Tampilkan postingan dengan label pr. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pr. Tampilkan semua postingan

Senin, 15 Juli 2013

, , , ,

Haruskah Humas itu Perempuan Muda lagi Cantik?

Ada stereotif bahwa Humas itu perempuan, muda dan cantik. Jadi bagi anda yang secara fisik tidak memenuhi kriteria itu tidak cocok menjadi Humas. Apakah anda termasuk orang berpandangan demikian?

Menurut pengalaman saya, syarat utama menjadi Humas itu harus menarik. Jadi tidak harus cantik atau tampan, melainkan menarik. Pribadi menarik seorang humas dapat dilihat dari tutur kata, sikap, berpakaian juga secara fisik.

Humas disebut menarik jika orang merasa nyaman bicara dengannya. Kenyamanan ini biasanya disebabkan kemauan mendengar dengan seksama keluhan klien. Juga mampu mencerna isi pembicaraan sehingga pasien/keluarga merasa nyambung atau klik. Dan Humas dalam memberikan tanggapan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menarik itu juga dilihat seberapa antusias dan empati kita saat melayani klien.

Tentu saja, menariknya seorang Humas juga harus ditopang dengan penampilan yang profesional seperti berpakaian rapi, bersih dan wangi.

Syukurlah, jika secara fisik dapat terpenuhi humas yang muda dan cantik/tampan itu. Anggaplah sebuah 'bonus"!

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.

Minggu, 13 Januari 2013

, , , , , , , , ,

Karena Jokowi, Blusukan Jadi Brand, Keren dan Populer

Siapa yang belum pernah mendengar istilah "blusukan"? Boleh jadi, "blusukan" menjadi kosa kata paling populer saat ini. Adalah Joko Widodo, atau lebih akrab dipanggil Jokowi, orang yang mempopulerkan istilah blusukan. Pada saat melakukan kampanye pilkada dulu, Jokowi rajin keluar masuk pelosok kampung hingga ke pinggiran kota. Perkampungan kumuh di bantaran kali yang rawan banjir hingga kampung nelayan yang identik dengan kemiskinan tak luput ditelusupi Walikota Solo ini. Dari tindakannya keluar masuk kampung ini, Jokowi menyebutnya sebagai blusukan.

Seiring dengan semakin seringnya Jokowi menemui dan berdialog langsung dengan wong cilik ini, semakin populer pula istilah blusukan. Bisa dikatakan Jokowi menjadi identik dengan blusukan. Atau sebaliknya, kalau menyebut blusukan akan diasosiasikan dengan Jokowi. Meminjam istilah public relations atau marketing, Jokowi sudah menjadi brand terkenal yang sedang memimpin pasar (market leader). Sehingga apapun "produk" Jokowi, akan diikuti, ditiru dan dijiplak "kompetitornya"

Demikian juga blusukan telah menjadi ikon dan karakteristik pemimpin yang merakyat sekaligus mengambil hati rakyat. Berbeda dengan baju merah kotak-kotak hitam yang merupakan brand iconik yang bersifat trend sesaat. Blusukan dapat menjadi media branding yang tidak terlalu kentara pencitraannya. Sebaliknya kesan pemimpin merakyat, turun di lapangan, egaliter dan mau mendengar wong cilik begitu kuat. Disinilah kemudian para politikus atau bakal calon pejabat negara/daerah berusaha mencitrakan dirinya layak dipilih menjadi pemimpin dengan cara blusukan.

Bisa dikatakan blusukan Jokowi telah mengalahkan hegemoni dan konglomerasi partai politik yang mendukung Gubernur Jakarta incumbent waktu itu. Blusukan telah menghancurkan kampanye masif dan vulgar yang disokong dana yang sangat besar. Blusukan, perwujudan sikap bersahaja, jujur, apa adanya, banyak kerja sedikit bicara dan rendah hati dari Jokowi. Blusukan identik dengan kepolosan "wong ndeso" yang berhasil menaklukan angkuhnya kota metropolitan. Tentu saja "resep masakan ndeso" blusukan ini akan dipakai oleh mereka untuk mengejar hal sama yang dicapai Jokowi.

Ibarat sebuah brand dan market leader bahwa blusukan itu Jokowi, maka siapa pun dia, politikus dan bakal calon pejabat, melakukan blusukan akan dikatakan meniru Jokowi. Tetapi mereka tak peduli, meski sadar sekedar ikut-ikutan, tetapi bukan politikus kalau tak pandai bersilat lidah. Apalagi faktanya, sejak dulu blusukan (dengan berbagai istilah dan variannya) sebagai "resep murah" menjadi pemimpin. Maka ketika ada yang orang blusukan kemudian diasosiasikan dengan Jokowi akan punya kilah.

Seperti halnya Presiden SBY yang belum lama ini blusukan ke sebuah kampung nelayan. Orang-orang istana dan lingkarannya kebakaran jengkot ketika SBY dicap meniru Jokowi. Sejak sebelum presiden, SBY sudah blusukan, begitu kilahnya. Itu tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya benar. Orang-orang lingkaran istana ini lupa bahwa sekarang blusukan itu "milik" Jokowi. Mereka tak mengerti bedanya blusukan (yang asli) Jokowi dengan blusukan SBY. Mereka tak ingat kalau setelah jadi Gubernur, Jokowi tambah rajin blusukan, sedangkan SBY duduk enak dan bernyanyi sambil main gitar setelah menjadi presiden. Dapat dilihat bahwa SBY yang "ahli pencitraan" pun tak berkutik ketika merebut brand blusukan dari Jokowi. Dan puncak dari rebutan "siapa pemilik blusukan" sebenarnya ditandai dengan "pukulan telak" dari Jokowi yang mengatakan bahwa Presiden SBY lebih dulu blusukan.

Bagi mereka yang memahami falsafah Jawa, Jokowi telah melancarkan jurus "nglulu", yaitu merelakan dan mendorong orang lain dengan kemauannya sendiri. Justru dengan mengakui Presiden SBY lebih dulu blusukan, maka sesungguhnya Jokowi telah memenangkan pertarungan. Sikap Jokowi yang rendah hati dengan pengakuan itu justru memperkukuh brand Jokowi atas blusukan.

Disadari atau tidak, blusukan menjadi keren saat ini. Siapapun dia yang melakukan kunjungan langsung ke daerah atau kampung akan senang dan bangga disebut blusukan. Bahkan kunjungan biasa saja kalau perlu disebut blusukan. Jangan heran jika banyak bakal calon pejabat ingin disematkan blusukan pada setiap aktivitasnya. Silahkan saja SBY, Prabowo, Aburizal Bakrie, Surya Paloh atau siapa pun melakukan dan mengklaim blusukan, tetapi hanya Jokowi yang punya orisinalitas blusukan.

Bisa dikatakan sekarang blusukan menjadi gaya hidup yang keren. Blusukan yang awalnya mengesankan ndeso dan kampungan itu saat ini terlihat keren dan populer. Dan itu karena sebuah brand, Jokowi!