Tampilkan postingan dengan label MI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MI. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 April 2013

, , , ,

SD Anak Saya Mendadak Berubah Menjadi Madrasah

Ujian Nasional kembali dirundung persoalan yang tak kunjung usai. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional menuai pro dan kontra disebabkan permasalahannya yang tak pernah diselesaikan. Hal ini kembali membangkitkan pertanyaan; apa yang terjadi dengan bangsa ini? Mengapa urusan Ujian Nasional saja begitu menyedot energi bangsa ini? Bukankah masih banyak urusan pendidikan yang lebih urgen dan penting?

Tak sedikit anak yang putus sekolah karena orang tuanya miskin. Masih banyak anak Indonesia yang tak mengenyam pendidikan dasar 9 tahun karena harus membantu mencari nafkah. Masih bertebaran bangunan dan sarana sekolah yang rusak tak segera diperbaiki. Bisa jadi ribuan Guru honorer tak juga diangkat sebagai guru tetap atau PNS meski sudah berpuluh tahun mengabdi. Anggaran pendidikan 25 persen dari APBN atau sekitar Rp 300 Trilyun seakan menjadi kutukan bagi negeri ini. Karena anggaran berlimpah itu, tak juga menyelesaikan persoalan mendasar pendidikan Indonesia.

Bicara pendidikan Indonesia, saya menjadi ingat kejadian 2 minggu lalu. Saya diundang rapat orang tua dan wali murid SDIT Tunas Mulia Rawamangun. Disinilah kedua putri saya menempuh pendidikan; Lala kelas 3 dan Icha kelas 2. SDIT Tunas Mulia Rawamangun didirikan dan dijalankan secara swadaya oleh Yayasan. Sebenarnya, saya tinggal di perkampungan yang di kelilingi oleh banyak SD Negeri dan swasta. Namun saya lebih memilih SDIT Tunas Mulia yang berjarak 5 KM dari rumah. Alasannya, kualitas baik dengan biaya terjangkau.

Pada rapat wali murid tersebut, Ketua Yayasan menyampaikan kabar yang tak diharapkan. Bahwa sekolah yang telah beroperasi selama 7 tahun ini, belum mendapatkan izin operasional dari Dinas Pendidikan. Berbagai upaya telah dilakukan sejak lama, namun tak juga membuahkan hasil izin sekolah. Bahkan SDIT Tunas Mulia terancam ditutup jika telah 2 kali berturut-turut dalam Ujian Nasional masih menumpang SD lain. Itu berarti, tahun ini adalah kesempatan terakhir ikut menumpang Ujian Nasional. Dan tahun depan, kelas 1 hingga kelas SDIT Tunas Mulia akan dilebur dengan SD lain.

Ketua Yayasan menyatakan alasan tak dikeluarkannya izin operasional oleh Dinas Pendidikan adalah karena tak punya IMB. Selama 7 tahun, bangunan sekolah SDIT Tunas Mulia berstatus kontrak atau sewa sehingga tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan sendiri. Meski sebenarnya, kata Ketua Yayasan, Pengawas Sekolah masih bisa memaklumi dan semestinya izin bisa keluar. Namun rupanya Pejabat Berwenang tetap bersikukuh tak mau mengeluarkan izin operasional terhadap SDIT Tunas Mulia.

Pengelola SDIT Tunas Mulia mencari terobosan dengan melakukan penjajakan ke Kementerian Agama. Ternyata responnya positif. Setelah melalui proses penilaian administrasi dan kunjungan lapangan, Tunas Mulia layak diberikan izin sebagai Madrasah Ibtidaiyah (MI). Bahkan Kementerian Agama mengapresiasi proses belajar mengajar di Tunas Mulia dan akan dijadikan percontohan MI di wilayah Jakarta Timur.

Muncul pertanyaan di benak saya, mengapa jika meski sudah diupayakan selama 7 tahun Dinas Pendidikan sulit sekali mengeluarkan izin, tetapi Kementerian Agama hanya dalam tempo singkat mau mengeluarkan izin? Tentu bukan tanpa alasan, jika Kementerian Agama ingin menjadikan Tunas Mulia sebagai percontohan MI di Jakarta Timur. Ini bicara kualitas belajar mengajar, bukan urusan persyaratan administratif belaka. Ini persoalan substansi pendidikan, bukan urusan recehan.

Yayasan berjanji dengan status MI, kualitas belajar mengajar tak berubah. Biaya pun relatif sama. Saya, dan juga orang tua murid lain, tentu tak punya banyak pilihan. Meski diberikan kesempatan pindah sekolah oleh pengelola, namun saya tetap berkeputusan kedua putri saya bersekolah di Tunas Mulia. Pindah sekolah tak menjamin lebih baik dan tanpa masalah. Saya tak peduli lagi, apakah berstatus SDIT atau MI. Yang penting, putri-putri saya senang sekolah, nyaman belajarnya dan berprestasi.

Ternyata anggaran besar sekitar Rp 300 Trilyun hanya untuk membiayai pernak-pernik pendidikan, bukan urusan yang lebih substansial; mutu pendidikan!