Tampilkan postingan dengan label jokowi care. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jokowi care. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juni 2014

, , , , , , , , , , , , ,

Menerawang Kartu Indonesia Sehat-nya Jokowi

Siapa yang mampu menjelaskan apa itu Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Apa bedanya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan?

Saat ini, mungkin hanya Pak Joko Widodo yang mampu menjawabnya. Tidak ada penjelasan komprehensif tentang KIS. Kalau pun toh ada keterangan, itu pun sangat sedikit. Semalam dalam debat Capres, Pak Jokowi telah menunjukkan bentuk kartu KIS. Namun tidak ada penjelasan yang jelas, apa dan bagaimana KIS nanti.
Untuk sedikit mengerti apa itu KIS, saya mengajak anda mempelajari sedikit petunjuk atau sinyal yang dikirimkan oleh Jokowi atau tim suksesnya.

Dalam kampanye di Tasikmalaya, Jokowi menyampaikan bahwa :

  1. Sistem Kartu Indonesia Sehat, lanjutnya, mengadopsi milik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sudah berjalan di Jakarta

  2. Kartu Indonesia sehat adalah penyempurnaan dari sistem BPJS Kesehatan


Poempida (Timses Jokowi) menyatakan bahwa dengan adanya Kartu Indonesia Sehat, program BPJS akan lebih mudah diterapkan tentunya. Masyarakat tinggal membawa kartu, tanpa persyaratan muluk. Timses Jokowi lainnya, Rieke Dyah Pitaloka, menambahkan bahwa Kartu (KIS) ini tidak terpengaruh domisili pengguna namun untuk nasional.

Mengutip pernyataan Pak Nizar Shihab (Pansus BPJS DPR) menyitir pendapat Pak Surya Chandra (Timses Jokowi) bahwa baik dalam program BPJS maupun KIS, masyarakat diwajibkan masuk asuransi dan membayar iuran. Untuk masyarakat kurang mampu, kata Nizar, pemerintah akan membiayainya dengan APBN. Dengan kata lain, kata pak Nizar, BPJS dan KIS sama saja, capres Jokowi hanya memberi nama baru saja.

Jika kita amati seksama, beberapa petunjuk diatas, sedikit bisa terkuak apa itu KIS sebagaimana disampaikan Pak Nizar bahwa Kartu Indonesia Sehat (KIS) hanyalah nama baru dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
KIS bukanlah sistem jaminan kesehatan sosial yang baru sebagaimana yang digembar-gemborkan Pak Jokowi. Sinyalemen bahwa KIS hanyalah kemasan nama baru dari JKN diperkuat dengan pernyataan Pak Jokowi sendiri bahwa KIS mengadobsi Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang diterapkan di Jakarta selama Jokowi menjadi Gubernur 1,5 tahun ini. Ini semakin jelas bahwa modus KIS sama dengan KJS.

Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah sedikit apa itu KJS? Sukseskah di Jakarta?

Fakta 1, KJS bukan produk baru. Begitu dilantik Gubernur, Jokowi memberi nama program Jamkesda dan SKTM yang sudah dijalankan oleh gubernur Fauzi Bowo menjadi Kartu Jakarta Sehat. Jamkesda dan KJS sama-sama diperuntukkan untuk orang miskin, menggunakan APBD, dan sistem Paket Pelayanan Esensial (PPE).

Fakta 2, KJS mengadobsi sistem pembiayaan JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Ketika pertama dijalankan, KJS menggunakan sistem diagnosa penyakit dan pembayaran dengan PPE sebagaimana dijalankan Jamkesda. Karena Jokowi hanya mensyarakatkan cukup dengan KTP untuk mendapatkan layanan KJS, maka terdapat eforia penduduk Jakarta mendapatkan layanan kesehatan di Rumah Sakit. Akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran APBD sehingga Pemda sempat menunggak Rp 355 milyar kepada rumah sakit. Untuk menghindarkan membengkaknya APBD, maka Pemda mengalihkan sistem pembiayaannya dengan pembiayaan INA CBGS (Kementerian Kesehatan) yang digunakan untuk JKN.

Fakta 3, KJS tidak mencakup seluruh penduduk Jakarta. Dari data jumlah penduduk yang harus ditanggung KJS sebanyak 4,7 juta penduduk, ternyata Pemda KJS baru menjangkau 2,3 juta penduduk. Dan sejumlah 2,3 juta penduduk itulah yang saat ini diintegrasikan dengan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Ditambah penduduk miskin sebanyak 1,2 juta yang ditanggung oleh Pemerintah Pusat. Bagaimana sisanya? Coba tanya ke Pak Jokowi deh.

Fakta 4, Jakarta tidak memiliki sistem rujukan regional kesehatan. Persoalan utama membludaknya pasien di rumah sakit adalah sistem rujukan kesehatan di pelayanan primer dan rujukan yang tidak berjalan. Namun faktanya, sampai saat ini tidak ada Peraturan Gubernur yang mengatur bagaimana sistem rujukan kesehatan regional sebagaimana dihimbau oleh Kementerian Kesehatan. Di satu sisi, Rieke (timses Jokowi) mengatakan portabilitas, tetapi ternyata Jakarta yang dijadikan model KIS saja tidak mempunyai regulasi sistem rujukan regional.

Fakta 5, Jakarta perlu peningkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Ada fakta menarik, bahwa selain rumah sakit daerah, diwilayah Jakarta banyak disokong oleh banyak sekali Rumah Sakit Pemerintah Pusat (Kementerian Kesehatan). Seperti kita ketahui, RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RS Jantung Harapan Kita, RSAB Harapan Kita, RS Dharmais dan lain-lain, merupakan rumah sakit pusat rujukan nasional dengan fasilitas lengkap. Namun itu pun tidak cukup mampu memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan yang bersifat intensif dan severity level tingkat lanjut seperti NICU, ICCU, PICU. Artinya, ini ada persoalan yang lebih mendasar dari sekedar merubah JKN menjadi KIS. Jika di ibukota negara saja fasilitas kesehatan masih menjadi persoalan, bagaimana dengan wilayah lain di Indonesia?

Fakta 6, KJS hanya setingkat Provinsi sedangkan JKN tingkat Nasional. Jamkesda atau penggantinya KJS dilaksanakan hanya dengan Keputusan Gubernur. Tentu cukup membutuhkan kebijakan dan keputusan  selevel Gubernur saja dalam pelaksanaannya. Sedangkan JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dilaksanakan dengan landasan UUD 1945 dan seperangkat Undang-Undang (SJSN, SJSN). Undang-Undang dibentuk dengan persetujuan DPR yang tentu saja bukan perkara mudah mengubah suatu kebijakan.

Itu sedikit fakta tentang KJS. Sementara fakta lain di sisi JKN sudah sangat menggembirakan. Mari kita lihat sedikit.

Fakta 1, Rumah sakit mengalami surplus balance. Ketika muncul pertama kali, JKN diisukan akan membangkrutkan rumah sakit. Tarif INA CBGS dikabarkan terlalu rendah. Faktanya, setelah bulan Februari klaim rumah sakit masuk, ternyata rata-rata 96 persen rumah saki mengalami surplus balance. Dengan kata lain, rumah sakit untung. Karena ternyata tarif INA CBGs banyak yang tarifnya lebih tinggi daripada tarif RS selama ini.

Fakta 2, Jumlah Peserta JKN tahun 2014 melampaui target. Menurut peta jalan JKN, bahwa pada akhir tahun 2014 ini, jumlah peserta JKN adalah 121 juta penduduk. Ternyata terhitung sejak bulan Juni ini sudah tercatat Rp 123 juta penduduk. Itu sudah termasuk lebih dari 2 juta penduduk dengan kepesertaan mandiri.

Fakta 3, Sistem INA CBGs pelayanan kesehatan menjadi semakin efektif. Sistem INA CBGs adalah sistem paket pelayanan dalam diagnosa penyakit. Ini berbeda dengan pelayanan fee for service, dimana biaya didasarkanp ada setiap tindakan kesehatan. Dengan sistem INA CBGs rumah sakit dan tenaga kesehatan diharuskan efektif tanpa mengurangi mutu layanan.

Fakta 4, JKN terus disempurnakan. Sudah banyak peraturan dan kebijakan dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka perbaikan sistem JKN ini. Tarif INA CBGs dan Kapitasi pun sudah diperbaiki. Lambat laun pun rakyat Indonesia semakin menyadari betapa besarnya manfaat dari JKN ini.

Dari penjelasan diatas, baik dari petunjuk tentang KIS disampaikan pak Jokowi dan tim, juga paparan fakta-fakta atas KJS dan JKN tersebut, apa yang dapat anda simpulkan? Mungkin kesimpulan kita sama, apa urgensi dari Kartu Indonesia Sehat ini?

Sejauh ini, belum ada diferensiasi KIS atas JKN. Cukuplah, KJS menjadi bukti cara kerja Pak Jokowi bagaimana KIS ini ke depan. Kesimpulannya, sepertinya KIS hanya nama baru dari JKN.