Tampilkan postingan dengan label Public Relations. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Public Relations. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 April 2017

,

SUDAH CEK RUMAH SAKITMU DI GOOGLE?

Hari ini (29/4), saya mengunjungi saudara yang dirawat di RS Cibitung Medika. Karena tidak tahu alamat dan rute kesana saya buka google map. Setelah pencet tombol cari, muncul foto bangunan depan RS Cibitung Medika, lengkap dengan alamat, telepon, web dan petanya.

Eh, ada tulisan yang merah dengan icon segitiga. "Sudah tutup permanen". Ketika diklik muncul keterangan,"RS Cibitung Media tercatat sudah tutup di lokasi ini".

Saya coba cari lagi, siapa tahu ada RS Cibitung Medika di alamat lain. Ternyata tidak ada. Saya perhatikan setiap komentar atau ulasan atas RS tersebut. Ada komentar positif, ada juga yang negatif. Itulah kesan orang yang mungkin pernah berkunjung ke RS Cibitung Medika. Saya perhatikan foto-foto yang ada untuk memberikan sekilas gambaran fisik RS.

Ehm.. tidak ada keterangan yang menjelaskan RS sudah pindah. Untunglah, saya diberikan nomer kontak humas RS Cibitung Medika oleh teman. Setelah say hello, saya sampaikan "sudah tutup permanen" tadi. Dan, saya juga dapat konfirmasi bahwa RS Cibitung Medika masih pada alamat yang sama, tidak tutup permanen.

Saya pun mulai berangkat ke Cibitung dari Jakarta. Belum jalan, saya sempat melaporkan kepada Google agar mencabut status "sudah tutup permanen". Semoga lekas pulih. Kasihan, orang lain yang mungkin sama seperti saya, mengandalkan google untuk mencapai RS Cibitung Medika. Karena tulisan tutup permanen itu, bisa jadi ia membatalkan berkunjung atau berobat ke RS Cibitung Medika.

Jadi, kepada pemilik, direktur, humas, dan marketing, sudahkah cek Rumah Sakit anda di Google? Jangan-jangan sudah tutup permanen juga. Eh, jangan biarkan juga komentar negatif tentang RS-mu. Tanggapi dengan bijak, karena itu akan mendorong pelanggan lama bertahan dan pelanggan baru  datang.

Jakarta,  29 April 2017
@anjarisme

Kamis, 24 Desember 2015

, , ,

Pengalaman Menjadi Dosen Tamu UI

“Halo Pak, saya Anjari dari Puskom Publik Kementerian Kesehatan”, sambil berjabat tangan.
“Terima kasih, Pak. Silakan. Lulusan sini juga ya?,” katanya menanyakan apakah saya lulusan UI.
“Bukan pak”
“Ohh, atau UGM?”
“Maaf pak, sebelumnya. Toilet dimana ya?”, saya sudah tak kuat lagi menahan hajat setelah menerobos kemacetan selama 2 jam perjalanan dari kawasan Kuningan Jakarta ke kampus UI Depok.
“Ohh, dibawah pak,” katanya sambil mengantar saya menuju toilet di lantai dasar.
Sungguh saya tak menyangka mendapat pertanyaan pertama pada awal perjumpaan seperti ini. Saya hanya bisa membatin sambil “tertawa gila” dalam hati. Mungkin, tampang dan penampilan saya lulusan UI atau UGM. Ini pasti salah, karena dulu saya gagal ikut UMPTN masuk UGM. UI? Sampai saat ini masih mimpi.
Atau barangkali yang menjadi dosen, atau dosen tamu di UI ini mayoritas lulusan UI dan UGM. Atau kampus top lainnya. “Maaf ya pak, saya mengecewakanmu,” batin saya. Faktanya, saya lulusan luar negeri. Alias perguruan tinggi swasta.


Kemarin (23/12), pertama kali saya menapak kaki di kawasan UI Depok. Tepatnya Fakultas Kesehatan Masyarakat. Menggantikan atasan saya untuk memberikan kuliah tamu “strategi dan implementasi komunikasi kesehatan masyarakat”.
Pengalaman yang berharga dan mengesankan. Berdiri selama 2 jam di depan sekitar 100-an mahasiswa dari 3 kelas. Saya berbagi pengalaman, insight dan contoh implementasi komunikasi publik. Dari 22 slide yang saya siapkan, hanya 4 slide terakhir yang memuat konsep strategi komunikasi kesehatan. Untuk teori dan konsep, mahasiswa UI ini pasti sudah dijejali pada setiap waktu perkuliahan.
“Terima kasih, kita mendapatkan contoh implementasi komunikasi hari ini. Setelah biasanya membahas konsep dan teori. Itu pun dari buku yang itu itu lagi”, kata dosen pendamping di akhir perkuliahan.
Di akhir kuliah, saya menutup dengan kutipan Herb Kelleher, "we have a strategic plan. Its called doing things". Karena faktanya, kami di Puskom Publik tidak sibuk muluk-muluk dengan strategi komunikasi, sebaliknya kami lakukan dan kerjakan strategi komunikasi.
Saya berusaha memberikan insight yang tepat dengan penyampaian yang terbaik sesuai kemampuan. Semoga tak mengecewakan mahasiswa dan dosen yang hadir. Terima kasih kesempatannya

Rabu, 28 Oktober 2015

, , , , , ,

CERITA PAGI DI HARI SUMPAH PEMUDA

"Kita mah bekerja bukan mengharapkan penghargaan tetapi kalau diberi ya kita terima," ujar Ridwan Kamil, salah satu penerima penghargaan Tokoh PR 2015 dari SPS Indonesia (27/10) di Jakarta.
Keren ya! Sebenarnya bukan hanya Kang Emil saja keren. Tetapi juga Ibu Murti Utami (Ibu Ami). Loh apa hubungannya Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemkes dan Walikota Bandung itu? 

Ohhh, ada! Seperti Ridwal Kamil, Ibu Murti Utami juga mendapat penghargaan Tokoh PR 2015.
Tokoh PR 2015 Pilihan SPS Indonesia diberikan kepada tokoh publik, lembaga publik atau tokoh PR yang memberikan inspirasi bagi organisasi dan publik secara umum. Selain Ibu Murti Utami dan Ridwan Kamil, SPS Indonesia menganugerahi Tokoh PR kepada Marsekal Bambang Sulistyo (Kepala Basarnas), Ganjar Prabowo (Gubernur Jateng), dan 2 Tokoh dari perusahaan swasta. Penghargaan disrrahkan oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya di Gedung Dewan Pers semalam.
Eh itu belum cukup. Perlu tahu juga, Kementerian Kesehatan juga mendapatkan penghargaan sebagai Pemenang Program PR Inspirasional kategori Pemerintah Pusat/Daerah. Program PR dimaksud adalah"Ramah Tamah Menkes dengan Netizen/Blogger" yang bertujuan membangun engagement Menkes dengan Netizen dan meredam isu "BPJS Haram" di media sosial pada Agustus 2015.

Selamat kepada Ibu Ami, Puskom dan jajaran Kemkes atas apresiasi dari kalangan Media untuk program kehumasan (PR). Patut disyukuri di "akhir hidup" Puskom Publik sebelum bermetamorfosis menjadi Biro Komunikasi sempat memahat prasasti.
Maju terus dengan semangat Sumpah Pemuda. Merdeka!

Rabu, 03 Juni 2015

, , , , , , ,

Program PR Bukan Sekedar Pencitraan

Presiden Joko Widodo menahan nafas dan terdiam sejenak. Pandangan matanya diarahkan kepada ratusan anak muda berseragam batik merah marun dihadapannya. Didampingi Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Jokowi melepas tim Nusantara Sehat yang akan memberikan pelayanan kesehatan bagi rakyat Indonesia di wilayah perbatasan dan terpencil di Istana Negara, Senin (4/5/2015).

"Saya bangga sekali melihat saudara-saudara mempunyai sebuah tekad kuat dan niat baja. Ada yang akan ditempatkan di ujung-ujung, tetapi saya lihat wajah-wajah optimis semuanya. Itu yang kita cari,” ungkap Presiden Jokowi disambut tepuk tangan meriah dari tim Nusatara Sehat dan para hadirin.

Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, Kementerian Kesehatan melepaskan 143 tenaga kesehatan teridiri dari dokter, bidan, perawaat dan lain-lain di 20 puskesmas perbatasan dan kepulauan terluar yang tersebar di 19 kabupaten dan 9 provinsi. Tujuannya sejalan dengan semangat Nawa Cita  yaitu membangun dari pinggiran dengan memperkuat Puskesmas di daerah perbatasan sebagai ujung tombak upaya kesehatan masyarakat.

“Ini bukan sekedar pencitraan. Tetapi bagaimana program Kementerian Kesehatan memberi solusi terhadap permasalahan bangsa dan memberi manfaat bagi rakyat,” tegas Murti Utami, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan.

Tim Nusantara Sehat yang semuanya anak-anak muda ini, kata Ami (panggilan akrab), diharapkan mampu mengatasi permasalahan kesehatan di daerah tugasnya dan berdampak pada menurunnya angka kematian ibu bayi dan menyukseskan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Sebagai Public Relations Pemerintah citra memang penting, tetapi apakah program itu baik dan bermanfaat bagi public itu lebih utama. Untuk diketahui, Kementerian Kesehatan memperoleh Gold Champion WOW BRAND 2014 dari MarkPlus terutama untuk program JKN sebagai The Most Most Valuable Policy. Dalam melaksanakan program PRnya, Kementerian Kesehatan menggandeng stakeholder termasuk awak media massa dan pegiat media sosial.

Rabu, 06 Mei 2015

, , , , , , , , , , ,

7 Langkah Rumah Sakit Tangani Keluhan di Media Sosial

Media sosial secara radikal telah mengubah cara hidup dan bagaimana kita berkomunikasi. Tak terkecuali, media sosial juga mengubah dunia public relations dan marketing. Media sosial secara revolusioner mengubah  bagaimana hubungan antara merek (brand) dan konsumen, termasuk rumah sakit dan pasien. Diantara hubungan rumah sakit dan pasien, itu bagaimana rumah sakit melakukan pelayanan pelanggan.

Pasien, saat ini dan kedepan tentunya, semakin berharap rumah sakit dapat cepat merespon umpan balik melalui jaringan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Respon umpan balik itu bisa berupa jawaban atas pertanyaan, tanggapan atas permintaan informasi dan penanganan keluhan (complain) secara cepat dan tepat.

Pernahkah rumah sakit Anda mendapatkan keluhan/complain yang dituliskan atau disampaikan melalui media sosial? Sekedar mengingat kembali sebuah kasus pasien Abiyasa (2 tahun) yang dikabarkan ditolak lebih dari 20 rumah sakit. Kabar itu menyebar liar melalui berbagai media sosial seperti BBM, Facebook, Twitter pada pertengahan November 2014. Sempat dirawat di RS Tarakan, Abiyasa akhirnya meninggal dunia akhir November. Kita tentu berduka meninggal dunianya seorang anak manusia. Dalam konteks bahasan media sosial kali ini, kita soroti bagaimana kabar itu terus menyebar tak terkontrol. Hingga Februari 2015, kabar terus menyebar via BBM dan Facebook.

Kasus yang baru saja terjadi bagaima sebuah status facebook pasien yang complain karena menambal gigi di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta selatan dikenakan tariff Rp 9 juta. Tidak sampai hitungan seminggu, status facebook itu menyebar lebih dari 10.000 share. Tak terbayangkan, betapa banyak akun facebook dan pembaca berita membaca, berkomentar dan ikut menyebarkan berita negatif tentang rumah sakit tersebut.

Dengan menyampaikan pertanyaan dan keluhan di forum publik, pasien membentuk dinamika kondisi pelayanan pelanggan tradisional. Ribuan  pasien lain dan calon pasien potensial dapat melihat interaksi layanan pelanggan antar pasien dengan rumah sakit, termasuk keluhan di media social yang diterima rumah sakit saat itu. Keluhan yang tersebar kepada khalayak luas, berpotensi menarik publisitas negatif. Meskipun pada sisi positif, rumah sakit memiliki lebih kesempatan untuk membantu dan terlibat aktif dengan permasalahan pasien yang berpotensi diubah menjadi pendukung merek rumah sakit tersebut.

Mengapa kita, rumah sakit, harus begitu peduli terhadap media sosial ini? Jika saya seorang Direktur Rumah Sakit akan bertanya kepada diri sendiri maupun petugas PR & Marketing saya, dimana pelanggan (konsumen) kita berada? Siapa segmen pasar kita? Jawaban atas pertanyaan ini sangat banyak.

Dalam konteks dunia maya, mari kita lihat statistik yang dikeluarkan APJII tentang profil pengguna internet Indonesia 2014. Apakah mereka stakeholder dan market rumah sakit kita?

APJII mencatat bahwa pengguna internet Indonesia 2014 sekitar 88,1 juta orang, terdiri :

  • 78,5 persen berlokasi di Indonesia bagian barat

  • 87,4 persen menggunakan media sosial

  • 85 persen mengakses internet dengan telepon genggamnya

  • 51 persen pengguna internet adalah wanita

  • 49 % pengguna berusia antara 18 – 25 tahun


Apa arti data tersebut bagi rumah sakit anda? Jika rumah sakit saya adalah rumah sakit swasta, secara sederhana dapat dikatakan ternyata pasien dan calon pasien saya adalah orang-orang melek intenet dan media sosial. Sudahkah rumah sakit kita ramah media sosial? Sudahkah kita menjalin komunikasi dengan stakeholder dengan media sosial? Sudahkah kita mengelola pelanggan, termasuk manajemen complain, menggunakan media sosial?

Mengapa kita perlu perhatian dengan pernyataan negative dan complain pasien? Sebuah survey Onbee Researc mengatakan bahwa 80 persen rekomendasi pasien terhadap pasien lain didasarkan pada pengalaman pelayanan. Survei di Gedung Putih mengatakan bahwa kabar buruk akan menjangkau 2 kali lebih banyak pelanggan/konsumen daripada kabar baik. Ini sejalan juga dengan survey Onbee Research yang mengatakan pengalaman baik pasien akan tersampaikan kepada 7 orang lain, sementara pengalaman buruk pasien menjangkau 11 orang, hamper 2x jumlahnya. Dan, sebuah riset pelanggan mengatakan bahwa dibutuhkan 12 pelanggan dengan pengalaman pelayanan yang memuaskan, untuk menghapus atau mengimbangi  kesan pelayanan buruk seorang pelanggan.

Perubahan kebiasaan penyampaian keluhan, permintaan informasi dan interaksi sebagai pasien, mengharuskan rumah sakit mengubah cara mereka melakukan pelayanan pelanggan/pasien. Sangat penting, rumah sakit mencurahkan lebih banyak waktu dan sumber daya untuk mendengarkan dan menanggapi pasien pada saluran daring (online) dan melihat dari sudut pandang pasien.

Bagaimana menangani keluhan atau pernyataan negative pasien di media sosial? Berikut beberapa tip  yang dapat dilakukan:

1.   Cepat dan tepat merespon keluhan,  lebih baik lagi jika pasien masih dalam jaringan (online).

Siapa pun yang mengeluh, punya harapan dan tuntuan agar segera direspon dan ditangani. Demikian juga pasien, mereka ingin segera mendapatkan tanggapan dan solusi atas permasalahannya dengan rumah sakit. Oleh karena, Rumah sakit harus memastikan bahwa akun media sosial rumah sakit terpantau dengan baik. Dan juga memastikan dapat merespon secepat mungkin pertanyaan/keluhan di media social. Idealnya, selagi pasien masih dalam jaringan, rumah sakit bisa merespon. Semakin lama rumah sakit merespon keluhan, pendapat buruk itu bisa menyebar jauh dan luas sebagai publikasi buruk.
2.     Jangan pernah menyerang pasien yang mengeluh di forum publik

Salah satu aturan utama dari layanan pelanggan sosial jangan pernah menyerang dengan orang-orang yang telah menulis sesuatu yang negatif tentang rumah sakit Anda. Jangankan menyampaikan kalimat yang bersifat menyerang, mendebat atau memarahi saja dihindari. Ini pasti akan menjadi bahan bakar publisitas buruk dan memastikan bahwa lebih banyak orang akan mendengar keluhan. Dan menjadi bumerang bagi rumah sakit sendiri
Sebaliknya membiarkan keluhan yang ditulis di media sosial, dengan alasan malas, takut salah merespon, atau memandang remeh, akan membentuk persepsi kuat bahwa keluhan itu benar. Sangat mungkin terjadi, keluhan itu akan viral menyebar kepada pengguna media sosial lain. Viralnya keluhan itu disebabkan perasaan yang sama atau perasaan empati dan mencegah jangan sampai orang lain mengalami hal yang sama. Merespon dengan cara buruk atau membiarkan terhadap keluhan pasien di media sosial, dua pilihan  yang harus dibuang jauh-jauh oleh rumah sakit.
3.   Bicara dengan sikap santun dan masuk akal, jika mungkin lakukan secara luar jaringan (offline).

Daripada bersikap menyerang dan membela diri, pendekatan yang lebih efektif adalah berbicara dengan santun dan masuk akal kepada pasien yang menyampaikan keluhan. Dan ingat, jangan membela diri untuk menang sendiri. Cobalah mengatasi masalah secara masuk akal. Tanggapan disampaikan secara jelas dan terukur dengan tujuan klarfikasi.

Dan jika mungkin, cobalah memindahkan interaksi dan percakapan dengan pasien yang mengeluh tersebut melalui saluran pribadi. Misalnya surat elektronik, telepon atau bertatap muka langsung. Dengan percakapan diluar jaringan atau bertatap muka, rumah sakit dapat memilah persoalan untuk dicarikan jalan keluar. Setelah selesai, secara sopan mintalah pasien pengadu mengubah atau menarik komentar buruk yang terlanjur dipublikasikan melalui media sosial.
4.     Berikan saluran untuk mengeluh

Rumah sakit tidak dapat selalu menghindari pasien mengeluh di media sosial, tetapi rumah sakit dapat menguranginya. Pelanggan kecewa cenderung untuk mengeluh melalui saluran online umum, jika mereka tahu dapat menggunakan email, telepon, atau formulir umpan balik yang dapat menjangkau secara langsung rumah sakit. Mereka hanya ingin masalah mereka ada yang mendengar, ada yang menanggapi, dan mengharapkan masalah mereka akan segera diatasi.

Rumah sakit dapat melakukan banyak hal untuk memastikan agar kekecewaan pasien tersebut dapat ditangkap langsung rumah sakit melalui "umpan balik" di website, web chating, web chatting, email atau akun media sosial. Jika rumah sakit Anda dikenal luas karena respon cepatnya atas keluhan, pelanggan dan pasien akan datang langsung menyampaikan keluhan dan pertanyaan melalui saluran itu, bukan saluran yang lain.
5.     Jika mungkin, buat akun khusus layanan pelanggan (pasien), termasuk komplain.

Beberapa rumah sakit di Indonesia telah menggunakan media sosial sebagai pemasaran atau alat promosi, tetapi faktanya banyak ditemukan pasien mengeluh di media sosial, misalnya melalui twitter dan facebook.

Bisa jadi akun yang diniatkan untuk promosi digawangi oleh admin yang tidak memahami bagaimana menangani keluhan pasien. Semakin banyak pertanyaan atau keluhan pasien melalui media sosial, menjadi alasan kuat rumah sakit mengelola akun khusus layanan pelanggan/pasien, termasuk penanganan keluhan. Hal Ini menunjukkan bahwa rumah sakit Anda peduli tentang layanan pelanggan dan penanganan complain. Upaya ini akan membantu rumah sakit bagaimana melayani pelanggan lebih baik dan lebih cepat.

6.     Ubah hal negatif menjadi positif

Media sosial memberikan kesempatan besar untuk mendengarkan pelanggan dan pasien rumah sakit Anda. Media sosial berpotensi meningkatkan pemahaman dan memberikan layanan pasien yang lebih baik. Memantau apa yang pasien katakan dan menganalisis interaksi media sosial yang masuk (seperti tweet. Analisis media sosial dapat mengetahui tren dan aspirasi pelanggan sehingga dapat digunakan untuk mengubah bagaimana rumah sakit anda beroperasi dan melayani pasien. Misalnya, jika semua orang mengeluh tentang pelayanan di klinik general check up, bagaimana rumah sakit Anda mengubahnya?

7.     Berikan kemampuan/ketrampilan memadai di media sosial

Jika pasien mengharapkan rumah sakit memberikan layanan pelanggan melalui media sosial, pastikan rumah sakit memenuhi harapan mereka. Kemapuan layanan pelanggan ini mempunyai cara dan kemampuan yang sama seperti yang Anda lakukan untuk layanan pelangan lainnya.

Hal ini memerlukan kerja sama baik antara public relations, pemasaran, unit teknis dan tim layanan peangan untuk memastikan tidak terjadinya salah persepsi dan salah menanggapi. Ini berarti rumah sakit harus memiliki orang-orang dengan keterampilan dan kemampuan memberikan pelayanan pelanggan/pasien melalui media sosial.
Memastikan konsistensi antara pelayanan pelanggan langsung (tatap muka) dengan pelayanan pelanggan dalam jaringan (online) via media sosial. Dan pastinya menggunakan basis pengetahuan (knowledge base) yang sama terpadu guna mendukung pelayanan pelanggan yang lebih luas.

Jika Anda tidak ingin rumah sakit Anda dinodai oleh publisitas negatif dari keluhan pelanggan di media sosial dan forum online, segera ambil inisiatif dan langkah pencegahannya. Pastikan rumah sakit memberikan kemampuan sumber daya dan manajemen media sosial yang cukup sehingga mampu menangkap peluang dan perubahan sekitar melalui pelanggan/pasien anda.

(disampaikan pada forum IRSJAM - Ikatan RS Jakarta Metropolitan)
 

Kamis, 30 April 2015

, ,

Humas Diantara 2 Dunia

Humas itu hidup di dua dunia. Humas itu jembatan kepentingan publik dan organisasi dimana ia bekerja. Jadi, Humas itu harus membiasakan diri berkepribadian ganda.

Risikonya, dicaci publik dan dimarahi atasan bisa terjadi dalam satu waktu. Itu sudah biasa. Oleh sebab itu, Humas yang baik itu memfungsikan secara optimal kedua telinga dan satu mulut. Tahu persis komposisi harus banyak mendengar daripada bicara. Disisi lain harus bisa dimengerti jika bicara setelah menyimak seksama.

Tidak bisa menjadi Humas yang pandai mendengar tetapi sering salah bicara apalagi bisu. Tidak juga baik, Humas yang banyak bicara, sedikit sekali mendengar. Jadi bagaimana, masih mau jadi Humas?

Selasa, 17 Juni 2014

, , , , , , , , , , ,

#Blogger2Hospital untuk Pasien dan Rumah Sakit

Hangatnya sinar matahari pagi mulai terasa, ketika saya perlahan berjalan menyusuri jalanan parkir yang di sisi sampingnya berjejer pohon rindang. Kaki saya melangkah mantap menuju Griya Puspa, titik temu dengan kawan-kawan blogger saya. Hari itu (31/5), saya bersama kawan-kawan #Blogger2Hospital melakukan kunjungan edukasi ke RSUP Persahabatan Jakarta.

Jam tangan saya menunjukan jam 08.05. Suasana poliklinik eksekutif, Griya Puspa, masih sepi. Mungkin karena ini hari Sabtu. Beberapa kafe dan toko makanan pun belum buka. Sesuai rencana, rangkaian #Blogger2Hospital di RSUP Persahabatan akan dimulai jam 09.00 pagi. Sambil menunggu hadirnya kawan blogger, saya diminta Ibu Lien (direktur umum) sedikit menyampaikan testimoni dan materi pada pelatihan "Great Customer Services Training". Sebuah pelatihan yang dikhususkan kepada petugas garda depan (frontliner) dalam pelayanan pelanggan atau pasien RS Persahabatan.

Jam 9.00 lebih sedikit, sekitar 10 orang blogger telah hadir di ruang rapat direksi. Seperti biasa, kami akan lakukan pembekalan kecil sebelum acara #blogger2hospital dimulai. Pada #blogger2hospital ke-3 ini, kami mendapatkan edukasi dari RSUP Persahabatan mencakup kesehatan respirasi, pengenalan ruang isolasi flu burung dan terutama edukasi klinik berhenti merokok. Selain berupa paparan, #blogger2hospital juga melakukan hospital tour dan mencoba beberapa fasilitas RS Persahabatan. Itulah sekilas #blogger2hopsital di RS Persahabataan Jakarta.

Sebelum dimulai acara, Bu Lien sempat bertanya apa sih sebenarnya #Blogger2Hospital itu. Secara singkat saya katakan bahwa #Blogger2Hospital adalah kegiatan edukasi pasien. Setiap pasien wajib memberikan informasi yang benar yang jelas kepada pasien. Rumah Sakit juga selain memikul fungsi pelayanan juga fungsi pendidikan, termasuk edukasi pasien.

Oh, setiap rumah sakit pasti melakukan edukasi pasien kok. Benar, itu tidak salah. Saya sangat yakin, petugas rumah sakit akan memberikan informasi kepada pasien, termasuk edukasi dan promosi kesehatan kepada pasien. Kapan edukasi itu diberikan? Pada saa pasien yang sedang sakit akan, dalam dan setelah mendapat pengobatan. Yakinkah bahwa edukasi ini berhasil? Coba kita bayangkan kita adalah pasien yang dalam keadaan kepayahan sakit harus mendengarkan edukasi dari petugas RS. Belum lagi juga harus memikirkan biaya pengobatan rumah sakit.

Mengapa tidak kita balik kondisinya, rumah sakit memberikan edukasi pasien dikala pasien itu siap menerima. Pada saat pasien itu bukan sebagai pasien. Tapi dalam keadaan sehat tubuh, pikiran dan jiwanya. Dalam keadaan pasien itu secara sukarela mau belajar tentang prosedur dan standar rumah sakit. Kawan-kawan yang tergabung dalam #Blogger2Hospital adalah pasien yang dalam keadaan sehat dan siap belajar dunia rumah sakit.

Mengapa harus Blogger? Blogger itu bagian dari warga internet (netizen) yang melakukan jurnalisme warga. Yang menjadi ciri khas citizen adalah suka berbagi informasi (sharing information) melalui publikasi tulisan, status, gambar dan video melalui media sosial. Sekurangnya melalui blog, twitter atau facebook.
Demikianlah juga dengan edukasi yang blogger peroleh dari pihak Rumah Sakit, tuan rumah #blogger2hospital. Informasi yang diperoleh, apa yang dirasakan, pengalaman yang dikecap saat kunjungan edukasi akan secara sukarela disebarkan Blogger kepada pengikutnya atau pembacanya. Secara langsung dan tidak langsung, maka informasi edukasi rumah sakit tersebut tersebar ke banyak pasien (many to many information). Dengan kata lain, kegiatan #blogger2hospital membantu saling memahami dan berkomunikasi antara pasien dan rumah sakit. Program #blogger2hospital bermanfaat bagi pasien dan rumah sakit dalam banyak hal terutama edukasi, informasi dan komunikasi.

Berikut beberapa postingan yang menuliskan perasaaan, pengalaman dan apa yang didapat peserta #Blogger2Hospital di beberapa rumah sakit. Silahkan dibaca :)

#Blogger2Hospital Pertama di RS Premier Bintaro :

  1. Wisata edukasi tentang rumah sakit di RS Premier Bintaro, Priceless!

  2. Ketika #blogger2hospital ke RS Premier Bintaro

  3. Menikmati Liburan dengan Berkeliling Rumah Sakit

  4. Sedikit cerita tentang serunya Tour ke RS. Premier Bintaro

  5. Melongok ke dalam RS Premier Bintaro

  6. #Blogger2Hospital : Tour Asyik di RS. Premier Bintaro

  7. Magnetism Card Trick - Edisi #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Kedua di RSIA Evasari Jakarta:

  1. Touring Ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Evasari Jakarta

  2. #blogger2hospital sambangi RSIA Evasari

  3. #Blogger2Hospital (Edisi 2): Menyambangi RSIA Evasari

  4. Studi Tour Ke RSIA Evasari

  5. Hospital Tour #blogger2hospital @rsiaevasari

  6. #blogger2hospital Ke RSIA Evasari, Rumah Sakit Yang Memiliki Pelayanan Subspesialistik Terlengkap di Jakarta

  7. Bukan Jalan-jalan Biasa #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Ketiga di RSUP Persahabatan Jakarta;

  1. Rumah Sakit Persahabatan, Rujukan Nasional Kesehatan Respirasi

  2. Jangan Merokok, Nanti Dokter Annisa Dian Marah!

  3. #Blogger2Hospital (Edisi3): Menelusuri RSUP Persahabatan

  4. Bukan Jalan-Jalan Biasa : RSUP Persahabatan

  5. Pilih Mana Berhenti Merokok atau Sakit?

  6. Yuk Berhenti Merokok di Klinik Berhenti Merokok - RS PERSAHABATAN

  7. Jalan - Jalan ke RS PERSAHABATAN

  8. Blogger2Hospital berkunjung ke RSUP Persahabatan


Maaf bagi kawan blogger yang belum sempat disebutkan postingannya ya. Informasi dan edukasi #Blogger2Hospital juga bisa diikuti di Twitter dengan hastag #blogger2hospital.

Bagi Kawan Blogger, gabung yuks di #Blogger2Hospital selanjutnya. Untuk Rumah Sakit, hubungi kami jika siap menjadi tuan rumah edukasi pasien.

Minggu, 09 Maret 2014

, , , , , , ,

Televisi VS Media Sosial, Lebih powerfull mana?

"Lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Salah satu "guru" dalam pemahaman saya tentang medicolegal adalah Prof. Herkutanto. Saya mengenalnya sejak awal penyusunan Undang-Undang Rumah Sakit. Hari ini Prof Herku berkenan ikut menyimak presentasi saya dalam seminar PERSI dan IRSJAM "Public Relations Rumah Sakit di Era Media Sosial" di RSIA Evasari hari ini. Pakar hukum kesehatan yang duduk paling depan ini adalah penanya pertama materi saya dan mas Silih Agung Wisesa,"Media PR? Media Sosial dong!". Pertanyaan cukup menyentak,"Dalam keadaan krisis, lebih powerfull mana dampaknya, media elektronik dalam hal ini televisi dibandingkan dengan media sosial?"

Menarik pertanyaannya, saya tidak langsung menjawab. Saya mulai menjawab dengan menceritakan peristiwa yang pernah saya tulis di blog ini; karena ruang ICU digunakan syuting, pasien meninggal dunia. Anda masih ingat dengan berita heboh itu? Saya menceritakan secara kronologis kejadian, bagaimana menyebar dari berita online dari portal bukan mainstream. Kemudian menyebar bia twitter. Dan hanya dalam hitungan jam menjadi berita utama di televisi. Setelah itu, nyaris tak ada media massa pun yang tidak menyiarkan berita itu selama sekitar 3 hari.

Setelah testimoni ayah pasien yang mengucapkan terima kasih atas pelayanan RS, berita pun mereda. Ditambah lagi pada akhir pekan, media massa mencium isu lain bahwa AU (Ketum PD) menjadi tersangka. Isu yang menggemparkan dunia politik dan hukum Indonesia ini menggilas isu syuting di ruang ICU RS di media massa. Namun dalam pantauan saya, sisa-sisa berita meninggalnya pasien akibat adanya syuting masih bertebaran di media sosial termasuk portal berita.

Apa yang dapat dipetik dari kisah ini dari sisi public relations? Bahwa media sosial berada pada tahap awal, tengah dan akhir fase krisis komunikasi rumah sakit. Secara viral, media sosial (blog, twitter, facebook, BBM, dll) menularkan virus isu dan persepsi. Virus isu dan persepsi ini bisa berasal dari percakapan, update status atau berita media daring (online). Isu dan persepsi ini mencapai klimaks dengan sebaran masif saat disiarkan media massa, khususnya televisi. Disaat inilah, isu dan persepsi ini menjadi opini publik yang menggiring perasaan bersama (commom sense), dalam hal ini rumah sakit dianggap sebagai biang kerok, pihak yang salah.

Saya mengibaratkan, bahwa isu dan persepsi melalui media sosial seperti ribuan peluru pistol dan granat. Kerusakan yang ditimbulkan perlahan namun pasti dan berlangsung lama. Sementara televisi ibarat bom atom yang berdampak pada tingkat kerusakan parah dan seketika. Pertanyaannya, anda memilih yang mana; di bom atom dengan daya rusak besar dan seketika ataukah dipistol dengan rasa sakit pelan-pelan, sedikit-sedikit tapi berlangsung lama? Prof Herku dan hampir semua peserta seminar sekitar 70 orang itu tidak memilih keduanya. Artinya, televisi dan media sosial berpotensi benar munculnya krisis komunikasi rumah sakit. Keduanya harus diwaspadai. Malah sebaliknya, media sosial dan media massa harus dimanfaatkan untuk kepentingan rumah sakit dalam hal membangung brand, citra dan reputasi.

Pada bagian akhir menjawab pertanyaan powerfull mana televisi dengan media sosial, saya mengutip hasil survei sebuah lembaga public relations. Disebutkan bahwa 91% wartawan bergantung pada Internet dalam mencari berita. Dan 7 dari 10 wartawan mendapatkan ide membuat berita dari internet. Wow! Jika demikian, kenapa kita, para public relations rumah sakit, tidak mencegat isu yang berpotensi krisis itu ketika masih menjadi perbincangan di media sosial? Atau cara yang lebih cerdas, rumah sakit-lah yang secara aktif menciptakan konten positif di media sosial dan media oline. Public Relations membangun conversation and engagement tanpa jarak dengan customer ( pasien dan potensial pasien) melalui media sosial?

Sudah bukan waktunya lagi untuk menimbang penting tidaknya, sekarang ini media sosial sudah menjadi kebutuhan komunikasi dan informasi rumah sakit. Bukankah setiap public relation harus berada ditempat yang sama dimana customernya berada? Bukankah rumah sakit perlu mendengar keinginan dan kebutuhan pasien? Itu semua bisa diperoleh jika rumah sakit berasa pada frekuensi dan tempat yang sama dengan pasien. Dan rumah sakit membutuhkan media sosial.

Selamat datang di era digital PR & marketing, saudara!

Minggu, 26 Januari 2014

, , , , , , , ,

Bagaimana Media Sosial Merubah Paradigma Public Relation dan Marketing Rumah Sakit?

Teknologi dan media digital tumbuh dengan kecepatan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Gaya hidup dan pola komunikasi kita telah berubah sepenuhnya. Dulu kalau lapar, kita langsung mencari makanan dan makan. Tapi sekarang, ketika lapar yang dicari pertama kali bukan makanan, melainkan media sosial. Nge-tweet dulu, baru pergi makan siang. Tidak berhenti di situ, ketika makanannya datang yang dilakukan pertama kali bukan mengambil sendok dan garpu lalu makan. Tapi mengambil smartphone. Memotretnya kemudian menyebarkannya ke media sosial. Baru setelah itu memakannya.

Saat ini ada sekitat 80 juta pengguna internet di Indonesia. Diprediksi dalam 2 tahun kedepan pengguna internet bisa mencapai 100 juta. Sekitar 90 persen diantaranya memiliki akun media sosial. Kehadiran media sosial sejak pertama disambut hangat oleh penggunanya di Indonesia. Ingat dulu ketika Friendster menjadi booming, kemudian disambut Facebook yang pada akhirnya menggeser Friendster, dan akhirnya kini ada begitu banyak media sosial dengan fans-nya sendiri-sendiri. Menurut data terakhir, Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbesar di dunia maya. Indonesia adalah negara terbesar keempat pengguna Facebook, dan negara terbesar kelima pengguna Twitter. Diantara sekitar 65 juta Facebook dan 29 juta untuk Twitter pengguna aktif di Indonesia pada tahun 2013, mereka adalah pasien, customer dan stakeholder rumah sakit. Gegap gempita media sosial tidak saja mengundang masyarakat sebagai pengguna, tetapi juga pelaku public relations dan marketing rumah sakit. Karena pada akhirnya rumah sakit memang harus berada di tempat para customer berada. Rumah sakit, dalam hal ini public relation dan marketing harus berada pada dunia dan tempat yang sama dengan cutomer (pasien). Dan media sosial adalah salah satu tempat utama di mana customer berkumpul. Dengan populasi besar seperti disebutkan diatas, media sosial tidak saja menjadi platform komunikasi yang potensial, tapi sekaligus juga menjadi pasar (calon pasien rumah sakit) yang juga menggiurkan. Tak mengherankan jika beberapa rumah sakit sudah memiliki akun media sosial seperti facebook dan twitter. Namun bagaimana rumah sakit memanfaatkan media sosial dalam menciptakan kampanye public relation dan marketingnya?

Seperti telah disebutkan, media sosial telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat saat ini. Dengan sendirinya media ini juga menjadi bagian penting dalam komunikasi kehumasan (public relation) dan pemasaran (marketing). Media sosial telah menjadi salah satu alat kampanye humas dan pemasaran yang penting. Masalahnya, media sosial tidak seperti media konvensional yang telah diakrabi praktisi humas dan pemasaran rumah sakit selama bertahun-tahun. Dibutuhkan perubahan radikal dalam berkomunikasi menggunakan media yang satu ini. Media sosial sejak awal peruntukkannya bukan sebagai media kampanye. Ini adalah media komunikasi dua arah. Kampanye public relation dan marketing rumah sakit melalui media sosial tidak bisa dipandang sebagai subtitusi dari media konvensional. Hal ini karena sifat medianya memang sangat berbeda.

Kesuksesan di media sosial bukan tergantung bagaimana kehebatan kita menjual. Namun ini menyangkut tentang sebaik apa kita membangun percakapan di dalamnya. Ini bukan soal seberapa banyak kita bicara, tapi sebanyak apa brand rumah sakit kita dibicarakan di media sosial. Ketika kita bicara media sosial, maka kata yang penting diperhatikan adalah “sosial” bukan “media”. Media sosial lebih mirip seperti kedai kopi tempat kita nongkrong dan bercakap-cakap. Sebuah analogi yang dapat dikatakan tidak salah. Hal ini mengingatkan kita, pelaku public relations dan marketing bahwa esensi media sosial adalah untuk bercakap-cakap. Bukan semata-mata corong untuk jualan. Media ini adalah tempat kita bercakap-cakap, bukan cuma bicara. Jadi ketika praktisi humas dan pemasaran rumah sakit memutuskan masuk ke media sosial maka aspek bercakap-cakap dengan konsumen haruslah menjadi perhatian utama. Dengan kemampuan kita membangun percakapan di media sosial, secara tak langsung kita sedang membangun branding, citra dan reputasi rumah sakit kita.

Kita tentu tahu bagaimana warga media sosial memiliki kekuatan besar untuk menumbangkan sebuah rezim sekalipun. Hal inipun bisa terjadi pada sebuah brand, citra dan reputasi rumah sakit. Percakapan di media sosial dapat mengangkat atau sebaliknya menghempaskannya hingga hancur sebuah brand, citra dan reputasi rumah sakit. Itu sebabnya sangat penting agar rumah sakit kita dibicarakan di media sosial, meski tentu kita harus melihat lagi bagaimana kita dibicarakan di sana. Percakapan positifkah atau justru negatif. Siapapun tentu ingin mendapatkan sentimen positif di media sosial, bukan? Tapi tentu tidak mudah melakukannya, meski tidak bisa dibilang sulit juga. Kampanye public relations dan marketing menggunakan media sosial bisa dikatakan sukses jika mampu menciptakan komunikasi aktif dengan para pengguna di media sosial tersebut. Ketika masuk ke media sosial, kita harus mampu meruntuhkan segala jarak yang ada antara rumah sakit dengan customer. Rumah sakit harus melibatkan diri dengan target market-nya dengan cara yang natural dan manusiawi. Memang benar pengguna media sosial yang besar itu adalah target program public relation dan marketing. Namun, percayalah pengguna media sosial tidak akan senang bila public relation dan marketer hanya membujuk mereka menjadi pasien rumah sakit.

Sekali lagi, kita harus tampil jujur, alami dan manusiawi di media sosial. Kita harus akui, tak jarang rumah sakit melalui public relations tampil sebagai sebuah otoritas yang dingin dan berjarak dengan customernya. Percayalah, itu bukan cara terbaik hadir di media sosial. Praktisi public relation dan marketing rumah sakit harus memiliki kemauan dan kemampuan mendengarkan. Kita tidak bisa hanya bicara tanpa mau mendengarkan. Di media sosial, justru kita harus lebih banyak mendengarkan ketimbang bicara. Ketika lebih banyak mendengar, public relation dan marketeer jadi tahu konten seperti apa yang dibutuhkan dan diinginkan audiens. Konten yang relevan, menarik dan berguna akan diterima dengan mudah audience dan kemungkinan di-share kembali kepada jaringannya akan lebih besar. Dari sanalah akhirnya terbentuk sebuah percakapan.

Selain mendengarkan, kemauan kita membantu dan menanggapi dengan cepat para customer di media sosial juga akan sangat berpengaruh pada nada percakapan tentang rumah sakit kita di sana. Media sosial memungkinkan kita berinteraksi dan merespon tanggapan audiens dengan cepat, maka lakukanlah hal itu. Penghuni media sosial bukanlah orang-orang yang sabar. Mereka tidak akan sabar menunggu kita berkoordinasi berjam-jam apalagi berhari-hari hanya untuk menanggapi sebuah keluhan. Itu sebabnya, ketika masuk ke media sosial, kita juga harus siap dengan tim yang mampu merespon dengan cepat tanggapan para audiens, baik itu berupa keluhan, saran, maupun pujian. Kecepatan kita merespon akan menentukan sentimen positif atau negatif terhadap rumah sakit yang pada ujungnya berpengaruh kepada brand, citra dan reputasi rumah sakit.

Kesimpulannya, media sosial bukanlah media penjualan atau promosi berlebihan. Media sosial adalah media komunikasi dua arah tanpa jarak antara rumah sakit dan customernya. Memang media sosial tidak selalu berpengaruh meningkatnya jumlah pasien rumah sakit. Namun media sosial dapat membangun hubungan dan kepercayaan yang merupakan investasi jangka panjang bagi rumah sakit. Jadi, sudahkah media sosial merubah paradigma public relations dan marketing rumah sakit anda?

Minggu, 22 Desember 2013

, , , ,

Menyebarkan Cerita Positif Melawan Persepsi Negatif

Dalam sebuah obrolan, kawan saya yang Direktur Rumah Sakit berkeluh kesah. Media massa tidak berlaku adil karena beritanya dipenuhi pelayanan buruk rumah sakit. Satu orang pasien yang mungkin kebetulan mendapat pelayanan tidak menyenangkan menjadi pemberitaan besar. Padahal pada saat yang sama, rumah sakit telah melayani ratusan pasien dengan baik. Tetapi tidak masuk dalam berita media mass meskipun sekedar kecil di pojok halaman.

Saya sadari ini fakta pelayanan rumah sakit. Setiap hari rumah sakit setingkat Kelas B misalnya, melayani ratusan bahkan ribuan pasien di rawat jalan maupun rawat inap. Secara probabilitas, dari ratusan pasien tiap hari itu ada satu, dua atau anggaplah 5 persen tidak terlayani dengan baik. Secara sederhana, 95 persen pasien dilayani rumah sakit dengan baik. Indikator sederhana dalam pelayanan baik ini adalah tidak ada keluhan (complain). Jadi saya sangat mengerti kegundahan Direktur RS, kenapa media massa membentuk persepsi dan opini publik akan buruknya pelayanan RS hanya didasarkan seorang pasien (tidak sengaja) terlantar?

Kemudian kawan saya menutup curhatnya dengan kesimpulan sebagaimana premis yang jadi rahasia umum; bad news is good news. Saya melihatnya menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Ada keprihatinan terhadap opini buruk pelayanan rumah sakitnya, sekaligus pelampiasan terhadap media massa sebagai biang kerok. Ini bukan pertanda baik. Menyalahkan pihak lain, apalagi media massa (dan media sosial) itu tidak produktif. Kenapa energi negatif menyalahkan media itu tidak diubah menjadi energi positif.

"Hei dok! Kapan terakhir undang media massa untuk mendengar kisah kebaikan dan keunggukan rumah sakit anda?" sergah saya memecah kebekuan. Dia menggeleng, belum pernah. Menurutnya, jurnalis media cetak dan elektronik datang ketika ingin bertanya tentang pasien anu yang terlantar. Atau rumah sakit mengundang wartawan hanya saat diadakan konferensi pers terhadap kasus pasien anu tadi.

Kenapa kondisinya dibalik? Rumah sakit mengundang wartawan atau redaktur untuk hospital visit. Dengan suasana santai dan akrab, ceritakan kisah hebat RS dalam melayani 95 persen pasien yang tak komplain tadi. Atau RS bisa menyampaikan keunggulan pelayanan dibanding RS lain. Lebih bagus lagi, Rumah Sakit dapat berbagi ilmu dan berbagi nilai (sharing knowledge - sharing value) sehingga para jurnalis mendapatkan pemahaman dan pengalaman baru. Tapi ingat, jangan bebani media massa yang hadir saat itu untuk memuat keberhasilan dan sisi positif rumah sakit. Jadikan momentum hospital visit untuk menjali kepercayaan, menanamkan pemahaman dan berbagi pengetahuan. Jika diantara jurnalis menampilkan dalam salah satu berita di media massanya, anggap itu sebagai bonus.

Kawan saya yang Direktur RS itu mulai tertarik, tapi masih ada yang mengganjal. Tak mungkin rasanya sering-sering undang wartawan hospital visit. Selain ribet juga membosankan. Selain itu juga persepsi positif belum tentu didapat, karena hanya menunggu bonus pemberitaan media yang hadir. Jika demikian kenapa rumah sakit tidak menggunakan 95 persen pasien yang terlayani baik tadi?

Ketika kita mengunjungi restoran yang ramai pengunjung dan ternama, sering kali tertempel rekomendasi atau testimoni pengunjung di dinding. Rekomendasi itu biasanya berupa foto dari tokoh atau artis dengan dibubuhi kalimat positif (pujian) berikut tanda tangannya. Ini bisa jadi inspirasi rumah sakit. Tak perlu menunggu tokoh atau artis berobat dan dirawat di rumah sakit. Sebaliknya jadikan setiap pasien yang merasa dilayani baik oleh rumah sakit menjadi artis, mintalah menulis sekelumit kata dan tanda tangannya. Dan letakkan kumpulan testimomi berupa kalimat positif dan tanda tangan pasien itu pada tempat yang pasien lain bisa melihat dan membacanya. Bisa ditempel dinding atau dinding khusus testimoni semacam wall of fame. Atau didesain dalam bentuk poster, hiasan kalender, buku agenda, leaflet dan berbagai produk kehumasan lainnya. Ini bisa jadi cara tidak langsung word of mouth public relations, citra positif rumah sakit yang disebarkan dari dan oleh pasien.

Apakah rumah sakit mempunyai website, blog, facebook atau twitter? Bagus sekali, jika testimoni pasien juga disebarkan secara online. Rumah sakit dapat menaruhnya pada beranda depan website sebagai halaman selamat datang. Isi testimoni bisa dikicaukan melalui twitter. Atau bisa juga testimoni dikemas menjadi catatan online berikut kisah latarnya dalam sebuah postingan blog. Satu hal yang tak boleh diabaikan, testimoni pasien dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan pasien tahu testimoninya akan dibaca orang lain.

Akhirnya, saat ini saya menunggu aksi kawan saya, seorang Direktur RS, menyebarkan cerita positif dan kisah baik dibandingkan menyalahkan pihak yang mempersepsikan buruk rumah sakitnya. Bagaimana dengan rumah sakit Saudara?

Kamis, 19 Desember 2013

, , , , , , ,

Kenapa Rumah Sakit Perlu Manajemen Krisis Komunikasi?

Manajemen krisis komunikasi, keren ya! Istilah dengan embel-embel "manajemen" mengesankan berat, ribet dan tentunya membosankan. Lupakan definisi, pengertian dan konsep yang membosankan itu. Kita mulai dari sudut pandang lain, sisi kebutuhan kita. Perlukah manajemen krisis komunikasi bagi rumah sakit kita?

Sejenak mari kita mengingat suatu kejadian yang heboh dan menjadi pemberitaan nasional pada awal bulan Februari tahun ini. Secara masif beredar kabar melalui media massa dan media sosial bahwa 9 Rumah Sakit menolak pasien yang berakibat meninggal dunia bayi Dera. RS Zahirah, RS Fatmawati, RSCM, RS Harapan Kita, RS Tria Dipa, RS Asri, RS Budi Asih, RS Harapan Bunda, dan RS Pertamina.

Awal mula, RS Zahirah menangani prosea kelahiran bayi kembar, Dera dan Dara. Kedua bayi itu lahir prematur dengan berat sekitar 1 kg. Dera mengalami gangguan bawaan pada organ pernafasan sehingga membutuhkan perawatan di Neonatal Intersive Care Unit (NICU). Rumah sakit tidak lagi mampu melakukan perawatan si kembar karena tidak memiliki fasilitas NICU. Sesuai prosedur, pasien dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas yang memadai. Kesembilan RS tersebut merupakan rumah sakit yang sempat didatangi atau dimintai informasi ketersediaan NICU oleh orang tua atau kerabat pasien. Kesembilan RS tersebut tidak pernah menduga bahwa apa yang dilakukannya menjadi pemberitaan besar-besaran. Tidak ada niat menolak apalagi menelantarkan pasien.

Sembilan RS berkomentar tidak mau dikatakan menolak pasien. Namun semua tidak melakukan apa-apa. Ada yang diam, karena memang tak mengerti apa yang harus dilakukan. Ada RS yang ingin bertindak, tetapi tak tahu bagaimana mesti dilakukan. Tersirat kekhawatiran, jangan-jangan malah salah bertindak dan berdampak lebih besar. Akhirnya RS tak peduli, seakan tidak terjadi apa-apa.

Dalam kebingungan dan ketidakpedulian RS, opini pasien dan keluarga, publik dan masyarakat luas seakan menemukan pembenaran bahwa orang miskin tidak akan mendapatkan pelayanan baik dari Rumah Sakit. Tak terbantahkan, disaat itulah citra dan reputasi rumah sakit pun seketika anjlok. Krisis komunikasi rumah sakit pun terjadi. Pertanyaannya, apa yang mesti kita lakukan jika Rumah Sakit kita dalam kondisi yang sama seperti 9 RS tersebut? Krisis komunikasi di Rumah Sakit bisa terjadi kapan saja, siapkah RS kita menghadapinya?

Siap tidaknya Rumah Sakit kita menghadapi krisis komunikasi dapat tercermin dari bagaimana pemahaman pentingnya humas (public relations) bagi rumah sakit. Keduanya terkait erat dengan komunikasi dan persepsi. Bahkan manajemen krisis komunikasi menjadi lingkup tugas kehumasan.

Mari kita punguti persepsi yang muncul di lingkungan rumah sakit sendiri. Sudah menjadi pandangan umum bahwa pasien akan tetap datang ke rumah sakit sebab setiap orang sakit. Rumah sakit tak butuh humas dan pemasaran sebab pasien sudah membludak. Buat apa peduli opini publik, toh pasien selalu mencari dokter yang bagus. Tak perlu kita capek-capek, berita di media akan timbul tenggelam, isu satu ditimpa isu lain. Dan banyak lagi asumsi dan pandangan semacam itu yang dianggap kebiasaan. Tidak heran, jika Rumah Sakit merasa abai di saat mengalami krisis komunikasi disebabkan pemberitaan dan opini publik.

Dalam beberapa literatur dapat kita baca bahwa kegagalan menghadapi krisis komunikasi oleh suatu organisasi, termasuk rumah sakit, disebabkan oleh: (1) ketidaktahuan apa yang harus dilakukan; (2) merasa terlalu besar hingga menganggap tahan terhadap krisis; (3) denial, yaitu perasaan bahwa kita tidak akan terkena krisis; dan (4) tidak peduli terhadap krisis.

Setiap rumah sakit dibangun dengan rencana bisnis dari masa tumbuh, bertahan hidup, mengambil laba dan pengembangan/ekspansi. Proses pelaksanaan rencana bisnis itu memerlukan rentang waktu panjang. Untuk mencapai target rencana bisnis, rumah sakit harus menjalankan manajemen korporasi dan manajemen klinis yang baik. Direktur RS sebagian manajeman puncak harus menjamin ketersediaan sumber daya dan infrastruktur yang kuat. Dalam hal ini, public relations merupakan fungsi manajemen, sumber daya dan infrastruktur yang harus dibangun sebagai sebuah bisnis proses. Itu semua tidak bisa terbangun secara instan dan waktu yang relatif singkat. Dalam menapaki rencana bisnis dari masa tumbuh hingga ekspansi, perlu dilakukan manajemen strategi public relations.

Rumah Sakit seperti perusahaan lainnya mengalami pasang surut. Jika tak dikelola dengan baik bisa bangkrut. Rumah sakit dengan branding, citra dan reputasi baik akan menyelamatkan masa suram itu. Bahkan saat ini, brand dan reputasi bagus memiliki harga tersendiri. Ada yang berdalih bahwa RS Pemerintah tidak akan bangkrut dan tutup. Permasalahannya, kita memilih menjadi RS dengan kondisi sehat, maju dan reputasi baik ataukah RS yang asal jalan atau malah sakit?

Tak ada orang yang mampu memastikan terjadinya krisis komunikasi organisasi. Ketika krisis itu tiba, citra dan reputasi dipertaruhkan. Bisa jadi krisis semalam menghancurkan bisnis rumah sakit yang kita bangun tahunan. Sementara itu kita sadar bahwa sumberdaya dan infrastruktur reputasi tidak mudah, tidak cepat dan tidak murah. Kata orang mempertahankan lebih sulit daripada membangun. Itu benar. Bahkan dalam manajemen reputasi, memperbaiki citra buruk atau membangun kembali puing-puing reputasi yang terlanjur runtuh jauh lebih sulit lagi.

Jadi, apakah rumah sakit kita akan menunggu rusaknya citra dan reputasi untuk sadarkan pentingnya manajemen krisis komunikasi? Pilihan ada ditangan anda sendiri.

Jumat, 22 November 2013

, , , , , , , , ,

Analisa Umum Terhadap Kasus Dokter Disiram Kopi Panas oleh Pasien di RS Husada

Hubungan dokter pasien adalah “fiduciary relationship”, hubungan kepercayaan. Saya tak melihat hubungan kepercayaan dalam kasus dokter disiram kopi panas. Hubungan antara dokter dan pasien juga didasari pada perikatan "inspanning verbintens" yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya
. Jadi hubungan antara dokter dan pasien BUKAN didasari perikatan "resultaat verbintenis" yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada hasil akhir.

Pasien berhak mendapatkan penjelasan dan pendapat dokter, tapi wajib memberikan informasi lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
. Pasien berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, tapi juga wajib mematuhi nasihat dan petunjuk dokter.


Berdasar berita di media massa dan media sosial, pasien menyiram kopi panas karena dokter periksa sambil main BB dan ketika ditanya dokter selalu menjawab tidak tahu.
 Di media pula, dokter mengatakan bahwa ia gunakan BB untuk merekam ucapan kasar pendamping pasien yang marah karena disuruh ke laboratorium.
 Menurut dokter, bahwa ia akan bisa jelaskan apa penyakit pasien setelah melihat hasil lab. Atau dengan kata lain, dokter 'tak tahu' sakit pasien sebelum ada hasil pemeriksaan lab.


Dari dua versi berita media antara pasien dan dokter ini, ada yang bisa ditarik persamaannya, yaitu penggunaan BB dan tidak tahu penyakit.
 Jadi meski terlihat berlawanan, sesungguhnya bisa ditarik benang merah dan merajutnya jadi satu rangkain kisah. Tsah! ;))


Perlu diketahu bahwa pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa atas pemeriksaan fisik dan anamnesa. Pemeriksaan penunjang diantaranya darah, urin, veses, rontgen dll. Sepanjang dilakukan secara wajar, pasien harus mengikuti.
 Tanpa pemeriksaan penunjang seperti cek darah laboratorum, dokter kesulitan menentukan kondisi kesehatan pasien. Singkatnya, tidak tahu!
 Tanpa pemeriksaan laboratorium, dokter itu seperti dukun, hanya menduga-duga. Begitu kata sahabat saya yg seorang dokter.


Bisa jadi, dokternya bilang "tidak tahu sakitnya apa, periksa lab dulu deh". Itu yg membuat pendamping pasien kesal.
 Artinya, dokter sudah benar menyuruh pasien lakukan pemeriksaan laboratorium, tanpa itu dokter "tdk tahu" sakitnya pasien. Ya pasien harus sabar mengikuti prosedur dan standar.

Tentang penggunaan BB, meski alasannya utk rekam ucapan/tindakan pendamping pasien, meskipun boleh tetapi sebaiknya dokter tak lakukan itu. Tindakan merekam oleh dokter terhadap pasien/pendamping justru memancing kemarahan & tindakan kekerasan lainnya yaitu memukul.
 Pada saat pendamping pasien kesal karena disuruh periksa lab dan dokter rekam dengan BB, disaat inilah 'fiduciary relationship' tidak terjadi.

Terhadap mana fakta yg benar, apakah versi pasien atau dokter, mari kita ikuti berita selanjutnya. Secara pribadi, saya menunggu lebih lengkap versi pasien.
 karena kalau versi dokter atau rumah sakit, sudah cukup mendapatkan kisahnya.

Beberapa kawan bertanya, apakah boleh dokter melaporkan pasien ke polisi? Jawab saya, presiden saja boleh melaporkan rakyatnya :))
 Dokter juga manusia pak. Lagipula pelaporan ke polisi itu sebagai orang (subyek hukum) yang kebetulan seorang dokter dan merasa mendapatkan perbuatan tidak menyenangkan.

Kesimpulannya, jika sebagai pasien anda tak mempercayai dokter lebih baik cari dokter lain yg anda percayai. Jangan siram dengan kopi panas!
 :)) Jika anda seorang dokter, berkomunikasilah dengan sabar. Sesungguhnya, senyum dan keramahan anda itu menyembuhkan ;)


Sekian terima kasih. Maaf jika tak berkenan, salam!


 

Kamis, 14 November 2013

, , , , , ,

Krisis Komunikasi Bisa Terjadi Kapan Saja, Siapkah Rumah Sakit Kita?

Sodara, mari luangkan waktu sejenak membaca cerita ini.

Suatu hari di awal bulan Februari tahun ini. Sebuah Rumah Sakit di Jakarta melayani kelahiran bayi kembar, Dera dan Dara. Kedua bayi itu lahir prematur dengan berat sekitar 1 kg. Dera mengalami gangguan bawaan pada organ pernafasan sehingga membutuhkan perawatan di Neonatal Intersive Care Unit (NICU). Rumah sakit tidak lagi mampu melakukan perawatan si kembar karena tidak memiliki fasilitas NICU. Sesuai prosedur, pasien dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas yang memadai.

RS telah melaksanakan prosedur, ketika tidak mampu melayani pasien maka dirujuk ke RS lain. Semua telah beres, tidak ada masalah. Ternyata fakta berkata lain. Secara masif beredar kabar melalui media massa,”Ditolak 8 RS, Bayi Dera meninggal dunia”. Di berbagai media massa seperti koran, majalah, portal berita online, radio, televisi dan media sosial seperti twitter, blog dan facebook dipenuhi berita Dera ini. RS dimana Dera dilahirkan dan 8 RS lain menjadi sasaran kemarahan publik.

Awalnya tak banyak orang tahu nama RS tersebut. Tetapi mendadak terkenal dan menjadi buah bibir media massa dan media sosial disebabkan tindakan rujukan pasien Dera. Demikian juga 8 RS lain, tak pernah mengira turut dituding menolak pasien. Tak terbantahkan, citra dan reputasi rumah sakit pun seketika anjlok. Krisis komunikasi rumah sakit pun terjadi.

Manajemen 9 RS tersebut bingung. Ada yang diam, karena memang tak mengerti apa yang harus dilakukan. Ada RS yang ingin bertindak, tetapi tak tahu bagaimana mesti dilakukan. Tersirat kekhawatiran, jangan-jangan malah salah bertindak dan berdampak lebih besar. Akhirnya RS tak peduli, seakan tidak terjadi apa-apa. Dan saat itulah opini pasien dan keluarga, publik dan masyarakat luas seakan menemukan pembenaran bahwa orang miskin tidak akan mendapatkan pelayanan baik dari Rumah Sakit.

Bapak ibu, jika kita sejenak menjelajah internet akan banyak ditemukan berita tentang penolakan pasien, tuntutan dugaan malpraktek, demonstrasi/mogok dokter/perawat/karyawan rumah sakit, pasien membludak, pasien miskin ditolak RS dan lain-lain. Sebagai contoh saja, seperti dibawah ini :

  1. Pasien membludak, 11 Rumah Sakit mundur dari Program KJS (TVOne, 17 Mei 2013

  2. Jumlahnya kunjungan meningkat hingga 300-500 orang per hari (Gatra.com, April 2013)

  3. Sampai Mei 2011, MKDI menerima 135 kasus pengaduan dan 80 persennya akibat komunikasi yang tidak baik antara dokter dan pasien (MKDKI, RMOL.co, 2011)

  4. KKI menerima 126 pengaduan masyarakat terkait adanya dugaan malpraktek serta disiplin dokter dan dokter gigi (antaranews.com, Mei 2013)


Riset membuktikan bahwa kegagalan rumah sakit ketika menghadapi krisis adalah karena:

  1. Ketidaktahuan apa yang harus dilakukan;

  2. Merasa terlalu besar bahwa RS kita akan tahan terhadap krisis,

  3. Denial, yaitu perasaan bahwa kita tidak akan terkena krisis;

  4. Tidak peduli terhadap krisis.


 

Pertanyaannya;

  1. Bagaimana jika kita termasuk dalam 9 RS tersebut?

  2. Apa yang mesti kita lakukan; tak peduli, diam atau bertindak?

  3. Krisis komunikasi di RS bisa terjadi kapan saja, siapkah RS kita?


Itu sedikit cerita tentang Rumah Sakit kita, dan kemungkinan terjadinya krisis komunikasi yang bisa terjadi kapan saja. Tidak dapat kita duga, tapi sesungguhnya dapat kita deteksi, hindari dan atasi.

Bapak ibu tidak perlu membaca lagi informasi dibawah ini, jika menganggap Rumah Sakitnya sudah siap hadapi krisis. Namun bagi Bapak/Ibu yang ingin mempersiapkan sebaik mungkin bagaimana menghadapi krisis komunikasi, informasi dibawah ini bisa bermanfaat.

Forum Komunikasi Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menggandeng AsiaPR, konsultan & profesional PR, untuk selenggarakan: "2 DAYS CRISIS MANAGEMENT & REPUTATION WORKSHOP" tanggal 6 - 7 Desember 2013 di Hotel All Season Jakarta.

 

KENAPA HARUS IKUT?

Dengan mengikuti workshop ini, manajemen dan staf RS mampu melakukan Deteksi Dini dan Penanangan Krisis Komunikasi di Rumah Sakit sehingga kita bisa menghindarinya atau menanganinya secara efektif efisien ketika krisis komunikasi datang.

KAPAN & DIMANA? Kegiatan "2 Days Crisis Management & Reputation Workshop dilaksanakaan pada tanggal 6 - 7 Desember 2013 di Hotel All Season Jl. Talang Betutu No. 02 Jakarta Pusat 10230

PELAKSANAAN & MATERI :

HARI I – Jumat, 6 Desember 2013

  • Reputasi Perusahaan, Crisis Management Dan Identifikasi Penyebab Krisis


  • Silent Break


  • Crisis Management Plan & Crisis Management Team Development

  • Discussion
Case Study (I): Seandainya Krisis Datang

  • Ishoma


  • Case Study (Ii): Crisis Handling


  • Silent Break


  • Group Evaluation & Feedback


HARI II, Sabtu, 7 Desember 2013

  • Reputasi Paska Krisis: Orang Ketiga Dan Juru Bicara Dalam Pemulihan Paska Krisis


  • Silent Break


  • Pre-Draft Message: Efektivitas Pesan Saat Krisis

  • Ishoma

  • Media Handling Untuk Krisis Manajemen

  • Silent Break

  • Case Study (Iii) And Group Experiental

  • Coffee Break & Group Preparation

  • Group Sharing Experience Models


 

SIAPA YANG HARUS IKUT? Direktur, Manajer Humas/Investor Relations, dan siapa saja yang tertarik mempelajari Hospital Crisis Management

BERAPA INVESTASINYA? Investasi yang dibutuhkan untuk mengikuti workshop selama dua hari adalah Rp 2.600.000,- per orang

BAGAIMANA CARA PENDAFTARANNYA?

  • Transfer : Bank Mandiri cabang Rs. Islam Jakarta

  • No. Rek : 120-000 106 1972

  • A.n : Perhimpunan Rs Seindonesia (PERSI)


Formulir pendaftaran yang telah diisi disertai bukti pembayaran difaks atau diemail ke sekretariat panitia:

  • Jalan Boulevard Artha Gading, Blok A-7A no 28, Jakarta Utara

  • Telp : Fax : Email :

  • 021 - 458 45 303 / 04

  • 021 - 458 52 832 / 33

  • imrspersi@yahoo.com atau persi@pacific.net.id

  • cp Desi : 0812 103 74733


Mari bergabung dengan Rumah Sakit yang siap hadapi krisis komunikasi yang kapan saja bisa terjadi. Sampai jumpa tanggal 6-7 Desember 2013 ya!

Kamis, 10 Oktober 2013

, , , , , , ,

Jangan Katakan, Apakah Sudah Buat Janji?

Saya bergegas mendahului naik lift menuju lantai 6 di sebuah rumah sakit di kawasan BSD Tangerang. Sebelumnya saya sudah bertanya kepada seorang staf dimana kantor manajemen atau direksi rumah sakit. Saya bersama sekitar 15 orang sengaja berkunjung mendadak untuk meminta klarifikasi atas suatu perkara di rumah sakit tersebut.

Sampai di lantai 6 terdapat seorang resepsionis yang sedang duduk dan sambil bertelepon.

"Selamat siang. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan ingin bertemu dengan direktur atau manejemen rumah sakit". Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kunjungan, sesaat setelah resepsionis meletakkan gagang telepon.
"Bapak darimana?", tanya resepsionis sambil tetap duduk. Entah tidak mendengar perkenalan saya atau sekedar memastikan.
"Kementerian Kesehatan," saya mengulang dengan lebih jelas.

Dia mengangguk dan kembali mengangkat gagang telepon. Saya mundur beberapa langkah sambil memperhatikan sekeliling.  Di sebelah kanan ada ruangan kecil. Mungkin ruang tamu. Kawan-kawan saya sudah sampai juga di lantai 6. Mereka masih bergerombol di depan lift. Saya melihat ke arah resepsionis, masih bertelepon. Mungkin sedang melapor ke atasannya atau berkoordinasi ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri dan memandang ke arah saya.

"Bu, ada tamu dari Kementerian Kesehatan", resepsionis melaporkan kepada perempuan yang datang dari arah belakang dimana saya berdiri.
"Selamat siang Ibu. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan. Ingin bertemu dengan direktur atau dengan manajen rumah sakit"
"Apakah sudah buat janji? Atau kirim surat resmi?," tukasnya tanpa balas memperkenalkan diri. Sorot matanya penuh selidik. Raut mukanya datar tanpa ekspresi keramahan.

"Belum bu. Apakah harus kami buat janji atau kirim surat resmi?," saya bertanya balik.
"Oh tidak. Ada keperluan apa ya?"
"Kami dari Kementerian Kesehatan bersama rombongan dari KKI, IDI, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi ingin klarifikasi tentang suatu hal dengan direksi. Apakah Ibu, Direkturnya?"
"Oh bukan. Saya bagian dari manajemen. Boleh saya masuk dulu, nanti sebentar kami keluar lagi menemui bapak dan ibu kembali"
"Silahkan. Boleh para pimpinan kami menunggu di dalam ruangan itu?", jawab saya sambil menunjuk ruanh kecil di sebelah kanan.

Wanita itu masuk ke dalam. Resepsionis pun asik menunduk dan membuka-buka sebuah buku. Saya mempersilahkan para pejabat lembaga yg tadi saya sebutkan untuk menunggu di dalam ruang tamu yang hanya cukup sekitar 7 orang.

Saya masih berdiri sambil mematut diri. Dalam hati bertanya, apa yang kurang pada diri saya sehingga mendapat tanggapan yang tak ramah. Resepsionis dan wanita tadi menerima dengan kesan kaku. Malah cenderung diwarnai kecurigaan. Dari busana, saya pakai baju batik dan semi jas lengkap dengan tanda pengenal. Dari tata krama, saya sudah memperkenalkan diri.

"Penampilan saya kurang meyakinkan ya? Sepertinya ibu tadi tak yakin kalau saya dari Kemenkes," canda saya kepada seorang kawan.
"Ah bapak bisa aja. Kayaknya disini sudah biasa begitu. Masa dia nggak lihat bos-bos kita pakai jas dan blus resmi gitu. Malah ada yang pakai seragam. Ada kumisnya lagi," serentak kami berdua terkekeh. Sekedar menghibur diri untuk mengusir kejenuhan. Kurang lebih 30 menit menunggu tak juga ada orang yang menenui kami di ruang tunggu.

Setiap ingat kejadian itu, hingga saya menulisnya saat ini, saya merasa tak habis pikir. Bagaimana sebuah rumah sakit swasta yang terkesan mewah dan besar, namun mempunyai gaya menerima tamu sedemikian kaku dan tidak bersahabat. Alih-alih mengedepankan hospitality dan customer care, sebaliknya justru menagih surat resmi dan menanyakan apakah sudah buat janji.

Seperti sudah kita maklumi bahwa pertanyaan "apakah sudah buat janji" biasa digunakan untuk menyeleksi tamu pimpinan kantor. Atau bahkan jadi alasan untuk menolak tamu karena waktu bos tidak bisa dibuang-buang untuk perkara tamu yang tak penting. Boleh dan sah-sah saja itu diterapkan. Pertanyaannya, kepada siapa dan disaat kapan pertanyaan "apakah sudah buat janji" itu disampaikan?   Semestinya si penanya harus dapat menilai kapan waktu dan kepada orang yang tepat. 

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik yang mengedepankan empati dan kepedulian. Tidak hanya staf di garda depan, meski Direktur sekalipun, harus siap menerima tamu untuk mendengar dan menerima keperluannya. Benar, tidak semua tamu harus diterima dan diseleksi Direktur. Namun cara seleksi tamu pun jangan terkesan birokratif, tertutup dan kaku.

Cara terbaik seleksi tamu adalah dengan menanyakan siapa orang dan apa keperluannya. Setelah tahu, kita bisa mengerti seberapa penting si tamu bertemu dengan direktur rumah sakit. Jika memang dianggap penting, jangan sekali-kali menanyakan "apakah sudah buat janji atau kirim surat resmi". Itu tidak etis lagi tak bersahabat. Jika tamu itu pun dirasa biasa saja, barangkali bisa ditawarkan untuk dibantu pejabat atau staf lain selain direktur. Misalnya, "mungkin bisa saya bantu sebelum nanti bertemu dengan atasan saya". Itu berempati lagi ramah.

Kemudian saya coba bandingkan dengan kebiasaan di ruang tata usaha Dirjen. Sepanjang yang saya ketahui, belum pernah staf TU Dirjen menanyakan surat resmi atau buat janji terhadap tamu yang sudah terlanjur bertamu. Tapi prosedurnya tentu ditanya siapa dan apa keperluannya.

Ah, lain lubuk lain ikannya. Membiarkan tamu sekitar 45 menit tanpa kejelasan itu benar-benar perilaku yang tidak berempati lagi tak bersahabat. Apalagi terhadap tamu dari institusi negara dengan tugas khusus. Dan ketidakramahan itu semakin lengkap, setelah kami berinteraksi dengan Direktur rumah sakitnya. Ahh!

Minggu, 06 Oktober 2013

, , , , , , ,

Sempurnakan Customer Service Menjadi Customer Care

Dengan sedikit terburu-buru saya masuk  Indomart tak jauh dari fly over terminal Kampung Melayu. Saya ingin beli sari kurma pesanan adik saya.

"Mba, ada sari kurma?". Dia tercenung, sepertinya belum tahu sari kurma.

"Biasanya dipajang dekat madu", saya berusaha sedikit memberi keterangan.

"Mari pak, saya antar ke tempat madu". Dia berjalan mendahului, saya mengikuti.

"Silahkan pak. Saya kembali ke kasir ya pak". Saya mengangguk.

Sejurus kemudian saya amati satu persatu deretan botol madu berbagai merk dan ukuran. Ternyata sari kurma tak dapat saya temukan diantara aneka jenis madu itu. Daripada keluar dengan tangan kosong, saya pun ambil sebotol madu putih. Kebetulan putri saya suka sekali madu putih. Saya bergegas ke kasir.

"Tanggal expirednya februari 2014 ya pak", kata kasir yang tadi mengantar saya ke rak madu. Saya tersadar. Tadi saya lupa mengamati tanggal kadaluarsanya. Tunggu dulu, Februari 2014 kan sekitar 4 bulan lagi, begitu pikir saya.

"Memang ada yang expirednya lebih lama?", tanya saya menyelidik.
Jujur saya penasaran. Rasanya saya belum pernah diinformasikan tanggal kadaluarsa untuk barang yang masih dalam masa berlakunya.

"Ada pak. Tunggu sebentar saya ambilkan".

Bergegas dia masuk ke dalam ruangan, mungkin gudang. Tak berapa lama kasir keluar dengan menenteng madu yang merek, jenis dan kemasannya sama dengan yang saya pilih tadi.

"Ini pak. Expirednya Oktober 2016"

"Wah, terima kasih. Anda hebat. Care sekali dengan customer," spontan saya memujinya karena senang dengan pelayanannya. Kasir tersenyum.

Saya benar-benar merasa excited dengan pelayanan kasir sekaligus wiraniaga ini. Jika dipikir, buat apa dia menginformasikan, lebih tepat memperingatkan, kepada pelanggan atas tanggal kedaluarsa. Toh, barang yang dibeli masih layak konsumsi hingga sekitar 4 bulan ke depan. Mungkin kasir ingat bahwa ada madu yang sama di dalam sana dengan kualitas lebih baik. Ditandai dengan masa expired yang jauh lebih lama, sekitar 2 tahun.

Bisa jadi, wiraniaga ini ingin memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Bukan hanya sekedar memberikannyang dibutuhkan pelanggan. Bukan pula sekedar senyum salam sapa seperti yang diajarkan dalam pelatihan customer service. Tetapi wiraniaga ini berempati, seakan dirinya adalah customer yang tentu saja akan memilih barang dengan expired lebih lama. Untuk itulah dia care kepada customernya.

Dengan harga sama dan pelayanan tidak berbeda, wiraniaga memberikan barang yang jauh lebih baik. Tentu saja ini akan menyentuh hati pelanggannya. Karena kasir ini telah mennyempurnakan customer service menjadi customer care.

Jumat, 30 Agustus 2013

, , , , , , , ,

Perbedaan antara Humas dengan Pemasaran

Tak sedikit orang Humas merasa lebih penting dari orang Pemasaran. Sebaliknya banyak juga praktisi Marketing beranggapan lebih dibutuhkan daripada praktisi Public Relations. Terjadilah diskursus apa perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Apakah demikian juga anda?

Dalam tataran teori maupun praktek, sering muncul perdebatan tentang perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Kedua aktivitas ini sesungguhnya merupakan bagian dari komunikasi sehingga mengandung prinsip dan komponen komunikasi.

Dalam komponen itu terdapat sumber, pesan, media, khalayak atau penerima informasi serta tujuan komunikasi. Namun demikian, Humas dan Pemasaran memiliki orientasi yg berbeda secara signifikan. Mari kita cermati, perbedaan mendasar konsep Humas (Public Relations) dan Pemasaran (Marketing).

Pertama, pesan komunikasi. Aktivitas Humas dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari seluruh stakeholders (termasuk didalamnya adalah konsumen atau calon konsumen). Pemasaran mengkomunikasikan hal-hal (pesan) yg berkaitan aktivitas perusahaan yang mengandung citra tertentu.

Misalnya, Public Relations sebuah rumah sakit akan meyakinkan publik/stakeholders berkaitan aktivitas yg mengandung citra positif dari pelayanan rumah sakit. Pada sisi lain, pihak Marketing menyajikan pesan dalam bentuk promosi atau penawaran produk atau jasa pelayanan yang disediakan rumah sakit dan berupaya mendorong konsumen/pasien memanfaatkan produk/jasa layanan yang ditawarkan rumah sakit.

Kedua, alat menyampai pesan. Dalam kegiatan Humas, alat menyampai pesan adalah berita (news). Para praktisi Humas hanya mengirimkan informasi pada media massa dan media sosial agar memuat informasi menjadi berita yg bisa dibaca khalayak. Secara ekonomis, ongkos penyampaian pesan rendah, namun tetapi memiliki kredibilitas tinggi. Pada sisi lain, alat penyampaian pesan yg digunakan dalam Pemasaran adalah iklan.

Ketiga, penggunaan media. Dalam perspektif Public Relations, media merupakan salah satu komponen stakeholder yang penting untuk di jaga. Walau menempatkan media sebagai relasi, dalam berbagai aspek Humas (Public Relations) tdk bisa secara gampang memaksa media untuk mempublikasikan semua hal yg direlease  karena itu terkait kewenangan redaksional. Pada sisi lain, pihak Pemasaran (Marketing) justru memiliki kebebasan untuk menempatkan tempat, waktu memasang iklan, sesuai dengan tarif yang dibayarkan.

Keempat, jangka waktu aktivitas. Dalam menjalankan aktivitasnya, Humas bersifat jangka panjang, dalam artian sebagai fungsi manajemen, Humas harus mampu merancang berbagai aktivitas agar organisasi atau perusahaan itu bisa bertahan sepanjang waktu. Sebaliknya Pemasaran, dari segi waktu, aktivitasnya lebih bersifat jangka pendek sesuai usia produk atau jasa yang ditawarkan.

Kelima, target atau sasaran komunikasi. Target sasaran dari aktivitas Humas menyentuh publik luas, terutama yg memiliki kepentingan terhadap kehidupan organisasi. Pada pihak lain, sasaran komunikasi Pemasaran lebih ditujukan pada mereka yang dianggap berpotensi membeli dan menggunakan jasa yang ditawarkan.

Tentu, masih ada perbedaan lain yg bisa menunjukkan aktivitas Humas dan Pemasaran seakan-akan menjadi perdebatan. Dalam praktek, sering sekali dijumpai terjadi penggabungan antara Humas dan Pemasaran demi efektivitas. Perbedaan antara Humas (public relations) dengan Pemasaran (Marketing) sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa kedua aktivitas ini memang memiliki keunikan sehingga tidak perlu diperdebatkan. Siapa pun kedudukan anda, Humas atau Pemasaran, keunikan masing-masing akan menjadi kekuatan yang bisa mendukung kinerja rumah sakit.

Senin, 26 Agustus 2013

, , , ,

Bu Yati, Humas Idola Saya

Bu Yati tergopoh-gopoh menemui pasien. Setengah berlari dia mendahului saya untuk mendekati seorang lelaki yang nampak sedang marah dengan petugas customer service. Setelah dekat, Bu Yati dengan senyum mengembang mengucap salam dan bertanya kabar kepada pasien yang sudah lanjut usia tersebut. Tidak cukup itu, tanpa menunggu respon lelaki tua itu, Bu Yati memeluknya dengan hangat.

Saya takjub sejenak. Dalam hati, saya kagum dengan bagaimana Bu Yati memperlakukan pasiennya yang sedang marah. Pasien itu memang aedang komplain terhadap pelayanan rumah sakit dimana Bu Yati bekerja. Sebagai Humas, Bu Yati menjadi pihak yang jadi sasaran kemarahan dan harus mampu menangani dengan baik.

Sambil memegang erat kedua tangan lelaki tua itu, Bu Yati menuntunnya untuk duduk di kursi didekatnya. Dengan lembut, Bu Yati meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan pasien. Dan sekaligus memastikan bahwa pasien lansia tersebut akan mendapatkan pelayanan terbaik dari rumah sakit. Sejenak pasien itu ragu, dia mengalihkan pandangan kepada saya. Saya tersenyum dan mengangguk. Kemudian saya menjelaskan apa yang terjadi setelah pasien itu menyampaikan pengaduannya tadi pagi. Akhirnya pasien lansia itu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah sekelumit pengalaman saya ketika menyaksikan langsung bagaimana Bu Yati, petugas humas, menangani komplain pasien. Fragmen tersebut biasa? Menurut saya, itu luar biasa jika dirunut dari kejadian beberapa jam sebelumnya.

Pagi-pagi sekali, seorang pasien menelepon saya untuk mengadukan  pelayanan rumah sakit yang mengecewakan. Saya menuju rumah sakit untuk melakukan klarifikasi. Saya langsung menuju ruang humas dimana biasa pasien/keluarga menyampaikan keluhan pelayanan.

Seorang perempuan, Bu Yati yang berusia sekitar 50 tahun menyambut ramah kedatangan saya. Saya sudah mengenalnya, beliau salah seorang petugas humas yang juga menerima pengaduan dan tempat luapan kemarahan pasien tersebut sebelum yang bersangkutan telepon saya pagi tadi. Badannya subur, berbusana dengan kerudung polos dan sederhana. Singkatnya, penampilan fisik dan berbusana jauh dari stereotif humas pada umumnya, perempuan muda, cantik dan gaya pakaian masa kini.

Bu Yati mendengar dengan seksama apa yang menjadi kepentingan saya. Tidak memotong sama sekali. Sesekali mengangguk. Begitu selesai saya bicara, petugas humas ini menanggapi dengan tutur kata dan sikap yang menunjukkan empati. Ucapan dengan gaya bahasa formal meski tak kaku. Intonasinya terjaga, sehingga membuat nyaman.

Dalam tanggapannya, dia mengakui bahwa pasien belum mendapatkan pelayanan kesehatan disebabkan menunggu keputusan dari Direktur rumah sakit. Meski diterima dengan baik, saya menyampaikan keberatan atas terlambatnya pelayanan. Saya meminta dipertemukan dengan Direkturnya. Saya dapat merasakan bahwa dia bingung dan tertekan. Pertama, jadi sasaran kemarahan pasien yang tak segera terlayani. Kedua, mendapatkan teguran saya sekaligus harus mengantarkan saya kepada Direkturnya.

Di dalam sebuah ruangan, kami bertiga bicara. Bu Yati melaporkan secara singkat duduk perkara dan keperluan saya kepada Direktur. Kemudian saya menegaskan perlunya segera pasien mendapatkan pelayanan. Mendengar apa yang saya dan humas sampaikan, alih-alih berbesar hati mengambil alih tanggung jawab, sang Direktur justru menyalahkan Humas atas keterlambatan pelayanan. Alasannya, Direktur menganggap Humas tidak mencerna dengan baik instruksinya. Sebenarnya Humas bersikukuh bahwa Direktur belum memberikan keputusan. Namun apalah daya, Humas tak dapat lagi menyampaikan pembelaannya. Keputusan pertemuan itu, pasien segera ditangani dengan baik.

Baru saja keluar dari ruangan Direktur, Humas mendapatkan laporan dari satpam bahwa tadi pasien datang ingin menemui Direktur rumah sakit. Satpam menolak permintaan itu dan diminta pasien menunggu di lantai bawah. Bu Yati marah dengan perilaku satpam. Bisa juga Bu Yati marah karena meluapkan tumpukan kedongkolan hatinya karena telah mendapatkan tekanan sana sini baik pasien maupun Direktur. Dengan  terburu-buru, Bu yati dan saya segera menemui pasien tersebut di lantai bawah. Dia bergumam, "sebagai pasien, saya pun akan marah diperlakukan seperti ini'

Demikianlah, di mata saya Bu Yati adalah tauladan kehumasan bagaimana menangani pengaduan dan kemarahan pasien. Dia sendiri tidak dalam kondisi damai secara psikologis. Pagi-pagi telah kena damprat pasien, tertekan dengan kedatangan saya dan puncaknya disalahkan Direktur. Dia marah, dia dongkol hatinya. Namun tak mengurangi keramahan, kehangatan dan ketenangan menghadapi kemarahan pasien.

Kalau tak salah, tahun ini beliau pensiun. Saya akan kehilangan sosok humas yang luar biasa dan berdedikasi. Salut dan salam hormat kepada Bu Yati.

Senin, 15 Juli 2013

, , , ,

Haruskah Humas itu Perempuan Muda lagi Cantik?

Ada stereotif bahwa Humas itu perempuan, muda dan cantik. Jadi bagi anda yang secara fisik tidak memenuhi kriteria itu tidak cocok menjadi Humas. Apakah anda termasuk orang berpandangan demikian?

Menurut pengalaman saya, syarat utama menjadi Humas itu harus menarik. Jadi tidak harus cantik atau tampan, melainkan menarik. Pribadi menarik seorang humas dapat dilihat dari tutur kata, sikap, berpakaian juga secara fisik.

Humas disebut menarik jika orang merasa nyaman bicara dengannya. Kenyamanan ini biasanya disebabkan kemauan mendengar dengan seksama keluhan klien. Juga mampu mencerna isi pembicaraan sehingga pasien/keluarga merasa nyambung atau klik. Dan Humas dalam memberikan tanggapan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menarik itu juga dilihat seberapa antusias dan empati kita saat melayani klien.

Tentu saja, menariknya seorang Humas juga harus ditopang dengan penampilan yang profesional seperti berpakaian rapi, bersih dan wangi.

Syukurlah, jika secara fisik dapat terpenuhi humas yang muda dan cantik/tampan itu. Anggaplah sebuah 'bonus"!

Rabu, 15 Mei 2013

, , , , , , ,

Survei Loyalitas Pasien 2013

Pernahkah anda mendapatkan layanan kesehatan khususnya di RS Swasta? Setelah kunjungan itu, apakah anda berniat kembali lagi ke RS tersebut?

Saya punya informasi menarik ketika hadir pada acara Indonesia Healthcare 2013 minggu lalu. Saya mencermati hasil survei perspektif konsumen kesehatan yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Onbee Marketing Research. Bertitel "Indonesia Most Reputable Healthcare Brand 2013" ini dilakukan pada bulan Februari - Maret 2013 dengan 2.917 responden dan teknik random sampling. Rumah Sakit menjadi obyek survei, selain perusahaan farmasi, asuransi kesehatan, apotek, laboratorium kesehatan dan klinik kecantikan. Dan yang saya maksudkan menarik adalah hasil survei terkait dengan tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter.

 

1. Loyalitas Pasien

Menurut survei SWA, 82% mengunjungi rumah sakit swasta sebanyak 1 – 3 kali dalam setahun. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan, dalam sekali kunjungan pasien ke RS swasta sekali rata-rata tidak lebih dari Rp 500.000,-, dan 25% mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 1000.000,-

Dari sisi loyalitas, 74% pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit swasta yang dikunjunginya, dan kualitas pelayanan (28%) adalah alasan utama yang paling banyak dikemukakan. Sedangkan alasan lain seperti lokasi (19%), Dokter (13%), Sudah terbiasa (7%), Kondisi Kesehatan (7%), Harga (7%), Fasilitas (7%), Afiliasi (kantor asuransi) (6%), Tidak ada (4%), Rekomendasi dokter (2%), dan kualitas RS (1%) menjadi alasan untuk kembali ke rumah sakit yang pernah dikunjungi.

Sementara itu, lokasi yang jauh (44%) merupakan alasan pindah rumah sakit. Faktor lain pindah RS yaitu kualitas pelayanan kurang baik (15%), harga mahal (12%), dokter yang kurang memuaskan (9%), fasilitas yang tidak memadai (8%) dan tidak ada dokter spesialis (12%)

 

2. Loyalitas terhadap dokter

Pasien semakin cerdas. Ini dibuktikan dengan hasil survei bahwa 80% pasien RS swasta menyatakan bahwa dokter wajib mempunyai komunikasi yg baik. Alasan mengganti dokter disebabkan tidak berhasil sembuh (39%), tidak komunikatif (34%), biaya konsultasi (11%), terburu-buru (9%) dan resep yang banyak (7%).

Sebaliknya, 32% pasien akan merekomendasikan dokternya jika dokter tersebut komunikatif dan 41% karena dokternya dapat menyembuhkan penyakitnya.

 

3. Sumber Informasi

Sebanyak 64% pasien RS Swasta menyatakan bahwa teman/keluarga merupakan sumber informasi ketika memilih rumah sakit, dan 49% menyatakan bahwa sisi kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih rumah sakit.

Yang menarik, sebanyak 75% pasien RS Swasta mampu menyebarkan positive Word of Mouth (WOM) ke rata-rata 5 orang dan 22% pelanggan mampu menyebarkan negative WOM ke rata-rata 4 orang. Jadi bisa dikatakan bahwa positive WOM 25% lebih disebarluaskan dibanding negative WOM.

Media promosi terpercaya 65% adalah rekomendasi, 34% iklan di media elektronik, 10% iklan di media cetak, 3% iklan di media cetak. Pasien mengharapkan adanya digital media terutama website, karena hal ini akan membantu meningkatkan keyakinan pasien/keluarga terhadap RS Swasta dan sarana informasi.

Dan dibandingkan dengan adanya dokter ahli, banyaknya dokter spesialis, fasilitas modern dan harga terjangkau, ternyata faktor kualitas pelayanan yang baik merupakan faktor utama sebuah RS swasta direkomendasikan kepada orang lain.

Bagaimana menurut anda?

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.