Tampilkan postingan dengan label hospital public relations. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hospital public relations. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Maret 2016

, ,

Ketika Rumah Sakit Memanusiakan Manusia

Begitu sering kita mendengar rumah sakit menolak pasien. Dokter tidak punya nurani. Jangankan ramah, menatap langsung mata pasien saat bercakap pun terasa mahal. Rumah sakit hanya menerima pasien kaya, sementara pasien miskin seakan dilarang sakit. Dan banyak lagi "kisah kejam" tentang rumah sakit.

Pak Ernawan (paling kanan) bersama kedua mempelai dan staf RS Sardjito
Membaca berita daring Kompas.com (12/3), “Disaksikan Dokter dan Perawat, Pasangan Ini Menikah di Rumah Sakit”, saya terharu. Dada saya berdesir, seakan menemukan sesuatu yang selama ini dimimpikan. Rumah sakit “ngunduh mantu” memfasilitasi pernikahan pasangan pengantin di ruang perawatan secara gratis.

Bukan karena saya kenal baik orang-orang yang membantu menyiapkan pernikahan di ruang perawatan pasien. Bukan pula karena RS Sardjito adalah rumah sakit milik Kementerian Kesehatan instansi pemerintah dimana saya bekerja. Tetapi apa yang dilakukan jajaran pimpinan dan staf RS Sardjito, terutama Humas, seakan mengerti benar kebutuhan dan keinginan pasien. RS Sardjito mampu menampilkan pelayanan dengan hati, sebuah pelayanan yang memanusiakan manusia. Apa yang dilakukan RS Sardjito memberikan teladan tindakan nyata kemanusiaan, satu sisi lain dari pelayanan kesehatan rumah sakit.

Jika anda berkenan menyimak, saya akan cerita singkat kejadian bagaimana pasangan pengantin bisa menikah di rumah sakit. Dan di bagian akhir, saya akan tuliskan juga obrolan saya dengan Pak Ernawan, punggawa Humas RS Sardjito. Inilah cerita nyata sebuah rumah sakit di Jogja ini mengamalkan filosofi luhur Jawa, nguwongke uwong (memanusiakan manusia).

***

Berita Kompas menggambarkan bagaimana suasana ruang Cendana, RSUP dr Sardjito, Yogyakarta, berubah menjadi haru. Air mata para dokter dan perawat tak terbendung tatkala menyaksikan Windu Cahyo Saputro (25), yang terbaring di tempat tidur rumah sakit, dan Yuniar Dias Sutisna (25) secara bergantian menyatakan janji sehidup semati.

Kisah bahagia perkawinan Windu dan Dias dimulai sebulan lalu. Saat Windu melamar kekasihnya, Dias, setelah menjalin asmara selama sembilan tahun.Segala persiapan selesai diakukan. Mulai panitia, perias hingga memesan gedung resepsi. Doa kedua insan itu hari bahagia yang dinantikan sembilan tahun itu dapat dilewati dengan lancar.

Namun Tuhan berkehendak lain. Windu mengalami kecelakaan saat mencari suvenir pernikahan di Yogyakarta. Musibah menyebabkan luka parah hingga dokter dengan persetujuan pasien harus mengambil keputusan untuk mengamputasi kaki kanan Windu. Menghadapi kenyataan ini, keluarga Windu menanyakan Dias dan keluarga, apakah masih mau menerima putranya dengan kondisi seperti itu.

"Saya sudah menetapkan hati. Apa pun keadaannya, saya sudah memilih Windu menjadi suami," kata Dias mantap.

Luar biasa!

***

Senin pagi (14/3), selesai membaca berita Kompas itu, saya menghubungi Pak Ernawan melalui whatsapp.

“Pak Nawan, saya terinspirasi dengan kisah "ngunduh mantu" RS Sardjito. Jika sempat boleh diceritakan ya,”pinta saya

“Siap Pak Anjari, sekedhap dalem susun kata-kata njih,” balas Pak Nawan, tak berapa lama kemudian.

Tak berselang lama, Pak Ernawan mulai bercerita. Pada hari selasa (7/3), seorang perawat ruang perawatan Cendana I menanyakan apakah dibolehkan pasien menikah di bangsal perawatan. Agar lebih jelas, Pak ernawan dan staf humas mengunjungi pasien. Dari pertemuan dengan Windu, pasien yang telah menjalani amputasi kaki kanan, Pak Ernawan mengetahui dengan jelas kronologi pasien dan niatan menikah di bangsal Cendana.

Humas RS Sardjito juga mengetahui segala persiapan yang telah selesai dilakukan. Dari undangan, gedung, catering, musik dan lain-lain semua dibatalkan. Dan yang mengetuk hati segenap petugas rumah sakit adalah jawaban calon mempelai wanita, Dias, saat ditanyakan kesiapan menikah.

“Saya mendengar saat mba Dias tanpa ragu mengatakan,apapun kondisi Windu, saya akan tetap menikahi dan menjaganya sampai ajal menjemput salah satu diantara kami", kata Pak Nawan.

Pihak keluarga meminta diperbolehkan ruang perawatan digunakan melakukan akad nikah secara sederhana. Kondisi ruang perawatan itu sebenarnya kecil, tanpa AC dan tidak cukup layak untuk prosesi ijab kabul yang sangat sakral bagi setiap orang. Melihat cerita kejadian dan tekad menikah kedua calon mempelai, jajaran RS Sardjito tergerak membuat sesuatu yang luar biasa untuk kedua insan Windu dan Dias. RS Sardjito bertekad membuat acara yang tak terlupakan selamanya bagi kedua mempelai.

“Tanpa sepengetahuan keluarga kami mulai bergerak mencari ruangan yg layak dan ber-AC. Juga meenanyakan kepada Panitia PPI apakah akan ada dampak infeksi. Tim Humas bergerak cepat menyiapkan ubo rampe, pembawa acara, soundsystem ala kadarnya, lagu-lagu wedding, dll,” kisah Pak Nawan.

Membaca rentetan cerita yang ditulis melalui Whatsapp, saya tak berkedip. Saya pun terpaku, tak menyela atau banyak bertanya. Pak Ernawan melanjutkan, ketika semua persiapan pernikahan telah selesai disiapkan, Humas baru meminta izin Direksi RS Sardjito. Di luar dugaan, ternyata pimpinan RS mengapresiasi dan berkomitmen hadir menyaksikan. Pada jumat malam (11/3), tim Humas melakukan dekorasi ruang Cendana dan digunakan prosesi ijab kabul pada keesokan harinya.

“Pak Nawan, apakah pihak keluarga pasien dikenakan iur biaya untuk penyiapan akad nikah ini?”

“Alhamdulillah, semua gratis Pak. Kebetulan Mba Sri, Staf Humas, punya penyewaan perlengkapan pernikahan. Adik saya jual bunga di Jl. Ahmad Jazuli. Video dan foto staf humas dengan meminjam perlengkapan kantor,” jawab Pak Nawan. Mengaggumkan, batin saya.

“Pak Nawan, apa sih yang membuat RS Sardjito mau melakukan ini semua? Apakah ada staf yang bersaudara atau kenal dengan calon mempelai”, tanya saya masih penasaran.

“Kekuatan cinta, Pak Anjari. Ini bukan membabi buta karena saya juga menanyakan secara langsung bahkan kami sampaikan resikonya. Tetapi jawaban Mba Dias begitu mantap dan yakin. D era modern seperti ini akan sangat langka, ada wanita yang begitu yakin dengan keputusannya” tegasnya.

Dan ternyata Humas pun baru mengenal pasien Windu pada saat mengonfirmasi rencana menikah di bangsal perawatan. Bahkan bertemu calon mempelai wanita pada sehari sebelum hari ijab kabul.

“Oh ya, ada satu hal yang lebih luar biasa. Prof Yati (Dewan Pengawas RS Sardjito) menjanjikan pekerjaan di Sardjito karena Mas Windu lulusan D3 Rekam Medis UGM dengan nilai yang memuaskan” kata Pak Nawan menambahkan.

“Wow, luar biasa sekali. Benar-benar mengharukan pak,”

RS Sardjito sungguh luar biasa. Hanya itu yang saya katakan pada akhir obrolan saya dengan Pak Ernawan, tokoh utama cerita penuh hikmah ini dapat saya kisahkan kepada Anda.

Minggu, 22 Desember 2013

, , , ,

Menyebarkan Cerita Positif Melawan Persepsi Negatif

Dalam sebuah obrolan, kawan saya yang Direktur Rumah Sakit berkeluh kesah. Media massa tidak berlaku adil karena beritanya dipenuhi pelayanan buruk rumah sakit. Satu orang pasien yang mungkin kebetulan mendapat pelayanan tidak menyenangkan menjadi pemberitaan besar. Padahal pada saat yang sama, rumah sakit telah melayani ratusan pasien dengan baik. Tetapi tidak masuk dalam berita media mass meskipun sekedar kecil di pojok halaman.

Saya sadari ini fakta pelayanan rumah sakit. Setiap hari rumah sakit setingkat Kelas B misalnya, melayani ratusan bahkan ribuan pasien di rawat jalan maupun rawat inap. Secara probabilitas, dari ratusan pasien tiap hari itu ada satu, dua atau anggaplah 5 persen tidak terlayani dengan baik. Secara sederhana, 95 persen pasien dilayani rumah sakit dengan baik. Indikator sederhana dalam pelayanan baik ini adalah tidak ada keluhan (complain). Jadi saya sangat mengerti kegundahan Direktur RS, kenapa media massa membentuk persepsi dan opini publik akan buruknya pelayanan RS hanya didasarkan seorang pasien (tidak sengaja) terlantar?

Kemudian kawan saya menutup curhatnya dengan kesimpulan sebagaimana premis yang jadi rahasia umum; bad news is good news. Saya melihatnya menarik nafas dalam dan menghembuskan perlahan. Ada keprihatinan terhadap opini buruk pelayanan rumah sakitnya, sekaligus pelampiasan terhadap media massa sebagai biang kerok. Ini bukan pertanda baik. Menyalahkan pihak lain, apalagi media massa (dan media sosial) itu tidak produktif. Kenapa energi negatif menyalahkan media itu tidak diubah menjadi energi positif.

"Hei dok! Kapan terakhir undang media massa untuk mendengar kisah kebaikan dan keunggukan rumah sakit anda?" sergah saya memecah kebekuan. Dia menggeleng, belum pernah. Menurutnya, jurnalis media cetak dan elektronik datang ketika ingin bertanya tentang pasien anu yang terlantar. Atau rumah sakit mengundang wartawan hanya saat diadakan konferensi pers terhadap kasus pasien anu tadi.

Kenapa kondisinya dibalik? Rumah sakit mengundang wartawan atau redaktur untuk hospital visit. Dengan suasana santai dan akrab, ceritakan kisah hebat RS dalam melayani 95 persen pasien yang tak komplain tadi. Atau RS bisa menyampaikan keunggulan pelayanan dibanding RS lain. Lebih bagus lagi, Rumah Sakit dapat berbagi ilmu dan berbagi nilai (sharing knowledge - sharing value) sehingga para jurnalis mendapatkan pemahaman dan pengalaman baru. Tapi ingat, jangan bebani media massa yang hadir saat itu untuk memuat keberhasilan dan sisi positif rumah sakit. Jadikan momentum hospital visit untuk menjali kepercayaan, menanamkan pemahaman dan berbagi pengetahuan. Jika diantara jurnalis menampilkan dalam salah satu berita di media massanya, anggap itu sebagai bonus.

Kawan saya yang Direktur RS itu mulai tertarik, tapi masih ada yang mengganjal. Tak mungkin rasanya sering-sering undang wartawan hospital visit. Selain ribet juga membosankan. Selain itu juga persepsi positif belum tentu didapat, karena hanya menunggu bonus pemberitaan media yang hadir. Jika demikian kenapa rumah sakit tidak menggunakan 95 persen pasien yang terlayani baik tadi?

Ketika kita mengunjungi restoran yang ramai pengunjung dan ternama, sering kali tertempel rekomendasi atau testimoni pengunjung di dinding. Rekomendasi itu biasanya berupa foto dari tokoh atau artis dengan dibubuhi kalimat positif (pujian) berikut tanda tangannya. Ini bisa jadi inspirasi rumah sakit. Tak perlu menunggu tokoh atau artis berobat dan dirawat di rumah sakit. Sebaliknya jadikan setiap pasien yang merasa dilayani baik oleh rumah sakit menjadi artis, mintalah menulis sekelumit kata dan tanda tangannya. Dan letakkan kumpulan testimomi berupa kalimat positif dan tanda tangan pasien itu pada tempat yang pasien lain bisa melihat dan membacanya. Bisa ditempel dinding atau dinding khusus testimoni semacam wall of fame. Atau didesain dalam bentuk poster, hiasan kalender, buku agenda, leaflet dan berbagai produk kehumasan lainnya. Ini bisa jadi cara tidak langsung word of mouth public relations, citra positif rumah sakit yang disebarkan dari dan oleh pasien.

Apakah rumah sakit mempunyai website, blog, facebook atau twitter? Bagus sekali, jika testimoni pasien juga disebarkan secara online. Rumah sakit dapat menaruhnya pada beranda depan website sebagai halaman selamat datang. Isi testimoni bisa dikicaukan melalui twitter. Atau bisa juga testimoni dikemas menjadi catatan online berikut kisah latarnya dalam sebuah postingan blog. Satu hal yang tak boleh diabaikan, testimoni pasien dilakukan secara sukarela tanpa paksaan dan pasien tahu testimoninya akan dibaca orang lain.

Akhirnya, saat ini saya menunggu aksi kawan saya, seorang Direktur RS, menyebarkan cerita positif dan kisah baik dibandingkan menyalahkan pihak yang mempersepsikan buruk rumah sakitnya. Bagaimana dengan rumah sakit Saudara?

Minggu, 18 November 2012

, , , , , , , , ,

Apakah Bosmu adalah Humas yang Baik?

The real Public Relations is a person who on the top management. Sesungguhnya Humas adalah orang yang memiliki jabatan tertinggi dari organisasi. Begitu jargon yang pernah saya baca. Demikian juga mantra yang sering saya ucapkan di setiap kesempatan.

Jika bos besar kita selalu tampil baik di mata publik maka bercitralah positif organisasi kita. Kalau pimpinan kita termasuk media darling, maka naik daun pula unit kerja kita. Demikian pula, pada organisasi kesehatan, misalnya rumah sakit.

Saya ingin berbagi cerita. Sebuah pengalaman yang sebenarnya membuat saya malu kepada pimpinan. Lebih malu lagi kepada diri sendiri. Tetapi dari kejadian ini, saya dapat mengambil hikmahnya; inilah pemimpin yang melaksanakan fungsi kehumasan (Public Relation) dengan sangat baik.

Awal bulan ini, saya mendampingi pimpinan seorang pejabat Eselon 1, Direktur Jenderal. Beliau menghadiri sebuah event/forum internasional dihadiri investor asing yg diselenggarakan sebuah bank dengan jaringan internasional. Beliau "hanya" sebagai peserta. Sengaja kata hanya diberi tanda kutip, karena biasanya se-level Dirjen menjadi narasumber.

Dari beberapa kali menemani panitia menemui beliau, Pak Dirjen menganggap ini forum penting dan strategis. Jadi saya yakin alasan itulah yg mendorongnya hadir meski "hanya" sebagai peserta. Sejujurnya sih, saya belum pernah melihat Pak Dirjen "hanya" duduk diantara peserta forum, selain saat dampingi Menteri atau Pejabat Negara lain. Minimal kalau jadi peserta ya peserta aktif, bukan sebagai undangan biasa. Di sini, saya melihat kebesaran hati dan kejeliannya melihat prioritas. Hadirnya beliau diantara investor asing dan pembicara top dari dalam dan luar negeri akan membangun kepercayaan terhadap sektor kesehatan.

Pada saat coffee break setelah pembukaan, ternyata banyak peserta healthcare forum mendapat penjelasan lebih detil dari Pemerintah. Sebenarnya ini sudah direncanakan. Istilah panitia, one on one meeting (intimated meeting). Melihat tak ada staff teknis yang hadir pada forum itu, beliau langsung menuju ruangan yang yang sudah disediakan panitia.

Ternyata diruangan sudah banyak para peserta forum yang sebagian besar investor asing menunggu penjelasan detil. Pak Dirjen melayani satu per satu "tamu" yg ingin bertanya dan konsultasi. Seperti "penjaga stand" pameran yg melayani setiap pengunjungnya.

Pak Dirjen sendirian melayani tamu. Saya adalah humas yang notabene stafnya Dirjen. Sebenarnya masalah regulasi masih bisa meng-handle-nya. Tetapi saya dan juga ajudan hanya bisa membantu mempersilahkan tamu duduk dan meminta menunggu antrian. Kenapa demikian? Barangkali para tamu menganggap, buat apa ketemu stafnya kalau dengan bosnya pun bisa. Anda bisa bayangkan?

Kira-kira 2 jam, Pak Dirjen melayani dengan sabar "pengunjungnya". Kenapa sabar? Ya karena setiap tamu tidak dibatasi berapa lama konsultasi. Padahal saya tahu persis jadwal beliau hari itu padat sekali. Saya berbisik kepada ajudan, mestinya yang duduk melayani pertanyaan dan konsultasi peserta forum itu adalah saya. Atau staf lain yang menguasai. Hal ini seharusnya bisa dikerjakan level staf. Tetapi karena tak hadir staff teknis, Pak Dirjen yang harus turun tangan sendiri.

Disinilah kemudian saya ambil hikmahnya bahwa Pemimpin yg baik tidak saja harus mampu memberi arahan, instruksi dan keputusan tetapi juga mengerjakan dengan tuntas ketika bawahan tidak ada. Meskipun sebagai humas, saya mampu menanganinya tetapi Public Relations yang dicari adalah pemimpin tertinggi. Dan saya bersyukur mempunyai bos besar yang memberi teladan bagaimana menjadi PR yang baik.

Jadi, jangan pernah berkecil hati meskipun humas sebagai juru bicara rumah sakit tapi tak didengar. Karena suara sesungguhnya yang dinanti adalah Direktur. Nah, kalau Direkturnya tak juga tampil, berikan sarankan baik-baik. Ingatkan Direktur bagaimana menjadi Humas yang baik.

Jumat, 16 November 2012

, , , , , ,

Humas Hanya Kliping Koran ya?

Saya sudah bersiap berdiri dari kursi ketika datang tamu dari rumah sakit. Ia adalah pejabat humas dari sebuah rumah sakit khusus di Bogor. Dengan besar hati, saya beri pengertian si perut bersabar untuk menunda makan siangnya.

Eh, kenapa harus ditunda? Sekalian saja, saya ajak ke kantin sang tamu. Siang itu, kantin masih sangat ramai. Kami pun ambil duduk di pojok kantin dekat warung tongseng dan es kelapa muda. Agar mempermudah, ya sekalian menu makan siangnya; tongseng kambing plus es kelapa muda murni, tanpa gula. Cocok nggak ya?

Tanpa basa basi lagi, tamu saya yang pejabat humas tadi berkeluh kesah. Apalagi kalau tidak terkait kehumasan rumah sakitnya. Berat juga nih, begitu batin saya. Ditambah pesanan juga belum siap saji, makin kurang konsentrasi.

Dia curhat tentang unit humasnya yang tak diperhatikan. Dicuekin dan tak dianggap ada. Nggak penting lah. Ruangannya dipojok bangunan dekat tangga. Jangan tanya fasilitasnya deh. Pemenuhan sarana dan perlengkapan humas dilakukan jika unit lain sudah tak perlu pengadaan. Kalau belum rusak ya setelah alat kesehatan terbeli.

Itu belum seberapa. Staf humas ditempatkan orang-orang sisa. Kasarnya, pegawai yang tak dibutuhkan unit lain, alias "buangan". Secara masa kerja sudah senior, malah beberapa tinggal nunggu pensiun. Lupakan persepsi bahwa staf humas seperti public relations di kantor swasta yang maju. Muda, cantik, rapi dengan tutur kata yang enak didengar.

Tamu saya ini terus bercerita tanpa titik. Jangan-jangan dia sudah makan dulu ya, jadi energinya masih penuh. Dan saya berusaha fokus mendengar. Resiko jadi tempat curhat ya begini.

Sekarang bicara pekerjaan rutin. Humas rumah sakitnya tiap pagi kliping koran, itu kalau ada berita menyangkut rumah sakit. Kalau tidak ada, pegawai hanya baca saja. Tugas lain, menghadapi wartawan dan LSM agar bosnya bisa menghindar atau syukur-syukur bisa kabur. Dan tugas paling sengsara adalah menyodorkan wajah untuk disemprot pasien atau keluarga yang mengadukan pelayanan rumah sakit.

Ah, syukurlah dia berhenti sejenak curhatnya ketika pesanan akhirnya datang. Saya meminta dia terlebih dahulu menikmati makan siangnya sebelum melanjutkan curhat. Di depan saya sudah tersaji sepiring nasi putih hangat, semangkok tongseng kambing dan segelas besar air kelapa muda tanpa es tanpa gula. Lupakan dulu masalah, saatnya nikmati makan siang.

Sekitar 10 menitan, menu makan siang saya sudah ludes. Kantin makin ramai saja. Suara bersahutan dan semakin bising. Terpaksa saya harus menaikan volume agar terdengar oleh tamu pejabat humas di depan saya. Sebelum dia melanjutkan berkeluh kesah, saya putuskan mendahuluinya berbicara.

Saya awali dengan pertanyaan, pernahkah humas rumah sakit tamu saya ini menunjukan kinerja terbaiknya? Prestasi apa yang humas dapat sumbangsihkan bagi rumah sakit? Tamu saya diam sejenak. Mungkin ragu menjawab. Atau bisa jadi memang belum ada kinerja dan prestasinya.

Kemudian saya sambung dengan kalimat inspiratif ala motivator diberbagai media. Jangan mengiba belas kasihan orang lain untuk menghargai sebelum kita sendiri belum mampu tunjukan betapa berharganya kita. Jangan harap orang lain memahami pentingnya kita, sementara kita sendiri tak mengerti untuk apa kita ada.

Agar lebih konkrit, saya memberikan sedikit saran. Kliping koran yang telah dibuat agar dilanjutkan dengan telaah berupa analisa dan saran solusi. Selanjutnya, telaah itu disampaikan kepada pimpinan dan tembusan ke unit terkait. Ini penting, agar mendapatkan feedback dan tindaklanjut.

Saran kedua adalah kuesioner pelayanan untuk menampung pendapat publik dari pasien, keluarga atau pengunjung. Setelah data terkumpul, diolah, dianalisa dan feedback.

Cukup 2 itu saja dulu. Lakukan dengan konsisten. Baru kemudian memikirkan langkah selanjutnya yang lebih berat. Yaitu bagaimana seharusnya menempatkan kedudukan dan peran humas rumah sakit.

Tak terasa waktu istirahat hampir usai, kami pun bergegas kembali ke ruang kantor untuk segera kembali bekerja.