Jumat, 31 Mei 2013

, , , , , , , , , ,

INA CBGs itu makhluk apa?

"INA CBGs itu makhluk apa?"

Mohon angkat tangan, siapa diantara kita yang masih mempunyai pertanyaan seperti itu. Masih ada?  Berbahagilah! Berarti anda sama dengan Wanda Hamidah, anggota DPRD Jakarta yang cantik itu.

Jauh sebelum Wanda Hamidah mengungkapkan pertanyaan, "INA CBGs itu makhluk apa?", saya merasa orang terakhir yang tidak memahami apa itu INA CBGs. Namun kesamaan dengan Wanda Hamidah dalam hal ketidaktahuan tentang INA CBGs, tidak menjadikan saya geer alias besar diri. Sebaliknya merasa malu, sebagai orang yang bergelut sehari-hari dalam bidang perumahsakitan tidak mengerti dengan sistem INA CBGs yang sudah berjalan sejak Tahun 2010.

Adalah berita 16 rumah sakit mundur dari program Kartu Jakarta Sehat, menjadikan INA CBGs lebih dikenal. Klaim rumah sakit tersebut, tarif INA CBGs rendah sehingga merugikan mereka. Sontak kabar ini memunculkan pertanyaan banyak pihak, apa sih INA CBGs? Makhluk apa itu INA CBGs? Tidak saja, Wanda Hamidah dan anggota DPRD Jakarta lainnya yang beberapa diantaranya mengusung wacana interpelasi. Tetapi juga anggota DPR dan pihak yang berkepentingan terhadap BPJS dan berlakunya Jaminan Kesehatan Nasional pada 1 Januari 2014.

Kasus KJS dan INA CBGs ini menjadi topik hangat media cetak, online, televisi dan radio minggu-minggu ini. Namun jika disimak seksama, apa yang berseliweran di media itu belum menjawab secara substansi apa itu INA CBGs. Sulitnya mencari referensi, semakin tidak mudah memahami INA CBGs. Apalagi pertentangannya pun sudah bergeser kepada sisi politis dan interpelasi. Saya bukan ahli, namun hanya sekedar berbagi informasi secara konsepsi tentang makhluk apa itu INA CBGs.

Mari kita awali dengan pertanyaan mudah. Sebagai pasien lebih pilih mana; anda tahu besaran tarif dan jumlah biaya yang harus dibayarkan sebelum atau sesudah pelayanan pengobatan dan perawatan? Saya yakin mayoritas pasien (kalau tidak bisa dikatakan semua) ingin tahu besarnya biaya sebelum dilakukan semua tindakan pengobatan. Dengan INA CBGs, pasien dapat tahu besaran dan jumlah biaya sebelum semua pelayanan dengan didasarkan pada  diagnosis atau kasus-kasus penyakit yang relatif sama. Dengan kata lain, rumah sakit tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG. Pada INA CBGs bersifat paket sehingga besaran tarifnya dan jumlah biaya tetap.

Sekarang bandingkan dengan sistem tarif yang digunakan oleh sebagian besar rumah sakit saat ini. Pasien baru tahu besaran tarif dan jumlah biaya setelah semua tindakan pelayanan. Dan rumah sakit memungut biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Dengan kata lain, rumah sakit mengenakan biaya pada setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada. Inilah yang disebut fee for service, dimana besarnya biaya tergantung pada setiap tindakan pengobatan yang dilakukan.

Itulah sekilas konsepsi makhluk yang bernama INA CBGs. Oh ya, saya baca di salah satu media online bahwa Wanda Hamidah telah mengeluarkan pernyataan: INA CBG's lebih bagus dan lebih sistematis daripada Jamkesda.

Nah, jangan-jangan sekarang sudah mengerti INA CBGs. Waaaanndatahu, saya!

Senin, 27 Mei 2013

, ,

Apakah Anda Termasuk Karyawan Golongan Malaikat?

Pada sebuah rapat, atasan saya memberikan motivasi kepada peserta rapat. Melalui sebuah presentasi singkat tentang kemajuan negara disebabkan oleh perilaku dan budaya penduduknya. Bukan ditentukan oleh umur atau lamanya negara, bukan pula kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah.

Disela-sela presentasi ada analogi yang menarik tentang gambaran perilaku karyawan/staff. Kata beliau, dari 100 orang, ada sekitar 15 sampai 20 persen orang termasuk "golongan malaikat". Golongan ini  mampu bekerja dengan baik, penuh inisiatif dan jujur. Entah diberi makan apa oleh orang tua atau bagaimana dididiknya, orang-orang ini bekerja dengan penuh dedikasi dan berintegritas.

Namun sebaliknya ada sekitar 10 persen termasuk "golongan neraka", ketika diberi tugas tak pernah tuntas. Diajari sulit mengerti. Kerja sedikit ingin dapat bagian banyak. Cenderung banyak bicara sedikit kerja. Ya pokoknya susah diapa-apakan.

Dan sisanya, sekitar 70 persen yang dapat bekerja dengan baik jika kondisi lingkungan kerja kondusif. Tetapi juga akan berkinerja buruk, saat kondisi kerja tak baik. Untuk golongan tengah-tengah inilah sistem kerja meski dibangun. Sistem dibuat untuk mengatur untuk 70 persen ini. Dengan sistem yg baik, orang yang awalnya tidak bagus menjadi berubah lebih baik.

Kemudian atasan saya melanjutkan dengan mengharapkan kepada 15 - 20 persen orang ini membantu kawannya agar lebih baik. Sedangkan untuk yang 10 persen ini,  kalau memang tidak mau baik ya tidak apa-apa. Tetapi jangan mengajak orang lain. Jangan menghasut orang lain, itu perkara.

Dan beliau menutup wejangan analoginya dengan pernyataan; sayangnya sebagian besar kita merasa termasuk golongan yg 20 persen, golongan malaikat!

Bagaimana dengan anda?

Kamis, 23 Mei 2013

, , , , , ,

Jangan Politisasi KJS

Kartu Jakarta Sehat (KJS) adalah janji politik. Sebagai sebuah janji politik, KJS tak lepas dari pencitraan dan popularitas. Dan ketika janji politik telah direalisasikan maka menjadi komoditas politik yang bisa dikemas sesuai kepentingannya. Karena masuk area politik, maka menutup kemungkinan terjadi politisasi KJS dimana berebut sisi kelebihan dan kekurangan KJS guna diambil keuntungan bagi diri dan golongannya.

Pada era Fauzi Bowo sudah berjalan program bantuan kesehatan bagi penduduk Jakarta yang tidak mampu. Dengan Surat Keterangan Tidak Mampu, warga bisa mendapatkan pelayanan berobat di puskesmas dan rumah sakit dengan biaya ditanggung APBD. Kemudian Joko Widodo, sebagai calon gubernur, menawarkan program Kartu Jakarta Sehat.

Sesungguhnya secara prinsip tidak beda dengan program SKTM. Namun harus diakui Jokowi membuat kemasan yang lebih baik dan populis. Bentuk kepersertaan dengan kartu dan bagi yang belum punya kartu KJS cukup dengan menunjukkan KTP Jakarta. Dampaknya luar biasa, KJS dipersepsikan "sesuatu yang baru".

Jokowi dan Ahok pun menjadi pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur baru. Janji politik harus ditunaikan. Tanpa terlebih dahulu melakukan perubahan infrastruktur dan sistem pelayanan kesehatan, KJS diluncurkan. Puskesmas dan Rumah Sakit menerima tsunami kunjungan pasien. Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan petugasnya menjerit kelebihan beban. Namun bisa apa? Puskesmas dan rumah sakit yang tak mampu melayani pasien akan dicap menolak pasien yang berarti melawan opini publik. Diperkuat pula dengan pernyataan Jokowi sebagai Gubernur bahwa tunggakan klaim di RS adalah warisan SKTM sebelumnya. Popularitas Jokowi dan Ahok memang pada posisi tertinggi dan secara politik sulit tergoyahkan, sehingga kebijakannya, meski ada kekurangan, KJS harus dijalankan.

Sekitar 3 bulan, rumah sakit di Jakarta melayani pasien-pasien KJS. Bulan april ini, program KJS dijalankan bekerjasama dengan PT Askes dengan sistem INA CBGs. Sesungguhnya sistem INA CBGs dimaksudkan agar terjadi efektivitas dan efisiensi pelayanan sehingga terjadi kendali mutu dan kendali biaya. Sistem INA CBGs yang prospective payment diharapkan mengubah perilaku rumah sakit dan tenaga kesehatan dan tentu saja pasien.

Namun Jakarta sudah terlanjur terlalu lama pada zona nyaman pelayanan rumah sakit dengan sistem fee for service. Maka ketika INA CBGs dengan sistem paket menggantikannya pada program KJS, 16 rumah sakit swasta (belakangan menyusut menjadi 2 RS) berontak mundur dari KJS. Ini luar biasa. Bagaimana mungkin secara terang-terangan ada RS Swasta "melawan" kebijakan Gubernur Jakarta yang popularitasnya masih tinggi?

Karena KJS adalah produk politik, maka isu ini pun terangkat secara politis. Pihak yang awalnya tiarap menunggu momentum, seakan saat ini menemukan saat tepat. Mereka komentar, mengecam dan nyinyir atas program KJS dan INA CBGs. Alih-alih turut mencari solusi, perdebatannya pun tidak pada substansi penyebab mundurnya 16 RS Swasta.

Bahkan lawan politik Jokowi Ahok di Jakarta menggalang interpelasi bahkan pemakzulan, meski dengan alasan yang lemah dan tidak substansial. Sementara anggota DPR menyinyir jika kasus yang terjadi KJS ini merupakan gambaran gagalnya Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Kesimpulan yang terlalu gegabah. Tapi itulah, politik adalah bagaimana anda memanfaatkan momentum utl pencitraan, popularitas dan elektabilitas.

KJS adalah janji politik yang kemudian menjadi produk politik. Namun sesungguhnya terdapat agenda politik yang lebih luhur bagaimana penduduk Jakarta dan rakyat Indonesia memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu. Dan itu bisa dicapai dengan sistem jaminan kesehatan dengan kendali mutu, kendali biaya dan berkeadilan bagi semua. Jadi hentikan politisasi KJS!

Rabu, 15 Mei 2013

, , , , , , ,

Survei Loyalitas Pasien 2013

Pernahkah anda mendapatkan layanan kesehatan khususnya di RS Swasta? Setelah kunjungan itu, apakah anda berniat kembali lagi ke RS tersebut?

Saya punya informasi menarik ketika hadir pada acara Indonesia Healthcare 2013 minggu lalu. Saya mencermati hasil survei perspektif konsumen kesehatan yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Onbee Marketing Research. Bertitel "Indonesia Most Reputable Healthcare Brand 2013" ini dilakukan pada bulan Februari - Maret 2013 dengan 2.917 responden dan teknik random sampling. Rumah Sakit menjadi obyek survei, selain perusahaan farmasi, asuransi kesehatan, apotek, laboratorium kesehatan dan klinik kecantikan. Dan yang saya maksudkan menarik adalah hasil survei terkait dengan tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter.

 

1. Loyalitas Pasien

Menurut survei SWA, 82% mengunjungi rumah sakit swasta sebanyak 1 – 3 kali dalam setahun. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan, dalam sekali kunjungan pasien ke RS swasta sekali rata-rata tidak lebih dari Rp 500.000,-, dan 25% mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 1000.000,-

Dari sisi loyalitas, 74% pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit swasta yang dikunjunginya, dan kualitas pelayanan (28%) adalah alasan utama yang paling banyak dikemukakan. Sedangkan alasan lain seperti lokasi (19%), Dokter (13%), Sudah terbiasa (7%), Kondisi Kesehatan (7%), Harga (7%), Fasilitas (7%), Afiliasi (kantor asuransi) (6%), Tidak ada (4%), Rekomendasi dokter (2%), dan kualitas RS (1%) menjadi alasan untuk kembali ke rumah sakit yang pernah dikunjungi.

Sementara itu, lokasi yang jauh (44%) merupakan alasan pindah rumah sakit. Faktor lain pindah RS yaitu kualitas pelayanan kurang baik (15%), harga mahal (12%), dokter yang kurang memuaskan (9%), fasilitas yang tidak memadai (8%) dan tidak ada dokter spesialis (12%)

 

2. Loyalitas terhadap dokter

Pasien semakin cerdas. Ini dibuktikan dengan hasil survei bahwa 80% pasien RS swasta menyatakan bahwa dokter wajib mempunyai komunikasi yg baik. Alasan mengganti dokter disebabkan tidak berhasil sembuh (39%), tidak komunikatif (34%), biaya konsultasi (11%), terburu-buru (9%) dan resep yang banyak (7%).

Sebaliknya, 32% pasien akan merekomendasikan dokternya jika dokter tersebut komunikatif dan 41% karena dokternya dapat menyembuhkan penyakitnya.

 

3. Sumber Informasi

Sebanyak 64% pasien RS Swasta menyatakan bahwa teman/keluarga merupakan sumber informasi ketika memilih rumah sakit, dan 49% menyatakan bahwa sisi kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih rumah sakit.

Yang menarik, sebanyak 75% pasien RS Swasta mampu menyebarkan positive Word of Mouth (WOM) ke rata-rata 5 orang dan 22% pelanggan mampu menyebarkan negative WOM ke rata-rata 4 orang. Jadi bisa dikatakan bahwa positive WOM 25% lebih disebarluaskan dibanding negative WOM.

Media promosi terpercaya 65% adalah rekomendasi, 34% iklan di media elektronik, 10% iklan di media cetak, 3% iklan di media cetak. Pasien mengharapkan adanya digital media terutama website, karena hal ini akan membantu meningkatkan keyakinan pasien/keluarga terhadap RS Swasta dan sarana informasi.

Dan dibandingkan dengan adanya dokter ahli, banyaknya dokter spesialis, fasilitas modern dan harga terjangkau, ternyata faktor kualitas pelayanan yang baik merupakan faktor utama sebuah RS swasta direkomendasikan kepada orang lain.

Bagaimana menurut anda?

Jumat, 10 Mei 2013

, , , , ,

Mengapa JKN 2014 Berprinsip Gotong Royong?

1 Januari 2014 tinggal esok hari. Sejak itu, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai berlaku. Amanat Undang Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional menegaskan bahwa jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Hal yang membedakan dengan jaminan kesehatan di beberapa negara lain, JKN menggunakan sistem asuransi sosial dengan prinsip gotong royong. Ini artinya adanya kebersamaan, sinergi dan substitusi iuran antara kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan mudan serta yang beresiko tinggi dan rendah.

Ada pembelajaran dari ASKES, betapa urgensinya prinsip kegotongroyongan. Contoh kasus ada dalam paparan sosialisasi JKN yang disampaikan Pak Usman Sumantri, Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kemenkes yang terkait dengan pasien Guillian Barre Syndrome (GBS). Masihkan kita ingat dengan kasus GBS yang menghebohkan pertengahan 2011 lalu?

Menurut data Askes, besarnya unit cost per kasus pasien GBS sebesar Rp 900 juta rupiah dengan angka kejadian kurang dari 1 orang dari 15 juta peserta Askes. Jika besarnya biaya ini ditanggung oleh pasien yang bersangkutan, tentu saja sangat berat. Bahkan tidak akan tertutupi dengan premi yang rutin dibayarkan. Namun jika ditanggung iuran dengan prinsip gotong royong, maka iuran peserta Askes yang dikeluarkan adalah 1/15.000.000 x Rp 900.000.000 yaitu Rp 60 perorang pertahun. Atau Rp 5 setiap orang perbulan.

Bandingkan dengan pengobatan influenza. Unit cost sakit Flu Rp 20.000 per kasus. Berdasarkan pengalaman Askes, frekuensi peserta Askes terkena flu adalah sekali setahun. Dengan demikian premi untuk menjamin flu adalah 1/1 x Rp 20.000 yaitu Rp 20.000 per orang per tahun atau Rp 1.650 setiap orang perbulan.

Inilah contoh kasus betapa pentingnya prinsip gotong royong dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional terutama dalam kasus penyakit yang memerlukan biaya pengobatan dan perawatan kesehatan yang sangat besar.

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.

Kamis, 02 Mei 2013

, , , , , , ,

CLIFF, Kisah Sukses Transplantasi Ginjal Anak di Indonesia

Untuk pertama kalinya di Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) berhasil melakukan transplantasi ginjal pada anak. Setelah 3 tahun melakukan cuci darah secara rutin, Cliff Yehezkiel Mambo (12) menjalani operasi transplantasi ginjal pada pada tanggal 13 Maret 2013. Dan saat ini sudah aktif seperti anak sehat pada umumnya.

Seperti diketahui, transplantasi ginjal dilakukan kepada seseorang yang kondisi ginjalnya sudah tidak mampu lagi melakukan fungsinya dengan baik. Operasi transplantasi ginjal pada pasien dewasa memang sudah biasa, tetapi jarang sekali pada pasien anak.

Cliff, anak dari pasangan Sherli Katili dan James Mambu asal Gorontalo itu mulai memperlihatkan penyakit yang aneh pada Juni 2010. Badannya bengkak-bengkak. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, dokter menyatakan bahwa Cliff memiliki kelainan ginjal. Berbeda pada orang dewasa dimana biasanya diabetes atau darah tinggi menjadi penyebab gagal ginjal, pada kasus Cliff penyebabnya termasuk idiopatik, suatu kondisi yang tidak bisa diketahui penyebabnya.

Orang tua Cliff merasa terpukul dan seakan tak mau menerima kondisi ini. Apalagi keluarga sempat mendengar ginjal dari Cliff tinggal 25 persen. Atas saran teman dan keluarga, orang tua membawa Cliff ke salah satu rumah sakit di Malaysia. Tapi setelah beberapa bulan, Cliff tidak menunjukkan perbaikan. Akhirnya orangtua memutuskan untuk membawa Cliff ke RS Cipto Mangunkusumo. Setelah dirawat di RSCM 2 minggu, Cliff terlihat lebih segar.

Menurut orang tua Cliff, pengobatan dan perawatan yang dilakukan RSCM dengan di Malaysia. Misalnya, di Malaysia Cliff diberikan 13 obat dan masih terus kejang. Setelah di RSCM, obatnya dikurangi jadi 6. Kemudian juga obat tensi yang tadinya 4 macam, setelah observasi, akhirnya Cliff hanya diberikan 1 jenis obat.

Menurut Sherli, selama 2 tahun tim dokter RSCM merawat dengan tulus, sabar dan selalu memberikan kekuatan untuk Cliff agar bisa terus hidup. Dengan terapi selama ini yang dilakukan dokter RSCM, keluarga menjadi yakin untuk tetap melakukan transplantasi ginjal. Namun mendapatkan ginjal yang cocok dengan Cliff bukan hal yang mudah. Dari ayah, saudara dan teman, tidak ada yang cocok dengan ginjal Cliff. Namun akhirnya, Cliff mendapatkan donor ginjal yang cocok.

Operasi ginjal dilakukan tim dokter RSCM yang diketuai oleh Prof. Dr. dr. Endang Susalit Sp.PD-KGH. Sebelumya, pasien Cliff ditangani dokter anak konsultan ginjal dan hipertensi, Prof. Dr. Taralan Tambunan Sp.A (K), DPJP. Kini kondisi Cliff berangsur membaik. Kondisi Cliff satu bulan pasca operasi berangsur membaik. Tidak ditemukan tanda penolakan tubuh terhadap organ barunya, dan sekarang fisiknya lebih sehat. Hal ini ditandai dengan kondisi air seni yang bagus atau tidak lagi mengandung darah. Tekanan darahnya juga mendekati normal. Walaupun masih harus melakukan pemeriksaan rutin dan tidak boleh meninggalkan obatnya.
"Kami sangat bersyukur pada Tuhan, dan berterima kasih pada tim dokter RSCM yang lakukan transplantasi. Kami juga yakin menyerahkan keputusan besar ini karena Cliff jadi anak yang pertama kali transplantasi ginjal di Indonesia. Dokter telah memberikan keyakinan pada kami hingga kami tidak ragu. Dengan mantap saat ini kami percaya kalau ini semua ini mukjizat Tuhan," kata Sherli, ibunya Cliff.

CH Soejono, Direktur Utama RSCM, mengatakan bahwa operasi transplantasi ginjal pada anak memiliki kesulitan lebih tinggi dibandingkan pada pasien dewasa. Sebenarnya sejak 2010, RSCM telah melakukan transplantasi ginjal untuk pasien dewasa. Namun pada pasien anak, inilah pertama kali dilakukan dan berhasil dilakukan transplantasi ginjal. Dan ini membuktikan bahwa kemampuan dan mutu pelayanan Rumah Sakit Indonesia tidak kalah dibandingkan dengan rumah sakit di luar negeri.