Tampilkan postingan dengan label hukuman kebiri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukuman kebiri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Mei 2016

, ,

10 Alasan Hukuman Kebiri Tidak Efektif Bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Siapa pun orang dengan kemanusiaannya akan sedih, berduka, marah dan mengutuk atas kejahatan seksual yang menimpa Yuyun (14). Setiap orang setuju, pelaku pemerkosa dan pembunuh harus dikenakan hukuman berat yang berefek jera. Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual pun diwacanakan. Efektifkah?

Berikut 8 alasan mengapa hukuman kebiri tidak efektif bagi pelaku kejahatan seksual:

1. Mana yang Sakit, Mana yang Diobati

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kejahatan seksual terjadi tidak semata-mata dipicu oleh dorongan seksual yang tidak terkendali akibat ketidakseimbangan hormonal. Kejahatan seksualjuga terjadi karena karena gangguan kepribadian antisosial/psikopat, penyalahgunaan zat, gangguan rasa percaya diri, gangguan pengendalian impuls dan gangguan psikis lain. Ini senada dengan pendapat dari Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi).

"Yang sakit itu kan jiwanya, kastrasi atau kebiri tidak akan menyelesaikan jiwanya, makanya saya kurang setuju dengan diberlakukannya itu," kata Boyke Dian Nugraha.
Jadi seseorang melakukan kekerasan atau kejahatan seksual bukan semata dorongan seksual tetapi menderita sakit pemilihan, psikologis dan kejiwaannya. Hukuman kebiri kimia dimaksudkan menekan dorongan seksual pelaku kejahatan seksual. Lagi pula, seseorang dapat dinyatakan bersalah bukan karena hasrat seksual, melainkan perilaku seksualnya.

2. Melanggar Etika Medis

Menkes Nila Moeloek mengingatkan bahwa profesi kedokteran sesungguhnya lebih fokus pada tindakan mengobati dan memperbaiki, bukan malah merusak tubuh.

“Nah suntik kebiri kan bukan mengobati tetapi mengubah fungsi organ seksual,” jelasnya. Karena itu Kemenkes akan mengambil peran pada upaya preventif, promotif dan kuratif agar kasus kejahatan seksual anak tidak terulang kembali.

3. Efek Samping Kebiri


Kebiri berdampak panjang secara medis, psikologis, kejiwaan dan sosial bagi seseorang yang dikenakannya

"Tindakan mengganggu hormon seseorang dengan maksud mengurangi libido, apapun tindakan ini ada side effect-nya, ini yang harus kita pertimbangkan. Kita tidak bisa terlalu emosional, istilahnya barangkali demikian,” tutur Menkes Nila Moeloek.

Menkes juga menyatakan hukuman kebiri kimia masih dalam tahap uji klinis. Menkes menyebut kebiri yang direncanakan menjadi hukuman tambahan bagi para pelaku kejahatan seksual dapat menyebabkan kanker.

Sementara itu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, Sp.KJ(K) menerangkan bahwa efek samping dari obat yang digunakan pada tindakan kebiri kimia akan mempengaruhi banyak sekali sistem tubuhnya.

“Di antaranya akan mempengaruhi fungsi hormon sekunder laki-lakinya akan jadi hilang. Dia akan jadi seperti perempuan. Kalau waria senang biasanya karena akan muncul sifat-sifat perempuannya, misalnya payudara bisa membesar, tapi tulang mudah keropos. Itu kan membunuh juga kan namanya,” terang dr. Eka Viora.

4. Tidak Sesuai Prinsip Pemidanaan

Undang-Undang Pemasyarakatan menyebutkan orientasi pemenjaraan adalah pada pemasyarakatan. Kalau kembali ke cita-cita itu, satu-satunya hukuman adalah kehilangan kemerdekaan bergerak, tak ada hukuman lain. Pemidanaan bukan balas dendam negara terhadap pelaku kejahatan. Pemasyarakatan tak boleh menjadikan narapidana lebih buruk atau lebih jahat dari semula. Narapidana itu juga manusia.

Usulan penerapan hukuman kebiri justru melegalisasi perwujudan balas dendam terhadap pelaku kejahatan seksual. Ini tidak sesuai dengan prinsip pemidanaan atau pemasyarakatan.

5. Memperpanjang Rantai Dendam

Pemerhati anak, Seto Mulyadi mengkhawatirkan pelaku kejahatan seksual akan menjadi lebih berbahaya dan beringas bila masih memiliki rasa dendam karena alat vitalnya sudah dikebiri. Rasa dendam yang berlebihan ini ditakutkan dapat membuat pelaku bertindak lebih kejam dan berbahaya kepada korbannya

"Kalau dikebiri ini membuat dia jadi punya rasa dendam karena diputus kemampuan seksualnya. Kemudian dia bisa jadi melakukan tindakan pemerkosaan yang lebih sadis dengan cara-cara lain. Nah, ini justru akan bertambah parah karena ada rasa dendam di dalam dirinya dan sangat berbahaya bagi korban," ujar Kak Seto.

6. Melanggar HAM

Komnas HAM tidak setuju hukuman kebiri karena bertentangan hak azasi manusia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28g ayat 2, setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.

Ada pula aturan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Selain itu, tindakan tersebut bentrok dengan hak atas persetujuan tindakan medis serta hak perlindungan atas integritas fisik dan mental seseorang.


7. Tidak Relevan dengan Prinsip Islam

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam mengatakan hukuman kebiri tidak sejalan dengan aturan agama Islam. "Pengebirian itu tidak relevan dengan prinsip agama Islam," ujarnya.

Menurut Nur, agama Islam mengharuskan manusia menjaga keturunan. "Jadi, agama tidak membolehkan manusia memutus mata rantai keturunannya," kata Nur Syam

8. Biaya Kebiri Mahal

Spesialis urologi dr. Arry Rodjani, SpU mengungkapkan, pengebirian sebagai langkah untuk menurunkan gairah seksual seseorang membutuhkan biaya yang tak murah. Untuk sekali melakukan kebiri kimia membutuhkan biaya mulai dari Rp. 700 ribu hingga Rp 1 juta untuk sekali penggunaan.

"Satu kali pemberian biasanya untuk satu bulan saja atau tiga bulan. Kalau tidak diberikan akan kembali lagi. Biaya memang mahal. Menurut saya, untuk apa diberikan. Buang-buang ongkos saja," ujarnya.

9. Tidak Cukup Didukung Kementerian Teknis dan Lembaga

Hukuman kebiri belum atau tidak menyetujui diantaranya Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenag, Muhammadiyah, YLBHI, ICJR, ARI, dan beberapa tokoh pembela hak anak dan HAM.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menilai banyak dampak negatif terkait hukuman itu. "Kami sudah mendengarkan penjelasan dari ahli kejiwaan dan ahli andrologi. Kebiri bukan hukuman yang tepat," katanya.

Jadi Kementerian teknis yang terkait langsung pelaksanaan hukuman kebiri tidak mendukung seperti Kementerian Kesehatan, Kemenkum HAM dan Kementerian Agama. Sementara itu pihak yang setuju hukuman kebiri diantaranya Kemen PPPA, Kemensos, POLRI, Kejagung dan KPAI. 


10. Tidak Selesaikan Akar Masalah

Dibanyak kasus atau hampir semua kejahatan seksual berhubungan erat dengan pornografi, narkoba dan minuman keras. Bisa dikatakan, kejahatan seksual merupakan bagian hilir dari persoalan pokoke di bagian hulu seperti moral kepribadian seseorang dan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Jika demikian, tidaklah tepat jika hanya berkutat membicarakan wacana hukuman kebiri. Semestinya lebih berfokus pada pokok permasalahan, seperti pendidikan dan ketahanan keluarga. Dan pastinya harus serius menyelesaikan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras.

Persiapan kejahatan seksual tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman pidana yang menimbulkan efek jera belaka, tetapi juga pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dengan memberikan pendidikan keluarga baik orang tua dan anak dalam hal moral, agama dan sosial. Pengobatan dilakukan kepada pelaku kejahatan seksual mengalami gangguan kepribadian, psikis dan kejiwaan.

Dan untuk memberikan efek jera, pemberatan sanksi hukuman penjara bagi pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan menambah maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, 30 tahun atau seumur hidup. Singkat kata, kejahatan seksual mesti ditanggulangi dengan edukasi, terapi dan sanksi.

---
Diolah dari berbagai sumber:
- antaranews.com
- okezone.com
- tempo.com
- detik.com
- kompas.com
- metronews.com
- republika.co.id
, ,

Menimbang Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Kejahatan Seksual

Indonesia kembali berduka. Seorang gadis remaja Yuyun (14) diperkosa oleh 14 lelaki remaja di Bengkulu pada tanggal 4 April 2016. Tidak cukup diperkosa, Yuyun juga dibunuh kemudian mayatnya dibuang ke jurang sedalam lima meter. Hati siapa yang tidak menangis sekaligus bergidik mendengar kejahatan biadab dan kekejian yang melewati batas-batas kemanusian ini. Bayangkan jika kita adalah orang tua Yuyun. Andai kita orang tua dari ke-14 remaja lelaki itu pun pasti sangat menyesalkan perbuatan anak-anaknya ini.

Kejadian ini ibarat bunyi nyaring alarm kegawatdaruratan kekerasan seksual di Indonesia. Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), kecenderungan peningkatan kekerasan seksual di Indonesia sepanjang tahun 2010 sampai 2015. Tren menanjak yang ditemukan berdasarkan hasil riset tentang pelanggaran hak anak itu terjadi hampir merata di semua kota/kabupaten di Indonesia. Angkanya sangat fantastis, sebanyak 58 persen kejahatan seksual dari lebih 21 juta kasus pelanggaran hak anak.


Melihat kejadian yang menimpa Yuyun dan juga catatan angka diatas, kita sepakat bahwa pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya. Hukuman berat ini diharapkan menimbulkan efek jera dan mencegah kejadian serupa terulang lagi di kemudian hari. Dalam kasus Yuyun, konon para tersangka dapat dijerat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara. Selain itu juga dituntut dengan pasal 339 KUHP pemerkosaan yang menyebabkan matinya korban dengan ancaman serupa 20 tahun. Kabar terakhir, pengadilan telah memvonis hukuman penjara 10 tahun bagi 7 pelaku pemerkosa dan pembunuh Yuyun. Alasannya, mereka masih anak dibawah umur.

Begitulah, apa yang tercantum dalam norma Undang-Undang itu hukuman maksimal. Bisa saja hakim pengadilan memutuskan dibawah hukuman maksimal. Apalagi jika mempertimbangkan pelaku merupakan anak-anak yang dianggap belum umur untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini berarti harapan hukuman yang menjerakan dan mencegah tak terulang lagi bisa jauh panggang dari api. 

Didorong hukuman yang menjerakan, beberapa pihak memunculkan wacana hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Bahkan beberapa Kementerian telah menyusun rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam rancangan itu, pemerintah memasukkan hukuman kebiri sebagai salah satu jenis pemidanaan. 

Beberapa pihak yang setuju hukuman kebiri diantaranya Kemen PPPA, Kemensos, POLRI, Kejagung, KPAI dan beberapa tokoh. Pihak yang belum atau tidak menyetujui diantaranya Kemenkes, Kemenkum HAM, Kemenag, Muhammadiyah, YLBHI, ICJR, ARI, dan beberapa tokoh pembela hak anak dan HAM. Kementerian Kesehatan mempertimbangkan tidak diberlakukannya hukuman kebiri karena sifatnya yang merusak organ dan berdampak panjang pada aspek medis dan sosial. 

Dilihat dari aspek legalitas, proses legalisasi draf Perpu yang didalamnya memasukkan hukuman kebiri saat ini ada di Kemenko PMK. Sementara itu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di DPR tidak masuk Prolegnas 2016. Artinya masih perlu waktu untuk diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan atau kejahatan seksual ini.

Sebelum jauh mari kita pikirkan soal hukuman kebiri. Kita tentu mendukung hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan seksual. Tetapi apakah hukuman kebiri memberikan efek jera dan pencegahan efektif atas kejahatan seksual? Untuk diberlakukannya hukuman baru atas suatu tindakan kejakatan, tentu perlu dipertimbangkan sangat hati-hati dan pemikiran matang.

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSJKI), kejahatan seksual terjadi tidak semata-mata dipicu oleh dorongan seksual yang tidak terkendali akibat ketidakseimbangan hormonal. Kejahatan seksual dapat juga terjadi karena karena gangguan kepribadian antisosial/psikopat, gangguan penyalahgunaan zat, gangguan rasa percaya diri, gangguan pengendalian impuls dan gangguan psikis lain yang berpotensi memicu tindak kekerasan seksual. 

Sementara itu, masyarakat mengenal istilah “kebiri” sebagai pemotongan buah zakar. Istilah ini dalam dunia kedokteran memang benar. Istilah “kebiri kimia” diterjemahkan dari “chemical castration”. Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi Indonesia (Persandi) menjelaskan bahwa kebiri kimia merupakan tindakan pemberian obat anti androgen (anti testosteron) dengan tujuan menekan dorongan seksual pelaku kejahatan seksual. Tujuannya tentu setelah keluar dari hukuman penjara, pelaku tidak punya keingian seksual lagi sehingga tidak mau melakukan kejahatan seksual lagi. Tetapi tentu diperlukan waktu agar terjadi efek penekanan terhadap dorongan seksual. 

Jadi tidak mungkin segera setelah menerima pengobatan, dorongan seksualnya langsung hilang dan tidak ingin mengulangi lagi perbuatannya. Tetapi perlu diingat, dorongan seksual tidak hanya dipengaruhi oleh hormon testosteron. Ada faktor lain yang juga berpengaruh, yaitu pengalaman seksual sebelumnya, kondisi kesehatan secara umum, dan faktor psikis.

Bagaimana kalau pelaku ingin mempunyai dorongan seksual lagi, apakah mungkin? Mungkin sekali, jika si pelaku mendapatkan pengobatan dari dokter yang berkompeten untuk mengembalikan hormon testosteron sehingga dorongan seksualnya muncul kembali. Dan perlu diketahui, pemberian obat tertentu seseorang tetap dapat dan mampu melakukan hubungan seksual walaupun dorongan seksualnya menurun atau hilang. Begitulah penjelasan Persandi.

Mempertimbangkan faktor pendorong kejahatan seksual dan pengertian kebiri tersebut diatas, hukuman kebiri kimia dapat dikatakan belum efektif dalam mencegah atau mengatasi kejahatan seksual. Karena kebiri kimia hanya mengurangi dorongan seksual. Sedangkan kejahatan seksual seperti disebutkan diatas terjadi juga karena faktor gangguan kepribadian, penyalahgunaan zat, pengendalian impuls dan psikis. Dengan sederhana bisa dikatakan kejahatan seksual itu seseorang yang sakit jiwa atau perilakunya. Dengan demikian perlu upaya lain seperti pengobatan psikiatrik dengan mempertimbangkan faktor risiko yang berperan memicu kekerasan atau kejahatan seksual yang ditemukan pada pelaku. Seperti adagium, seseorang dapat dinyatakan bersalah bukan karena hasrat seksual, melainkan perilaku seksualnya.

Dibanyak kasus atau hampir semua kejahatan seksual berhubungan erat dengan pornografi, narkoba dan minuman keras. Seperti kasus Yuyun diatas, sekelompok remaja itu menenggak tuak dan menonton film porno sebelum melakukan pemerkosaan dan pembunuhan. Bisa dikatakan, kejahatan seksual merupakan bagian hilir dari persoalan hulu seperti moral kepribadian seseorang dan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras. 

Jika demikian, apakah tepat jika kita hanya berkutat membicarakan wacana hukuman kebiri? Mengapa kita juga berfokus pada pokok permasalahan, seperti pendidikan dan ketahanan keluarga? Dan pastinya harus serius menyelesaikan masalah pornografi, narkoba dan minuman keras. Dan soal pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan dengan menambah maksimal hukuman penjara menjadi 20 tahun, 30 tahun atau seumur hidup. 

Persoalan kejahatan seksual tidak hanya bisa diselesaikan dengan hukuman pidana yang menimbulkan efek jera belaka, tetapi juga pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dengan memberikan pendidikan keluarga baik orang tua dan anak dalam hal moral, agama dan sosial. Pengobatan dilakukan kepada pelaku kejahatan seksual mengalami gangguan kepribadian, psikis dan kejiwaan. Singkat kata, kejahatan seksual mesti ditanggulangi dengan edukasi, terapi dan sanksi (hukuman). Dengan demikian, kita berharap peristiwa Yuyun ini menjadi tragedi kejahatan seksual terakhir di Indonesia.