Rabu, 07 Juni 2017

SETENGAH GELAS JKN

Ada sebuah gelas bening diatas meja yang berisi setengah air minum. Menurut anda, apa yang dapat disimpulkan orang melihat gelas tersebut? Ada sebagian orang menjawab bahwa setengah gelas sudah berisi air. Ada sebagian lain menjawab, gelas itu masih kosong setengahnya. Jika anda diminta ikut menyimpulkan, yang manakah jawaban anda; setengah isi atau setengah kosong gelas itu?

Simpan dulu jawaban anda. Sebenarnya, pertanyaan ini bukan soal benar atau salah. Ini menyangkut cara pandang seseorang dalam melihat sesuatu hal. Disadari atau tidak, kita terbiasa menerapkan filosofi setengah isi dan setengah kosong gelas berisi air ini dalam kehidupan sehari-hari kita. Percaya atau tidak, menentukan jawaban setengah isi atau setengah kosong itu merupakan pilihan seseorang.

Sekarang, mari kita gunakan “filosofi gelas” ini untuk menilai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sejak tahun 2014, Pemerintah melalui BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan dengan sistem asuransi sosial yang kepersertaan wajib bagi seluruh warga negara Indonesia. Setiap peserta JKN harus membayar iuran yang telah ditetapkan. Bagi penduduk yang tidak mampu iuran JKN ditanggung oleh Pemerintah. Dengan program JKN ini, setiap peserta mendapatkan paket manfaat terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Seberapa besar manfaat program JKN ini dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia? Menurut data dari BPJS Kesehatan, jumlah pemanfaatan peserta JKN di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 92,3 juta kunjungan pada tahun 2014. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat kunjungan menjadi 192,9 juta pada tahun 2016.

Secara lebih rinci, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik sebanyak 66,8 juta kunjungan pada tahun 2014 meningkat menjadi 134,9 juta kunjungan pada tahun 2016. Pemanfaatan di poliklinik rawat jalan rumah sakit sebanyak 21,3 juta kunjungan pada tahun 2014 meningkat menjadi 50,4 juta kunjungan tahun 2016. Sementara itu di rawat inap rumah sakit sebanyak 4,2 juta pada tahun 2014 menjadi 7,6 juta kunjungan pada tahun 2016.

Data diatas baru menunjukkan tingkat pemanfaatan atau kunjungan peserta JKN, bagaimana tingkat kepuasannya? Pada tahun 2016, sebuah survei yang dilakukan oleh PT Swasembada Medis Bisnis menemukan tingkat kepuasan peserta JKN atas pelayanan kesehatan sebesar 78,9 persen. Dengan kata lain, masih ada ketidakpuasan peserta JKN sebesar 21,1 persen.

Nah, sekarang kita kembali pada filosofi gelas diatas dikaitkan dengan tingkat kepuasan peserta JKN atas pelayanan kesehatan. Kita analogikan tingkat kepuasan 78,9 persen sebagai gelas setengah isi dan tingkat ketidakpuasan 21,1 sebagai gelas setengah kosong. Pertanyaannya, manakah yang banyak mengemuka di publik?

Di media tidak jarang kita disuguhi ada saja berita buruknya pelayanan rumah sakit bagi pasien JKN. Diantara keluhan itu yaitu antrian panjang pasien, tidak tersedianya tempat tidur, kelangkaan obat dan lamanya waktu pelayanan. Berita yang muncul dibingkai seolah rumah sakit menolak pasien miskin. Padahal bisa jadi disebabkan ketidakseimbangan jumlah kunjungan pasien dengan keterbatasan fasilitas rumah sakit.

Itulah fakta yang ditemukan di lapangan. Keluhan peserta JKN itu memang benar adanya. Secara sederhana, itu dapat dimasukkan dalam tingkat ketidakpuasan 21,1 persen diatas. Di lain sisi, mengapa jarang sekali kita mendengar apresiasi peserta JKN pada pelayanan kesehatan yang diwakili oleh tingkat kepuasan sebesar 78,9 persen tadi?

Karena media lebih memilih memberitakan dari sisi “bad news is good news”. Sekali lagi, ini bukan persoalan benar salah, melainkan bagaimana cara pandang. Media akan mengangkat sisi kemanusiaan yang menarik minat pembaca atau penontonnya. Sisi kemanusiaan dan perhatian publik menyentuh misalnya pada ketika “si miskin ditolak rumah sakit” atau “kartu sakti KIS yang ternyata tidak membuat pemegangnya mendapatkan kenyamanan dan kecepatan pelayanan”.

Sebaliknya, jika ada pasien yang gembira atau puas mendapatkan pelayanan di rumah sakit, berpendapat itu sudah semestinya. Hal yang “sudah semestinya” itu tidak bernilai berita bagi media. Dalam hal ini media lebih memilih cara pandang gelas setengah kosong dibandingkan setengah isi. Itu sah-sah saja.

Demikian juga kepada sebagain orang yang belum mau menerima atau memandang sebelah mata JKN, harus dilihat sebagai cara pandangnya gelas setangah kosong. Misalnya tenaga kesehatan yang pendapatannya menurun sejak melayani pasien JKN. Juga rumah sakit dan klinik yang belum mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Itu boleh saja, tidak dilarang. Justru itu menjadi tantangan bagi BPJS Kesehatan atau Pemerintah untuk melakukan pembenahan mereka dapat berubah cara pandangnya menjadi gelas setengah isi.

Lalu seperti apa gelas setengah isi JKN? Merekalah yang dengan kehadiran JKN merasa tertolong dan dapat berobat. Mereka yang menyadari bahwa kartu peserta JKN bukan kartu sakti atau kartu VIP, tetapi jaminan biaya pengobatan untuk penyembuhan dari sakit yang diderita.

Secara lebih ideal, cara pandang gelas setengah isi dapat ditemukan pada sebagian orang yang dapat melihat dan merasakan adanya perubahan sistem pelayanan kesehatan dari fee for service menjadi sistem paket yang lebih efektif. Mereka yang dapat melihat perubahan pengelolaan pelayanan kesehatan yang lebih akuntabel dan efisien. Mereka pula yang dapat menyaksikan sistem rujukan yang mulai bisa diterapkan secara konsisten.

Sebagaian orang dengan cara pandang gelas setengah isi bukan tidak melihat adanya kekurangan dari pelayanan kesehatan peserta JKN. Mereka lebih memilih dengan cara pandang positif dengan mengawal proses perbaikan program JKN.

Jadi jawaban mana yang anda pilih; gelas setengah isi atau setengah kosong?

Sabtu, 03 Juni 2017

MEDSOSMU HARIMAUMU

Adalah FL, seorang dokter yang bekerja pada sebuah rumah sakit di daerah Solok, Sumatera Barat. Namanya mendadak populer menjadi pemberitaan media massa nasional dan menghentak jagat media sosial. Berawal dari pendapat pribadinya yang ditulis dalam laman Facebook. FL mengomentari tokoh Islam yang jadi sorotan publik nasional. Dalam status facebook itu, ibu dua orang anak ini selain berkomentar dan memberikan penilaian atas pribadi tokoh dan kasus yang sensitif itu.

Tulisan dibaca dan disebar oleh pembacanya. Ada sekelompok orang yang tidak menyukai bahkan tersinggung dengan isi tulisan. Kelompok ini menuntut permintaan maaf dan melaporkannya kepada polisi. Dengan saksi beberapa orang termasuk pihak polisi, FL membuat pernyataan permintaan maaf dengan dibubuhi materai.

Sampai disini masalah selesai? Ternyata tidak. Paska penandatanganan pernyataan maaf, ada tulisan yang mengatasnamakan FL beredar luas melalui media sosial. Dalam tulisan tersebut, seseorang mengaku FL mendapat perlakuan intimidatif. Ia merasa terancam keselamatan nyawanya dan ingin meninggalkan kota Solok. Tulisan yang awalnya viral di media sosial, menjadi pemberitaan besar di media massa baik lokal maupun nasional.
Banyak pihak menaruh perhatian dan menanggapi kasus ini, tidak hanya warganet biasa, tetapi juga tokoh nasional. FL harus diselamatkan dari perilaku intimidatif dan intoleran, demikian pandangan banyak orang. Terjadilah polemik, ada yang pro dan kontra. Rumor berseliweran hingga sulit membedakan antara fakta dan kabar bohong. Masing-masing pihak berpendapat sesuai pandangannya dan didasarkan dari tulisan yang beredar dan opini berita yang berkembang. Sentimen pro dan kontra memanas.

Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, memberikan pernyataan melalui akun pribadi twitter miliknya. Bersama Polda Sumbar, Gubernur membantah adanya intimidasi dan memberikan jaminan keselamatan atas diri FL. Setelah pernyataan Pemerintah Daerah ini, perlahan suasana pun kembali tenang dan perang opini pun menurun. Namun belakangan media kembali mengangkat isu persekusi, termasuk yang menimpa FL yang juga telah melakukan konferensi pers di Jakarta. Apakah benar FL diintimidasi? Bagaimana babak akhir peristiwa ini? Rentetan cerita dan peristiwa masih berlanjut.

Pada saat yang hampir bersamaan, media juga diramaikan dengan peristiwa lain. Ada CD, seorang dokter rumah sakit di Jakarta, dituduh dan diopinikan rasis karena tulisan dan sikapnya yang mendukung aksi dan gerakan tertentu. Ada pula M dan K, dua dokter yang dikabarkan menolak melayani pasien BPJS karena anggapan pribadi adanya unsur riba pada asuransi komersial juga termasuk BPJS. Peristiwa ini menjadi perbincangan media sosial dan pemberitaan media massa.
Yang menarik, ada satu hal menjadi benang merah pada peristiwa atau kasus diatas, yaitu kasus berawal dari sesuatu yang ditulis atau disebarkan melalui media sosial. Terlepas bagaimana sesunggunnya peristiwa itu terjadi, mari endapkan sejenak cerita diatas. Selanjutnya mari bicara media sosial dan kita.

Kehidupan kita sehari-hari tidak bisa lepas dari media sosial. Kebutuhan dan kebiasaan mengakses media sosial tidak berbeda dengan makan dan minum. Mungkin terlalu ekstrim, tapi mari kita melihat diri masing-masing. Berapa lama waktu kita membaca dan menulis pesan melalui Whatsapp? Berapa kali mengeposkan foto diri ke Instagram? Berapa sering menulis kabar di Facebook, berkicau di Twitter? Satu hari saja tidak mengakses media sosial, ada yang hilang dari kehidupan kita.
Mari kita lihat data. Berdasarkan data tahun 2016, riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pengguna internet sebesar 132,7 juta dari 256,2 juta total populasi penduduk Indonesia. Mayoritas pengguna internet itu, sekitar 129,2 juta atau 97,4 persen menggunakannya untuk mengakses media sosial. Ini membuktikan pengguna internet tidak bisa melepaskan dirinya dari kebutuhan dan kebiasaan bermedia sosial.

Media sosial seakan telah menjadi candu. Kemajuan teknologi yang awalnya untuk memudahkan manusia dalam mengakses informasi dan berkomunikasi dengan jejaringnya, saat ini telah menjadi dunia sendiri. Banyak orang seakan telah memindahkan kehidupannya dari dunia nyata ke dunia maya melalui media sosial. Bagaimana tidak, melalui media sosial seseorang tidak hanya urusan informasi dan komunikasi. Media sosial telah menjadi panggung unjuk diri dan eksistensi, jejaring sosial, popularitas bahkan pendapatan.
Kemudahan dan manfaat nyata media sosial tersebut menjadikan kebanyakan orang lupa. Meski media sosial itu dunia maya, tetapi kehidupannya nyata. Dunia maya bukan seperti mimpi yang lupa tak berbekas ketika bangun tidur. Yang terjadi di media sosial terhubung dengan kehidupan nyata.

Ini sederhana memahaminya. Apa yang kita bawa ke media sosial adalah kehidupan nyata. Artinya kita memindahkan kehidupan dan peristiwa nyata di media sosial. Padahal sejatinya tidak semua hal di dunia nyata pantas, cocok dan selayaknya dibawa ke media sosial. Demikian pula sebaliknya, kehidupan maya media sosial, sebaiknya tidak dibawa bulat-bulat di kehidupan kita pada dunia nyata.
Namun ada hal yang sama berlaku di dua dunia itu. Itulah norma, etika dan tata nilai. Meskipun menggunakan nama samaran atau identitas palsu di media sosial, kita harus menjunjung tinggi dan menerapkan norma, etika dan tata nilai yang berlaku dalam berinteraksi dan bermasyarakat. Di media sosial terdapat jejak digital yang sulit atau hampir mustahil dihapus. Banyak orang menyangka dengan akun pribadi media sosial bisa membebaskan dirinya dari aksi dan reaksi sosial. Kita bisa mempunyai akun pribadi media sosial, tetapi apapun yang telah diposkan memasuki area terbuka dengan tanggapan publik.

Ketika jari sudah menekan tombol “enter”, kita tidak dapat lagi mengendalikan lagi apa pun yang dipublikasikan melalui media sosial. Tulisan dan foto yang ditayangkan di Facebook, dilihat oleh teman jejaring yang berjumlah ratusan atau ribuan orang. Ada yang menyukai, membagikan ke pengikutnya, dan menanggapi. Ada juga teman yang melakukan tangkap layar (screenshoot) kemudian membagikan melalui facebook, instagram, twitter, whatsapp atau media sosial lain.

Tulisan dan foto itu akhirnya menjadi konsumsi publik, tidak sebatas teman facebook yang sebagian dikenal, tetapi juga menyebar kepada orang-orang yang tidak dikenal. Seperti air yang mengalir sampai jauh, demikian pula segala sesuatu yang diposkan melalui media sosial akan menyebar tanpa bisa lagi dikendalikan kecepatan dan jangkauannya.

Apa isi tulisan, gambar dan audio video yang diposkan di media sosial tadi? Jika itu sesuatu yang baik akan bermanfaat bagi orang lain. Andai sesuatu yang benar akan mencerahkan orang lain. Misalnya sesuatu yang menginspirasi akan memotivasi orang lain. Bagaimana jika itu sesuatu kabar bohong, melanggar norma etika atau menyinggung isu sara? Tentu bukan pujian dan apresiasi yang diterima, melainkan caci maki, hujatan bahkan tuntutan yang dituai.

Jika terjadi seperti itu, tutup akun media sosial saja. Beres kan? Tidak semudah itu. Tayangan media sosial itu telah menyebar dan jejak digital tersimpan di dunia maya. Itu bisa digunakan oleh pihak yang tidak menyukai, kontra atau tersinggung dengan tayangan itu. Reaksi negatif atas sesuatu yang kita poskan di media sosial, tidak sebatas komentar pedas penuh caci maki, bisa juga reaksi yang bersifat fisik dan mental.

Orang yang kita kenal mulai menjaga jarak atau menjauh. Mulai dari memutus pertemanan di media sosial atau bahkan benar-benar di kehidupan nyata. Bisa juga orang lain atau sekelompok orang mendatangi untuk meminta klarifikasi atau pertanggungjawaban. Bahkan bisa jadi ada yang menuntut secara hukum atas sesuatu yang diunggah di media sosial.
Hukum sebab akibat berlaku di media sosial. Setiap sesuatu yang diposkan mengandung konsekuensi. Yang diposkan sesuatu yang positif, berkonsekuensi positif. Yang diposkan negatif, konsekuensinya pun negatif. Kembali diingatkan, kita tak bisa mengendalikan yang terlanjur diposkan di media sosial. Yang mungkin dan harus dilakukan adalah berpikir sebelum mengeposkan, think before you post!

Apa yang dipikirkan? Ingat, think! True, apakah yang akan kita poskan itu sesuatu yang dapat dibenarkan oleh norma dan etika. Hurtfull, apakah ini akan menyinggung dan menyakiti orang lain dan kelompok tertentu. Ilegall, jangan-jagan isi yang diposkan itu melanggar peraturan yang berlaku. Necessary, seberapa perlu atau penting kita mengeposkan tulisan, foto dan audio video ini. Dan kind, apakah ini baik untuk diri sendiri, keluarga kita, institusi tempat bekerja dan baik juga untuk masyarakat.

Jika sesuatu itu tidak benar, menyinggung orang lain bahkan melanggar aturan, dan ternyata tidak perlu atau tidak baik, mengapa harus diposkan di media sosial? Mengapa tidak menahan diri saja. Atau mengeposkan sesuatu dari cara pandang berbeda yang lebih bermanfaat dan menginspirasi orang lain?

Adalah perilaku bijak untuk menahan diri berkomentar atau menayangkan sesuatu di media sosial atas masalah yang berbau politis, isu sara dan masalah sensitif lain. Tanpa bosan mengingatkan, apa yang dilakukan dan diposkan di media sosial, akan berdampak tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga keluarga, institusi dan masyarakat.

Seperti pepatah, mulutmu harimaumu. Demikian juga media sosialmu adalah harimaumu. Berhati-hati mengucapkan lisan dari mulut, bijak pula mengeposkan sesuatu melalui media sosial. Jangan pula karena takut “harimau”, kita memilih tidak “bermulut”. Lho!

Selasa, 16 Mei 2017

5 Pelajaran dari Wannacry

Ransomware WannaCry memang luar biasa, selama tiga hari sekitar 200 ribu komputer di 150 negara jadi korban. Di Indonesia terdeteksi 320 serangan wannacry, telah membuat gaduh nasional. Dari ratusan korban itu, RS Dharmais menjadi paling populer pemberitaan. Dikabarkan Wannacry menjangkiti 60 komputer di RS Dharmais.

Secara psikologis, Wannacry menghantui aktivitas kantor hari pertama Minggu ini. Sampai-sampai mematikan sama sekali akses internet pada hari senin (15/5/2017) kemarin.

Ada pelajaran yang bisa dipetik dari Wannacry agar rumah sakit, insitusi atau perusahaan kita tidak "menangis" di kemudian hari, yaitu

1. Rajin memutakhirkan perangkat lunak
Komputer yang terkena serangan Wannacry adalah komputer dengan sistem Windows yang tidak update patch windows. Padahal windows rajin mengeluarkan patch untuk menambal celah-celah keamanannya. Sementara perangkat lunak yang tidak lagi disediakan patch, sebaiknya memang diganti. 

2. Hati-hati membuka dokumen dari email yang tidak dikenal
Ransomware sering masuk melalui email tipuan (phising). Jangan membuka email apalagi lampiran dari alamat email yang tidak dikenal atau mencurigakan.

3. Pasang antivirus dan rajin dimutakhirkan
Sangat disarankan pasang antivirus yang mampu mendeteksi email atau menjaga keamanan berinternet. Dan jangan lupa di-update secara rutin.

4. Berinternet sehat
Jangan suka menjelajah ke "tempat-tempat aneh", seperti akses web yang menyediakan pornografi, download software bajakan dan unduh film, game, MP3 bajakan. Hati-hati ya, disinilah sering banyak ranjau malware dan virus, termasuk diantaranya Ransomware.

5. Matikan komputer dan akses internet ketika tidak digunakan
Serangan pertama Wannacry kemarin terjadi pada hari Sabtu, dimana sebagian besar kantor tutup/libur. Dan komputer yang terinfeksi Wannacry yang hidup dan terkoneksi internet. Jadi jangan lupa mematikan komputer dan internet ketika jam kantor selesai atau tidak digunakan. Selain agar hemat energi, mematikan komputer akan mengamankan data anda dari si pencuri atau si perusak.

Senin, 15 Mei 2017

PERSI Himbau Rumah Sakit Tingkatkan Keamanan Sistem Komputer


Terkait kabar virus komputer jenis ransomware bernama Wanna Decryptor yang mulai menyerang sebuah rumah sakit di Jakarta, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menghimbau rumah sakit anggotanya untuk meningkatkan keamanan komputer rumah sakit.

Dikabarkan virus Wanna Decryptor atau wannacry telah melanda hampir 100 negara di seluruh dunia. Bahkan jaringan National Health Service (NHS) di Inggris telah terkena serangan ransomware ini hingga data pasien terenkripsi pada sistem komputer rumah sakit.

Di Indonesia, virus Wannacry telah menyerang RS Kanker Dharmais Jakarta pagi tadi (13/5/2017). Berdasarkan informasi yang langsung diterima Persi dari RSK Darmais, serangan virus tidak merusak data pasien. Tim SIRS telah melakukan pencegahan dan tindakan sehingga serangan virus tidak merusak database pasien dan sistem lain.

"Data pasien dan sebagainya masih bisa kita kuasai. Tapi agar tidak merusak yang lain-lain semua sistem kita matikan. Sekarang kegiatan kita lakukan manual sembari melakukan back up data. Beberapa pelayanan seperti UGD, pendaftaran dan kasir kita instal ulang agar tidak manual lagi," tutur Direktur Umum dan Operasional RSK Dharmais, Triputro Nugroho sebagaimana dikutip Detikcom (13/5/2017).

Sementara itu berdasarkan komunikasi yang dilakukan Persi, RS Anak Bunda Harapan Kita dan RS Jantung Harapan Kita tidak termasuk RS yang terkena malware Wannacry. Sempat tersiar kabar, kedua rumah sakit tersebut terganggu pelayanan akibat virus itu.

Pada kesempatan ini juga, Persi menghimbau rumah sakit melakukan pemutakhiran keamanan SIRS sekaligus melakukan langkah pencegahan agar tidak terinfeksi virus Wannacry.

"Mencegah lebih baik dari pada mengobati. Demikian juga SIRS harus diupdate sistem keamanannya", himbau Ketua Umum PERSI, Kuntjoro Adi Purjanto.

Didasarkan informasi dari Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII), berikut beberapa penjelasan tentang Wanna Decryptor dan langkah yang perlu diambil:

1) Ransomware bernama Wannacry ransomware mengincar PC berbasis windows yang memiliki kelemahan terkait fungsi server message block (SMB).

2) Jika komputer kena serangan, virus mengunci computer korban atau meng-encrypt semua file yang ada sehingga tidak bisa diakses kembali. Kemudian muncul pesan meminta tebusan sejumlah uang dalam bentuk Bitcoin.

3) Bagi RS yang menggunakan Windows untuk sistem komputer RS, agar melakukan pencegahan terinfeksi malware wannacry yaitu

+ update security pada windows anda dengan install Patch MS17-010 yang dikeluarkan oleh microsoct.
Lihat : https://technet.microsoft.com/en-us/library/security/ms17-010.aspx
+ Jangan mengaktifkan fungsi macros
+ Non aktifkan fungsi SMB v1
+ Block 139/445 & 3389 Ports
+ Selalu backup file file penting di computer anda di simpan ditempat lain

4) Bagi RS yang terinfeksi malware wannacry agar memutuskan sambungan internet dari komputer yang terinfeksi akan menghentikan penyebaran wannacry ke komputer lain yang vulnerable. Secara teknis keamanan sistem komputer, dapat berkonsultasi secara online ke ID-SIRTII email : incident@idsirtii.or.id

Sabtu, 29 April 2017

,

SUDAH CEK RUMAH SAKITMU DI GOOGLE?

Hari ini (29/4), saya mengunjungi saudara yang dirawat di RS Cibitung Medika. Karena tidak tahu alamat dan rute kesana saya buka google map. Setelah pencet tombol cari, muncul foto bangunan depan RS Cibitung Medika, lengkap dengan alamat, telepon, web dan petanya.

Eh, ada tulisan yang merah dengan icon segitiga. "Sudah tutup permanen". Ketika diklik muncul keterangan,"RS Cibitung Media tercatat sudah tutup di lokasi ini".

Saya coba cari lagi, siapa tahu ada RS Cibitung Medika di alamat lain. Ternyata tidak ada. Saya perhatikan setiap komentar atau ulasan atas RS tersebut. Ada komentar positif, ada juga yang negatif. Itulah kesan orang yang mungkin pernah berkunjung ke RS Cibitung Medika. Saya perhatikan foto-foto yang ada untuk memberikan sekilas gambaran fisik RS.

Ehm.. tidak ada keterangan yang menjelaskan RS sudah pindah. Untunglah, saya diberikan nomer kontak humas RS Cibitung Medika oleh teman. Setelah say hello, saya sampaikan "sudah tutup permanen" tadi. Dan, saya juga dapat konfirmasi bahwa RS Cibitung Medika masih pada alamat yang sama, tidak tutup permanen.

Saya pun mulai berangkat ke Cibitung dari Jakarta. Belum jalan, saya sempat melaporkan kepada Google agar mencabut status "sudah tutup permanen". Semoga lekas pulih. Kasihan, orang lain yang mungkin sama seperti saya, mengandalkan google untuk mencapai RS Cibitung Medika. Karena tulisan tutup permanen itu, bisa jadi ia membatalkan berkunjung atau berobat ke RS Cibitung Medika.

Jadi, kepada pemilik, direktur, humas, dan marketing, sudahkah cek Rumah Sakit anda di Google? Jangan-jangan sudah tutup permanen juga. Eh, jangan biarkan juga komentar negatif tentang RS-mu. Tanggapi dengan bijak, karena itu akan mendorong pelanggan lama bertahan dan pelanggan baru  datang.

Jakarta,  29 April 2017
@anjarisme

,

E-KATALOG PEREDUP KORUPSI KESEHATAN

Siapa yang tidak bersedih hati membaca rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) berjudul “Tren Korupsi Kesehatan periode 2010 - 2015" di Jakarta, 18 April 2017. Menurut pengamatan ICW dari publikasi media dan expose penegakan hukum, selama periode 2003 - 2016 terdapat 219 kasus korupsi dengan 519 orang tersangka dan dugaan kerugian sebesar Rp 890 miliar.

Menurut ICW, mark up atau penggelembungan anggaran menjadi modus terbanyak dengan alat kesehatan sebagai obyek korupsi yang paling tinggi. Sementara kasus daerah sebagian besar terjadi di daerah dengan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota merupakan aktor paling banyak terjerat kasus korupsi sektor kesehatan.

Namun di balik kabar buruk nan menyedihkan itu, ada harapan dan kabar baik. Ibarat pepatah, selalu ada hikmah pada setiap peristiwa. Jika diperhatikan lebih detil datanya, ada tren penurunan signifikan kasus korupsi kesehatan sejak tahun 2013. Mari lihat datanya. Puncak tren korupsi terjadi tahun 2012 dengan 53 kasus. Kemudian tahun 2013 tren turun menjadi 24 kasus, 17 kasus (2014), 2 kasus (2015) dan 0 kasus (2016).

Ada apa di tahun 2013? Apa sebab kasus korupsi kesehatan bisa turun lebih dari 50 persen?

Mari kita ingat bersama. Sejak tahun 2013, Kementerian Kesehatan menerapkan sistem pengadaan obat secara elektronik atau dikenal dengan sebutan e-purchasing berdasarkan e-Katalog melalui Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Menurut data, tahun 2015 sebanyak 796 item obat dan 1.240 item tahun 2016 yang melibatkan 90 industri farmasi. E-Katalog digunakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, Kab/Kota, RS Pemerintah dan RS Swasta yang melayani jaminan kesehatan nasional (JKN).

Apakah ada relevansinya, penurunan signifikan tren korupsi kesehatan dengan penerapan E-Kalaog obat? Dengan jelas, ICW menulis bahwa E-katalog menjadi penyebab berkurangnya korupsi Alkes dan obat-obatan karena harganya sudah ditetapkan dalam e-katalog tersebut.

Bahkan dalam bagian kesimpulan, ICW menegaskan bahwa pemberlakuan e-katalog dan INA-CBG’s dalam JKN menyebabkan harga obat dalam pengadaan di faskes dasar dan tingkat lanjut tidak dapat di-mark up karena telah ditentukan harganya.

"Sekarang hampir semua pengadaan alkes (alat kesehatan) dilakukan dengan e-katalog yang harganya sudah termurah," kata Sekretaris Jenderal Kemenkes Untung Suseno di Jakarta, Rabu (19/4) kepada Media Indonesia menanggapi rilis ICW tersebut. Menurutnya, Kemenkes terus mendorong semua alat kesehatan untuk masuk e-katalog. Bahkan, tanpa diminta, para pejabat di daerah telah menggunakan e-katalog karena prosesnya transparan dan harganya sesuai. Pembeli  tinggal mencocokkan harga dan spesifikasi barang yang dibutuhkan berdasarkan data yang ada di e-katalog.

Nah, begitulah. Selalu ada hikmah yang bisa kita syukuri, dibalik peristiwa buruk sekali pun. Ada kabar positif yang bisa kita sebarkan di tengah meredupnya trend korupsi kesehatan, yaitu E-Katalog.

Jakarta, 29 April 2017
@anjarisme

Minggu, 09 Oktober 2016

, ,

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Ini tulisan serius bernuansa politis. Tidak disarankan dibaca oleh orang yang bersikap "hater" atau "lover" calon pemimpin tertentu.

---

SARA DAN SOLIDARITAS SOSIAL MANUSIA DALAM PEMILU/PILKADA

Setiap orang cenderung memposisikan dirinya pada kelompok terdekatnya. Seseorang cenderung lebih utamakan memihak dan membela orang terdekatnya; keluarga dan kelompoknya. Artinya, kita ingin keluarga kita lebih sukses dibandingkan keluarga lain.

Dalam berteman atau mencari teman hidup, kita juga cenderung memilih suku dan agama yang sama. Demikian juga dalam berorganisasi dan berpolitik, kita juga cenderung memilih yang se-aliran, se-agama, se-kelompok dan se-kepentingan.

Itu pula yang terjadi dalam perspektif pemilu atau pilkada. Orang Jawa cenderung memilih calon pemimpin dari suku Jawa, Batak cenderung Batak, Betawi cenderung Betawi. Orang berfaham nasionalis bersentimen pada partai/calon nasionalis, orang Kristen berorientasi pada calon Kristen dan Islam condong pada calon pemimpin beragama Islam.

Apakah kecenderungan, sentimen, kecondongan dan kelebihmemilihan itu salah? Tidak sama sekali. Itu sunnatullah. Hukum alam, alamiah. Itulah yang disebut "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia.

Yang salah adalah keinginan kelompok kita menang itu menjadi dasar untuk membenci kelompok atau orang lain. Yang tidak dibenarkan adalah  keinginan memenangkan calon pemimpin yang seagama, sesuku dan sekelompok dengan cara-cara hitam tercela. Misalnya dengan ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Kembali kepada "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia sesuai hukum alam diatas dikaitkan dalam pemilu dan pilkada. Jika Muslim mengajak saudara muslim lain memilih calon pemimpin Muslim itu bentuk persaudaraan Muslim yang diajarkan Islam. Itu hak dan kewajiban sebagai muslim. Tentu saja dibenarkan. Yang salah dan dilarang bagi muslim adalah membenci, menjelekkan mengancam dan melakukan kekerasan kepada calon pemimpin karena beragama Kristen, Hindu atau Budha.

Demikian pula kaum Kristen menghimbau jamaahnya memilih calon pemimpin beragama Kristen itu juga bentuk solidaritas sosial. Yang wajib dijauhi orang kristen adalah memaksakan kehendak kepada orang Islam, hindu atau Budha agar memilih calon pemimpin orang Kristen.

Termasuk dalam isu sara dalam kampanye adalah jika orang muslim yang memasuki wilayah agama kristen, Hindu, budha. Atau sebaliknya orang Kristen mencampuri area agama Islam, Hindu dan Budha.

Jadi, sepanjang urusan sara masih dalam batasan kecenderungan yang bersifat alamiah (hukum alam) itu diperbolehkan. Tetapi isu sara yang mengandung unsur membenci, menjelekkan, diskriminatif, ancaman bahkan kekerasan, itu harus dilarang dan dijauhi.

---

Demikianlah, suasana politik hari ini (juga yang lalu dan akan datang) gaduh dengan isu Sara; suku, agama, ras dan aliran. Banyak pihak menyuarakan menjauhi isu sara dalam pilkada Jakarta. Semua orang ingin dalam kampanye, antar calon mengadu dan menjual program. Sungguh tekad dan himbauan yang baik. Tapi perlu hati-hati menilai atau menyetigma suatu hal menjadi isu sara. Sama hati-hatinya dengan berlaku cenderung sara.

Masa pemilu dan Pilkada adalah masa sensitif. Setiap orang semestinya sensitif untuk tidak berucap dan berlaku pada hal-hal sensitif. Jauhi mengeluarkan jargon atau pernyataan yang bersinggungan dengan sensitivitas. Untuk mengajak memilih calon pemimpin muslim, Anda tak boleh mengkafir-kafirkan calon non muslim. Untuk memenangkan calon dari suku Jawa, Anda dilarang mencina-cinakan calon pemimpin keturunan tionghoa.

Demikian pula kelompok lain yang ingin memenangkan calon pemimpin beragama Kristen misalnya. Tidak perlu menggaungkan jargon "biar kafir tidak korupsi, daripada Muslim korupsi". Atau "biar kafir asal adil". Kenapa? Karena soal korupsi dan adil bukan dilihat karena agamanya apa. Dan kata "kafir" itu identik dengan istilah Islam. Ini memasuki area "isu sara".

---

Dalam setiap pertandingan semua pihak berlomba untuk menang. Demikian dalam pertandingan Pilkada, setia calon dan pendukungnya juga ingin menang. Masing-masing pihak memetakan kekuatan dan kelemahannya. Kekuatan itu didayagunakan, kelemahan diminimalisir. Diantara basis dukungan kekuatan dan kelemahan adalah unsur sara; terutama suku dan agama.

Bagi calon yang beragama Kristen pasti menggalang suara jamaah Kristen. Calon ini boleh gunakan ayat-ayat Injil untuk mempesona jamaah kristen. Calon agama Islam mengampanyekan memilihnya kepada kaum muslimin. Juga boleh menggunakan ayat Al Qur'an untuk kaum muslimin. Ini masuk kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" yang bersifat alamiah tadi. Yang tidak boleh itu dan ini isu sara, gunakan ayat Injil kepada Muslim dan ayat Qur'an kepada Kristiani.

Calon dari Jawa menggalang kekuatan dari suku Jawa, Betawi mengajak saudaranya dari betawi dan Tionghoa menggunakan sentimen keturunannya. Demikian seterusnya suku, kelompok dan aliran lainnya.

Namun sayang sekali, dalam hal meminimalisir kelemahan, tidak sedikit kelompok calon pemimpin melakukan agitasi atas kelebihan kelompok lain. Misalnya, calon pemimpin non muslim (dan pendukung) melakukan stigma isu sara kepada calon pemimpin Muslim (dan pendukung) yang gunakan ayat Qur'an untuk memilih pemimpin Muslim. Atau sebaliknya, pendukung calon islam (dan pendukung) mengkafir-kafirkan calon pemimpin Kristen.

Kelompok mayoritas tidak boleh berlaku diskriminatif terhadap minoritas. Demikian pula minoritas menghargai kelompok mayoritas tanpa melakukan perilaku tirani minoritas dan stigmatisasi sara.

Singkat kata, dalam hal pemilu/pilkada kita hormati kepada setiap orang/kelompok yang mendayagunakan kecenderungan "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" manusia. Karena memang itu hukum alam. Sebaliknya, kita jauhi sikap dan perilaku yang mengandung ujaran kebencian, menghujat, diskriminatif, menjelekkan, memaksakan atau bahkan dengan ancaman dan kekerasan.

Namun patut dicatat bahwa "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" hanya modal awal keterpilihan calon pemimpin. Keduanya bukan syarat dan modal mutlak kemenangan pemilu dan pilkada. Kuatnya "semangat persaudaraan" dan "solidaritas sosial" tidak cukup berarti, jika calon tidak mempunyai rekam jejak dan reputasi pemimpin yang adil, anti korupsi dan perilaku mulia lainnya. Juga tidak cukup bermakna jika calon tidak punya program bagus dan mampu merebut hati pemilih.

Akhir kata, jangan menuduh orang/kelompok lain menggunakan isu sara, tapi ucapan dan perilakunya sendiri mengandung isu sara.

---
Antara Kediri - Surabaya (9/10/2016)
Bukan Hater atau Lover,
Anjari Umarjianto