Jumat, 03 November 2017

, , ,

Salam Sehat Kemenkes

Siapa yang pernah dapat salam dari Satpam saat masuk gedung Kemenkes, "Salam Sehat!".

Kawan-kawan menjawabnya apa? "Salam sehat jugaaa..", "terima kasih", atau cuma senyum-senyum aja? Atau ada yang njawab,"walaikumsalam". Bagus tuh jawabannya, lebih berkah.

Sepertinya kebanyakan bingung menjawab "salam sehat" itu. Kasihan pak satpam jadi keki kalau nggak dijawab kan. Nah, gimana jawaban yang benar?

Penting nih diketahui. Salam sehat itu hanya ada di Kemenkes. Di tempat lain nggak bakal ada. Itu salam ala Kemenkes.

Mulai sekarang kalau ketemu sesama orang Kemenkes biasakan ucapkan:

*"SALAM SEHAT"*

Dan kita yang dapat "salam sehat" menjawab dengan:

*"SEHAT INDONESIA"*

sambil menyilangkan tangan kanan dengan telapak tangan menempel di dada kiri.

Jadi, kalau nanti disalami pak satpam, "salam sehat!". Tolong dijawab,"Sehat Indonesia". Anda didoakan sehat, dan ganti Anda mendoakannya beserta seluruh Indonesia. Yeay!

***

Eits bentar, belum selesai. Baca lagi ya.

Pernah dapat sapaan "semangat pagi" belum? Biasanya pada saat rapat atau pertemuan. Padahal hari sudah siang atau sore, tapi salamnya masih "semangat pagi".

Salam yang satu ini emang tidak mengenal hari, pagi siang sore atau malam, selalu diucapkan:

*"SEMANGAT PAGI"*

Tahu nggak jawabnya gimana?

Yang bisa jawab, dapat sepeda deh. Jawabnya:

*"PAGI, PAGI, PAGI. LUAR BIASA!"*

Ingat, suaranya makin meninggi ya. Pas ucapan "luar biasa", tangan kanan mengepal dan menghentakkan siku dari atas ke bawah. Gerakan tangan seperti kalau bilang "yesss!!!" gitu. Mengerti kan? Pasti tahu lah. Sip!

***

Sedikit lagi selesai kok. Lanjutin infonya ya.

Ada satu lagi salam. Aduh, banyak salam ya di Kemenkes. Nggak papa. Semakin banyak salam, semakin berkah. Mengurangi dosa😊

Ini namanya salam Revolusi Mental Bidang Kesehatan. Keren ya! Ini agar diinternalisasi pada saat-saat tertentu terutama rapat atau pertemuan besar.

Caranya begini. Ada satu orang yang memandu, yang lain menjawab.

Pemandu:
*"REVOLUSI MENTAL BIDANG KESEHATAN. INTEGRITAS"*

Hadirin:
*"SEHAT TANPA KORUPSI. JAGA DIRI, JAGA TEMAN, JAGA KEMENTERIAN KESEHATAN"*

Pemandu:
*"ETOS KERJA"*

Hadirin:
*"SEHAT Melayani. CEPAT, TEPAT, BERSAHABAT"*

Pemandu:
*"GOTONG ROYONG"*

Hadirin:
*"INDONESIA SEHAT. GERAKAN MASYARAKAT HIDUP SEHAT, INDONESIA KUAT"*

Nah begitu. Harus mulai dihafalkan ya. Kalau sudah hafal, berdoa semoga tukin cair tepat sesuai jadwal. Syukur-syukur naik.

Sebenarnya salam revolusi mental ini ada gerakan juga. Tapi, tahap awal, hafal dulu aja deh.

***

Wahh, jangan bosen dulu. Satuuu lagi. Ini budaya kerja. Ini tidak hanya dihafalkan, tapi juga diamalkan sehari-hari. Kalau hafal dan diamalkan, pasti deh tukin naik. Bisa 100 persen. Horeee!!!

Ini harus jadi budaya kerja kita!

*1T : min 1 pekerjaan tuntas setiap hari*
*2K : min melakukan 2 kebaikan setiap hari*
*3S : Senyum Salam Sapa*
*4M : hadir 4 menit sebelum kegiatan*
*5R : ringkas, rapi, resik, rawat, rajin*

Udah ya. Terima kasih lho, berkenan membaca tulisan ini. Bantu Sebarkan ya. Prok, prok, prok! Insya Alloh dapat pahala. Demi kemajuan diri kita dan Kemenkes tercinta.

Nahhh.. sekarang waktunya nonton video. Ini film bagus banget.
* Klik sekarang >> http://bit.ly/salamkemenkes *



Sabtu, 30 September 2017

, ,

Setnov dan Reputasi Rumah Sakit

Sekali lagi, Setya Novanto membuktikan kesaktiannya. Ketua Umum Partai Golkar ini benar-benar licin melebihi belut, lolos berkali-kali dalam jeratan hukum. Setnov, panggilan akrabnya, memenangi pra peradilan kasus E-KTP yang disangkakan kepadanya, kemarin (29/9/2017) Artinya, status tersangka yang ditetapkan KPK kepada Ketua DPR itu pun gugur.

Lolosnya Setnov sebagai tersangka mengukuhkan "saktinya" politisi Golkar tersebut. Sebelum kasus E-KTP, sudah tiga kali Setnov lolos dari jerat kasus hukum sejak kasus Bank Bali tahun 1999.

Sebenarnya saya tidak ingin mengulas kasus hukum Setnov, melainkan reputasi rumah sakit. Namun sayang, masih terkait Setnov.

Dua hari sebelumnya, foto politisi kawakan ini juga membuat heboh media sosial dan media massa. Foto dirinya yang terbaring di tempat tidur dengan berbagai alat medis sebuah rumah sakit beredar viral. Banyak berita media massa dan perbincangan media sosial mengungkap empat hingga tujuh kejanggalan foto setnov yang sedang dirawat itu.

Kejanggalan yang paling disoroti adalah Elektrokardiogram (EKG) yang berada di sisi kanan atas tempat tidur Setnov menampilkan grafik terlihat datar. Padahal dalam keadaan terpasang, EKG menampilkan grafik yang bergelombang. Sementara angka 90 pada layar menunjukkan nadi yang normal.

Perguncingan bernada perundungan merebak adanya dugaan kebohongan dalam kasus sakitnya Setnov. Ia dituduh pura-pura sakit untuk menghindari pemeriksaan dan penyidikan KPK. Publik bertanya, jika Setnov pura-pura sakit, apakah dokter atau Rumah Sakit terlibat?

Pertanyaan itu hingga saat ini tidak terjawab. Pertanyaan itu perlahan menguap seiring munculnya "kesaktian" Setnov menghadapi kasus hukum dan politik. Nah, sekarang kita bicara reputasi rumah sakit. Akankah kasus foto setnov ini berpengaruh pada reputasi Rumah Sakit dimana ia rawat?

Menjawab pertanyaan diatas harus dimulai dari sosok sumber. Melihat kedudukan, jabatan dan kasus hukumnya, Setnov merupakan tokoh dengan tingkat kepercayaan publik yang rendah. Dengan kata lain, publik akan sulit percaya apa pun ucapan atau tindakan orang dengan reputasi rendah. Apa pun yang dikatakan atau dilakukan pihak Setnov akan dianggap salah dan buruk.

Demikian juga dalam kondisi sakitnya Setnov yang terjadi setelah ditetapkan tersangka oleh KPK, sejak awal publik meragukannya. Persepsi ini menemukan pembenaran saat viral beredar foto Setnov yang sedang dirawat dengan berbagai kejanggalannya. Kukuh sudah opini publik, Setnov pura-pura sakit.

Dalam hal pura-pura sakit itu, apakah Setnov bisa sendiri? Tidak ada yang membantu? Begitu pikir publik. Tentu tidak. Dalam foto itu, Setnov terbaring di ranjang rumah sakit dan dengan alat medis rumah sakit. Jangan-jangan oknum Rumah Sakit terlibat dalam sakit pura-pura Setnov, begitulah persepsi publik.

Ketidakpercayaan publik atas sakit Setnov dapat dilihat dengan langkah KPK. Lembaga anti rasuah itu menyurati IDI agar melakukan pemeriksaan kesehatan (second opinion) kepada Setnov. Persepsi lain muncul, KPK lembaga terpercaya itu mulai ragu dengan kondisi sakit Setnov. Kita tahu, publik lebih percaya KPK dari pada institusi lain. Jangankan kepada DPR, atau Setnov, publik lebih percaya KPK daripada institusi rumah sakit.

Apa yang dilakukan RS tempat Setnov dirawat? Sampai saat ini, saya belum menemukan tanggapan rumah sakit. Memang ada dua pilihan bagi rumah sakit; menanggapi atau membiarkan kasus ini menghilang sendiri.

Pilihan membiarkan biasanya dengan alasan menyangkut rahasia pasien. Atau memang pandangan,"biarkan saja, nanti juga hilang sendiri". Bisa jadi RS tidak mau repot. Atau, RS juga bingung dan tidak tahu bagaimana menanggapi. Apalagi menyangkut "orang besar" dan "sakti".

Jika pilihan RS menanggapi isu ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Yang pertama, rahasia kedokteran atau rahasia medis pasien. Jangan sampai, tanggapan RS melanggar kewajiban menjaga rahasia kedokteran. Kedua, kewenangan penegak hukum dalam pengecualian dari kewajiban menjaga rahasia kedokteran. Ketiga, sosok pasien yang merupakan tokoh dengan segala atribut dan sorotan publik, sehingga memerlukan lebih kehati-hatian. Keempat, tanggapan dimaksudkan untuk mempertahankan kepercayaan publik atas rumah sakit. Kelima, tanggapan bersifat meluruskan disinformasi dan bagian dari edukasi publik. Keenam, tanggapan RS sebagai strategi pemasaran.

Tidak dipungkiri bahwa kasus foto Setnov ini akan segera menghilang dari pemberitaan. Sayang sekali, Google mempunyai loker yang kuat dan besar sehingga file foto Setnov dengan alat medis itu akan tersimpan rapi. Demikian juga ingatan pasien atas layanan rumah sakit akan mudah di-recall saat terjadi hal dan pelayanan rumah sakit yang tidak menyenangkan.

Jangan salahkan jika nanti ada yang bilang,"ohh, rumah sakit tempat Setnov pura-pura sakit itu ya?" . Atau ketika ada masalah antara RS dengan pasien, kemudian pasien itu tidak percaya apa yang disampaikan RS. Kenapa? Karena kepercayaan RS kita tergerus. Akankah kita mudah percaya ucapan orang yang reputasinya rendah? Demikian juga RS dengan reputasi dan kepercayaan rendah, semakin berat bagi RS menghadapi masalah sesungguhnya di kemudian hari.

Saran saya, jika rumah sakit anda menghadapi kasus yang sebanding dengan kejadian Setnov apalagi lebih besar, Rumah Sakit sebaiknya memberikan tanggapan dan pelurusan informasi kepada publik tanpa melanggar ketentuan rahasia kedokteran/pasien. Namun patut dicatat, tanggapan itu harus memperhitungkan kecepatan, ketepatan dan momentum.

Pada akhir tulisan, saya kutipan survei kecil di akun Twitter saya @anjarisme dalam 2 jam ini:

Menurut anda foto ini berpengaruh terhadap reputasi rumah sakit nggak? Retweet jika "Berpengaruh", dan Like jika "Tidak Berpengaruh". Tks

Dari 81 followers yang memberikan tanggapan, sebanyak 76 followers meretweet, menyatakan "berpengaruh" dan 5 followers melike, "tidak berpengaruh". Dengan kata lain, dari 81 d responden sebanyak 94 persen mengatakan isu foto Setnov berpengaruh terhadap reputasi rumah sakit. Ehm!

Rabu, 02 Agustus 2017

GOCAR MULAI 'NGGAK ASIK'

Ini cerita saya pagi ini (Rabu, 2/8/2017). Saya mesti naik kereta api ke Bandung jam 05.05 dari stasiun Gambir. Sekarang jam 03.36.

Tidak Tahu Jalan, Tidak Komunikatif Lagi.

Setelah pesan Gocar, muncul tulisan pengemudi sampai dalam 5 menit. Saya menunggu telp konfirmasi dan tanya persisnya penjemputan. Biasanya begitu. Tidak ada telp masuk.

"Pagiiii.. Gocar ya? Posisi dimana mas?" Saya menelepon setelah 2 menit menunggu.
"Bapak dimana?"
"Jemput di Al Falaq saja ya mas" saran saya. Rumah saya di jalan kecil yang mungkin sulit dicari. Saya mengalah jalan kaki 200 meter ke jalan raya I Gusti Ngurah Rai, tepatnya Klinik Al Falah Klender.
"Oh, sebelah kiri ya pak. Ya saya tahu"

Saya pamit dengan istri. Jarak POM Bensin dengan tempat penjemputan tidak lebih 2 menit.   Sekitar 3 menit kemudian, saya sudah sampai Al Falah.

Saya lihat peta Gocar, sebuah mobil masih di tengah jalan. Mendekati tempat penjemputan, terlihat mobil malah berputar dan menjauh. Kemudian berhenti di lampu APILL.

"Halo, sampai mana mas?"
"Al Falah sebelah kiri kan? Sudah dekat nih"

Okay. Saya berprasangka dia mau melawan arah setelah lampu merah. Mungkin karena pagi hari yg masih sepi. Dugaan saya salah. Dia berputar lagi di jalan layang simpang Klender. Semakin menjauh ke arah Pulo Gadung.

Baru jam 04.04 Gocar sampai di penjemputan. Sekitar 28 menit menunggu sejak pesan Gocar.

Tidak Ramah bin Lambat Jalannya.

"Pagi mas", sapa saya begitu masuk mobil
"Waduh, saya kesasar tadi"
"Iya, masnya muter-muter. Sudah dekat, eh malah jauh". Dia diam. Dia sibuk klak klik layar hape yang mengeluarkan suara GPS.
"Gambir ya" katanya.
"Iya mas". Mobil mulai berjalan perlahan.
"Padahal sampai sini tadi, saya bisa jalan kaki, mas. Jadi anda tidak perlu mutar jauh", jelas saya ketika diatas jalan layang klender.
"Oh gak papa ya?"

Mobil berjalan dengan kecepatan sekitar 40 KM. Jalan masih sepi. Sesekali lewat motor. Menyalip bis TransJakarta. Gocar yang saya tumpangi berjalan di belakangnya.

"Mas, bisa lebih cepat nggak ya? Kereta saya jam 5. Kuatir telat"
"Maunya kecepatan berapa?"
"Ya, lebih cepat saja. Jalanan lengang kok". Bis TransJakarta sudah tak terlihat. Jalan di depan nampak gelap, tidak ada mobil atau motor.

"Mau lewat mana mas?" Tanya saya.
"Terserah saja"
"Ohh, kalau gitu lewat cempaka putih aja ya mas"
"Wah, jauh. Muter-muter. Katanya mau cepat sampai. Kita lurus-lurus aja. Matraman Menteng"
"Ya, sudah terserah". Saya mulai kesal. Jika lebih tahu jalan lebih dekat, mengapa ia bilang terserah.

Mobil berjalan konstan sekitar 40 KM meski sebenarnya bisa dipacu lebih cepat, sekitar 60 KM/jam. Saya memilih diam.

"Masuk nggak", tanyanya begitu sampai di tugu tani.
"Nggak usah mas. Di pinggir jalan saja, nanti sy masuk jalan kaki".
Pengemudi hanya diam. Krek. Bunyi kunci pintu mobil dibuka. Pintu masuk Gambir masih sekitar 100 meter di depan.

"Terima kasih ya mas. Pakai gopay ya"
"Ok" jawabnya singkat.

Sambil memasuki pintu masuk Gambir, saya buka layar hape saya. Jam 04.29. Muncul tulisan "terima kasih telah menggunakan Gocar". Kemudian terpampang foto dan nama pengemudi.

Ada tulisan pertanyaan "Bagaimana pelayanan kami?" Dibawahnya, icon 5 bintang warna abu-abu yang minta ditandai warna kuning.

Kasih berapa bintang, ya?

Sabtu, 24 Juni 2017

NETIZEN KECEWA DENGAN TULISAN DI WEB ALLIANZ

Beredarnya tulisan "Beda Perampok dengan Rumah Sakit" di laman Allianz.co.id membuat netizen meradang di linimasa Twitter, Jumat, 23 Juni 2017.

"Saya meminta pendapat sahabat saya @blogdokter @dirgarambe @dokterkoko dan @PBIDI @KemenkesRI. Pantaskah @AllianzID memuat tulisan ini?", tanya Anjari Mars @anjarisme, sambil menautkan gambar laman Allianz berisi tulisan itu.

Cuitan itu mendapat banyak komentar bernada kecewa dan marah. "Guyonan yang tidak mutu. Apa jadinya @AllianzID jika seluruh rumah sakit tidak mau melayani nasabah mereka? Jadilah partner yang konstruktif," kata Dokter Made @blogdokter. Pengguna Twitter dengan jumlah pengikut lebih dari 1,7 juta itu pun menyarankan seharusnya perusahaan asuransi seperti Allianz menjadi mitra yg baik bagi rumah sakit karena tidak ada persaingan diantara kedua belah pihak.

Seorang neurosurgeon, Ryu Hasan dengan pengikut sekitar 25 ribu menanggapi bahwa mengenalkan asuransi kesehatan manfaat  ada jeleknya. "Tapi mempromosikam asuransi dg memberi label RS seperti perampok ini ngawur banget," cuitnya.

"Saya pikir dan saya rasa pernyataan semacam ini tidak pas dan tidak pantas," kata Pengurus PBIDI, Andi Komeini takdir @dokterkoko. Banyak sekali Netizen, terutama yang berlatar belakang kesehatan dan berprofesi di rumah sakit. Mereka merasa kecewa dan menyayangkan Allianz yang telah menayangkan tulisan  itu di lamannya sebagai menjual asuransi yang tidak beretika.

"Kami sampaikan keberatan dan meminta klarifikasi melalui email dan media sosial. Secara resmi, PERSI akan kirim surat agar dapat menyelesaikan secara institusional," kata Ketua Umum  Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Kuntjoro Adi Purjanto,
di Jakarta, Jum'at, 23 Juni 2017.

Kuntjoro menjelaskan sebenarnya banyak Rumah Sakit kita bermitra dengan Allianz. Tetapi tulisan itu tidak mencerminkan kemitraan yang saling menghargai dan sangat  merendahkan rumah sakit Indonesia.
Dalam tulisan di laman Allianz, rumah sakit dipersepsikan lebih jahat dari perampok. Diantara bagian tulisan itu menyatakan perampok waktu beraksi menyamar sebagai iblis, rumah sakit waktu beraksi menyamar sbg malaikat. Juga perampok setelah menghabiskan uang akan pergi, rumah sakit setelah menghabiskan uang akan menyuruhmu pergi. Pada bagian akhir tulisan, makanya punya TAPRO kalo tidak mau dirampok sama Rumah Sakit.

"Apakah perlu kami, RS Seluruh Indonesia, bersikap tidak menerima karyawan, agen dan keluarga @AllianzID yg sakit agar tidak kerampokan?," sindir Anjari Umarjiyanto dalam akunnya @anjarisme.

Humas PERSI itu menjelaskan PERSI berusaha keras tak kenal lelah, berubah dan memperbaiki diri utk melayani rakyat Indonesia. Namun konten pemasaran “Beda Perampok dengan Rumah Sakit” telah tayang sekitar lima bulan sejak 21 Januari 2017 itu merusak citra rumah sakit. Isi tulisan tidak saja bertentangan dari kenyataan dan nilai-nilai pelayanan rumah sakit, tetapi sangat mendiskreditkan, merendahkan dan menghancurkan reputasi rumah sakit.

Sebelumnya dihapus, tulisan itu dapat akses pada tautan http://artikel.allianz.co.id/Perytan/detail-article/Beda-perampok-dengan-rumah-sakit-2419. Namun bila dicari melalui mesin pencari Google, tulisan itu masih dapat ditemukan.

Jumat, 23 Juni 2017

PERSI KEBERATAN ATAS TULISAN ALLIANZ

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) sangat menyesalkan dan menyatakan keberatan atas tulisan di laman Allianz.co.id. Tulisan itu berjudul "Beda Perampok dengan Rumah Sakit" yang ditayangkan sejak tanggal 21 Januari 2017.

"Sebenarnya banyak Rumah Sakit kita bermitra dengan Allianz. Tetapi tulisan itu tidak mencerminkan kemitraan yang saling menghargai dan sangat  merendahkan rumah sakit Indonesia. PERSI sangat menyesalkan adanya tulisan itu", kata Ketua Umum PERSI, Kuntjoro Adi Purjanto di Jakarta, Jum'at, 23 Juni 2017.

Dalam tulisan di laman Allianz, rumah sakit dipersepsikan lebih jahat dari perampok. Diantara bagian tulisan itu menyatakan perampok waktu beraksi menyamar sebagai iblis, rumah sakit waktu beraksi menyamar sbg malaikat. Juga perampok setelah menghabiskan uang akan pergi, rumah sakit setelah menghabiskan uang akan menyuruhmu pergi. Pada bagian akhir tulisan, makanya punya TAPRO kalo tidak mau dirampok sama Rumah Sakit.

"Kami sampaikan keberatan dan meminta klarifikasi melalui email dan media sosial. Secara resmi, PERSI akan kirim surat agar dapat menyelesaikan secara institusional," tambah Kuntjoro.

PERSI adalah organisasi payung dari 16 organisasi perumahsakitan di Indonesia dengan anggota sekitar 1.900 rumah sakit. Rumah sakit anggota PERSI melayani pasien dengan pembiayaan mandiri maupun jaminan asuransi. Oleh karenanya, Rumah Sakit dan Asuransi Kesehatan merupakan mitra dalam pelayanan kesehatan pasien yang dibangun atas dasar kepercayaan, kesetaraan, keadilan, etika dan hukum. Diantaranya perusahaan asuransi kesehatan yang banyak kerjasama dengan Rumah Sakit Indonesia adalah Allianz Life Indonesia.

Tulisan konten pemasaran berjudul “Beda Perampok dengan Rumah Sakit” telah tayang sekitar lima bulan di laman Allianz. Isi tulisan tidak saja bertentangan dari kenyataan dan nilai-nilai pelayanan rumah sakit, tetapi sangat mendiskreditkan, merendahkan dan menghancurkan reputasi rumah sakit.
Sebelumnya tulisan itu dapat akses pada tautan http://artikel.allianz.co.id/Perytan/detail-article/Beda-perampok-dengan-rumah-sakit-2419. Saat rilis ini dibuat, tulisan telah dihapus. Meski telah dihapus, tak menghilangkan kewajiban Allianz untuk melakukan klarifikasi dan mempertanggungjawabkannya kepada rumah sakit seluruh Indonesia.

Kamis, 15 Juni 2017

AWAS! HOAKS IKLAN KESEHATAN

Ada tujuh orang mengirimkan video yang sama hari ini, Rabu (14/6/2017). Ini luar biasa. Video itu potongan tayangan televisi yang menampilkan seorang perempuan menjelaskan soal tumor otak sambil memegang hasil pemeriksaan laboratorium. Sekilas video itu tidak ada yang aneh. Toh, Jeng Ana, demikian nama populernya, sudah tidak asing di layar televisi. Tapi penjelasan “pakar herbal” tentang kanker itu keliru. Bukan saja keliru dalam menyebut istilah medis, penjelasan Jeng Ana memasuki kompetensinya dokter spesialis radiologi dan onkologi.

Potongan video diatas rupanya beredar secara viral dan meresahkan kalangan kesehatan. Sebab selain disinformasi, tayangan berbentuk gelar wicara itu termasuk iklan kesehatan menyesatkan. Beberapa orang menyesalkan pihak-pihak berwenang termasuk Kementerian Kesehatan mendiamkan hal ini. Benarkah Kemenkes tidak mendiamkan atau tidak melakukan sesuatu atas iklan yang menyesatkan masyarakat?

Yang dilakukan Kemenkes
Jika ditelusur, Kemenkes serius melakukan pengawasan iklan kesehatan sesuai dengan kewenangannya. Sebagai regulator, Kemenkes telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1787 Tahun 2010 tentang Iklan dan Publikasi Pelayanan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2013 tentang Iklan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. Dalam kedua peraturan tersebut diatur bagaimana iklan dan publikasi kesehatan yang baik berikut larangannya, termasuk kesehatan tradisional. Bahkan secara tegas dalam Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional disebutkan Penyehat tradisional dan Panti Sehat dilarang mempublikasikan dan mengiklankan Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris yang diberikan.

Dengan regulasi yang sedemikian terang benderang, mengapa tayangan semacam Jeng Ana masih gentayangan di televisi, terutama siaran daerah? Jawabannya, penghentian iklan bukan menjadi kewenangan Kemenkes. Pengawasan iklan di lembaga penyiaran menjadi tugas dan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Daerah.

Setelah menetapkan regulasi, Kemenkes pun melakukan sosialisasi peraturan-peraturan tersebut termasuk kepada KPI dan KPID. Misalnya, Kemenkes menyelenggarakan sosialisasi PP 103/2014 mengundang KPI sebanyak dua kali pertemuan pada tahun 2015. Demikian juga, KPI meminta narasumber dari Kemenkes sebanyak dua kali juga. Pertama dengan audien dari KPID Daerah seluruh Indonesia, dan kedua dengan audien dari lembaga penyiaran televisi dan radio.

Pada tanggal 5 Mei 2015, Sekretaris Jenderal Kemenkes mengirimkan surat resmi kepada KPI yang isinya meminta dukungan KPI Pusat sesuai tugas dan dalam pelaksanaan pengawasan iklan dan publikasi pelayanan kesehatan tradisional berdasarkan PP 103/2014. Selain itu, Kemenkes juga menjalin komunikasi informal dengan komisioer KPI. Akhirnya beberapa tayangan iklan kesehatan mendapatkan teguran KPI Pusat.

Rupanya geliat iklan dan publikasi kesehatan tradisional semakin subur. Diakui, iklan kesehatan tradisional itu menjadi pemasukan utama terutama televisi siaran daerah. Melihat hal tersebut, pada tahun 2017 berturut-turut Kemenkes secara resmi melayangkan surat kepada KPI Pusat agar menghentikan iklan dan publikasi yang disinformasi lagi menyesatkan. Tanggal 20 Februari 2017, meminta menghentikan Iklan Ratu Givana, Jeng Ana, Eyang Gentar. Disusul kemudian tanggal 28 Februari 2017 untuk iklan Mega 6 Far Infra Red Hidrogen Water. Dan pada tanggal 16 Maret 2017, Kemenkes meminta KPI menghentikan Iklan Klinik Herbal Putih.

Langkah Kemenkes mengirimkan surat resmi diikuti dengan mengundang rapat koordinasi KPI Pusat. Tanggal 13 April 2013, Kemenkes menjelaskan secara teknis kesehatan dan teknis iklan pelanggaran yang dilakukan oleh iklan-iklan kesehatan tersebut. Kemudian pada tanggal 27 April 2017, Kemenkes juga melakukan pertemuan koodinasi pengawasan produk yang mengklaim bermanfaat kesehatan dengan mengundang lintas Kementerian/Lembaga termasuk KPI Pusat dan Lembaga Sensor Film (LSF). Dalam kedua pertemuan ini masing-masing pihak berkomitmen melakukan pengawasan iklan kesehatan sesuai tugasnya.

Guna memastikan langkah kongkrit yang dilakukan KPI Pusat, Kemenkes bersama perwakilan BPOM dan Komisi Penanggulangan Kanker Nasional melakukan kunjungan ke kantor KPI Pusat pada tanggal 9 Mei 2017. Diterima oleh empat Komisioner KPI yaitu Hardly Stefano Fenelon Pariela, Dewi Setyarini, Mayong Suryolaksono, Nuning Rodiyah. Dalam pertemuan tersebut, Kemenkes menjelaskan dan menegaskan kembali alasan perlunya dihentikan iklan kesehatan tradisonal menyesatkan, termasuk iklan produk yang mengklaim mempunyai manfaat kesehatan.

Aksi kunjungan Kemenkes dilanjutkan kepada kunjungan ke kantor KPI Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tanggal 22 Mei 2017. Meningat justru iklan kesehatan tradisional ini sangat mendominasi televisi daerah. Diterima tiga komisioner yaitu Adil Quarta Anggoro, Muhammad Sulhi dan Leanika Tanjung, KPID Jakarta berkomitmen menindaklanjuti pengaduan dan permintaan Kemenkes. Komitmen itu terbukti dengan dipanggilnya lima stasiun televisi yaitu TV One, MNC, Ochannel, JakTV dan ElshintaTV di Kantor KPID Jakarta pada Selasa, 13 Juni 2017. Agendanya klarifikasi dan sosialisasi terkait permintaan penghentian iklan Jeng Ana, Ratu Givana, Eyang Gentar, Herbal Putih dan Mega6.

Pada pertemuan di KPID Jakarta, Komisioner maupun Kemenkes memaparkan pelanggaran dan penyesatan yang dilakukan iklan kesehatan tersebut. Masing-masing perwakilan televisi dapat memahami penjelasan dan berjanji melakukan “self filtering” atas iklan kesehatan yang akan tayang didasarkan pada peraturan iklan kesehatan yang ditetapkan Pemerintah. Komisioner Leanika Tanjung meminta sungguh-sungguh kepada kelima televisi agar menjadi agen penyehatan publik, bukan penyesatan publik. Jika itu terjadi lagi, KPID Jakarta mengeluarkan “surat cinta” teguran dan penghentian tayangan.

Ciri Umum Iklan Kesehatan Menyesatkan
Mengapa iklan kesehatan dapat menyesatkan? Bagaimana ciri-cirinya? Iklan kesehatan atau produk yang mengklaim bermanfaat kesehatan melanggar peraturan dan etika disebabkan telah memberikan informasi keliru (disinformasi) atau informasi menyesatkan. Dianggap disinformasif jika dalam pesan iklan dalam bentuk audio visual menyajikan informasi yang keliru. Sedangkan iklan kesehatan menyesatkan memberikan pesan yang isinya mengandung unsur bohong, tidak benar, mengelabui atau menipu.

Penilaian iklan menyesatkan dapat dilihat dari substantif, administratif dan teknis. Secara substantif misalnya dapat dilihat apakah produk atau jasa merupakan substansi kesehatan. Hal-hal menyangkut perizinan dan kelengkapan dokumen termasuk aspek administratif. Sementara aspek teknis, menyangkut teknis kesehatan dan teknis iklan.

Ada ciri umum iklan kesehatan menyesatkan yang dapat ditemukenali oleh orang awam. Misalnya saja, (1) banyak pesan bersifat superlatif, berlebihan dan pokoknya serba atau paling. Kemudian ada (2) testimoni pengguna/klien dan (3) hadirnya dokter atau seakan-akan tenaga kesehatan yang tertindak sebagai buzzer/endoser. Iklan kesehatan menyesatkan biasanya (4) mengesankan ilmiah melalui gambar, video dan grafis berupa anatomi tubuh dan penyakit. Atau seakan-akan melakukan percobaan langsung yang tidak disertai dengan tahapan atau bukti melalui uji validitas.

Iklan menyesatkan ini juga sengaja (5) memanipulasi keawaman penonton dengan sengaja menimbulkan kekhawatiran pada penyakit tertentu. Dibumbui dengan tata suara yang mengagetkan dan visual yang menimbulkan rasa ngeri dan khawatir. Bahkan tanpa ragu-ragu, (6) mengklaim mampu menyembuhkan segala penyakit. Meskipun kompetensi dan kewenangannya diragukan, (7) aktor iklan berlagak layaknya dokter ahli yang menjelaskan istilah medis, diagnosis penyakit dan teknis medis lainnya. Dan ciri umum lain, meskipun (8) iklan tapi dikemas dalam bentuk tayangan blocking time selama 30 menit sampai dengan 1 jam.

Iklan Kesehatan Menyesatkan termasuk Hoaks

Hoaks adalah berita bohong, kabar palsu lagi menyesatkan. Iklan kesehatan yang mengandung informasi keliru, mengandung unsur bohong, mengelabui dan menipu adalah menyesatkan. Oleh karenanya iklan kesehatan menyesatkan termasuk hoaks kesehatan.

Hoaks kesehatan harus diperangi dan tidak boleh dibiarkan. Setiap pihak wajib dan dapat mengambil peran. Tidak hanya Kementerian Kesehatan, tetapi juga Dinas Kesehatan, Badan POM, organisasi profesi, perhimpunan rumah sakit, asosiasi fasyankes dan instansi lain. Masyarakat umum pastinya juga dapat berperan aktif. Iklan kesehatan menyesatkan berpotensi menyebabkan kerugian material, non material bahkan mengancam nyawa. Daya persuasi iklan mampu mempengaruhi setiap orang, apalagi bagi penderita penyakit serius dan kronis.

Daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin. Daripada menyalahkan dan menuding pihak-pihak berwenang bidang kesehatan, lebih mulia membantu melaporkan iklan yang diduga melanggar peraturan dan etika. Jika menemui iklan dengan ciri-ciri umum menyesatkan seperti tersebut diatas, segera laporkan melalui website atau akun media sosial KPI Pusat ( KPI.go.id atau Twitter @KPI_Pusat) dan KPI Daerah setempat. KPID Jakarta (kpid.jakarta.go.id atau Twitter @KPID_JKT)

Ingat, iklan kesehatan menyesatkan menunggu laporan kita!

Rabu, 07 Juni 2017

SETENGAH GELAS JKN

Ada sebuah gelas bening diatas meja yang berisi setengah air minum. Menurut anda, apa yang dapat disimpulkan orang melihat gelas tersebut? Ada sebagian orang menjawab bahwa setengah gelas sudah berisi air. Ada sebagian lain menjawab, gelas itu masih kosong setengahnya. Jika anda diminta ikut menyimpulkan, yang manakah jawaban anda; setengah isi atau setengah kosong gelas itu?

Simpan dulu jawaban anda. Sebenarnya, pertanyaan ini bukan soal benar atau salah. Ini menyangkut cara pandang seseorang dalam melihat sesuatu hal. Disadari atau tidak, kita terbiasa menerapkan filosofi setengah isi dan setengah kosong gelas berisi air ini dalam kehidupan sehari-hari kita. Percaya atau tidak, menentukan jawaban setengah isi atau setengah kosong itu merupakan pilihan seseorang.

Sekarang, mari kita gunakan “filosofi gelas” ini untuk menilai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sejak tahun 2014, Pemerintah melalui BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan dengan sistem asuransi sosial yang kepersertaan wajib bagi seluruh warga negara Indonesia. Setiap peserta JKN harus membayar iuran yang telah ditetapkan. Bagi penduduk yang tidak mampu iuran JKN ditanggung oleh Pemerintah. Dengan program JKN ini, setiap peserta mendapatkan paket manfaat terpenuhinya kebutuhan dasar kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Seberapa besar manfaat program JKN ini dalam meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat Indonesia? Menurut data dari BPJS Kesehatan, jumlah pemanfaatan peserta JKN di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 92,3 juta kunjungan pada tahun 2014. Pada tahun 2016 terjadi peningkatan lebih dari dua kali lipat kunjungan menjadi 192,9 juta pada tahun 2016.

Secara lebih rinci, pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas dan klinik sebanyak 66,8 juta kunjungan pada tahun 2014 meningkat menjadi 134,9 juta kunjungan pada tahun 2016. Pemanfaatan di poliklinik rawat jalan rumah sakit sebanyak 21,3 juta kunjungan pada tahun 2014 meningkat menjadi 50,4 juta kunjungan tahun 2016. Sementara itu di rawat inap rumah sakit sebanyak 4,2 juta pada tahun 2014 menjadi 7,6 juta kunjungan pada tahun 2016.

Data diatas baru menunjukkan tingkat pemanfaatan atau kunjungan peserta JKN, bagaimana tingkat kepuasannya? Pada tahun 2016, sebuah survei yang dilakukan oleh PT Swasembada Medis Bisnis menemukan tingkat kepuasan peserta JKN atas pelayanan kesehatan sebesar 78,9 persen. Dengan kata lain, masih ada ketidakpuasan peserta JKN sebesar 21,1 persen.

Nah, sekarang kita kembali pada filosofi gelas diatas dikaitkan dengan tingkat kepuasan peserta JKN atas pelayanan kesehatan. Kita analogikan tingkat kepuasan 78,9 persen sebagai gelas setengah isi dan tingkat ketidakpuasan 21,1 sebagai gelas setengah kosong. Pertanyaannya, manakah yang banyak mengemuka di publik?

Di media tidak jarang kita disuguhi ada saja berita buruknya pelayanan rumah sakit bagi pasien JKN. Diantara keluhan itu yaitu antrian panjang pasien, tidak tersedianya tempat tidur, kelangkaan obat dan lamanya waktu pelayanan. Berita yang muncul dibingkai seolah rumah sakit menolak pasien miskin. Padahal bisa jadi disebabkan ketidakseimbangan jumlah kunjungan pasien dengan keterbatasan fasilitas rumah sakit.

Itulah fakta yang ditemukan di lapangan. Keluhan peserta JKN itu memang benar adanya. Secara sederhana, itu dapat dimasukkan dalam tingkat ketidakpuasan 21,1 persen diatas. Di lain sisi, mengapa jarang sekali kita mendengar apresiasi peserta JKN pada pelayanan kesehatan yang diwakili oleh tingkat kepuasan sebesar 78,9 persen tadi?

Karena media lebih memilih memberitakan dari sisi “bad news is good news”. Sekali lagi, ini bukan persoalan benar salah, melainkan bagaimana cara pandang. Media akan mengangkat sisi kemanusiaan yang menarik minat pembaca atau penontonnya. Sisi kemanusiaan dan perhatian publik menyentuh misalnya pada ketika “si miskin ditolak rumah sakit” atau “kartu sakti KIS yang ternyata tidak membuat pemegangnya mendapatkan kenyamanan dan kecepatan pelayanan”.

Sebaliknya, jika ada pasien yang gembira atau puas mendapatkan pelayanan di rumah sakit, berpendapat itu sudah semestinya. Hal yang “sudah semestinya” itu tidak bernilai berita bagi media. Dalam hal ini media lebih memilih cara pandang gelas setengah kosong dibandingkan setengah isi. Itu sah-sah saja.

Demikian juga kepada sebagain orang yang belum mau menerima atau memandang sebelah mata JKN, harus dilihat sebagai cara pandangnya gelas setangah kosong. Misalnya tenaga kesehatan yang pendapatannya menurun sejak melayani pasien JKN. Juga rumah sakit dan klinik yang belum mau bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Itu boleh saja, tidak dilarang. Justru itu menjadi tantangan bagi BPJS Kesehatan atau Pemerintah untuk melakukan pembenahan mereka dapat berubah cara pandangnya menjadi gelas setengah isi.

Lalu seperti apa gelas setengah isi JKN? Merekalah yang dengan kehadiran JKN merasa tertolong dan dapat berobat. Mereka yang menyadari bahwa kartu peserta JKN bukan kartu sakti atau kartu VIP, tetapi jaminan biaya pengobatan untuk penyembuhan dari sakit yang diderita.

Secara lebih ideal, cara pandang gelas setengah isi dapat ditemukan pada sebagian orang yang dapat melihat dan merasakan adanya perubahan sistem pelayanan kesehatan dari fee for service menjadi sistem paket yang lebih efektif. Mereka yang dapat melihat perubahan pengelolaan pelayanan kesehatan yang lebih akuntabel dan efisien. Mereka pula yang dapat menyaksikan sistem rujukan yang mulai bisa diterapkan secara konsisten.

Sebagaian orang dengan cara pandang gelas setengah isi bukan tidak melihat adanya kekurangan dari pelayanan kesehatan peserta JKN. Mereka lebih memilih dengan cara pandang positif dengan mengawal proses perbaikan program JKN.

Jadi jawaban mana yang anda pilih; gelas setengah isi atau setengah kosong?