Minggu, 30 Desember 2012

, , , , , , , , , ,

Belajar dari RSAB Harapan Kita

Seorang bocah penderita leukimia, Ayu Tria meninggal dunia, karena terlambat menjalani kemoterapi di RS Harapan Kita (Harkit) Jakarta. Bocah itu, terlambat menjalani kemoterapi karena ruang ICCU rumah sakit tersebut dipakai syuting film Love in Paris hingga larut malam.

Inilah kutipan judul berita tanggal 27 Desember 2012; ICCU Dipakai Syuting, Pasien RSAB Harapan Kita Meninggal Dunia . Apa persepsi kita ketika membaca judul dan isi berita diatas? Bahwa adanya syuting menjadi penyebab kematian pasien. Itulah opini yang dibentuk berita itu. Ada ratusan berita online yang sama dalam 1 hari itu. Kemudian berita itu disebarluaskan pembacanya melalui media sosial terutama twitter. Terjadilah penyebaran berita secara viral, masiv dan cepat tanpa terbendung. Hanya dalam tempo tak lebih 2 jam sejak berita itu muncul, RSAB Harapan Kita menjadi kelimpungan dan bulan-bulanan. Dari sudut pandang kehumasan (public relations), RSAB Harapan Kita mengalami krisis komunikasi kehumasan atau PR Crisis yang berakibat rusaknya citra dan reputasi.

Tingkat Kerusakan Citra

Kerusakan Tingkat I dimulai saat terbentuk opini buruknya pelayanan RSAB Harapan Kita. Opini buruk yang awalnya dari media online ini, kerusakannya atas citra rumah sakit semakin kukuh setelah tersiar melalui radio dan televisi.

Tak cukup sampai disini, awak media meminta komentar para publik figur dan pihak-pihak yang berwenang. Dari DPR, DPRD, pejabat pemerintah, artis, YLKI, KPAI, asosiasi perumahsakitan, dokter, LSM dan publik figur lain. Dengan mendasarkan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya, mereka mengecam dan menyalahkan RSAB Harapan Kita atas meninggalnya pasien disebabkan syuting sinetron Paris in Love tersebut. Inilah Kerusakan Tingkat II.

Pendapat, komentar dan kecaman itu dilengkapi dengan tuntutan agar RSAB Harapan Kita mendapatkan sanksi/hukuman atas kelalaiannya. Atas dasar berita, selanjutnya logika berkembang bahwa rumah sakit melanggar aturan UU Rumah Sakit, UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya. Opini berkembang, RSAB bisa dituntut baik perdata dan pidana. Tekanan psikologis pun dilancarkan oleh berbagai pihak. DPR ancam memanggil pejabat rumah sakit, KPAI melayangkan surat teguran dan pengaduan, YLKI menyarankan pemecatan. Desakan agar Kemenkes harus memberikan sanksi berat. Fase ini saya sebut sebagai Kerusakan Tingkat III.

Seperti cerita sinetron Parif in Love yang syuting di RSAB Harapan Kita, dramatisasi pun berubah. Media mulai mengorek kekurangan dan keburukan rumah sakit. Tak ada yang lebih menyesakkan selain keburukan yang diceritakan orang dalam. Media mengais remah-remah dari karyawan RSAB guna mendukung opini bahwa kematian pasien itu akibat syuting. Oknum perawat yang terganggu dengan syuting, kelakuan kru film yang merokok sembarangan misalnya. Ada lagi bahwa syuting itu "mainan" oknum direktur dan uangnya masuk kantong sendiri. Terjadilah Kerusakan Tingkat IV pada fase ini. Kalau nanti sampai terjadi tuntutan perdata maupun pidana, bisa dikatakan itu Kerusakan Tingkat V. Semoga tidak terjadi.

Bangkit Disaat Krisis

Andai saja kita bisa tahu sebelum ini terjadi. Atau andai saja waktu bisa diputar ulang, kita bisa memilih skenario lain. Cari kambing hitam atau berargumen pembelaan lazim dilakukan. Tapi yang lebih penting dan utama dilakukan adalah apa yang kita lakukan pada saat menghadapi krisis komunikasi dan krisis humas seperti ini? Bagaimana kita bangkit?

Yang pertama kali harus segera dilakukan adalah bentuk Tim Penanganan Krisis. Tugasnya identifikasi masalah dan tentukan langkah penanganan. Lebih kongkrit output segera yang harus dihasilkan adalah rumusan fact sheet, keypoint press release dan juru bicara. Direktur rumah sakit harus memimpin langsung tim krisis ini.

Penting pula dilakukan adalah lokalisir masalah. Sediakan ruang dan waktu awak media untuk mengakses informasi dengan mudah dan nyaman. Menghindari wartawan bukanlah langkah bijak, sebaliknya akan memperburuk keadaan. Yang terbaik; hadapi, berikan informasi terukur oleh orang yang kompeten dan waktu yang tepat. Ingat pada postulat, the a real PR is a top management.

Klarifikasi dan hak jawab atas pemberitaan yang salah juga harus dilakukan dengan santun. Hindari sikap dan jawaban arogan dan sok benar sendiri. Apalagi sikap tak peduli dan remeh kepada publik apalagi media massa dan media sosial. Ini bisa jadi bumerang. Apalah arti keunggulan rumah sakit berikut fasilitasnya kalau reputasi dan citra terpuruk. Tak ragu menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyaman pelayanan bukanlah selalu wujud pengakuan dosa. Dalam dunia pencitraan, peran mengalah seringkali berhasil membawa kemenangan dalam menunjukan kebenaran.

Dalam dunia humas, krisis komunikasi tidak melulu dipandang sebagai kemalangan semata, tetapi sebagai positioning awareness. Disaat itu bisa jadi momentum tepat perubahan dan akselerasi perbaikan internal. Krisis humas juga bisa jadi peluang bagi rumah sakit yang mampu mengelolanya. Terlepas dari bagaimana kasus sebenarnya terjadi, semestinya kasus RSAB Harapan Kita menjadi pembelajaran sangat berharga bagi rumah sakit lain. Kita menjadi belajar mengerti bagaimana perilaku media dan harus seperti apa menanganinya.

Untuk RSAB Harapan Kita, masih ada pekerjaan rumah yang juga besar setelah kehebohan ini yaitu recovery dan titik balik. Semoga berhasil.

Kamis, 13 Desember 2012

, , , , , , , ,

Bolehkah Melahirkan dengan Caesar pada Tanggal Cantik?

Hari ini 12 Desember 2012, tanggal cantik. Cobalah luangkan waktu melihat deretan foto bayi ini. Bayi-bayi mungil ini berasal dari rahim ibu-ibu yang ramai-ramai melahirkan tanggal cantik 12-12-2012. Tidak disebut secara jelas, apakah bayi-bayi cantik ini lahir melalui persalinan normal ataukah bedah caesar.  Ada sesuatu yang menarik ketika pada tanggal 12-12-12, rumah sakit dibanjiri ibu melahirkan. Adalah wajar dan bukan sesuatu yang baru, ketika kita mempunyai hajat pada hari dan tanggal yang terpilih. Orang tua dan leluhur kita menentukan hari baik untuk menikah, perjalanan jauh, membangun rumah dan sebagainya. Itu sudah menjadi warisan budaya, tak bisa dipungkiri. Tapi tidak  para leluhur itu tidak pernah menentukan kapan hari lahir putra putrinya. Memang ada upaya menghitung hari, kemudian berdoa dan pasrah. Kebijaksanaan lokal, demikian juga agama, telah mengajarkan bahwa lahir, rejeki, jodoh dan ajal adalah rahasia Gusti Alloh. Semua telah tertulis dalam Lauh Mahfuzh.

Ada fenomena dan trend menarik beberapa tahun terakhir. Orang tua menginginkan kelahiran buah hatinya pada hari atau tanggal cantik. Tidak ada yang salah dengan keinginan itu, apalagi jika dengan persalinan normal. Sebuah keberkahan bayi yang diidamkan lahir sehat selamat. Dan bonus jika lahir pada tanggal cantik yang dimimpikannya. Bersyukur pula bayi lahir selamat pada waktunya dengan cara bedah caesar pada hari istimewa tersebut. Namun bagaimana jika orang tua menginginkan sang bayi lahir pada hari istimewa atau tanggal cantik melalui bedah caesar padahal tanpa indikasi medis? Bagaimana hukum "memaksa" bayi lahir dengan caesar disesuaikan dengan tanggal cantik itu?

Saya jadi ingat saat pembahasan salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit beberapa tahun lalu. Pasal 29 Huruf K disebutkan bahwa :
Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada saat muncul norma ini, para pakar kesehatan menyebutkan sebagai contoh yang harus ditolak rumah sakit diantaranya melakukan bedah plastik dengan tujuan menghilangkan identitas dan keinginan melakukan bedah caesar tanpa indikasi medis untuk melahirkan anak pada hari/tanggal khusus. Namun apa lacur, justru keinginan seperti itu semakin menjadi trend yang terus meluas belakangan ini. Mari kita urai lagi. Persyaratan (condition) "kewajiban menolak" itu jika bertentangan dengan standar profesi, etika serta peraturan perundang-undangan.

Pada 2006, ACOG (The American College of Obstetricians and Gynecologists) di Amerika Serikat mengadakan pertemuan khusus membahas masalah: bolehkah seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi melakukan tindakan caesar berdasarkan permintaan pasien tanpa adanya indikasi obstektrik yang nyata? Pertemuan itu sepakat bahwa tindakan caesar atas permintaan pasien boleh dilakukan jika dokter telah memberikan informasi dalam bentuk informed consent yang jelas, misalnya mengenai risiko caesar yang timbul seperti kematian ibu, emboli pulmonal, infeksi, pelengketan, komplikasi anestesi, hingga kemungkinan operasi caesar berulang di masa datang atau kehamilan berikutnya.

Pada Bulan Juli 2011 di Jakarta dilakukan Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) POGI  yang menyepakati perubahan pada standar kode etik POGI dimana tindakan sectio/caesar atas permintaan pasien bukanlah merupakan suatu bentuk pelanggaran etik selama dilakukan suatu informed consent khusus, yaitu adanya surat persetujuan tindakan medik bedah caesar dengan format khusus dan dijelaskan langsung oleh dokter yang akan melakukan tindakan, didampingi saksi dari pihak dokter, dan saksi dari pihak pasien.
Dengan kata lain, standar profesi dan etika (dokter obgyn) membolehkan orang tua meminta tindakan caesar tanpa indikasi medis  dengan informed consent khusus untuk melahirkan bayinya pada hari dan tanggal cantik.

Bagaimana dengan pandangan ulama tentang hal ini? Pada Tahun 2011, Forum Musyawarah Pondok Pesantren di Tulungagung, Jawa Timur mengeluarkan rumusan Bahtsul Masail (fatwa) bahwa memilih tanggal tertentu saat melahirkan anak adalah tindakan haram karena melanggar hukum Islam. Forum berpendapat bahwa  tindakan operasi caesar sebenarnya upaya darurat dan paling terakhir. Jika tidak ada alasan darurat, operasi caesar bisa dianggap salah karena membahayakan diri sendiri dan bayinya. Jadi, mempercepat kelahiran hanya demi mengejar tanggal tertentu yang dinilai cantik merupakan perbuatan haram.

Kita boleh saja berbeda dengan kesepakatan profesi dan pandangan ulama tersebut diatas. Namun saya termasuk orang yang tidak setuju dengan tindakan caesar tanpa indikasi medis hanya karena keingingan bayi lahir pada hari khusus atau tanggal cantik. Keyakinan saya menyatakan lahirnya bayi dari rahim seorang ibu pada waktu dan tempat yang telah ditentukan oleh Gusti Alloh. Ada waktu hidup pada alam rahim, alam dunia dan alam arwah. Leluhur saya menasehati bahwa kelahiran anak manusia itu rahasia Sang Pencipta, jangan mendahului atau menghambatnya.

Kalau boleh saya mengatakan," Wahai orang tua, bayi buah hati kita berhak menentukan kapan dia menjalani kehidupan rahimnya. Dia juga berhak menetapkan kapan menjalani kehidupan alam dunia. Janganlah mempercepat atau memperlambat waktunya. Bayi kita merupakah anugerah dengan keistimewaan dan keunikannya dibawanya sejak dalam rahim. Untuk itu dia tak membutuhkan keistimewaan dan keistimewaan dengan lahir pada hari yang khusus dan tanggal cantik menurut ukuran orang tuanya".

 

 

 

Jumat, 07 Desember 2012

, , , , , , ,

SJSN: Ada Apa 1 Januari 2014?

Catat baik-baik tanggal ini, 1 Januari 2014. Mulai tanggal itu, seluruh rakyat Indonesia harus memiliki jaminan sosial. Berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS, Sistem Jaminan Sosial Nasional secara bertahap wajib diikuti oleh seluruh WNI yang berjumlah sekitar 240 juta dan WNA yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan. Harapannya, universal coverage melalui sistem asuransi sosial tercapai oada tahun 2012. Khusus bagi masyarakat miskin dan hampir miskin dijamin Pemerintah.

Tujuan utama SJSN adalah memberikan akses dan  kemudahan kepada seluruh penduduk dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu yang efektif, efisien, berkeadilan, transparan dan portabilitas. SJSN memberikan jaminan pada paket benefit dasar. Artinya menjamin semua kebutuhan dasar kesehatan dan berindikasi medis. Yang bersifat kosmetik dan sekunder tidak dijamin sistem ini.   Saat ini, penyediaan dan pengelolaan asuransi masih sangat bervariasi baik dibawah pengelolaan pemerintah maupunswasta. Yang tercover jaminan masih berasal dari sektor formal (swasta dan pemerintah) dan masyarakat miskin melalui Program JAMKESMAS. Hal ini masih terjadi marjinalisasi bagi penduduk yang berasal dari sektor informal. Tercatat pada tahun 2011 terdapat 87 juta jiwa penduduk (36,87%) belum memiliki jaminan kesehatan.

Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menjamin masyarakat yang miskin dan tidak mampu melalui Program Nasional JAMKESMAS dengan mengkover 76,4 juta jiwa. Bahkan, dengan sistem pemerintahan yang desentralistik, beberapa daerah sudah mengembangkan sendiri sistem Universal Health Coverage dengan paket benefit (JAMKESDA) tertentu yang bervariasi tiap daerah DAN MENGCOVER LEBIH DARI 30 juta penduduk miskin dan hampir miskin.

Pemerintah telah melakukan pembenahan sistem dan penyiapan menyongsong Universal Health Caverage tahun 2014, terutama berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, pembenahan sistem rujukan, pemutakhiran sistem informasi, transformasi kelembagaan (PT Askes menjadi BPJS) penyiapan anggaran (penetapan besaran premi bagi PBI dan non PBI), serta penyiapan regulasi. Seiring dengan penyiapan kelembagaan BPJS tersebut, Pemerintah meningkatkan cakupan kepesertaan (dikenal sebagai PBI penerima bantuan iuran dari pemerintah) bagi masyarakat miskin dan hampir  miskin dari 76,4 juta jiwa pada tahun 2012 (32%). Pada tahun 2013 menjadi 86,4 juta jiwa dan 96,4 juta jiwa pada tahun 2014.  

Terkait dengan penyiapan infrastruktur, pemenuhan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit di Indonesia cukup memadai. Dari 2080 RS, sebagian besar rumah sakit (60,7%) merupakan rumah sakit milik swasta dan 39,3% merupakan rumah sakit pemerintah. Dengan jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa (2010) Indonesia memiliki total keseluruhan tempat tidur RS mencapai 230.459 sehingga cukup aman bila menggunakan standar ratio pemenuhan TT 1:1000 penduduk (standar WHO).  

Namun perlu dilakukan pemetaan kembali distribusi dan tingkat utilisasi fasilitas kesehatan yang ada. Karena Indonesia memiliki kondisi geografis yang sulit. Terdiri dari +17 ribu pulau/kepulauan, pegunungan sehingga banyak titik-titik dimana akses pelayanan kesehatan sulit dijangkau terutama di garis pantai (klaster 4), kepulauan terluar dan perbatasan, serta pedesaan. Informasi tentang fasilitas kesehatan dapat dilihat di website  www.buk.depkes.go.id. Dari pemenuhan pelayanan kesehatan dasar saat ini Indonesia memiliki 9.437 Puskesmas termasuk 3.028 Puskesmas Perawatan. Dari data tersebut,masih membutuhkan sekurangnya-kurangnya 433 Puskesmas terutama bagi Kecamatan yang belum memiliki Puskesmas.  

Beberapa strategi quick wins Pemerintah dalam pemenuhan fasyankes  yaitu menyediakan tempat tidur tambahan 13.000 pada tahun 2012, mendirikan RS bergerak dan RS Pratama (Community Hospital) di lokasi yang membutuhkan. Juga melaksanakan regionalisasi sistem rujukan kesehatan yang berjenjang dengan penguatan pelayanan primer (Puskesmas) sebagai penapis pelayanan (gatekeeper). Pemerintah mengembangkan pelayanan telemedicine pada bidang-bidang tertentu yang membutuhkan dokter ahli seperti teleradiologi, tele-ECG maupun telekonsultasi, melaksanakan flying health care pada pada lokasi yang sangat terpencil.  

Secara kualitas, masih banyak fasilitas pelayanan kesehatan belum memenuhi standar input (sarana-prasarana dan alat) sehingga secara kasar, kebutuhan/usulan pemenuhan sarana-prasarana dan alat tahun 2012 mencapai angka 26 triliyun rupiah (2,8 Billion USD). Jumlah ini sangat besar dan hampir sama dengan anggaran total kesehatan tahun 2012. Strategi pemenuhannya diantaranya melalui sharing biaya antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta meningkatkan peran dankontribusi sektor swasta serta melakukan tahapan berbasis prioritas, khususnya utk DTPK dan cluster IV. Bidang kesehatan Indonesia termasuk sangat terbuka masuknya investasi asing dimana kepemilikan modal asing terbuka hingga 67%.

Dalam hal mutu dan biaya pelayanan kesehatan, Pemerintah telah menerapkan sistem pembayaran pola kapitasi untuk tingkat daar dan pola DRG untuk tingkat rujukan. INA-CBG berbasis casemix sejak tahun 2009 dengan segala penyempurnaannya sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan efektifitas dan mutu pelayanan kepada pasien. Sistem ini tengah dilakukan peninjauan dan pemutakhiran variabel input sehingga dapat menghasilkan output/tarif yang lebih memadai sebagai dasar pembayaran UHC tahun 2014. 

Selain itu, penjaminan mutu pelayanan kesehatan dilaksanakan melalui kebijakan akreditasi pada rumah sakit (+70%) dan dimulai penyusunan akreditasi untuk Puskmesmas. BPJS selaku pengelola asuransi sosial akan melakukan credentialing kembali kepada fasyankes yang belum terakrediatasi.   Dalam rangka memenuhi kebutuhan SDM/dokter spesialis, Pemerintah melakukan upaya percepatan kelulusan melalui Program PDSBK (crash programme), dimana dokter spesialis sudah dapat dikirimkan/terjun ke lokasi yang membutuhkan berdasarkan kompetensi tertentu yang telah dikuasai. Untuk program jangka pendek, adalah memberikan kewenangan tambahan kepada dokter umum melalui pelatihan khusus. Saat ini telah lulus 312 dokter PDSBK dan 77 dokter dengan kewenangan tambahan.  

Salah satu tantangan Kementerian Kesehatan adalah melakukan advokasi dan negosiasi besaran dana kesehatan dengan DPR dan Kementerian Keuangan. Saat ini persentase anggaran kesehatan dibandingkan total APBN hanya 2,1%,dengan GDP sekitar 2,4%. Dengan usulan premi/iuran SJSN Kesehatan sebesar Rp 22.000 - Rp 27.000 maka diharapkan akan ada peningkatan anggaran kesehatan.