabar di Facebook, berkicau di Twitter? Satu hari saja tidak mengakses media sosial, ada yang hilang dari kehidupan kita.
Media sosial seakan telah menjadi candu. Kemajuan teknologi yang awalnya untuk memudahkan manusia dalam mengakses informasi dan berkomunikasi dengan jejaringnya, saat ini telah menjadi dunia sendiri. Banyak orang seakan telah memindahkan kehidupannya dari dunia nyata ke dunia maya melalui media sosial. Bagaimana tidak, melalui media sosial seseorang tidak hanya urusan informasi dan komunikasi. Media sosial telah menjadi panggung unjuk diri dan eksistensi, jejaring sosial, popularitas bahkan pendapatan.
Ini sederhana memahaminya. Apa yang kita bawa ke media sosial adalah kehidupan nyata. Artinya kita memindahkan kehidupan dan peristiwa nyata di media sosial. Padahal sejatinya tidak semua hal di dunia nyata pantas, cocok dan selayaknya dibawa ke media sosial. Demikian pula sebaliknya, kehidupan maya media sosial, sebaiknya tidak dibawa bulat-bulat di kehidupan kita pada dunia nyata.
Ketika jari sudah menekan tombol “enter”, kita tidak dapat lagi mengendalikan lagi apa pun yang dipublikasikan melalui media sosial. Tulisan dan foto yang ditayangkan di Facebook, dilihat oleh teman jejaring yang berjumlah ratusan atau ribuan orang. Ada yang menyukai, membagikan ke pengikutnya, dan menanggapi. Ada juga teman yang melakukan tangkap layar (screenshoot) kemudian membagikan melalui facebook, instagram, twitter, whatsapp atau media sosial lain.
Tulisan dan foto itu akhirnya menjadi konsumsi publik, tidak sebatas teman facebook yang sebagian dikenal, tetapi juga menyebar kepada orang-orang yang tidak dikenal. Seperti air yang mengalir sampai jauh, demikian pula segala sesuatu yang diposkan melalui media sosial akan menyebar tanpa bisa lagi dikendalikan kecepatan dan jangkauannya.
Apa isi tulisan, gambar dan audio video yang diposkan di media sosial tadi? Jika itu sesuatu yang baik akan bermanfaat bagi orang lain. Andai sesuatu yang benar akan mencerahkan orang lain. Misalnya sesuatu yang menginspirasi akan memotivasi orang lain. Bagaimana jika itu sesuatu kabar bohong, melanggar norma etika atau menyinggung isu sara? Tentu bukan pujian dan apresiasi yang diterima, melainkan caci maki, hujatan bahkan tuntutan yang dituai.
Jika terjadi seperti itu, tutup akun media sosial saja. Beres kan? Tidak semudah itu. Tayangan media sosial itu telah menyebar dan jejak digital tersimpan di dunia maya. Itu bisa digunakan oleh pihak yang tidak menyukai, kontra atau tersinggung dengan tayangan itu. Reaksi negatif atas sesuatu yang kita poskan di media sosial, tidak sebatas komentar pedas penuh caci maki, bisa juga reaksi yang bersifat fisik dan mental.
Orang yang kita kenal mulai menjaga jarak atau menjauh. Mulai dari memutus pertemanan di media sosial atau bahkan benar-benar di kehidupan nyata. Bisa juga orang lain atau sekelompok orang mendatangi untuk meminta klarifikasi atau pertanggungjawaban. Bahkan bisa jadi ada yang menuntut secara hukum atas sesuatu yang diunggah di media sosial.
Apa yang dipikirkan? Ingat, think! True, apakah yang akan kita poskan itu sesuatu yang dapat dibenarkan oleh norma dan etika. Hurtfull, apakah ini akan menyinggung dan menyakiti orang lain dan kelompok tertentu. Ilegall, jangan-jagan isi yang diposkan itu melanggar peraturan yang berlaku. Necessary, seberapa perlu atau penting kita mengeposkan tulisan, foto dan audio video ini. Dan kind, apakah ini baik untuk diri sendiri, keluarga kita, institusi tempat bekerja dan baik juga untuk masyarakat.
Jika sesuatu itu tidak benar, menyinggung orang lain bahkan melanggar aturan, dan ternyata tidak perlu atau tidak baik, mengapa harus diposkan di media sosial? Mengapa tidak menahan diri saja. Atau mengeposkan sesuatu dari cara pandang berbeda yang lebih bermanfaat dan menginspirasi orang lain?
Adalah perilaku bijak untuk menahan diri berkomentar atau menayangkan sesuatu di media sosial atas masalah yang berbau politis, isu sara dan masalah sensitif lain. Tanpa bosan mengingatkan, apa yang dilakukan dan diposkan di media sosial, akan berdampak tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga keluarga, institusi dan masyarakat.
Seperti pepatah, mulutmu harimaumu. Demikian juga media sosialmu adalah harimaumu. Berhati-hati mengucapkan lisan dari mulut, bijak pula mengeposkan sesuatu melalui media sosial. Jangan pula karena takut “harimau”, kita memilih tidak “bermulut”. Lho!