Tampilkan postingan dengan label Birokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Birokrasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 13 November 2014

, , , , ,

50 Tahun Pembangunan Kesehatan Indonesia

Perjalanan membangun kesehatan bermula sejak puluhan tahun lalu, ketika malaria masih menjangkiti banyak penduduk Indonesia dan menyebabkan ratusan orang meninggal dunia.

Pada 12 November 1964, upaya pemberantasan malaria dinyatakan telah berhasil dan hari itu diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN). Selanjutnya HKN diperingati setiap tahun untuk mendorong peningkatan pembangunan kesehatan masyarakat.

Awal dari perang melawan malaria tersebut adalah tahun 1959 ketika pemerintah membentuk Dinas Pembasmian Malaria, yang kemudian diubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM) pada Januari 1963. Pembasmian malaria dilakukan bersama oleh pemerintah, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) dan USAID dengan target malaria bisa hilang dari Bumi Indonesia pada 1970.

Upaya pembasmian malaria dilakukan dengan penyemprotan pestisida baru ketika itu, yakni Dichloro-Diphenyl-Trichloroethane (DDT). Penyemprotan pestisida massal dilakukan di rumah-rumah penduduk di seluruh Jawa, Bali dan Lampung.

Presiden Soekarno secara simbolis melakukan penyemprotan pestisida untuk memberantas malaria pada 12 November 1959 di Desa Kalasan, sekitar 10 kilometer di sebelah timur Kota Yogyakarta. Kegiatan penyemprotan pestisida juga dibarengi dengan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Lima tahun kemudian, sekitar 63 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari penyakit malaria.

Era Pelita
Pada era Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I dari tahun 1969 sampai 1974, kesehatan nasional masih memprihatinkan. Setiap 1.000 bayi yang lahir hidup tiap tahun, 125 –150 di antaranya meninggal dunia.

Selama kurun waktu itu juga ada keberhasilan yang perlu dicatat dalam penanggulangan penyakit cacar. Vaksin kering yang dibuat oleh Prof. Dr. Sardjito bisa dibagikan ke sejumlah daerah di Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap penularan penyakit tersebut.

Pada Pelita II, masalah kesehatan masih banyak. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan tenaga pelayanan kesehatan. Meski berbagai upaya telah dilakukan, selama Pelita III (1978-1983) kondisi kesehatan masyarakat masih memprihatinkan.

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih tinggi. Namun, program Keluarga Berencana (KB) selama era ini maju pesat. Sejarah mencatat program KB berhasil mencapai akseptor 12,8 juta. Angka kelahiran turun dari 2,7 persen sebelum KB diluncurkan menjadi dua persen. Keberhasilan program KB di Indonesia juga menjadi kisah sukses yang tercatat dalam sejarah keluarga berencana di dunia menurut salah satu edisi Population.

Pada era ini pula bermula Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), Posyandu dan Penyuluhan Kesehatan. Tahun 1993, pemerintah mulai menggalakkan Larangan Merokok. Produsen rokok harus mencantumkan tulisan bahaya merokok di kemasan produk.

Pemerintah juga berusaha menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan memperkenalkan obat generik kepada masyarakat guna meningkatkan akses terhadap obat. Tahun 1995 pemerintah mulai menjalankan Pekan Imunisasi Nasional untuk membebaskan anak-anak Indonesia dari penyakit polio dan sukses menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya pemberantasan penyakit yang membuat anak-anak lumpuh layu itu.

Era Paradigma Sehat
Tahun 1998 hingga 2009 merupakan Era Paradigma Sehat dengan Visi Indonesia Sehat 2010. Selama era itu pemerintah berusaha mengubah paradigma berfikir. Upaya kesehatan yang semula diarahkan untuk menyembuhkan orang sakit dialihkan ke upaya pencegahan penyakit untuk membangun kesehatan mental, fisik, spiritual, lingkungan dan faktor pendukung lain.

Periode 2005- 2014, pembangunan kesehatan berjalan selaras dengan visi Kabinet Indonesia Bersatu, yaitu Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. Program-program yang dicanangkan antara lain Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkeskas); Desa Siaga, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Kini, mulai 1 Januari 2014, seluruh program jaminan kesehatan dipadukan dalam program JKN yang dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Cakupan program jaminan kesehatan pun makin luas, tidak hanya mencakup penduduk miskin dan kurang mampu atau sakit sedikit jadi miskin.

Selama kurun 2005-2014, pemerintah juga bergelut dengan upaya penanggulangan penyakit Flu Burung, Imunisasi, pembangunan kesehatan Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), dan Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) dan Eradikasi Polio.Tahun 2014 Indonesia juga mendapatkan sertifikat Bebas Polio dari WHO, yang tahun 1974 memberikan sertifikat Indonesia bebas penyakit cacar.

Setelah 50 tahun
Apa yang telah dicapai pembangunan kesehatan dalam 50 tahun? Kebijakan publik yang berwawasan kesehatan termasuk di antaranya. Undang-undang atau peraturan di tingkat nasional telah berpihak pada kesehatan masyarakat.

Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan menjadi salah satu kebijakan publik yang akan membawa dampak bagi perilaku merokok, demikian pula peraturan turunannya.

Selain itu terdapat Peraturan Menteri Kesehatan No.28 tahun 2013 mewajibkan pencantuman peringatan kesehatan bergambar pada kemasan rokok. Lalu ada Peraturan Menteri Kesehatan No.30 tahun 2013 mewajibkan pengusaha gerai makanan memberi informasi akurat pada label mengenai kandungan gula, garam dan lemak.

Akses masyarakat terhadap obat pun meningkat dan untuk menjamin ketersediaan obat sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan pemerintah telah mengeluarkan aturan tentang ketersediaan obat melalui E-catalog obat generik. Pekan Imunisasi Nasional pun masih berlanjut untuk meningkatkan kekebalan bayi dan anak dari penyakit berbahaya.

Penanggulangan penyakit menular juga dilakukan lewat Penemuan Kasus Tuberkulosis (TB) dan Malaria untuk pengobatan yang komprehensif, dan peningkatan kesadaran akan penyebaran HIV bagi kaum muda. Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi penyakit-penyakit seperti kusta serta mengantisiapasi penyebaran virus baru seperti MERS-CoV yang dapat mempengaruhi rapor kesehatan bangsa. Di samping itu, pemerintah terus menggalakkan pelaksanaan upaya-upaya kesehatan promotif dan preventif.

Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperluas cakupan pelayanan kesehatan dalam jaminan kesehatan nasional lewat program Kartu Indonesia Sehat (KIS).

KIS menjangkau para penyandang masalah sosial dan orang-orang yang selama ini sering luput dari program-program jaminan pelayanan kesehatan. Selain itu anggaran sekurangnya lima persen dari anggaran negara akan dialokasikan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Bayi dan Balita, pengendalian HIV dan AIDS, penyakit menular dan penyakit kronis.

Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah terkait penyediaan akses pelayanan kesehatan bermutu dan jaminan pembiayaan kesehatan bagi masyarakat. Namun bagaimana pun, perjalanan 50 tahun pembangunan kesehatan patut disyukuri dan pastinya harus ditingkatkan demi Indonesia lebih sehat.

Sabtu, 01 November 2014

, , , , , , , , ,

Kartu-Kartu Pak Jokowi

Selain Kartu Indonesia Sehat (KIS), ada Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Kartu Simpanan Keluarga Sejahtera (KSKS). Ke-4 kartu itu, KIS, KIP, KKS & KSKS merupakan bagian dari Kartu Keluarga Produktif (KKP) yang mulai diluncurkan 3 november ini.

Dari kartu-kartu itu (KIS, KIP, KKS, KSKK) hanya KIS yang bersinggungan dengan program yang sudah tersistem yaitu ‪#‎JKN‬.

KIP (Kartu Indonesia Sehat) praktis hanya ganti nama dari Bantuan Siswa Miskin (BSM). Selain ganti nama juga nambahi sedikit manfaat. Sementara kartu keluarga sejahtera (KKS) dan kartu simpanan keluarga sejahtera (ksks) merupakan bantuan sosial utk keluarga pra sejahtera. Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) itu seperti Bantuan Langsung Tunai jamannya Presiden SBY. Hanya ganti nama saja.

Semoga saja tidak bingung dengan kartu-kartu itu (KIS, KIP, KKS, KSKS), tapi yang penting untuk rakyat yang membutuhkan.

Selasa, 28 Oktober 2014

, , , , , , ,

Akun Twitter Resmi Ibu Menkes

Hari ini (27/10), Presiden Joko Widodo melantik Kabinet Kerja periode tahun 2014-2019, diantaranya Prof. DR.Dr. Nila F. Moeloek, SpM sebagai Menteri Kesehatan RI. Ada sesuatu yang istimewa dari Ibu Nila Moeloek selaku Menkes. Tahukah anda, Ibu Menkes punya akun twitter? Ya, @NilaMoeloek.

Sebelumnya dalam profil tertulis "Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs". Namun hari ini setelah pelantikan, bersamaan Hari Blogger Nasional, profil @NilaMoeloek berubah menjadi "akun resmi Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet Kerja 2014-2019"

Tercatat @NilaMoeloek bergabung sejak Juni 2011, lebih tiga tahun. Hingga hari ini @NilaMoeloek telah menulis sebanyak 32 tweet. Dan tweet pertama sebagai Menkes adalah "Terima kasih atas dukungan dan doanya, semoga Indonesia Sehat dapat kita wujudkan dengan kerja keras dan upaya bersama". Jumlah followernya pada saat postingan ini sebanyak 4.305 follower, padahal kemarin baru 191 follower. Dan diperkirakan jumlah follower @NilaMoeloek akan terus bergerak pada hari-hari berikutnya.

Barangkali untuk sebagian orang ini hal yang lumrah. Tetapi sepanjang ingatan saya, inilah pertama kalinya Menkes RI memiliki akun twitter. Dengan berubahnya profil menjadi "akun resmi Menkes", @NilaMoeloek sebagai Menkes RI siap membuka diri berkomunikasi tanpa jarak dengan masyarakat Indonesia. Ibu Menkes bersedia mendengar langsung aspirasi dan suara publik berkaitan dengan urusan kesehatan melalui akun twitter.

Sebagaimana kita maklum bahwa aspek terpenting dalam media sosial, termasuk twitter, adalah sisi ke-sosial-annya. Dimana masing-masing penggunanya dapat berinteraksi dan bercakap secara langsung tanpa sekat kedudukan dan status sosialnya di masyarakat. Media sosial berpotensi menyuguhkan informasi, memberikan solusi dan menjalin persahabatan. Sepertinya demikianlah pula Ibu Menkes dengan akun resmi twitternya.

Ini menggembirakan, dan memang sudah menjadi kebutuhan saat ini dimana pejabat negara dan pejabat publik dapat diakses oleh masyarakat luas. Ibu Menkes @NilaMoeloek tidak sendiri. Ada 21 Menteri dari 34 Menteri Kabinet Kerja memiliki akun twitter. Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla juga sudah lama punya akun twitter. Bahkan Presiden SBY sudah sering menyampaikan pendapat, tanggapan dan informasi publik melalui akun resmi twitternya.

Semoga saja melalui akun twitter @NilaMoeloek, Ibu Menkes dapat membangun interaksi dan menjalin komunikasi dengan pemangku kepentingan dan publik pada umumnya. Rakyat tentu akan sangat gembira sekali dan menyambut antusias, jika Menteri Kesehatan-nya berkenan menyapa dan berkomunikasi masyarakatnya meski hanya melalui akun twitter.

Contoh nyata yang saya alami. Tweet terakhir ibu @nilamoeloek sebelum sebagai Menkes adalah "@anjarisme sama2. Salam kenal". Tweet itu adalah tanggapan atas mention saya sekitar 30 menit sebelum beliau tertangkap kamera memasuki pintu Istana Negara. Tentu saja saya gembira. Pertama, sebagai rakyat biasa, tweet (mention) saya dijawab oleh sosok penting dan tokoh terkenal yang kemarin statusnya calon Menkes. Begitulah setiap orang rakyat Indonesia akan merasa gembira dan diperhatikan ketika mention tweetnya ditanggapi oleh Menkes-nya.

Selanjutnya, keberadaan akun resmi Menkes RI Kabinet Kerja, @NilaMoeloek bisa jadi pemicu pejabat di jajaran organisasi kesehatan baik Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas dan lain-lain, juga memiliki akun media sosial juga. Alangkah indahnya jika banyak pejabat publik mau dan mampu berkomunikasi langsung tanpa jarak dengan masyarakat. Jika tak bisa secara fisik, teknologi dan media sosial bisa jadi solusinya.

Tentu ada konsekuensinya seorang pejabat negara atau pejabat publik memiliki akun media sosial. Ditengah kesibukan selesaikan tugas negara dan padatnya agenda kegiatan, pejabat tersebut dituntut mengelola dengan baik. Dan pastinya diperlukan strategi komunikasi publik yang tepat. Alih-alih semakin dekat dengan rakyatnya, strategi komunikasi yang buruk menjadikan pejabat yang bersangkutan dihujat dan dicaci publik. Dan ini berdampak pada citra dan reputasi pejabat tersebut dan organisasinya.

Akhirnya, kita ucapkan terima kasih kiranya sudi mendengar aspirasi publik melalui @NilaMoeloek. Ibu Menkes, selamat bekerja untuk Indonesia Lebih Sehat.

Senin, 27 Oktober 2014

, , , , , , , , ,

Inilah Profil Menteri Kesehatan Kabinet Kerja Jokowi JK

Baru saja pada jam 17.20 wib, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan kabinetnya yang bernama Kabinet Kerja. Menteri Kesehatan ada Kabinet Kerja adalah Ibu Nila Djuwita F. Moeloek.

Nila Djuwita F. Moeloek lahir di Jakarta, 11 April 1949 adalah ahli oftalmologi (ilmu penyakit mata) dan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Prof. DR.Dr. Nila F. Moeloek, SpM adalah Ketua Umum Perdami (Persatuan Dokter Spessialis Mata Indonesia periode 2013 – 2016. Jabatan terakhir adalah "Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals" tahun 2009 – 2014 pada Kabinet Indonesia Bersatu II Presiden SBY.

Istri dari Farid Anfasa Moeloek, Menteri Kesehatan pada Kabinet Reformasi Pembangunan, merupakan Alumni dokter umum dan spesialis mata dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Meneruskan subspesialisasi/International Fellowship di Orbita Centre, University of Amsterdam, Belanda dan di Kobe University, Jepang. Setelah itu meneruskan pendidikan konsultan Onkologi Mata dan program Doktor Pasca Sarjana di FKUI.

Kesuksesannya di bidang ahli mata, membuat wanita berusia 65 tahun ini mengembangkan diri dan didapuk sebagai kepala divisi tumor mata di RSCM Kirana pada 1979-1998. Pada saat sama, Nila pernah menjadi koordinator penelitian di Departemen Opthalmology, FKUI-RSCM. Kemudian, dirinya menjabat sebagai ketua umum Darma Wanita Persatuan Pusat periode 2004-2009.

Selamat datang Ibu Nila Moeloek. Selamat Bekerja untuk Indonesia Lebih Sehat.

 

Senin, 04 Agustus 2014

, , , , , , , , , , , ,

Apa Kriteria Utama Menkes 2014 - 2019?

Saat ini hangat dibicarakan ditengah publik adalah susunan kabinet Presiden/Wakil Presiden mendatang. Anggaplah untuk sementara ini disebut Kabinet Jokowi-JK. Banyak versi usulan nama calon Menteri yang beredar di media, termasuk calon Menteri Kesehatan. Dari banyak versi dan usulan tersebut, semua bicara siapa sebagai menteri apa. Bukan apa dan mengapa sehingga siapa itu mampu menjabat menteri apa.

Mari kita ambil contoh nama-nama calon Menkes yang beredar di media publik. Ada Ribka Tjiptaning, Ali Gufron Mukti, Fasli Jalal, Tjandra Yoga Aditama, Akmal Taher, Fahmi Idris, Nova Riyanti Yusuf, dan lain-lain. Dari sekian banyak calon menkes itu, nama Ribka memunculkan pro kontra terutama dari kalangan dokter. Ini bisa difahami dari rekam jejak dan pernyataan Ribka selama ini. Tak elok rasanya membahas pro kontra ini. Mari kita lebih mencermati bahwa usulan, diskusi dan perdebatan yang muncul masih sebatas tokoh/sosok yang dianggap layak dan pantas sebagai Menkes. Tetapi ada satu hal mendasar yang lupa diangkat dan didiskusikan; kondisi Kesehatan seperti apa yang diharapkan Indonesia sekurangnya hingga 5 tahun ke depan?

Dalam ilmu organisasi, terlebih dahulu bicara tujuan dan fungsi baru kemudian struktur. Dalam manajemen sumber daya manusia, terlebih dahulu diperjelas job description dan job specification sebelum ditentukan orangnya. Konkritnya, sebelum bicara siapa calon Menkes yang layak dan pantas (fit & propher) semestinya ditentukan dulu syarat dan kriteria Menteri Kesehatan didasarkan pada tujuan pembangunan kesehatan sekurangnya 5 tahun mendatang. Syarat dan kriteria itu secara populis didasarkan pada apa sih kepentingan dan kebutuhan masyarakat Indonesia?

Dalam kondisi normal Kabinet Pemerintahan berjalan dalam periode 5 tahunan. Memang harus diakui kebijakan dan pengaturan Kabinet, termasuk Menkes, akan berdampak panjang melebihi periode pemerintahan 5 tahun. Namun untuk mempermudah penentuan syarat dan kriteria calon Menkes, rentang waktu pergantian pemerintahan 5 tahunan ini bisa dijadikan acuan. Pertanyaan dasarnya, kondisi pembangunan kesehatan seperti apa selama 5 tahun nanti? Atau sebenarnya dalam 5 tahun ini, masyarakat Indonesia itu berkepentingan dan butuh apa?

Terdapat banyak sekali urusan bidang kesehatan yang harus ditangani dan diselesaikan. Setiap orang dengan berbagai latar belakang, pengalaman dan kepentingannya bisa mengutarakan kondisi yang diharapkan. Yang banyak diusulkan para ahli dan akademisi yaitu pembangunan kesehatan dititikberatkan pada upaya kesehatan masyarakat (UKM), preventif dan promotif. Karena selama ini lebih menjurus pada upaya kesehatan perorangan (UKP), kuratif dan rehabilitatif. Konon anggaran kesehatan Indonesia banyak tersedot pada pengobatan di puskesmas dan rumah sakit tetapi minim sekali untuk pencegahan dan promosi perilaku hidup sehat. Itu dari aspek upaya, belum bicara komponen SDM, pelayanan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pembiayaan, kelembagaan dan legislasi, manajemen kesehatan dan lain-lain banyak sekali.

Pendapat tersebut bisa jadi benar, tapi perlu dipertajam dan lebih fokus. Sesungguhnya UKM dan prevensi masih luas, seperti apa yang diharapkan? Jika diuji lagi, apakah sesungguhnya kita bisa pisahkan secara tegas dan lugas antara UKM dan UKP? Dari upaya kesehatan promotif preventif hingga kuratif rehabilitatif?

Kita harus realistis bahwa 5 tahun bukanlah waktu yang cukup untuk selesaikan semua masalah kesehatan Indonesia. Waktu 5 tahun tidak cukup mengakodasi banyak harapan dan kemauan bidang kesehatan. Kita harus memilih program yang terencana, terukur dan mempunyai daya ungkit bagi sistem pembangunan kesehatan Indonesia. Analoginya, kita fokus pada tulang punggung (backbone) dimana aspek UKM dan UKP tercakup serta komponen dari sistem kesehatan seperti pelayanan kesehatan, SDM dll dapat terintegrasi. Salah satu prinsip program yang baik adalah kesinambungan dari program sebelumnya. Adakah program yang memenuhi uraian tersebut serta sesuai kepentingan dan kebutuhan masyarakat? Jawabnya adalah sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional merupakan agenda dan fokus utama pembangunan kesehatan tahun 2014 - 2019, selain program kesehatan lain. JKN bukan hanya menyangkut pembiayaan kesehatan. JKN merupakan sistem atau backbone yang dapat menjadi sandaran utama bagi peningkatan pelayanan kesehatan, SDM, obat & perbekalan kesehatan, sarana prasarana, pembiayaan, manajemen kesehatan dll. JKN bisa menjadi kunci pengungkit perbaikan di berbagai sektor kesehatan baik UKM maupun UKP. Dengan kata lain, target dan tujuan bidang kesehatan dalam masa kabinet pemerintahan saat ini adalah terlaksananya JKN yang menggerakan sektor kesehatan secara umum sebagaimana peta jalan tahun 2014- 2019 yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, kita bisa tentukan syarat dan kriteria calon Menteri Kesehatan adalah memahami dan mampu menjamin pelaksanaan JKN sesuai peta jalan yang telah ditetapkan. Inilah indikator kinerja kunci yang realistis dan terukur bagi Menkes RI periode 2014-2019. Menkes yang berhasil mensukseskan sistem JKN berarti telah menyelesaikan sebagian dari masalah-masalah kesehatan Indonesia. Pertanyaannya, siapakah calon Menkes yang memahami dan mampu menyukseskan JKN?

Ini tugas Presiden/Wakil Presiden terpilih yang melakukan uji kelayakam dan kepantasan. Untuk saat ini, KPU telah tetapkan Jokowi-JK sebagai pemenang pilpres. Biarlah, beri kesempatan, Jokowi-JK menetapkan Menkes pilihannya. Sekali lagi, semestinya dalam menentukan Menkes yang lebih diutamakan adalah syarat dan kriteria didasarkan pada tujuan pembangunan kesehatan 5 tahun mendatang. Dan suksesnya pelaksanaan sistem JKN adalah indikator kunci yang memiliki daya ungkit pada pembangunan kesehatan Indonesia.

Jadi siapa Menteri Kesehatan selanjutnya, terserah Presiden/Wapres. Kita lihat saja!

Jumat, 01 Agustus 2014

, , , , , , , ,

Biarkan Jokowi Mengangkat Menteri Pilihannya

Saya ikut mengisi nama yang diusulkan sebagai calon Menteri Kesehatan dalam "Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR)" yang diinisiasi oleh kelompok relawan "Jokowi Center". Harapan saya sih sederhana saja, siapa tahu nama yang saya usulkan benar menjadi Menkes. Saya punya keyakinan, haqul yaqin, orang yang saya usulkan mampu mengemban tugas dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Alasannya sih (lagi-lagi) sederhana, saya tahu kelayakan dan kepantasan (fit & proper) yang bersangkutan.

Seketika tuntas mengisi KAUR, rasa puas berubah menjadi gamang. Apa hak saya ikut-ikutan memberi usulan kepada Jokowi-JK melalui Jokowi Center? Jangan-jangan kelompok relawan atau non relawan Jokowi-JK juga punya usulan dan proposal calon Menteri. Jika dalam KAUR saja ada ribuan orang usul, bagaimana ditambah dengan usulan lain. Weladalah, tak berselang waktu lama beredar nama calon Menteri ( termasuk Menkes) dari kelompok-kelompok lain yang konon dekat dengan Jokowi-JK. Kalau saya kumpulkan, banyak sekali nama-nama yang berterbangan sebagai calon Menkes. Muncul pikiran nakal saya, dari nama-nama yang muncul ini siapa ya yang ada dalam benak Jokowi? Sama nggak yang ada di pikiran JK? Atau jangan-jangan mereka punya nama selain yang diedarkan ini.

Diantara keriuhan nama-nama calon Menkes, suara "tolak si anu jadi Menkes" semakin kencang. Saya bisa rasakan penolakan itu secara langsung, juga melalui media sosial. Bahkan ada petisi "menolak si anu jadi menkes" yang nampaknya banyak disuarakan dari kalangan dokter.

Rasa gamang saat ikut mengusulkan KAUR tadi semakin menjadi rasa bersalah. Jangan-jangan saya sudah keluar dari batas hak semestinya. Jangan-jangan melalui usulan tadi terselubung maksud "menyodorkan dengan memaksa" Jokowi-JK memilih usulan itu. Tapi kan usulan itu boleh diterima atau ditolak. Nah, di posisi ini saya menjadi tenang. Sepanjang hanya usul, tidak bermaksud mendesak, memaksa kehendak apalagi menyetir kepada Jokowi-JK, rasanya sih asik-asik saja.

Saya yakin bahwa setiap orang yang punya usul calon Menteri tahu bahwa mengangkat Menteri (termasuk Menkes) itu hak prerogatif presiden. Jadi ya biarkan saja secara merdeka bebas pemaksaan kehendak, Presiden nantinya menggunakan hak prerogatifnya. Biarkan, beri kesempatan, Jokowi mengangkat Menteri pilihannya. Bukankah sewaktu mencoblos Jokowi karena percaya Jokowi memiliki kapasitas sebagai Presiden, termasuk mengangkat Menteri?

Dengan membiarkan Jokowi (-JK) mengangkat Menteri pilihannya secara bebas mandiri berarti memberi kesempatan pasangan ini membuktikan janji dan kapasitasnya nya kepada rakyat. Dengan kata lain, Kabinet Jokowi-JK adalah batu uji pertama pasangan presiden/wakil presiden pilihan rakyat. Dengan begitu rakyat bisa ngomong,"ini lho kabinet pilihan presiden kita". Jadi, Pak Jokowi, Pak JK, tolong abaikan saja usulan nama calon Menkes dari saya. Nanti jika sudah resmi sebagai Presiden/Wapres, monggo gunakan hak prerogatif secara bebas merdeka tanpa paksaan kehendak dari saya untuk tentukan pilihan yang menjadi Menkes. Toh, siapa saya ini. Nanti saya malah bingung njawab kalau Pak Jokowi nanya,"apa sampean nyoblos saya?" ;))

Hingga tulisan iseng ini saya posting, masih gegap gempita orang, termasuk kawan saya, mempetisikan "tolak di anu jadi Menkes". Disamping itu sibuk pula mempromosikan calonnya untuk jadi Menkes. Alasan kegigihannya menolak dan mengusulkan calon menkes, karena dia nyoblos Jokowi-JK. Dia dulu juga turut mengkampanyekan agar pilih Jokowi-JK. Jadi saat ini dia "merasa berhak" bersuara menolak calon menkes yang tidak kredibel dan juga memberi saran/usul calon Menkes. Saya jadi kepikiran begini; jika satu orang yang dulu mencoblos Jokowi-JK merasa berhak memberi usul/saran calon Menteri, bagaimana lagi dengan sponsor/donatur Jokowi-JK ya?

Ahh, sudahlah. Ayo biarkan Jokowi-JK mengangkat Menteri (termasuk Menkes ya) pilihannya. Ini ujian pertama!

Rabu, 09 Juli 2014

, , , ,

Inilah Cara Saya Tentukan Pilihan Capres/Cawapres. Bagaimana dengan anda?

Saya tidak kenal Pak Prabowo. Saya juga tidak kenal Pak Jokowi meskipun pernah bertemu langsung. Saya hanya tahu sosok dan kiprah beliau berdua dari pemberitaan media massa, status facebook, ocehan twitter, video youtube & media sosial lain. Selebihnya katanya begini kayanya begitu.

Saya menganggap sangat penting pemilihan Capres/Cawapres ini. Maka sejak awal saya bertekad akan gunakan hak pilih saya. Saya serius mencari alasan kuat untuk memilih Pak Prabowo atau Pak Jokowi. Karena tidak mengenal keduanya, maka saya harus banyak membaca dan "membaca".

Yang saya lakukan adalah membaca visi misi kedua pasangan capres/cawapres. Bagi saya apa yg tertulis dlm visi misi ini penting, karena ini dokumen resmi dan bisa dipertanggungjawabkan. Dari membaca visi misi ditambah membaca berita, maka lahirlah beberapa tulisan terkait KIS yang saya posting di blog. Tulisan ini wujud sikap kritis saya terhadap program KIS bukan persoalan suka tidak suka pada sosok Pak Jokowi. Kenapa demikian? Karena saya sedikit banyak mengetahui JKN dan BPJS Kesehatan yang bersinggungan dengan KIS-nya Jokowi. Intinya, saya akan membela JKN dan melawan terhadap upaya mendekonstruksi dan mendisinformasi JKN. Jadi ini bukan tentang siapa, tetapi apa.

Selanjutnya, tentu saja mencermati bagaimana Pak Prabowo/Pak Hatta dan Pak Jokowi/Pak JK bicara langsung menyampaikan gagasannya. Kata kuncinya, (1) Gagasan manakah dari kedua pasangan yang paling dibutuhkan negara Indonesia? (2) Manakah dari keduanya yang memenuhi kriteria Pemimpin? Saya berpendapat, bahwa kita bicara Indonesia ke depan. Kita bicara seperti apa Indonesia nanti. Itulah yang menjadi tugas Pemimpin.

Kemudian saya melihat, siapa alim ulama yang mendukung kedua pasangan? Kenapa penting? Bagi saya ini sangat penting. Barangkali saya awam, tapi saya percaya bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Sepertinya alim ulama terbagi kedalam kedua pasangan, maka saya cari alim ulama yang menurut pandangan saya lebih rendah hati, zuhud, relatif tidak dekat penguasan dan kekuasaan, relatif tidak punya kepentingan selain memikirkan umat.

3 hal itulah yang menjadi dasar pertimbangan saya menetapkan pasangan capres/cawapres pilihan. Kalau pun saya memperhatikan berita dan status media sosial, itu sebagai upaya memperkuat apa yang saya dapatkan dari ke-3 hal diatas. Ya, sekaligus lebih mengenal media massa mana yang partisan dan juga mengenal lebih jauh kawan medsos.

Sebelum diteruskan saya ingin bertanya, pernahkah kita anda sudah maksimal berusaha? Merasa tidak punya kuasa lagi? Apa yang dilakukan? PASRAH. Bukan pasrah menyerah, tetapi BERSERAH DIRI kepada Yang Maha Kuasa. 

Demikian juga pada pemilu presiden hari ini. 3 upaya diatas yang saya yakini itu cara terbaik sudah saya lakukan.
Kesimpulan saya, kedua pasangan capres/cawapres bukanlah pilihan terbaik saat ini. Tapi saya harus berdamai dengan kenyataan, saya harus memilih satu diantara keduanya.

Saya harus memilih satu pasangan diantaranya sebagai sebuah upaya maksimal kita. Saya tak tahu siapa yang bakal ditetapkan sebagai Presiden & Wakil Presiden Indonesia 2014 - 2019. Saya tak bisa pastikan pilihan saya tepat atau tidak. Saya juga tak bisa memperkirakan apakah Presiden & Wakil Presiden terpilih nanti membawa kebaikan dan keberkahan bagi Indonesia. Saya tak punya kuasa untuk itu.
Akhirnya saya menggunakan nasehat ulama, "pilihlah yang lebih kecil mudharatnya dan lebih banyak manfaatnya". Terhadap sesuatu yang tidak lagi saya kuasa terhadapnya, saya pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa untuk menetapkan takdirnya. Saya berkeyakinan bahwa pilihan saya adalah doa dan harapan yang yang akan didengar dan dicatat oleh Sang Maha Pendengar Doa.

Bismillah, dan saya pun telah memilih untuk selanjutnya saya serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Semoga Alloh selalu melindungi dan memberkahi kita semua, Indonesia!

Sabtu, 28 Juni 2014

, , , , , , , ,

Kementerian Kesehatan Raih Gold Champion Indonesia WOW Brand 2014

Kementerian Kesehatan meraih penghargaan Gold Champion pada Indonesia WOW Brand 2014 untuk kategori Public Service dan subkategori Kementerian. Penyerahan penghargaan ini dilakukan dalam acara Indonesia WOW Brand 2014 “Government & Public Services Industry” yang diselenggarakan oleh MarkPlus Insight dan Majalah Marketeers, Rabu (25/6) malam di Hotel Luwansa, Jakarta.

Tahun lalu pada Indonesia Brand Champion Award 2013 yang dilakukan Markplus, Kementerian Kesehatan juga memborong 3 Gold Winner sebagai MOST PREFERED POLICY of Public Institution, MOST VALUABLE POLICY of public institution dan MOST TRUSTED public instituion.

Dan tahun 2014 ini, MarkPlus Insight kembali melakukan survei untuk mengukur popularitas dari kebijakan Instansi Layanan Publik yang ada di Indonesia dengan mengacu pada 5 aspek utama, yaitu : awareness, appeal, ask, act dan advocate.

Sebagaimana dikutip pada halaman the marketeers, Hermawan Kartajaya didukung oleh tim MarkPlus Inc., menghadirkan konsep WOW Brand sebagai sebuah tolak ukur pemasaran baru bagi brand. Konsep yang dirilis pertama kali dalam acara Jakarta Marketing Week 2014 lalu, terdapat lima tahap penerimaan konsumen terhadap sebuah brand, yaitu Kenal (Aware), Tertarik (Appeal), Cari Tahu (Ask), Beli (Act), dan terakhir adalah Rekomendasi (Advocate).

Suatu brand bisa dikatakan ‘WOW’, jika jumlah orang yang mengetahui brand sama dengan jumlah orang yang merekomendasikannya—terlepas dari jumlah orang yang benar-benar menggunakan produk tersebut. Penilaian ‘WOW Brand’ ini sendiri didasarkan pada nilai BAR (Brand Advocacy Ratio) yang merupakan rasio antara nilai advocacy spontan terhadap nilai awareness spontan. Adapun nilai yang paling ideal adalah 1, yang berarti jumlah orang yang mengetahui brand sama dengan jumlah orang yang merekomendasikan brand tersebut.

“Kami melakukan survei ini dengan menggunakan metode phone survey dan random sampling terhadap 6000 responden dari 18 kota besar di Indonesia. Responden merupakan masyarakat umum, bukan Pegawai Negeri/BUMN/TNI-POLRI dan mewakili masyarakat kelas ekonomi A hingga C” ujar Taufik, Chief Operating Officer of MarkPlus, Inc.

Survei dengan metode random sampling ini dilakukan pada Januari hingga Februari 2014 terhadap 6000 responden dengan rentang usia 15 – 59 tahun yang tersebar di 18 kota besar, yaitu : Greater Jakarta, Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan, Manado, Makassar dan Jayapura.

Penghargaan Indonesia WOW Brand 2014 kategori Public Services ini diberikan kepada instansi-instansi publik yang memiliki kredibilitas tinggi yang dinilai dari aspek-aspek seperti awareness yang baik di masyarakat, kebijakan instansi yang paling disukai publik, dan tingkat kepercayaan dan rekomendasi publik terhadap instansi tersebut.

Selamat Kemenkes!

Selasa, 07 Januari 2014

, , , , , ,

Kenapa anggaran Kemenkes Tahun 2014 Diblokir, Masalah Teknis ataukah Politis?

Sejak 1 Januari 2014, suasana kantor Kementerian Kesehatan di setiap pagi hari terasa berbeda. Mayoritas pegawai sudah hadir dan siap bekerja sebelum jam 7.30 wib. Tunjangan Kinerja telah mendorong secara signifikan kehadiran tepat waktu PNS Kemenkes.

Namun perubahan besar budaya kerja dalam hal disiplin waktu itu tidak disertai meningkatnya aktivitas kantor. Sebaliknya, pegawai Kemenkes hanya berkutat pada tugas dan pekerjaan rutin sehari-hari. Tak ada kesibukan berarti. Kegiatan besar yang semestinya berdaya ungkit tinggi terhadap pencapaian program pembangunan kesehatan ternyata malah mandeg. Tanggung jawab Kemenkes dalam hal penyusunan kebijakan dan norma standar, pembinaan, bimbingan teknis dan pelaksanaan kegiatan berskala nasional nyaris terhenti. Usut punya usut, ternyata anggaran Kementerian Kesehatan tahun 2014 selain gaji telah dibintang (blokir). DPR belum menyetujui pencairan anggaran Kemenkes tahun 2014 dengan alasan kurang data dukung.

Berdasarkan bocoran dari sumber terpercaya, penyebab blokir keseluruhan anggaran Kemenkes tahun 2014 adalah anggaran tugas pembantuan. Belum adanya kesepahaman pada anggaran upaya kesehatan dasar dan rujukan dalam bentuk Tugas Pembantuan antara anggota DPR dengan Kemenkes. Pertanyaannya, apakah benar Kemenkes tidak menyediakan data dukung sehingga DPR belum "merontokkan tanda bintang" anggaran?

Dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini, Kemenkes (Ditjen Bina Upaya Kesehatan) telah menerapkan perencanaan elektronik (e-planning) dalam usulan anggaran tugas pembantuan dan dana dekonsentrasi pada upaya kesehatan dasar dan rujukan. Dengan E-planning, setiap Provinsi melakukan usulan anggaran dari Kabupaten/Kotamadya di wilayahnya secara online kepada Kementerian Kesehatan. Tanpa usulan Provinsi melalui e-planning, maka Kabupaten/Kota tidak akan mendapatkan alokasi anggaran tugas pembantuan berupa peralatan dan sarana prasana yang telah ditentukan seperti PONED, PONEK, gawat darurat dan ketersediaan fasilitas pelayanan kelas 3. E-planning ini terbukti meningkatkan efisiensi, efektifitas dan transparansi perencanaan anggaran. Bahkan mekanisme e-planning bisa meminimalisir intervensi politik dan tekanan tangan-tangan Senayan. Diakui atau tidak, mekanisme e-planning membuat gerah politisi Senayan karena memperkecil gerak politik anggaran dan jatah kue sektor kesehatan di daerah.

Tahun 2014 adalah tahun politik. Inilah saatnya menumpuk logistik menyongsong pemilihan umum. Sebagian besar anggota DPR yang saat ini duduk di Senayan kembali mencalonkan diri sebagai legislator. Kemanakah mereka mencari bekal kampanye? Apakah cukup dari gaji dan aneka macam tunjangan yang beratus juta itu? Tentu tidak. Para anggota DPR yang mencaleg kembali itu membutuhkan sumber potensial memperbesar logistik pemilu. Dan APBN adalah kue yang legit nan menggiurkan untuk dicuil-cuil sebagai bekal mencaleg lagi. Banyak modus pengumpulan logistik pemilu melalui APBN, diantaranya komisi (jatah) dari pengadaan barang jasa yang bersumber dari anggaran tugas pembantuan. Para anggota DPR itu akan "berjuang", lebih tepatnya ngotot, agar daerah pemilihannya mendapatkan porsi anggaran tugas pembantuan termasuk bidang upaya kesehatan. Semakin besar anggaran yang didapat daerah, tentu semakin besar pula potensi komisi (jatah preman) yang diperoleh. Selain tentunya, oknum DPR tersebut akan berkoar-koar sebagai pahlawan yang berjasa menggelontorkan anggaran ke daerah tersebut.

Seminggu pada Tahun 2014 ini telah berlalu, namun anggaran Kemenkes belum dapat dicairkan alias di blokir. Dengan sistem e-planning yang sudah berjalan baik selama 3 tahun ini, apakah benar ini disebabkan semata-mata alasan teknis kurangnya data dukung? Ataukah blokir anggaran ini disebabkan oleh modus politik demi logistik pemilu? Anda pasti sudah punya jawabannya.

Kamis, 10 Oktober 2013

, , , , , , ,

Jangan Katakan, Apakah Sudah Buat Janji?

Saya bergegas mendahului naik lift menuju lantai 6 di sebuah rumah sakit di kawasan BSD Tangerang. Sebelumnya saya sudah bertanya kepada seorang staf dimana kantor manajemen atau direksi rumah sakit. Saya bersama sekitar 15 orang sengaja berkunjung mendadak untuk meminta klarifikasi atas suatu perkara di rumah sakit tersebut.

Sampai di lantai 6 terdapat seorang resepsionis yang sedang duduk dan sambil bertelepon.

"Selamat siang. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan ingin bertemu dengan direktur atau manejemen rumah sakit". Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kunjungan, sesaat setelah resepsionis meletakkan gagang telepon.
"Bapak darimana?", tanya resepsionis sambil tetap duduk. Entah tidak mendengar perkenalan saya atau sekedar memastikan.
"Kementerian Kesehatan," saya mengulang dengan lebih jelas.

Dia mengangguk dan kembali mengangkat gagang telepon. Saya mundur beberapa langkah sambil memperhatikan sekeliling.  Di sebelah kanan ada ruangan kecil. Mungkin ruang tamu. Kawan-kawan saya sudah sampai juga di lantai 6. Mereka masih bergerombol di depan lift. Saya melihat ke arah resepsionis, masih bertelepon. Mungkin sedang melapor ke atasannya atau berkoordinasi ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri dan memandang ke arah saya.

"Bu, ada tamu dari Kementerian Kesehatan", resepsionis melaporkan kepada perempuan yang datang dari arah belakang dimana saya berdiri.
"Selamat siang Ibu. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan. Ingin bertemu dengan direktur atau dengan manajen rumah sakit"
"Apakah sudah buat janji? Atau kirim surat resmi?," tukasnya tanpa balas memperkenalkan diri. Sorot matanya penuh selidik. Raut mukanya datar tanpa ekspresi keramahan.

"Belum bu. Apakah harus kami buat janji atau kirim surat resmi?," saya bertanya balik.
"Oh tidak. Ada keperluan apa ya?"
"Kami dari Kementerian Kesehatan bersama rombongan dari KKI, IDI, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi ingin klarifikasi tentang suatu hal dengan direksi. Apakah Ibu, Direkturnya?"
"Oh bukan. Saya bagian dari manajemen. Boleh saya masuk dulu, nanti sebentar kami keluar lagi menemui bapak dan ibu kembali"
"Silahkan. Boleh para pimpinan kami menunggu di dalam ruangan itu?", jawab saya sambil menunjuk ruanh kecil di sebelah kanan.

Wanita itu masuk ke dalam. Resepsionis pun asik menunduk dan membuka-buka sebuah buku. Saya mempersilahkan para pejabat lembaga yg tadi saya sebutkan untuk menunggu di dalam ruang tamu yang hanya cukup sekitar 7 orang.

Saya masih berdiri sambil mematut diri. Dalam hati bertanya, apa yang kurang pada diri saya sehingga mendapat tanggapan yang tak ramah. Resepsionis dan wanita tadi menerima dengan kesan kaku. Malah cenderung diwarnai kecurigaan. Dari busana, saya pakai baju batik dan semi jas lengkap dengan tanda pengenal. Dari tata krama, saya sudah memperkenalkan diri.

"Penampilan saya kurang meyakinkan ya? Sepertinya ibu tadi tak yakin kalau saya dari Kemenkes," canda saya kepada seorang kawan.
"Ah bapak bisa aja. Kayaknya disini sudah biasa begitu. Masa dia nggak lihat bos-bos kita pakai jas dan blus resmi gitu. Malah ada yang pakai seragam. Ada kumisnya lagi," serentak kami berdua terkekeh. Sekedar menghibur diri untuk mengusir kejenuhan. Kurang lebih 30 menit menunggu tak juga ada orang yang menenui kami di ruang tunggu.

Setiap ingat kejadian itu, hingga saya menulisnya saat ini, saya merasa tak habis pikir. Bagaimana sebuah rumah sakit swasta yang terkesan mewah dan besar, namun mempunyai gaya menerima tamu sedemikian kaku dan tidak bersahabat. Alih-alih mengedepankan hospitality dan customer care, sebaliknya justru menagih surat resmi dan menanyakan apakah sudah buat janji.

Seperti sudah kita maklumi bahwa pertanyaan "apakah sudah buat janji" biasa digunakan untuk menyeleksi tamu pimpinan kantor. Atau bahkan jadi alasan untuk menolak tamu karena waktu bos tidak bisa dibuang-buang untuk perkara tamu yang tak penting. Boleh dan sah-sah saja itu diterapkan. Pertanyaannya, kepada siapa dan disaat kapan pertanyaan "apakah sudah buat janji" itu disampaikan?   Semestinya si penanya harus dapat menilai kapan waktu dan kepada orang yang tepat. 

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik yang mengedepankan empati dan kepedulian. Tidak hanya staf di garda depan, meski Direktur sekalipun, harus siap menerima tamu untuk mendengar dan menerima keperluannya. Benar, tidak semua tamu harus diterima dan diseleksi Direktur. Namun cara seleksi tamu pun jangan terkesan birokratif, tertutup dan kaku.

Cara terbaik seleksi tamu adalah dengan menanyakan siapa orang dan apa keperluannya. Setelah tahu, kita bisa mengerti seberapa penting si tamu bertemu dengan direktur rumah sakit. Jika memang dianggap penting, jangan sekali-kali menanyakan "apakah sudah buat janji atau kirim surat resmi". Itu tidak etis lagi tak bersahabat. Jika tamu itu pun dirasa biasa saja, barangkali bisa ditawarkan untuk dibantu pejabat atau staf lain selain direktur. Misalnya, "mungkin bisa saya bantu sebelum nanti bertemu dengan atasan saya". Itu berempati lagi ramah.

Kemudian saya coba bandingkan dengan kebiasaan di ruang tata usaha Dirjen. Sepanjang yang saya ketahui, belum pernah staf TU Dirjen menanyakan surat resmi atau buat janji terhadap tamu yang sudah terlanjur bertamu. Tapi prosedurnya tentu ditanya siapa dan apa keperluannya.

Ah, lain lubuk lain ikannya. Membiarkan tamu sekitar 45 menit tanpa kejelasan itu benar-benar perilaku yang tidak berempati lagi tak bersahabat. Apalagi terhadap tamu dari institusi negara dengan tugas khusus. Dan ketidakramahan itu semakin lengkap, setelah kami berinteraksi dengan Direktur rumah sakitnya. Ahh!

Sabtu, 05 Oktober 2013

, , , , , , , , ,

6 Kesalahan Dinkes Tangsel Dalam Penggunaan Dokter Asing

Gara-gara dokter asing, Kota Tangerang Selatan heboh jadi bahan berita. Puluhan dokter berunjuk rasa memprotes keberadaan dokter asing yang melakukan tindakan medis di RSUD Tangerang Selatan. Akibat unjuk rasa tersebut, Kepala Dinas Kesehatan memecat 5 dokter kontrak. Sementara itu, Direktur RSUD Tangsel membubarkan Komite Medik rumah sakit.

Menurut kabar terbaru, Direktur RSUD Tangsel sudah diberhentikan dan dimutasikan ke Provinsi Banten. Untuk mengisi kekosongan, Kadinkes Tangsel merangkap menjadi pejabat sementara Direktur dan Ketua Komite Medik rumah sakit.

Apa sesungguhnya yang salah dengan keberadaan dokter asing di Tangerang Selatan ini? Saya mencoba identifikasi kesalahan Tangerang Selatan dalam mendayagunakan dokter asing.

1/ Dokter asing tidak punya Surat Tanda Registrasi

Setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran harua memiliki surat izin praktik (SIP)dari Dinas Kesehatan setempat. Salah satu syarat izin praktik adalah Surat Tanda Registrasi yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Demikian juga untuk Dokter Asing yang menjalankan praktik kedokteran harus memiliki SIP dan STR. Meskipun punya "surat izin transfer of knowledge" yang ditandatangani Kadinkes Tangsel, 2 dokter Malaysia praktik di RSUD tersebut terbukti belum memiliki STR dari KKI.

2/ Surat Izin Kadinkes Tangsel Cacat Hukum.

Berdasarkan penjelasan Kadinkes Tangsel bahwa Dinkes telah mengajukan STR kepada KKI. Namun selama 14 hari STR tidak keluar sehingga Kadinkes mengeluarkan "surat izin transfer of knowledge' dengan dasar hukum Perda No. 8 Tabun 2010 tentang retribusi daerah. Dari penjelasan tersebut, Kadinkes memberlakukan kesalahan dalam logika hukum, landasan yuridis dan penerapan hirarki peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks pendayagunaan dokter asing sudah sangat jelas dan detil diatur oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Konsil dan Keputusan Konsil. Dengan peraturan-peraturan diberlaku asas lex specialis derogat legi generalis, dimana peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan umum. Penerapan dasar hukum UU Pelayanan Publik dan Peraturan Daerah jelas tidak tepat, apalagi kedua peraturan tersebut tidak menyebut sama sekali substansi dokter asing.

3/ Salah kaprah antara pelayanan medis dengan transfer of knowledge.

Dalam Permenkes yang mengatur pendayagunaan tenaga kesehatan warga negara asing bahwa dokter asing dibedakan menjadi dokter asing pemberi pelayanan dan pendidikan alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge). Kedua kategori itu mempunyai  persyaratan, teknis tindakan medis dan STR berbeda. Jika dokter asing melakukan tindakan medis kepada pasien umum di rumah sakit maka itu disebut pemberi pelayanan. Dokter asing alih ilmu pengetahuan hanya dilakukan pada kasus sulit yang tidak dapat ditangani dokter setempat atau adanya metode baru.

Sementara itu, kedua dokter malaysia itu melakukan pelayanan tindakan medis kepada pasien RSUD Tangsel namun dikatakan sebagai transfer of knowledge.

4/ Kompetensi Dokter

Menurut para dokter yang melakukan unjuk rasa dan IDI setempat, tindakan medis yang dilakukan 2 dokter asing itu juga bisa dikerjakan dokter lokal dan bukan metode baru.

Untuk STR Sementara,  kolegium yang bersangkutan akan melakukan evaluasi dan verifikasi kompetensi dokter asing di negaranya. Sementara kedua dokter asing tersebut masih belum jelaa kompetensinya karena proses pengajuan STR tidak tuntas.

5/ Pasport dan Visa

Berdasar informasi yang saya dapat bahwa izin keimigrasian pasport dan visa kunjungan biasa bukan untuk kerja. Padahal visa kunjungan tentu berbeda dengan visa kerja. Apakah bisa dikatakan penyalahgunaan visa, tentu perlu ditelusuri lebih lanjut.

6/ Rumah Sakit Tidak Punya Izin Penggunaan Dokter Asing

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit yang mendayagunakan dokter asing harus memiliki rencana pendayagunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dan izin memperkerjakan tenaga asing (IMTA) dari Kementerian Tenaga Kerja. Selain itu dokter asing hanya dapat melakukan pendidikan alih ilmu pengetahuan pada rumah sakit pendidikan atau bekerjasama dengan RS Pendidikan. Faktanya, RSUD Tangsel bukan RS Pendidikan atau kerjasama dengan RS Pendidikan.

Itulah 6 kesalahan yang dilakukan Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dalam pendayagunaan dokter asing.

Minggu, 29 September 2013

, , , , , , , , , , , , , ,

Tahun 2013, Kementerian Kesehatan Raih 6 Penghargaan

Apa yang terlintas pertama kali jika ditanyakan pendapat anda tentang Kementerian Kesehatan?

Setiap orang mempunyai persepsi berbeda terhadap Kementerian Kesehatan.  Namun bisa juga masyarakat memiliki opini yang sama terhadap Kemenkes. Persepsi buruk atau opini positif pada setiap orang biasanya didasarkan pada pengalaman pribadi berinteraksi dan terdampak langsung kebijakan Kemenkes. Persepsi dan opini juga sangat terpengaruh oleh pemberitaan media massa dan media sosial terhadap kasus tertentu.

Jamkesmas, atau pelayanan rumah sakit misalnya. Tak lepas dari faktor pengaruh baik dan buruknya persepsi terhadap Kementerian Kesehatan. Jika berbicara persepsi atau opini publik (masyarakat), tahukah anda bahwa pada tahun 2013 ini Kementerian Kesehatan telah  mendapatkan 6 penghargaan terkait pelayanan publik. Penghargaan ini sebagai representasi pengakuan publik melalui lembaga/badan yang kredibilitas dan kapasitasnya terpercaya.

Inilah 6 penghargaan yang didapatkan Kementerian Kesehatan sepanjang tahun 2013 yaitu:

1/ Rapor Hijau Kepatuhan terhadap Undang-Undang Pelayanan Publik dari Ombudsman RI

Pada Bulan Juli, Ombudsman RI (ORI) melakukan observasi terkait penyelenggaraan pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan. Observasi itu dilakukan oleh tim Ombudsman selama tiga bulan, mulai Maret hingga Mei 2013 dengan didasarkan standar pelayanan publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Berdasar penilaian Ombudsman, Kementerian Kesehatan berada di zona aman atau berada di zona hijau karena tingkat kepatuhan dalam pelaksanaan undang-undang tentang pelayanan publik sangat tinggi. Selain Kemenkes, 3 Kementerian juga mendapat rapor hijau dari Ombudsman yaitu Kementerian ESDM, Kemendag dan Kemenperin. Sementara itu 9 Kementerian mendapat rapor kuning dan rapor merah untuk 5 Kementerian.

Ombudsman menggunakan variabel penilaian mencakup standar pelayanan, maklumat pelayanan, sistem informasi pelayanan publik, sumber daya manusia dan unit pengaduan. Selain itu, sarana bagi pengguna layanan berkebutuhan khusus, visi, misi dan motto, sertifikat ISO, atribut dan sistem pelananan terpadu.

2/ Instansi Integritas Tinggi berdasarkan Survei Integritas Sektor Publik Komisi Pemberantasan Korupsi

Kementerian Kesehatan termasuk dalam besar Kementerian/Lembaga dengan skor tertinggi pada survei sektor publik yang dilakukan KPK pada Tahun 2013. Survei Integritas Sektor Publik dilakukan dengan menggabungkan dua unsur, yakni pengalaman integritas yang merefleksikan pengalaman responden terhadap tingkat korupsi yang dialaminya; dan potensi integritas yang merefleksikan faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya korupsi.

Setiap tahun sejak Tahun 2011 hingga Tahun 2013, Kementerian Kesehatan berhasil masuk 5 besar instansi dengan skor tertinggi dalam penilaian integritas KPK. Setiap tahun KPK melakukan survei integritas terhadap tak kurang dari 80 instansi pusat dan daerah.

Tahun 2011, skor tertinggi survei integritas KPK yaitu BKPM, Kementerian Kesehatan, PT. Jamsostek, Kemenperin, PT. Pelindo II (Pesero). Pada tahun 2012 yaitu PT. Jamsostek, Kemendikbud, BKPM, BPOM, Kementerian Kesehatan. Dan pada tahun 2013 yaitu Kemdikbud, PT.Jamsostek, PT.Angkasa Pura II, BKPN dan Kementerian Kesehatan.

3/ Instansi dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Tahun 2013 ini, Kementerian Kesehatan berhasil meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan (WTP-PP) atas laporan keuanganya tahun 2012 berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Penilaian WTP diberikan BPK terhadap instansi yang mampu mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Pencapaian opini WTP bagi Kementerian Kesehatan bukanlah sesuatu yang mudah. Perlu upaya sungguh-sungguh dan terus menerus. Selama dua tahun berturut-turut yaitu pada 2009 dan 2010, BPK memberikan Opini Disclaimer terhadap laporan keuangan Kementerian Kesehatan. Berbagai upaya perbaikan pengelolaan keuangan negara yang telah dilakukan memberikan hasil nyata, sehingga BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada 2011. Dan akhirnya, tahun 2013 kerja keras dan perbaikan Kemenkes dapat memperoleh opini WTP atas laporan keuangan oleh BPK.

4/The Most Prefered Policy of Public Institution.
5/ The Most Valuable Policy of Public Institution.
6/ The Most Trusted Public Institution.


Ketiga penghargaan diperoleh Kementerian Kesehatan dalam Indonesia Brand Champion Award 2013. Tidak tanggung-tanggung, Kementerian Kesehatan menyabet 3 predikat Platinum Brand untuk kategori "ministry".

Indonesia Brand Champion Award merupakan penghargaan yang diberikan berdasarkan berdasarkan survei publik dengan indikator awareness, image, likeability, dan usefulness oleh MarkPlus Insight dan majalah Marketeers. Penghargaan untuk kategori Layanan Publik diberikan sebagai apresiasi terhadap instansi publik yang telah memberikan pelayanan dan kebijakan terbaik bagi masyarakat selama satu tahun terakhir.

Markplus Insight dan Marketeers secara acak melakukan survei kepada masyarakat umum (diluar kalangan pemerintahan, BUMN dan anggota POLRI/TNI) yang melakukan pengurusan, menerima maupun melakukan transaksi layanan publik yang disediakan di instansi bersangkutan.

Apresiasi masyarakat melalui  Indonesia Brand Champion Award 2013 ini membuktikan  bahwa Kementerian Kesehatan merupakan instansi publik yang memiliki kebijakan paling disukai, kebijakan yang paling bernilai sekaligus instansi publik yang paling dipercaya oleh masyarakat.

Itulah 6 penghargaan untuk Kementerian Kesehatan yang diperoleh sepanjang tahun 2013. Bagaimana menurut anda?

Rabu, 25 September 2013

, , , , ,

Yang Muda Mestinya Semangat Kerja PNS

Bulan-bulan ini adalah musim PNS, anggap saja demikian. Hampir tiap hari ada berita Kementerian ini atau Pemda itu buka penerimaan CPNS. Juga melalui media sosial, dapat ditandai semakin semaraknya gairah anak-anak muda berburu peluang menjadi CPNS berbagai instansi pemerintah.

Bagi saya, rasanya seperti memutar kembali jarum sejarah sekitar 8 tahun lalu. Ketika itu, saya bersamaan puluhan ribu orang mengikuti ujian masuk CPNS di stadion utama Senayan. Bayangkan saja, Gelora Bung Karno yang biasanya penuh sesak suporter sepak bola, hari itu menjadi lautan anak bangsa yang mengadu nasib sebagai abdi negara. Dengan jumlah pelamar yang konon lebih besar, tahun ini semaraknya hampir serupa terjadi.

Hanya saja, untuk diri saya pribadi ada bedanya. Diantara ribuan peserta ujian, saya iseng saja mencoba peruntungan melamar CPNS. Tadi sudahlah, lain waktu mungkin saya bisa ceritakan "keberuntungan" itu hingga akhirnya saya jadi PNS. Sekarang kita bicarakan tentang atmosfer atau suasana semaraknya penerimaan CPNS yang sudah banyak dilakukan secara online.

Saya sungguh-sungguh berharap, para muda yang saat ini melamar menjadi PNS dapat memelihara semangatnya. Antusiasme yang muda ini harus dipertahankan bingga nanti jika benar-benar bekerja jadi PNS. Sejujurnya saya gelisah, jangan-jangan semangat yang muda ini hanya sebatas berburu syarat-syarat dan melamar CPNS. Jangan sampai antusias ini sekedar lolos dari status pengangguran. Amit-amit melamar PNS disebabkan menjalani nepotisme. Yang model begini, biasanya cepat loyo.

Sebaliknya, saya sangat berharap anak-anak muda penuh energik dan berdedikasi tinggi lolos sebagai CPNS. Saya mau anak-anak muda cerdas lulusan universitas terkemuka memenuhi seleksi calon pegawai negeri sipil ini. Saya mimpi, generasi muda seperti ini yang menjadikan PNS sebagai pilihan utama. Karena saya sangat yakin, dengan itulah salah satu pendorong utama reformasi birokrasi terwujud di negeri ini.

Sok idealis ya? Biarlah! Percuma anda para mahasiswa cerdas yang teriak-teriak, demonstrasi atau mencaci Pemerintah. Sia-sia anak muda berintegritas yang terus-terusan kritik Pemerintah tapi ogah masuk sistem birokrasi. Sebaliknya, yang masuk PNS hanya sisa-sisa generasi yang tak laku di swasta atau orang-orang yang enggan berkarya. Akibatnya, antusias dan semangat itu hanya saat lamaran saja.

Bukan apa-apa sih, saya hanya menumpahkan uneg-uneg. Saya merasa sudah cukup melihat PNS muda kering antusias dan miskin integritas. Sudah cukup pula menyaksikan pemuda dengan status CPNS suka datang terlambat dan pulang lebih awal dari jam kerja. Terlalu sering merasakan pemuda PNS yang malas belajar mengasah kemampuan.

Sesungguhnya banyak faktor sebab PNS kering antusias dan miskin integritas. Bisa jadi memang sejak awal tidak berminat PNS. Bisa juga tanpa kapasitas tapi beruntung masuk PNS, biasanya hasil kolusi dan nepotisme. Atau terlanjur terpengaruh budaya kerja buruk PNS lama.

Sayanglah, jika yang muda tidak semangat bekerja PNS. Jika hanya andalkan nepotisme, lebih baik jangan jadi PNS. Jika sekedar cari pekerjaan, bukan PNS statusnya. Kasihan bangsa ini yang tak segera bangkit maju karena birokrasinya. Sebaliknya, yang muda semangatlah melamar dan bekerja sebagai PNS.

Semoga pelamar yang membaca ini menjadi PNS yang antuasias dan berintegritas. Amiin.