Tampilkan postingan dengan label pamekasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pamekasan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 18 Februari 2018

, , , , ,

Pelajaran Berharga dari Pamekasan

Sebuah media daring menurunkan berita dengan judul yang membangkitkan rasa ngeri, "Heboh, 90 Santri Bergelimpangan Usai Mendapat Suntik Vaksin Difteri". Dinas Kesehatan Jawa Timur mengonfirmasi sebanyak 110 anak menyampaikan keluhan linu-linu, sakit kepala dan nyeri ulu hati usai mendapatkan imunisasi difteri. Mereka mendapat perawatan di Puskesmas Kadur, Puskesmas Larangan, Puskesmas Galih, dan RSUD Pamekasan. Kegiatan Imunisasi difteri ini dilakukan di Ponpes Al Falah dan Ponpes Hidayatul Mubtadi'i Kecamatan Kadur, Kabupaten Pamekasan.

Di tengah giatnya Pemerintah melaksanakan kampanye dan kegiatan outbreak responden immunization (ORI), kejadian di Kabupaten Pamekasan ini tak bisa pandang remeh. Memang benar, keluhan simtomatis para santri itu tidak terkait dengan vaksin difteri. Namun secara psikologis dan sosiologis, tersiar luasnya kabar sakit massal setelah imunisasi berdampak pada program ORI.

Berita daring lokal mewartakan,trauma kejadian di Kadur mnyebabkan 750 siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Pamekasan menolak untuk diimunisasi Difteri, Selasa (13/2/18). Sungguh inilah yang kita khawatirkan.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), individu atau kelompok dapat menjadi stres dan histeria massal sebelum atau sesudah dilakukan penyuntikan imunisasi yang dilakukan secara massal. Kejadian tersebut tidak berhubungan dengan kandungan vaksin atau obat yang disuntikkan. Dalam “Global Manual on Surveillance of Adverse Events Following Immunization”, WHO menyebut beberapa reaksi diantaranya Hiperventilasi (Hyperventilation) dan pingsan (vasovagal syncope or syncope).

Hiperventilasi dapat terjadi karena kecemasan yang berlebihan tentang imunisasi atau suntikan yang menyebabkan timbulnya gejala spesifik seperti pusing, kesemutan di sekitar bagian mulut dan tangan. Diantaranya bahkan mengalami reaksi kejang dan pingsan.

Sakit massal di Pamekasan itu semestinya bisa dicegah oleh penyelenggara imunisasi bekerjasama dengan orang tua dan pihak pesantren. Misalnya saja, para santri dipastikan sudah sarapan pagi dan diciptakondisikan siap menerima imunisasi difteri. Penyelenggara menyiapkan hal-hal yang dapat meminimalkan stres. Diantaranya, ruang tunggu yang nyaman, pemberian vaksin dilakukan di ruangan lain yang tidak terlihat dari ruang tunggu, dan menjaga privasi anak ketika disuntik.

Kejadian di Pamekasan patut menjadi evaluasi mendalam bagi pelaksanaan program ORI. Kita tentu tak ingin trauma kejadian sakit massal ini berkelanjutan. Menciptakan keengganan bahkan penolakan orang tua dan anak untuk melakukan imunisasi Difteri. Persoalan halal haram vaksin masih menghantui, ditambah kejadian pasca imunisasi yang harus segera diatasi.
Harus ada upaya nyata dan serius dari pemangku utama program ORI yaitu Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemangku program tidak bisa, dan jangan sampai, bekerja sendiri melaksanakan imunisasi sebagai respon atas Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri.

Suksesnya capaian ORI, tidak hanya ditentukan persoalan teknis kesehatan, tetapi bagaimana pemangku program dapat melibatkan secara aktif sektor pendidikan, sosial keagamaan, pemberdayaan perempuan, lembaga masyarakat dan sektor terkait lain. Di tingkat lokal, program imunisasi harus melibatkan Camat, Lurah/Kepala Dewa, Kepolisian, perangkat desa, darma wanita dan penggerak PKK, para guru, orang tua/wali murid dan tokoh masyarakat/agama setempat.

Imunisasi bukan semata urusan kesehatan, melainkan investasi menyiapkan generasi penerus yang sehat. Tetapi selama empat bulan ini, kita merasa khawatir dengan KLB difteri. Sepanjang tahun 2017, Kementerian Kesehatan mencatat 939 kasus dan 44 orang meninggal dunia akibat penyakit difteri. Program ORI untuk memberantas difteri dijalan di 170 kabupaten dan kota pada 30 provinsi.

Kejadian di Pamekasan ini semestinya menjadi pelajaran berharga jika tidak ingin program ORI menjadi sia-sia.