Tampilkan postingan dengan label dokter. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dokter. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Agustus 2014

, , , , , , , , , , ,

Benarkah JKN dan INA CBGs Merugikan Dokter dan Pasien?

Sebuah keluhan lama tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau awam lebih mengenal dengan BPJS Kesehatan yang dimuat DIB Online. Keluhan itu ditujukan (mention) untuk menjadi perhatian kepada saya oleh mba Silly, pendiri @Blood4LifeID.

Berikut kutipan tulisan keluhan itu :
Ini bukan tulisan saya, ini adalah tulisan seorang sejawat SpOG yg bertugas di RSUD dr. Soetomo (PPK III)
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya….

Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang…. (http://dib-online.org/maaf-ini-bukan-salah-kita/)

Pertama, semoga saja Ibu dan Anaknya selamat dan sehat setelah proses SC hingga kini. Kedua, semoga saja, Dokter Obgyn yang menolong persalinan diberkahi oleh Alloh dengan kecukupan rezeki dan kesehatan. Ketiga, semoga RS Soetomo terus tegak menjalankan tugasnya dalam melayani kesehatan masyarakat.

Sesungguhnya ini cerita lama, ini keluhan yang ditulis tanggal 11 Januari 2014, diawal diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional. Jika boleh bernostalgia, saat itu suara-suara kencang menyuarakan rumah sakit bakal bangkrut karena berlakunya JKN dengan tariff INA-CBGs. Dan diberbagai tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan bahwa faktanya rumah sakit tidak bangkrut. Sebaliknya rumah sakit mengalami surplus balance, alias lebih dari untung jika dibandingkan dengan tariff rumah sakit sebelumnya.

Bukti nyata adalah tidak ada rumah sakit yang menerima pasien JKN saat ini gulung tikar. Bahkan di media massa tidak ada lagi pemberitaan yang mengangkat suara rumah sakit bangkrut atau keluhan dokter yang rugi akibat tariff INA CBGs. Sesungguhnya tidak begitu relevan masalah yang terjadi di awal sekali berlakunya JKN (Januari) tapi direspon atau dijawab saat ini.

Namun untuk keseimbangan dan penyajian fakta sekaligus pembelajaran, tidak berlebihan saya merespon tulisan tersebut dengan beberapa fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Faktanya, 96 persen Rumah Sakit penerimaannya mengalami surplus dihitung dari ratio klaim tarif INA-CBG yang ditagihkan ke BPJS dengan tarif RS. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa 96 persen RS dengan tariff INA CBGs dibandingkan dengan tariff lama/sebelumnya. Coba bayangkan, jika total penerimaan dengan tariff INA CBGs sama dengan tariff RS sebelumnya saja sudah disebut UNTUNG, ini faktanya 96 persen RS total klaim penerimaaannya mengalami kelebihan diatas tariff RS. Ini bukan lagi untung, tetapi BONUS. Pertanyaannya, jika RS-nya saja “bonus” surplus, apakah tenaga medisnya bakal rugi?

  2.  Tujuan penggunaan tarif paket INA-CBG dalam JKN adalah untuk mendorong efisiensi tanpa mengurangi mutu pelayanan. INA CBGs itu cost effective system. Jika penangan kuratif dan rehabilitative dari sekelompok diagnose penyakit pasien mengakibatkan biaya lebih besar dari tariff INA CBGs (rugi), bisa terjadi beberapa kemungkinan :

    • Kebiasaan terapi dan perawatan yang dilakukan dokter tidak cost effective

    • Telah terjadi over treatment terhadap pasien. Alias standar pelayanan tidak standar.

    • Terjadi kesalahan teknis misalnya, salah input kode INA CBGs, rekam medis tidak lengkap, dll

    • Penentuan severity level yang tidak tepat sehingga tariff INA CBGs perlu diperbaiki.



  3. Faktanya, banyak kebiasaan dokter yang tidak cost efective yang perlu diperbaiki. Misalnya untuk kasus untuk SC diatas, saya kutipkan jawaban teknis seorang Dokter Obgyn dan pakar INA CBGs dari RS Kariyadi Semarang sebagai berikut :

    • Kasus SC merupakan kasus yang “unik”. Status pasien sulit diprediksi. Dalam kondisi normal pun bisa mendadak tidak stabil. Demikian juga dalam kasus pasien tidak ANC pun, ternyata bisa jadi bisa dalam kondisi normal. Sehingga biasanya, pasien SC dikondisikan dalam keadaan kegawatdaruratan.

    • Lama rawat SC tanpa komplikasi umumnya hanya 4 hari atau 3 hari. Kalau di rawat di kelas 3 kita tinggal hitung biaya akomodasi di klas 3 yang tidak mahal. Rata-rata rawat inap kelas 3 Rp 100 ribu per hari. Antibiotik yang diberikan cukup sekali pemberian dengan obat generik generasi pertama yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu. Tidak perlu diberikan antibiotik oral. Obat nyeri generik juga sangat murah dan mutunya bail dengan menggunakan formularium nasional yang sudah terbukti mempunyai bukti ilmiah yang kuat. Demikian juga anesthesi regional biaya tidak lebih dari Rp 100 ribu. Terhadap penggunaan obat motilitas usus, itu belum terbukti ilmiah harus selalu digunakan. Dengan uraian ini, maka kasus SC tanpa komplikasi biasanya menghabiskan biaya medis sekitar Rp 2 juta.

    • Jika kasus SC dengan komplikasi bisa dilihat seberapa severity levelnya. Biasaya kenaikan tarifnya 20% sd 30% setiap levelnya. Misalnya saja bayinya mengalami Berat Badan Rendah (BBLR), semestinya sang bayi dikenakan tariff berbeda sehingga RS memasukan input kode INA CBGS lagi, sehingga totalnya lebih dari Rp 4 juta.

    • Faktanya setelah 7 bulan JKN dijalankan, justru Cost Recoveru Rate RS meningkat.



  4. Kebiasaan JKN kebiasaan Rumah Sakit/Dokter tidak berubah dari fee for service system menjadi prospective payment system. Contohnya dalam kasus diatas, dimana dokter Obyen bisa mendapat honor “cuma 60 ribu” per pasien. Ini cara berfikir dan perilaku yang tidak tepat dalam system paket INA CBGs. Karena sesungguhnya, dengan INA CBGs, jasa layanan diambil dari selisih total penerimaan dikurangi total pengeluaran. Tidak hitung per pasien sebagaimana dalam fee for service system yang selama ini dilakukan.

  5. Dalam system INA CBGs, istilah “obat ini tidak ditanggung, obat itu ditanggung” tidak sepenuhnya tepat. Penghitungan tariff INA CBGs dihitung secara paket berdasarkan output. Dokter Obgyn dan ahli INA CBGs tadi memberikan analogi sederhana begini. Misalnya sebuah masakan nasi goreng seharga Rp 15 ribu. Meskipun pelanggan meminta garamnya dikurangi, lebih pedas, telur ceplok atau dadar maka harganya tetap sama Rp 15 ribu. Kecuali jika minta telornya 2 buah, maka harganya naik karena ini tidak sesuai dengan paket dan standar nasi goreng yang dijual.

  6. Kemudian untuk “kasus sirkumsisi (sunat) tarifnya jauh lebih besar dibandingkan tindakan SC” itu terjadi jika pada sirkumsisi yang rawat inap, misalnya komplikasi dengan hemophili. Tetapi untuk sunat ritual yang rawat jalan biaya tidak lebih dari Rp 200 ribu.

  7. Pertanyaan penutupnya, mengapa pada awal diberlakukannya JKN banyak dokter menyuarakan bahwa mereka dibayar dengan murah atau rugi? Karena mindset dan kebiasaannya belum berubah tadi, misalnya :

    • Jasa layanan/honor dihitung per pasien/perlayanan, tidak paket.

    • Biasa menggunakan obat paten, bukan generik atau obat dalam fornas

    • Tidak punya clinical pathway, atau ada clinical pathway tetapi pelayanan dilakukan sesuai kebiasaan selama ini. Padahal belum tentu sesuai PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran), dan lain-lain . Sehingga jika dokter masih melakukan dengan kebiasaan lama, sedangkan sistemnya menggunakan INA CBGs ya bakal tidak nyambung. Jadi siapa yang mestinya berubah mindset dan perilakunya?




Apa yang semestinya dilakukan oleh 4% persen RS tadi menjadi surplus, atau yang 96% RS menjadi semakin cost effective tanpa mengurangi mutu layanan?

  • Bangun komonikasi yang baik antara tim dokter denganmanajemen untuk mengurangi variasi pelayanan dan pilih layanan yang paling cost efective dengan membuat dan menjalankan clinical pathway.

  • Hilangkan kebiasaan kerjasama yang tidak perlu antara dr juga manajemen untuk mendapatkan keuntungan yang tidak perlu, yang konon bisa dimasukan kategori grativikasi. Masih banyak lagi tugas mulia dan perubahan yang harus dilakukan dr dan manajemen untuk melakukan koreksi biaya di sisi input (perencanaan dan pengadanbarang jasa) dan proses (penggunaan sumber daya obat, alat habis pakai, pemeriksaan penunjang dll)

  • Manajemen melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain juga banyak surplusnya.

  • RS membayar jasa dokter yang layak dan sesuai dengan kaidah karena total penerimaan RS surplus.


Demikian, semoga bermanfaat.

Minggu, 28 April 2013

, , , , ,

3 Hal Harus Dihindari Rumah Sakit Saat Hadapi Berita Dugaan Malpraktek

Dugaan malpraktek kembali memenuhi media massa dan media sosial. Media pembentuk opini terus menjejali benak pembacanya dengan kelalaian dokter dan rumah sakit terhadap pasiennya. Persepsi publik menelanjangi rumah sakit dengan pelayanan yang buruk, tak manusiawi dan komersial.

Minggu ini musibah itu menimpa RS Harapan Bunda dan RS Persahabatan di Jakarta Timur. Dalam menghadapi pemberitaan dugaan malpraktek, respon rumah sakit berbeda-beda. Saya pernah menulis pada blog ini bagaimana kita dapat belajar dari kasus RS Harapan Kita. Yang pasti, pemberitaan dugaan malpraktek atau krisis komunikasi kehumasan (public relations) yang melanda rumah sakit harus dihadapi. Tetapi jangan lakukan 3 hal berikut :

1. Bersikap tertutup dan defensif. Sikap ini hampir dilakukan oleh mayoritas rumah sakit di Indonesia. Banyak sebab mengapa rumah sakit berlaku tertutup dan defensif ketika hadapi pemberitaan malpraktek. Perilaku tertutup ini biasa ditunjukkan dengan menyatakan bahwa urusan medis hanya dokter yang tahu dan boleh bicara. Atau mengatakan bahwa yang dilakukan rumah sakit telah sesuai prosedur tanpa disertai fakta. Kemudian saling lempar tanggung jawab dari pimpinan, dokter dan humasnya. Awak media kesulitan mendapatkan pernyataan dari narasumber yang kompeten. Akhirnya jurnalis mengais berita dari sumber-sumber yang semakin memperkuat opini buruk kepada rumah sakit. Kalau pun toh melakukan keterangan pers, yang disampaikan sebatas kronologis formal yang tak menjawab pertanyaan publik.

2. Respon tidak tepat. Disebabkan ketidaksiapan dan ketidaktahuan dengan apa yang harus dilakukan, biasanya rumah sakit merespon dengan tidak tepat. Tidak tepat waktu, tidak tepat substansi. Rumah sakit tidak mempunyai radar yang baik untuk membaca situasi dan kondisi opini di luar.

3. Menyalahkan pasien. Awalnya tertutup, defensif dan terlambat merespon, kemudian rumah sakit malah menyalahkan pasien. Misalnya dikatakan bahwa kondisi pasien buruk yang mengakibatkan berita dugaan malpraktek itu disebabkan pasien yang melakukan kesalahan dan tidak kooperatif. Alih-alih berempati dengan apa yang terjadi pada pasien, sebaliknya rumah sakit menunjukan sikap arogan dan benar sendiri.

Sikap tertutup rumah sakit tak akan membuat masalah selesai. Respon yang tak tepat akan memperburuk keadaan. Apalagi menyalahkan pasien akan memupuk antipati publik. Yang terbaik dilakukan adalah menunjukan empati dan menghargai hak pasien. Lakukan komunikasi yang baik dengan publik melalui media massa dan media sosial. Memberikan keterangan dengan kadar yang cukup dan dapat dimengerti.

Dan yakinlah, badai pasti berlalu jika rumah sakit dapat mengelola dengan baik pemberitaan dugaan malpraktek.

Minggu, 20 Januari 2013

, , , , , , , ,

Jadilah Pasien yang Berani Bicara

Kita masih bicara tentang malpraktik medik. Pada postingan sebelumnya, kita tekankan bahwa dugaan malpraktik itu dilihat dari proses perbuatannya bukan pada hasil akhir. Dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta dikatakan malpraktik. Itu bisa disebut sebagai kejadian tak diharapkan (KTD).

Kejadian tak diharapkan ini banyak sekali macamnya, dari yang ringan hingga fatal. Lain waktu kita bisa diskusikan apa dan bagaimana KTD. Saat ini kita bicara, bagaimana supaya tak terjadi cidera, KTD dan dampak buruk lain dalam proses pengobatan di rumah sakit. Yang paling tahu dan mampu mencegah itu tentu saja dokter dan tenaga kesehatan lainnya, peralatan, standar prosedur, teknologi dan fasilitas lainnya rumah sakit. Namun sesungguhnya sebagai pasien, kita pun dapat sangat berperan mencegah terjadinya cidera atau kejadian tak diharapkan lainnya.

Bagaimana caranya? Jadilah pasien yang berani bicara. Ungkapkan apa yang semestinya diutarakan. Tak perlu malu apalagi takut. Katakan kepada dokter, perawat dan siapa pun yang terlibat dalam pengobatan dan perawatan kita. Dengan berani bicara, pasien sangat membantu mencegah terjadinya kekeliruan tindakan dan mendapatkan perawatan terbaik.

Apa saja yang harus berani kita katakan? Jangan sungkan ungkapkan apa yang kita rasakan dan tanyakan apa yang dialami. Tak perlu merahasiakan riwayat sakit kita, ungkapkan semuanya kepada dokter. Karena itu bermanfaat untuk menentukan amamnesa dan diagnosa. Dan jangan takut bertanya informasi sejelas-jelasnya dengan penyakit yang menyerang tubuh kita.

Kemudian beranikan bertanya tentang rencana pengobatan yang akan kita dapatkan. Jika diperlukan ada tindakan medis, kita harus jelas jenis tindakan dan resikonya. Sebelum tindakan dilakukan, pastikan kita mendapatkan informed consent. Baca semua formulir medis dengan teliti dan pastikan kita memahami isinya sebelum menandatanganinya. Bila tidak mengerti, minta dokter atau perawat untuk menjelaskannya.

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dengan pasien lain, biasanya perawat atau dokter melakukan proses pengecekan dan memeriksa identitas pasien. Yang benar sebelum memberikan obat atau melakukan tindakan medis, dokter atau perawat akan menanyakan nama pasien atau memerika gelang identitas.

Kekeliruan dalam pemberian obat merupakan kesalahan yang dapat terjadi dalam tindakan medis. Oleh karena itu pahami obat-obatan apa yang kita minum atau mengapa kita memakainya. Tanyakan tentang kegunaan obat-obatan yang diberikan dan informasi efek samping dari obat tersebut. Teliti kembali apakah obat yang diberikan itu betul untuk anda. Lebih baik kita tahu kapan waktu pemberian obat dan bila belum diberi obat pada waktunya, jangan sungkan menanyakan pada perawat. Kita dapat meminta bantuan untuk menjelaskan mengenai petunjuk pemakaian obat serta instruksi pemeriksaan lainnya bila anda kurang mengerti. Oh ya, katakan kepada dokter atau perawat mengenai alergi atau reaksi negatif terhadap obat-obatan yang pernah kita minum sebelumnya.

Jika kita menerima resep obat yang dituliskan dokter, pastikan kita bisa membacanya. Karena bisa jadi, jika kita tidak dapat membacanya, apoteker mungkin tidak bisa membacanya juga. Sudah tak keren lagi tulisan dokter pada resep obat yang tak terbaca.

Sebagai pasien, kita harus sadar dan paham bahwa kita sesungguhnya yang menjadi fokus utama dalam tim perawatan medis. Pasien adalah orang yang paling penting di dalam semua upaya penyembuhan sakit, bukan dokter, perawat atau peralatan medis. Untuk itu, dokter dan perawat harus menjelaskan semua informasi yang dibutuhkan pasien dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Dan jika belum mengerti, mintalah mengulangi menjelaskan sampai kita, pasien, benar-benar mengerti. Jangan takut juga meminta second opinion kepada dokter lain, jika belum yakin dengan tindakan atau pengobatan yang akan kita terima.

Dokter, perawat dan rumah sakit tentunya akan mengutakan keselamatan dalam perawatan kesehatan pasien. Tetapi kita sebagai pasien, bisa juga memainkan peran vital dalam memastikan agar tindakan dan pengobatan yang kita terima itu aman dan tepat. Kita harus aktif berpartisipasi meminta informasi yang benar dan jelas kepada dokter dan perawat. Untuk itu, jadilah pasien yang berani bicara agar terhindar dari kejadian tak diharapkan dalam pengobatan penyakit kita
.

Kamis, 17 Januari 2013

, , , , , ,

Mari Memahami Malpraktik dan Resiko Medis

Begitu mudah kita mengatakan malpraktik kepada dokter atau rumah sakit, ketika hasil pengobatan tak sesuai yang diharapkan. Padahal terjadinya suatu kasus malpraktik dinilai bukan dari hasil melainkan dari proses perbuatannya.

Kenapa demikian? Karena hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Dugaan malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, bukan sekedar adanya cidera pada pasien. Sebab, cedera tidak selalu akibat kesalahan dokter tetapi bisa merupakan yang merupakan kejadian tak diharapkan. Kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian.

Dalam praktik kedokteran khususnya tindakan medis selalu diiringi dengan resiko tinggi yang mengakibatkan hasil yang tidak terduga. Resiko medis merupakan sesuatu yang inheren dalam setiap tindakan medis, dan sebagian dianggap dapat diterima. Sebab, kita tidak pernah tahu pada siapa, atau pada dosis berapa suatu tindakan atau obat akan berdampak tidak seperti yang kita inginkan. Semua tidak bisa diprediksi.

Syarat resiko medis yang bisa diterima ketika tindakan medis yang diambil mempunyai tingkat probabilitas dan keparahannya minimal. Atau, tindakan itu memang tidak bisa dihindari karena merupakan satu-satunya cara untuk menyelamatkan hidup pasien. Resiko yang memang tidak bisa diduga sebelumnya, yang berujung pada untoward results, adalah konsekuensi dari probabilitas yang terjadi dalam praktik kedokteran.

Ada hal yang harus disadari akan adanya sistem yang kompleks yang melingkupi praktik kedokteran mulai dari tenaga medis, rumah sakit, hingga negara turut meningkatkan resiko medis. Spesialisasi dalam dunia kedokteran, teknologi kedokteran yang terus berkembang serta interdependensi di dalam sistem medis makin memudahkan terjadinya kecelakaan. Karena pelayanan kedokteran dilakukan dalam suatu sistem, maka pendekatan untuk memahaminya juga harus dilakukan dari segi sistem, tidak saja hanya berhenti di human factors.

Kebijakan yang dibuat negara pun memberi sumbangsih bagi terjadinya resiko medis. Makin bagus sistemnya, makin kecil resiko yang mungkin terjadi. Faktor kontribusi yang mempengaruhi praktik klinis antara lain berasal dari pasien sendiri, individu pemberi layanan, faktor tugas, faktor tim dan sosial, faktor komunikasi, pendidikan dan pelatihan, peralatan dan sumber daya, kondisi kerja serta faktor organisasi dan strategi.

Bagaiamana undang-undang di Indonesia mengatur malpraktik medis ini? Jika ditelusuri, istilah malpraktik tidak ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal 55 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, misalnya, hanya menyebutkan: setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sementara pasal 50 UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi atau standar prosedur operasional.

Ada pun menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 359-360 menyebutkan kelalaian medis yang dianggap tindak pidana hanyalah yang culpa lata atau kelalaian besar. Kelalaian di sini berarti harus ada kewajiban yang dilanggar dan harus ada cedera atau kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran tersebut. Syarat lainnya, cedera/kerugian tersebut sudah diketahui dan akibat ketidakhati-hatian yang nyata di mana tidak terdapat faktor pemaaf atau faktor pembenar.