Tampilkan postingan dengan label humas. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label humas. Tampilkan semua postingan

Kamis, 30 April 2015

, ,

Humas Diantara 2 Dunia

Humas itu hidup di dua dunia. Humas itu jembatan kepentingan publik dan organisasi dimana ia bekerja. Jadi, Humas itu harus membiasakan diri berkepribadian ganda.

Risikonya, dicaci publik dan dimarahi atasan bisa terjadi dalam satu waktu. Itu sudah biasa. Oleh sebab itu, Humas yang baik itu memfungsikan secara optimal kedua telinga dan satu mulut. Tahu persis komposisi harus banyak mendengar daripada bicara. Disisi lain harus bisa dimengerti jika bicara setelah menyimak seksama.

Tidak bisa menjadi Humas yang pandai mendengar tetapi sering salah bicara apalagi bisu. Tidak juga baik, Humas yang banyak bicara, sedikit sekali mendengar. Jadi bagaimana, masih mau jadi Humas?

Kamis, 10 Oktober 2013

, , , , , , ,

Jangan Katakan, Apakah Sudah Buat Janji?

Saya bergegas mendahului naik lift menuju lantai 6 di sebuah rumah sakit di kawasan BSD Tangerang. Sebelumnya saya sudah bertanya kepada seorang staf dimana kantor manajemen atau direksi rumah sakit. Saya bersama sekitar 15 orang sengaja berkunjung mendadak untuk meminta klarifikasi atas suatu perkara di rumah sakit tersebut.

Sampai di lantai 6 terdapat seorang resepsionis yang sedang duduk dan sambil bertelepon.

"Selamat siang. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan ingin bertemu dengan direktur atau manejemen rumah sakit". Saya memperkenalkan diri sekaligus menyampaikan maksud kunjungan, sesaat setelah resepsionis meletakkan gagang telepon.
"Bapak darimana?", tanya resepsionis sambil tetap duduk. Entah tidak mendengar perkenalan saya atau sekedar memastikan.
"Kementerian Kesehatan," saya mengulang dengan lebih jelas.

Dia mengangguk dan kembali mengangkat gagang telepon. Saya mundur beberapa langkah sambil memperhatikan sekeliling.  Di sebelah kanan ada ruangan kecil. Mungkin ruang tamu. Kawan-kawan saya sudah sampai juga di lantai 6. Mereka masih bergerombol di depan lift. Saya melihat ke arah resepsionis, masih bertelepon. Mungkin sedang melapor ke atasannya atau berkoordinasi ke dalam. Tiba-tiba dia berdiri dan memandang ke arah saya.

"Bu, ada tamu dari Kementerian Kesehatan", resepsionis melaporkan kepada perempuan yang datang dari arah belakang dimana saya berdiri.
"Selamat siang Ibu. Saya Anjari dari Kementerian Kesehatan. Ingin bertemu dengan direktur atau dengan manajen rumah sakit"
"Apakah sudah buat janji? Atau kirim surat resmi?," tukasnya tanpa balas memperkenalkan diri. Sorot matanya penuh selidik. Raut mukanya datar tanpa ekspresi keramahan.

"Belum bu. Apakah harus kami buat janji atau kirim surat resmi?," saya bertanya balik.
"Oh tidak. Ada keperluan apa ya?"
"Kami dari Kementerian Kesehatan bersama rombongan dari KKI, IDI, Kementerian Tenaga Kerja dan Imigrasi ingin klarifikasi tentang suatu hal dengan direksi. Apakah Ibu, Direkturnya?"
"Oh bukan. Saya bagian dari manajemen. Boleh saya masuk dulu, nanti sebentar kami keluar lagi menemui bapak dan ibu kembali"
"Silahkan. Boleh para pimpinan kami menunggu di dalam ruangan itu?", jawab saya sambil menunjuk ruanh kecil di sebelah kanan.

Wanita itu masuk ke dalam. Resepsionis pun asik menunduk dan membuka-buka sebuah buku. Saya mempersilahkan para pejabat lembaga yg tadi saya sebutkan untuk menunggu di dalam ruang tamu yang hanya cukup sekitar 7 orang.

Saya masih berdiri sambil mematut diri. Dalam hati bertanya, apa yang kurang pada diri saya sehingga mendapat tanggapan yang tak ramah. Resepsionis dan wanita tadi menerima dengan kesan kaku. Malah cenderung diwarnai kecurigaan. Dari busana, saya pakai baju batik dan semi jas lengkap dengan tanda pengenal. Dari tata krama, saya sudah memperkenalkan diri.

"Penampilan saya kurang meyakinkan ya? Sepertinya ibu tadi tak yakin kalau saya dari Kemenkes," canda saya kepada seorang kawan.
"Ah bapak bisa aja. Kayaknya disini sudah biasa begitu. Masa dia nggak lihat bos-bos kita pakai jas dan blus resmi gitu. Malah ada yang pakai seragam. Ada kumisnya lagi," serentak kami berdua terkekeh. Sekedar menghibur diri untuk mengusir kejenuhan. Kurang lebih 30 menit menunggu tak juga ada orang yang menenui kami di ruang tunggu.

Setiap ingat kejadian itu, hingga saya menulisnya saat ini, saya merasa tak habis pikir. Bagaimana sebuah rumah sakit swasta yang terkesan mewah dan besar, namun mempunyai gaya menerima tamu sedemikian kaku dan tidak bersahabat. Alih-alih mengedepankan hospitality dan customer care, sebaliknya justru menagih surat resmi dan menanyakan apakah sudah buat janji.

Seperti sudah kita maklumi bahwa pertanyaan "apakah sudah buat janji" biasa digunakan untuk menyeleksi tamu pimpinan kantor. Atau bahkan jadi alasan untuk menolak tamu karena waktu bos tidak bisa dibuang-buang untuk perkara tamu yang tak penting. Boleh dan sah-sah saja itu diterapkan. Pertanyaannya, kepada siapa dan disaat kapan pertanyaan "apakah sudah buat janji" itu disampaikan?   Semestinya si penanya harus dapat menilai kapan waktu dan kepada orang yang tepat. 

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan publik yang mengedepankan empati dan kepedulian. Tidak hanya staf di garda depan, meski Direktur sekalipun, harus siap menerima tamu untuk mendengar dan menerima keperluannya. Benar, tidak semua tamu harus diterima dan diseleksi Direktur. Namun cara seleksi tamu pun jangan terkesan birokratif, tertutup dan kaku.

Cara terbaik seleksi tamu adalah dengan menanyakan siapa orang dan apa keperluannya. Setelah tahu, kita bisa mengerti seberapa penting si tamu bertemu dengan direktur rumah sakit. Jika memang dianggap penting, jangan sekali-kali menanyakan "apakah sudah buat janji atau kirim surat resmi". Itu tidak etis lagi tak bersahabat. Jika tamu itu pun dirasa biasa saja, barangkali bisa ditawarkan untuk dibantu pejabat atau staf lain selain direktur. Misalnya, "mungkin bisa saya bantu sebelum nanti bertemu dengan atasan saya". Itu berempati lagi ramah.

Kemudian saya coba bandingkan dengan kebiasaan di ruang tata usaha Dirjen. Sepanjang yang saya ketahui, belum pernah staf TU Dirjen menanyakan surat resmi atau buat janji terhadap tamu yang sudah terlanjur bertamu. Tapi prosedurnya tentu ditanya siapa dan apa keperluannya.

Ah, lain lubuk lain ikannya. Membiarkan tamu sekitar 45 menit tanpa kejelasan itu benar-benar perilaku yang tidak berempati lagi tak bersahabat. Apalagi terhadap tamu dari institusi negara dengan tugas khusus. Dan ketidakramahan itu semakin lengkap, setelah kami berinteraksi dengan Direktur rumah sakitnya. Ahh!

Minggu, 06 Oktober 2013

, , , , , , ,

Sempurnakan Customer Service Menjadi Customer Care

Dengan sedikit terburu-buru saya masuk  Indomart tak jauh dari fly over terminal Kampung Melayu. Saya ingin beli sari kurma pesanan adik saya.

"Mba, ada sari kurma?". Dia tercenung, sepertinya belum tahu sari kurma.

"Biasanya dipajang dekat madu", saya berusaha sedikit memberi keterangan.

"Mari pak, saya antar ke tempat madu". Dia berjalan mendahului, saya mengikuti.

"Silahkan pak. Saya kembali ke kasir ya pak". Saya mengangguk.

Sejurus kemudian saya amati satu persatu deretan botol madu berbagai merk dan ukuran. Ternyata sari kurma tak dapat saya temukan diantara aneka jenis madu itu. Daripada keluar dengan tangan kosong, saya pun ambil sebotol madu putih. Kebetulan putri saya suka sekali madu putih. Saya bergegas ke kasir.

"Tanggal expirednya februari 2014 ya pak", kata kasir yang tadi mengantar saya ke rak madu. Saya tersadar. Tadi saya lupa mengamati tanggal kadaluarsanya. Tunggu dulu, Februari 2014 kan sekitar 4 bulan lagi, begitu pikir saya.

"Memang ada yang expirednya lebih lama?", tanya saya menyelidik.
Jujur saya penasaran. Rasanya saya belum pernah diinformasikan tanggal kadaluarsa untuk barang yang masih dalam masa berlakunya.

"Ada pak. Tunggu sebentar saya ambilkan".

Bergegas dia masuk ke dalam ruangan, mungkin gudang. Tak berapa lama kasir keluar dengan menenteng madu yang merek, jenis dan kemasannya sama dengan yang saya pilih tadi.

"Ini pak. Expirednya Oktober 2016"

"Wah, terima kasih. Anda hebat. Care sekali dengan customer," spontan saya memujinya karena senang dengan pelayanannya. Kasir tersenyum.

Saya benar-benar merasa excited dengan pelayanan kasir sekaligus wiraniaga ini. Jika dipikir, buat apa dia menginformasikan, lebih tepat memperingatkan, kepada pelanggan atas tanggal kedaluarsa. Toh, barang yang dibeli masih layak konsumsi hingga sekitar 4 bulan ke depan. Mungkin kasir ingat bahwa ada madu yang sama di dalam sana dengan kualitas lebih baik. Ditandai dengan masa expired yang jauh lebih lama, sekitar 2 tahun.

Bisa jadi, wiraniaga ini ingin memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggannya. Bukan hanya sekedar memberikannyang dibutuhkan pelanggan. Bukan pula sekedar senyum salam sapa seperti yang diajarkan dalam pelatihan customer service. Tetapi wiraniaga ini berempati, seakan dirinya adalah customer yang tentu saja akan memilih barang dengan expired lebih lama. Untuk itulah dia care kepada customernya.

Dengan harga sama dan pelayanan tidak berbeda, wiraniaga memberikan barang yang jauh lebih baik. Tentu saja ini akan menyentuh hati pelanggannya. Karena kasir ini telah mennyempurnakan customer service menjadi customer care.

Jumat, 30 Agustus 2013

, , , , , , , ,

Perbedaan antara Humas dengan Pemasaran

Tak sedikit orang Humas merasa lebih penting dari orang Pemasaran. Sebaliknya banyak juga praktisi Marketing beranggapan lebih dibutuhkan daripada praktisi Public Relations. Terjadilah diskursus apa perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Apakah demikian juga anda?

Dalam tataran teori maupun praktek, sering muncul perdebatan tentang perbedaan Humas (Public Relations) dengan Pemasaran (Marketing). Kedua aktivitas ini sesungguhnya merupakan bagian dari komunikasi sehingga mengandung prinsip dan komponen komunikasi.

Dalam komponen itu terdapat sumber, pesan, media, khalayak atau penerima informasi serta tujuan komunikasi. Namun demikian, Humas dan Pemasaran memiliki orientasi yg berbeda secara signifikan. Mari kita cermati, perbedaan mendasar konsep Humas (Public Relations) dan Pemasaran (Marketing).

Pertama, pesan komunikasi. Aktivitas Humas dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari seluruh stakeholders (termasuk didalamnya adalah konsumen atau calon konsumen). Pemasaran mengkomunikasikan hal-hal (pesan) yg berkaitan aktivitas perusahaan yang mengandung citra tertentu.

Misalnya, Public Relations sebuah rumah sakit akan meyakinkan publik/stakeholders berkaitan aktivitas yg mengandung citra positif dari pelayanan rumah sakit. Pada sisi lain, pihak Marketing menyajikan pesan dalam bentuk promosi atau penawaran produk atau jasa pelayanan yang disediakan rumah sakit dan berupaya mendorong konsumen/pasien memanfaatkan produk/jasa layanan yang ditawarkan rumah sakit.

Kedua, alat menyampai pesan. Dalam kegiatan Humas, alat menyampai pesan adalah berita (news). Para praktisi Humas hanya mengirimkan informasi pada media massa dan media sosial agar memuat informasi menjadi berita yg bisa dibaca khalayak. Secara ekonomis, ongkos penyampaian pesan rendah, namun tetapi memiliki kredibilitas tinggi. Pada sisi lain, alat penyampaian pesan yg digunakan dalam Pemasaran adalah iklan.

Ketiga, penggunaan media. Dalam perspektif Public Relations, media merupakan salah satu komponen stakeholder yang penting untuk di jaga. Walau menempatkan media sebagai relasi, dalam berbagai aspek Humas (Public Relations) tdk bisa secara gampang memaksa media untuk mempublikasikan semua hal yg direlease  karena itu terkait kewenangan redaksional. Pada sisi lain, pihak Pemasaran (Marketing) justru memiliki kebebasan untuk menempatkan tempat, waktu memasang iklan, sesuai dengan tarif yang dibayarkan.

Keempat, jangka waktu aktivitas. Dalam menjalankan aktivitasnya, Humas bersifat jangka panjang, dalam artian sebagai fungsi manajemen, Humas harus mampu merancang berbagai aktivitas agar organisasi atau perusahaan itu bisa bertahan sepanjang waktu. Sebaliknya Pemasaran, dari segi waktu, aktivitasnya lebih bersifat jangka pendek sesuai usia produk atau jasa yang ditawarkan.

Kelima, target atau sasaran komunikasi. Target sasaran dari aktivitas Humas menyentuh publik luas, terutama yg memiliki kepentingan terhadap kehidupan organisasi. Pada pihak lain, sasaran komunikasi Pemasaran lebih ditujukan pada mereka yang dianggap berpotensi membeli dan menggunakan jasa yang ditawarkan.

Tentu, masih ada perbedaan lain yg bisa menunjukkan aktivitas Humas dan Pemasaran seakan-akan menjadi perdebatan. Dalam praktek, sering sekali dijumpai terjadi penggabungan antara Humas dan Pemasaran demi efektivitas. Perbedaan antara Humas (public relations) dengan Pemasaran (Marketing) sesungguhnya ingin menjelaskan bahwa kedua aktivitas ini memang memiliki keunikan sehingga tidak perlu diperdebatkan. Siapa pun kedudukan anda, Humas atau Pemasaran, keunikan masing-masing akan menjadi kekuatan yang bisa mendukung kinerja rumah sakit.

Senin, 26 Agustus 2013

, , , ,

Bu Yati, Humas Idola Saya

Bu Yati tergopoh-gopoh menemui pasien. Setengah berlari dia mendahului saya untuk mendekati seorang lelaki yang nampak sedang marah dengan petugas customer service. Setelah dekat, Bu Yati dengan senyum mengembang mengucap salam dan bertanya kabar kepada pasien yang sudah lanjut usia tersebut. Tidak cukup itu, tanpa menunggu respon lelaki tua itu, Bu Yati memeluknya dengan hangat.

Saya takjub sejenak. Dalam hati, saya kagum dengan bagaimana Bu Yati memperlakukan pasiennya yang sedang marah. Pasien itu memang aedang komplain terhadap pelayanan rumah sakit dimana Bu Yati bekerja. Sebagai Humas, Bu Yati menjadi pihak yang jadi sasaran kemarahan dan harus mampu menangani dengan baik.

Sambil memegang erat kedua tangan lelaki tua itu, Bu Yati menuntunnya untuk duduk di kursi didekatnya. Dengan lembut, Bu Yati meminta maaf atas ketidaknyamanan yang dirasakan pasien. Dan sekaligus memastikan bahwa pasien lansia tersebut akan mendapatkan pelayanan terbaik dari rumah sakit. Sejenak pasien itu ragu, dia mengalihkan pandangan kepada saya. Saya tersenyum dan mengangguk. Kemudian saya menjelaskan apa yang terjadi setelah pasien itu menyampaikan pengaduannya tadi pagi. Akhirnya pasien lansia itu pun tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Itulah sekelumit pengalaman saya ketika menyaksikan langsung bagaimana Bu Yati, petugas humas, menangani komplain pasien. Fragmen tersebut biasa? Menurut saya, itu luar biasa jika dirunut dari kejadian beberapa jam sebelumnya.

Pagi-pagi sekali, seorang pasien menelepon saya untuk mengadukan  pelayanan rumah sakit yang mengecewakan. Saya menuju rumah sakit untuk melakukan klarifikasi. Saya langsung menuju ruang humas dimana biasa pasien/keluarga menyampaikan keluhan pelayanan.

Seorang perempuan, Bu Yati yang berusia sekitar 50 tahun menyambut ramah kedatangan saya. Saya sudah mengenalnya, beliau salah seorang petugas humas yang juga menerima pengaduan dan tempat luapan kemarahan pasien tersebut sebelum yang bersangkutan telepon saya pagi tadi. Badannya subur, berbusana dengan kerudung polos dan sederhana. Singkatnya, penampilan fisik dan berbusana jauh dari stereotif humas pada umumnya, perempuan muda, cantik dan gaya pakaian masa kini.

Bu Yati mendengar dengan seksama apa yang menjadi kepentingan saya. Tidak memotong sama sekali. Sesekali mengangguk. Begitu selesai saya bicara, petugas humas ini menanggapi dengan tutur kata dan sikap yang menunjukkan empati. Ucapan dengan gaya bahasa formal meski tak kaku. Intonasinya terjaga, sehingga membuat nyaman.

Dalam tanggapannya, dia mengakui bahwa pasien belum mendapatkan pelayanan kesehatan disebabkan menunggu keputusan dari Direktur rumah sakit. Meski diterima dengan baik, saya menyampaikan keberatan atas terlambatnya pelayanan. Saya meminta dipertemukan dengan Direkturnya. Saya dapat merasakan bahwa dia bingung dan tertekan. Pertama, jadi sasaran kemarahan pasien yang tak segera terlayani. Kedua, mendapatkan teguran saya sekaligus harus mengantarkan saya kepada Direkturnya.

Di dalam sebuah ruangan, kami bertiga bicara. Bu Yati melaporkan secara singkat duduk perkara dan keperluan saya kepada Direktur. Kemudian saya menegaskan perlunya segera pasien mendapatkan pelayanan. Mendengar apa yang saya dan humas sampaikan, alih-alih berbesar hati mengambil alih tanggung jawab, sang Direktur justru menyalahkan Humas atas keterlambatan pelayanan. Alasannya, Direktur menganggap Humas tidak mencerna dengan baik instruksinya. Sebenarnya Humas bersikukuh bahwa Direktur belum memberikan keputusan. Namun apalah daya, Humas tak dapat lagi menyampaikan pembelaannya. Keputusan pertemuan itu, pasien segera ditangani dengan baik.

Baru saja keluar dari ruangan Direktur, Humas mendapatkan laporan dari satpam bahwa tadi pasien datang ingin menemui Direktur rumah sakit. Satpam menolak permintaan itu dan diminta pasien menunggu di lantai bawah. Bu Yati marah dengan perilaku satpam. Bisa juga Bu Yati marah karena meluapkan tumpukan kedongkolan hatinya karena telah mendapatkan tekanan sana sini baik pasien maupun Direktur. Dengan  terburu-buru, Bu yati dan saya segera menemui pasien tersebut di lantai bawah. Dia bergumam, "sebagai pasien, saya pun akan marah diperlakukan seperti ini'

Demikianlah, di mata saya Bu Yati adalah tauladan kehumasan bagaimana menangani pengaduan dan kemarahan pasien. Dia sendiri tidak dalam kondisi damai secara psikologis. Pagi-pagi telah kena damprat pasien, tertekan dengan kedatangan saya dan puncaknya disalahkan Direktur. Dia marah, dia dongkol hatinya. Namun tak mengurangi keramahan, kehangatan dan ketenangan menghadapi kemarahan pasien.

Kalau tak salah, tahun ini beliau pensiun. Saya akan kehilangan sosok humas yang luar biasa dan berdedikasi. Salut dan salam hormat kepada Bu Yati.

Senin, 15 Juli 2013

, , , ,

Haruskah Humas itu Perempuan Muda lagi Cantik?

Ada stereotif bahwa Humas itu perempuan, muda dan cantik. Jadi bagi anda yang secara fisik tidak memenuhi kriteria itu tidak cocok menjadi Humas. Apakah anda termasuk orang berpandangan demikian?

Menurut pengalaman saya, syarat utama menjadi Humas itu harus menarik. Jadi tidak harus cantik atau tampan, melainkan menarik. Pribadi menarik seorang humas dapat dilihat dari tutur kata, sikap, berpakaian juga secara fisik.

Humas disebut menarik jika orang merasa nyaman bicara dengannya. Kenyamanan ini biasanya disebabkan kemauan mendengar dengan seksama keluhan klien. Juga mampu mencerna isi pembicaraan sehingga pasien/keluarga merasa nyambung atau klik. Dan Humas dalam memberikan tanggapan penjelasan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Menarik itu juga dilihat seberapa antusias dan empati kita saat melayani klien.

Tentu saja, menariknya seorang Humas juga harus ditopang dengan penampilan yang profesional seperti berpakaian rapi, bersih dan wangi.

Syukurlah, jika secara fisik dapat terpenuhi humas yang muda dan cantik/tampan itu. Anggaplah sebuah 'bonus"!

Rabu, 08 Mei 2013

, , , , , , , , ,

2 Isu Penting Rumah Sakit Saat Ini

Hari ini, saya hadir pada acara "Indonesia Healthcare Marketing and Inovation Conference 2013 di Hotel Shangri-La Jakarta. Didaulat oleh PERSI, Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, sebagai salah satu pembicara pada event bergengsi yang digagas oleh Majalah SWA. Panitia memberikan term of reference agar menyampaikan trend bisnis rumah sakit dan pemasaran Rumah Sakit di Indonesia. Sesungguhnya ini materi yang lumayan berat.

Peserta konferensi yang sebagian besar memang berasal dari dunia kesehatan seperti produsen obat, asuransi jiwa, pemilik klinik dan tentunya juga rumah sakit. Sebelum saya sampaikan perihal marketing dan public relations, pada konferensi tersebut saya sampaikan 2 isu penting pada dunia perumahsakitan Indonesia saat ini.

Pertama, ialah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Saya tak ingin bicara, bagaimana amanat Undang-Undang SJSN dan UU BPJS menyangkut jaminan kesehatan ini. Saya hanya ingin membawa pikiran kita menghadirkan lebih dekat 1 Januari 2014. Dimana pada saat itu secara resmi dilaksanakannya JKN. Setiap orang, penduduk Indonesia, harus mempunyai jaminan kesehatan. Bagi pekerja, pemilik usaha mendaftarkan pekerjanya dan membayarkan bagi iurannya kepada BPJS. Bagi rakyat yang tak mampu, iurannya dibayarkan oleh Negara.

Artinya apa? Akan terjadi perubahan perilaku konsumen kesehatan, khususnya pasien. Bila selama ini sebagian besar masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan menggunakan sistem out of pocket alias merogoh kantong sendiri. Sejak 2014, pasien yang berobat harus dengan jaminan kesehatan. Tanpa jaminan kesehatan yang jelas, pasien tak akan terlayani dengan baik. Pasien akan dilayani di rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut jika pasien telah mendapat pelayanan kesehatan tingkat dasar. Ini berarti harus melalui sistem rujukan kesehatan.

Pasien dengan jaminan kesehatan akan dapat diklaim biaya pengobatan dan perawatannya, jika telah dilakukan diagnosa, anamnesa dan tindakan medisnya sesuai dengan standar. Tindakan yang dapat diklaim jika dilakukan sesuai dengan indikasi medis dan masuk dalam Ina-CBG's yang secara sistem telah dilakukan pengelompokan diagnostik dan tindakan yang harus dilakukan. Ditargetkan sekitar 120 juta lebih penduduk Indonesia, akan menjadi peserta pertama JKN pada masa transisi. Ini perlu penyesuaian dari semua pihak, baik rakyat, pemerintah, provider termasuk rumah sakit, dan stakeholder lain.

Ada kecenderungan masyarakat Indonesia untuk coba-coba sesuatu yang baru. Kemudian diteruskan dengan menggunakan secara maksimal hak yang mungkin bisa didapatnya. Demikianlah gambaran bagaimana Kartu Jakarta Sehat di Jakarta. Yang biasanya sakit flu cukup istirahat atau minum tablet yang beli di warung sebelah, karena punya KJS maka pergilah ke puskesmas dan minta rujukan ke rumah sakit. Disertai ekspektasi sedemikian tinggi akibat janji politik akan berobat gratis. Dampaknya terjadi penumpukan pasien dengan antrian panjang yang rata-rata 5x lebih banyak dari biasanya. Bisa dibayangkan, fasilitas yang tersedia tak dapat menampung lonjakan jumlah pasien ini. Akibatnya, komplain dan pengaduan pasien pun meningkat tajam disebabkan ada gap/jurang antara harapan dan kenyataan.

Secara singkat dapat dikatakan, JKN seperti backbone yang akan menopang perubahan sistem lain dan perilaku masyarakat. Kalau tak diantisipasi rumah sakit akan babak belur. Jika rumah sakit gagal melakukan penyesuaian atau bahkan tak mampu menciptakan layanan kesehatan yang melebihi ekspektasi, maka bisa dipastikan akan dirundung masalah tiada henti.

Isu kedua ini sudah menghantam dunia perumahsakitan beberapa bulan atau tahun-tahun kemarin hingga hari ini. Yaitu kemajuan informasi, media massa dan media sosial. Akhir-akhir ini, rumah sakit seakan berada dibawah titik nadir pencitraan. Persepsi komersial, tak berperikemanusiaan dan mencari semata-mata untung disejajarkan dengan pembentukan opini bahwa rumah sakit menolak pasien. Rumah sakit selalu pada di-stigma-kan salah, lebih tepatnya, dipersalahkan.

Ini tak boleh dibiarkan. Perlu adanya keseimbangan informasi dan peningkatan konten positif tentang rumah sakit. Tak dipungkiri memang ada atau beberapa rumah sakit berpelayanan buruk. Namun tidak bijak jika terus menyuburkan sikap gebyah uyah, penyamarataan, bahwa rumah sakit Indonesia memberikan pelayanan buruk. Ada yang menarik, booming media sosial atau semakin familernya masyarakat Indonesia dengan internet membawa dampak berubahnya perilaku pasien rumah sakit. Pasien semakin kritis karena mendapat pasokan informasi dari internet. Terjadi hubungan komunikasi yang horisontal antara dokter dan pasien. Keluhan terhadap layanan rumah sakit pun dengan sangat mudah menyebar luas dan menjadi konsumsi publik.

Tentu saja, ini tantangan sangat besar rumah sakit. Ada gawean besar kehumasan untuk mengembalikan citra dan reputasi rumah sakit. Diperlukan pemahanan dan kemampuan mengelola media massa dan media sosial. Dibutuhkan manajemen media relations yang handal oleh rumah sakit.

Jaminan Kesehatan Nasional dan perkembangan media massa dan media sosial, merupakan 2 isu penting diantara isu-isu lain, yang harus menjadi perhatian utama para pengelola dan pemilik rumah sakit. Di sisi lain, kita berharap ada proses pendewasaan dari perilaku masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Namun sebelum berharap perubahan pada masyarakat, rumah sakit semestinya terlebih dahulu menata diri untuk memberikan pelayanan yang bermutu, aman dan terjangkau. Semoga.