Tampilkan postingan dengan label pasien. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pasien. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Desember 2014

, , , , , , ,

Bolehkah Persalinan Ashanty Disiarkan?

Sebenarnya seperti apa isi siaran Ashanty melahirkan di Rumah Sakit? Terkait boleh tidaknya rumah sakit dijadikan tempat siaran langsung, contoh kasus Ashanty, saya sampaikan beberapa pandangan.

Rumah sakit wajib hukumnya menjaga rahasia kedokteran, rahasia medis dan rahasia pasien. Jika siaran itu melanggar ketentuan ini. Dalam hal pasien dengan kesadaran diri atau meminta hingga rahasia medis dll tidak terlindungi, maka gugurlah kewajiban RS menjaganya. Dalam kasus Ashanty sepertinya pihak pasien secara sengaja membuka sebagian atau seluruhnya rahasianya sehingga RS membolehkan siaran.

Selain rahasia medis, siaran tidak boleh menganggu pelayanan kesehatan di rumah sakit terhadap pasien sendiri atau pasien orang lain. Siaran tidak boleh mengancan keselamatan pasien baik diri sendiri maupun orang lain. Karena RS wajib menjaga keselamatan pasien.

Rumah Sakit harus menjaga etika pelayanan dan etika rumah sakit. Jadi siaran tidak boleh melanggar keharusan RS jaga etika itu. Dalam kasus Ashanty, apakah juga disiarkan proses persalinan, tindakan medis, tindakan operasi sehingga secara etis itu tidak dibolehkan? Sepanjang tidak ditayangkan proses persalinan sehingga dianggap tidak etis/tidak patut, maka RS bisa membolehkan perekaman itu.

Sekurangnya 4 hal diatas menjadi dasar boleh tidaknya Rumah Sakit jadi tempat siaran media. Apakah 4 hal itu ada yg dilanggar Ashanty? Perhimpunan RS Seluruh Indonesia (PERSI) hanya mengurusi aspek pelayanan kesehatannya yang dilakukan oleh anggotanya termasuk RSPI. Jika menyangkut boleh tidaknya disiarkan pd frekuensi publik atas sebagian proses persalinan Ashanty itu kewenangan @KPI_Pusat

Kesimpulannya, jika dalam kasus Ashanty dimana sebagian, apalagi menyangkut pra dan paska proses persalinan, tidak melanggar aturan rahasia medis, tidak mengganggu pelayanan dan keselamatan pasien serta tidak melanggar etika, maka Rumah Sakit dapat membolehkan perekaman siaran itu. Sampa saat ini, belum ada aturan hukum yang melarang rumah sakit dijadikan tempat atau obyek rekaman siaran.

Demikian pendapat saya atas kasus Ashanty. Terima kasih.

Jumat, 08 Agustus 2014

, , , , , , , , , , ,

Benarkah JKN dan INA CBGs Merugikan Dokter dan Pasien?

Sebuah keluhan lama tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau awam lebih mengenal dengan BPJS Kesehatan yang dimuat DIB Online. Keluhan itu ditujukan (mention) untuk menjadi perhatian kepada saya oleh mba Silly, pendiri @Blood4LifeID.

Berikut kutipan tulisan keluhan itu :
Ini bukan tulisan saya, ini adalah tulisan seorang sejawat SpOG yg bertugas di RSUD dr. Soetomo (PPK III)
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga. Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum.
Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien).
Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya.
Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak???
Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter.
Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya….

Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah? Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC. Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang…. (http://dib-online.org/maaf-ini-bukan-salah-kita/)

Pertama, semoga saja Ibu dan Anaknya selamat dan sehat setelah proses SC hingga kini. Kedua, semoga saja, Dokter Obgyn yang menolong persalinan diberkahi oleh Alloh dengan kecukupan rezeki dan kesehatan. Ketiga, semoga RS Soetomo terus tegak menjalankan tugasnya dalam melayani kesehatan masyarakat.

Sesungguhnya ini cerita lama, ini keluhan yang ditulis tanggal 11 Januari 2014, diawal diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional. Jika boleh bernostalgia, saat itu suara-suara kencang menyuarakan rumah sakit bakal bangkrut karena berlakunya JKN dengan tariff INA-CBGs. Dan diberbagai tulisan saya sebelumnya telah saya sampaikan bahwa faktanya rumah sakit tidak bangkrut. Sebaliknya rumah sakit mengalami surplus balance, alias lebih dari untung jika dibandingkan dengan tariff rumah sakit sebelumnya.

Bukti nyata adalah tidak ada rumah sakit yang menerima pasien JKN saat ini gulung tikar. Bahkan di media massa tidak ada lagi pemberitaan yang mengangkat suara rumah sakit bangkrut atau keluhan dokter yang rugi akibat tariff INA CBGs. Sesungguhnya tidak begitu relevan masalah yang terjadi di awal sekali berlakunya JKN (Januari) tapi direspon atau dijawab saat ini.

Namun untuk keseimbangan dan penyajian fakta sekaligus pembelajaran, tidak berlebihan saya merespon tulisan tersebut dengan beberapa fakta-fakta sebagai berikut:

  1. Faktanya, 96 persen Rumah Sakit penerimaannya mengalami surplus dihitung dari ratio klaim tarif INA-CBG yang ditagihkan ke BPJS dengan tarif RS. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa 96 persen RS dengan tariff INA CBGs dibandingkan dengan tariff lama/sebelumnya. Coba bayangkan, jika total penerimaan dengan tariff INA CBGs sama dengan tariff RS sebelumnya saja sudah disebut UNTUNG, ini faktanya 96 persen RS total klaim penerimaaannya mengalami kelebihan diatas tariff RS. Ini bukan lagi untung, tetapi BONUS. Pertanyaannya, jika RS-nya saja “bonus” surplus, apakah tenaga medisnya bakal rugi?

  2.  Tujuan penggunaan tarif paket INA-CBG dalam JKN adalah untuk mendorong efisiensi tanpa mengurangi mutu pelayanan. INA CBGs itu cost effective system. Jika penangan kuratif dan rehabilitative dari sekelompok diagnose penyakit pasien mengakibatkan biaya lebih besar dari tariff INA CBGs (rugi), bisa terjadi beberapa kemungkinan :

    • Kebiasaan terapi dan perawatan yang dilakukan dokter tidak cost effective

    • Telah terjadi over treatment terhadap pasien. Alias standar pelayanan tidak standar.

    • Terjadi kesalahan teknis misalnya, salah input kode INA CBGs, rekam medis tidak lengkap, dll

    • Penentuan severity level yang tidak tepat sehingga tariff INA CBGs perlu diperbaiki.



  3. Faktanya, banyak kebiasaan dokter yang tidak cost efective yang perlu diperbaiki. Misalnya untuk kasus untuk SC diatas, saya kutipkan jawaban teknis seorang Dokter Obgyn dan pakar INA CBGs dari RS Kariyadi Semarang sebagai berikut :

    • Kasus SC merupakan kasus yang “unik”. Status pasien sulit diprediksi. Dalam kondisi normal pun bisa mendadak tidak stabil. Demikian juga dalam kasus pasien tidak ANC pun, ternyata bisa jadi bisa dalam kondisi normal. Sehingga biasanya, pasien SC dikondisikan dalam keadaan kegawatdaruratan.

    • Lama rawat SC tanpa komplikasi umumnya hanya 4 hari atau 3 hari. Kalau di rawat di kelas 3 kita tinggal hitung biaya akomodasi di klas 3 yang tidak mahal. Rata-rata rawat inap kelas 3 Rp 100 ribu per hari. Antibiotik yang diberikan cukup sekali pemberian dengan obat generik generasi pertama yang harganya tidak lebih dari Rp 25 ribu. Tidak perlu diberikan antibiotik oral. Obat nyeri generik juga sangat murah dan mutunya bail dengan menggunakan formularium nasional yang sudah terbukti mempunyai bukti ilmiah yang kuat. Demikian juga anesthesi regional biaya tidak lebih dari Rp 100 ribu. Terhadap penggunaan obat motilitas usus, itu belum terbukti ilmiah harus selalu digunakan. Dengan uraian ini, maka kasus SC tanpa komplikasi biasanya menghabiskan biaya medis sekitar Rp 2 juta.

    • Jika kasus SC dengan komplikasi bisa dilihat seberapa severity levelnya. Biasaya kenaikan tarifnya 20% sd 30% setiap levelnya. Misalnya saja bayinya mengalami Berat Badan Rendah (BBLR), semestinya sang bayi dikenakan tariff berbeda sehingga RS memasukan input kode INA CBGS lagi, sehingga totalnya lebih dari Rp 4 juta.

    • Faktanya setelah 7 bulan JKN dijalankan, justru Cost Recoveru Rate RS meningkat.



  4. Kebiasaan JKN kebiasaan Rumah Sakit/Dokter tidak berubah dari fee for service system menjadi prospective payment system. Contohnya dalam kasus diatas, dimana dokter Obyen bisa mendapat honor “cuma 60 ribu” per pasien. Ini cara berfikir dan perilaku yang tidak tepat dalam system paket INA CBGs. Karena sesungguhnya, dengan INA CBGs, jasa layanan diambil dari selisih total penerimaan dikurangi total pengeluaran. Tidak hitung per pasien sebagaimana dalam fee for service system yang selama ini dilakukan.

  5. Dalam system INA CBGs, istilah “obat ini tidak ditanggung, obat itu ditanggung” tidak sepenuhnya tepat. Penghitungan tariff INA CBGs dihitung secara paket berdasarkan output. Dokter Obgyn dan ahli INA CBGs tadi memberikan analogi sederhana begini. Misalnya sebuah masakan nasi goreng seharga Rp 15 ribu. Meskipun pelanggan meminta garamnya dikurangi, lebih pedas, telur ceplok atau dadar maka harganya tetap sama Rp 15 ribu. Kecuali jika minta telornya 2 buah, maka harganya naik karena ini tidak sesuai dengan paket dan standar nasi goreng yang dijual.

  6. Kemudian untuk “kasus sirkumsisi (sunat) tarifnya jauh lebih besar dibandingkan tindakan SC” itu terjadi jika pada sirkumsisi yang rawat inap, misalnya komplikasi dengan hemophili. Tetapi untuk sunat ritual yang rawat jalan biaya tidak lebih dari Rp 200 ribu.

  7. Pertanyaan penutupnya, mengapa pada awal diberlakukannya JKN banyak dokter menyuarakan bahwa mereka dibayar dengan murah atau rugi? Karena mindset dan kebiasaannya belum berubah tadi, misalnya :

    • Jasa layanan/honor dihitung per pasien/perlayanan, tidak paket.

    • Biasa menggunakan obat paten, bukan generik atau obat dalam fornas

    • Tidak punya clinical pathway, atau ada clinical pathway tetapi pelayanan dilakukan sesuai kebiasaan selama ini. Padahal belum tentu sesuai PNPK (Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran), dan lain-lain . Sehingga jika dokter masih melakukan dengan kebiasaan lama, sedangkan sistemnya menggunakan INA CBGs ya bakal tidak nyambung. Jadi siapa yang mestinya berubah mindset dan perilakunya?




Apa yang semestinya dilakukan oleh 4% persen RS tadi menjadi surplus, atau yang 96% RS menjadi semakin cost effective tanpa mengurangi mutu layanan?

  • Bangun komonikasi yang baik antara tim dokter denganmanajemen untuk mengurangi variasi pelayanan dan pilih layanan yang paling cost efective dengan membuat dan menjalankan clinical pathway.

  • Hilangkan kebiasaan kerjasama yang tidak perlu antara dr juga manajemen untuk mendapatkan keuntungan yang tidak perlu, yang konon bisa dimasukan kategori grativikasi. Masih banyak lagi tugas mulia dan perubahan yang harus dilakukan dr dan manajemen untuk melakukan koreksi biaya di sisi input (perencanaan dan pengadanbarang jasa) dan proses (penggunaan sumber daya obat, alat habis pakai, pemeriksaan penunjang dll)

  • Manajemen melakukan efisiensi pada sisi input dan melakukan subsidi silang dari biaya pelayanan lain juga banyak surplusnya.

  • RS membayar jasa dokter yang layak dan sesuai dengan kaidah karena total penerimaan RS surplus.


Demikian, semoga bermanfaat.

Senin, 07 Juli 2014

, , , , , , , , , , , , , ,

Ikut JKN Sekarang, Jangan Tunggu Sampai Sakit

Setiap orang pasti sakit dan kita tak tahu kapan sakit itu datang. Ketika kita ingin berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit harus sudah jelas status pasien; membayar tunai atau menggunakan jaminan kesehatan. Akan lebih mudah dan tenang, jika kita telah memiliki kartu JKN. Prosedur layanan sudah jelas dan biaya pengobatannya pun dipasti ditanggung BPJS Kesehatan sesuai iuran yang dibayarkan.

Bukankah kita bisa mendaftar saat JKN pada saat sakit? Benar bahwa kita bisa mendaftar JKN kapan saja. Namun perlu diingat bahwa kartu JKN berlaku atau bisa digunakan sejak dikeluarkan (tidak berlaku surut). Ini berarti biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit yang timbul sebelum kita memiliki kartu JKN menjadi tanggung jawab pasien/keluarga sendiri. Jika jumlah biaya berobat relatif kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Bagaimana jika sejak awal masuk rumah sakit sudah memerlukan biaya tinggi disebabkan sakit yang sudah parah? Kondisi ini sangat mungkin terjadi kepada siapa saja.

JKN diselenggarakan dengan prinsip gotong royong. Melalui iuran yang dibayarkan setiap bulan, peserta JKN yang sehat membantu peserta yang sedang sakit atau sakit berisiko tinggi. Peserta JKN yang mampu membayar iuran untuk perawatan kesehatan kelas 1 misalnya, akan membantu kelas 2 atau kelas 3. Dengan subsidi silang antar peserta JKN maka standar pelayanan kesehatan yang berprinsip kendali mutu kendali biaya dapat tercapai. Inilah makna gotong royong, nilai kehidupan yang kita junjung dan laksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Ada tiga jenis iuran JKN yaitu untuk fasilitas pelayanan rawat inap kelas I sebesar Rp 59.500 per bulan per orang, kelas II sebesar Rp 42.500 dan kelas III sebesar Rp 25.500. Penentuan kelas fasilitas pelayanan bergantung pada penghasilan peserta, dan kecocokan fasilitas rumah sakit. Sedangkan khusus bagi orang miskin dan tidak mampu membayar iuran ditanggung Pemerintah, disebut Peserta Bantuan Iuran (PBI). Iuran PBI sebesar Rp 19.225 per orang per bulan untuk fasilitas kelas 3 dibayar oleh Pemerintah. Pemerintah telah menetapkan peserta PBI yang memenuhi kriteria miskin berjumlah 86,4 juta jiwa.

Seperti pepatah, sedia payung sebelum hujan. Oleh karena itu, ikut JKN sebelum sakit adalah langkah bijak nan cerdas melindungi kesehatan dan keselamatan kita dan keluarga.

Sabtu, 05 Juli 2014

, , , , , , , , , , , ,

JKN Ringankan Beban Ketika Sakit

Delvi bersedih, karena anaknya (Ridho, 5 bulan) menderita hidrocephalus. Ridho menderita hidrocephalus sejak lahir. Sebagai orang tua, Delvi dan suami, berupaya semaksimal mungkin mencari pengobatan kepada anaknya. Namun penghasilan dirinya yang seorang buruh pabrik garmen dan suaminya seorang sopir truk pengangkut pasir, tidak cukup membiayai pengobatan anak kesayangannya itu.

Delvi bercerita, Ridho sudah pernah melakukan pengobatan di sebuah rumah sakit di Bogor. Sekali pengobatan, Delvi merogoh kocek hingga Rp 1,4 juta. Belum sembuh, Delvi mencoba ke pengobatan alternatif. Hasil tetap nihil, namun uang sudah terkuras habis.

Delvi tidak menyerah. Delvi membawa Ridho ke RSUD Bekasi dengan harapan mendapat biaya yang lebih murah. Atas saran dokter yang merawat Ridho, Delvi pun mendaftar menjadi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di kantor BPJS Kesehatan terdekat. Delvi mengaku tidak merasa kesulitan dalam membuatnya. Prosedur yang dijalani tidak dirasa rumit. Tak perlu memakan waktu lama, kartu JKN selesai diurus. Ridho pun dapat ditangani di RSUD Bekasi.

"Awalnya saya pikir akan rumit urus BPJS. Karena lihat di berita katanya susah. Tapi demi anak saya ya saya coba. Ternyata tidak kok. Saya tidak merasa kesulitan waktu mengurus JKN," ujarnya (Kompas, 4/5/2014).

Bagi Delvi, JKN telah menjadi penolong bagi anaknya yang sakit. JKN adalah jalan keluar kesembuhan anaknya. Ridho menjalani operasi hidrochepalus di RSUD Bekasi. Menurut Delvi, semua itu memakan biaya ratusan juta. Dirinya merasa bersyukur karena keseluruhan biaya sudah ditanggung program bantuan JKN yang diselenggarakan Pemerintah melalui BPJS Kesehatan.

"Kalau tidak ada JKN, saya tidak tahu dapat uang untuk Ridho dari mana. Ini sekarang saya paling hanya keluar uang operasional sehari-hari aja," ujar Delvi (Kompas, 4/5/2014).

Itulah kisah perjuangan Delvi dalam mengupayakan kesembuhan anaknya dengan biaya pengobatannya ditanggung JKN. Tidak hanya Delvi, siapapun termasuk kita, akan berpendapat bahwa biaya pengobatan itu mahal. Apalagi jika penyakit yang diderita termasuk penyakit yang telah memasuki stadium lanjut atau penyakit yang sulit disembuhkan. Jangankan orang tak mampu, orang kaya pun bisa miskin karena sakit yang dideritanya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?
JKN untuk Seluruh Rakyat Indonesia

Sakit merupakan kejadian yang tak pernah bisa diduga. Sakit bisa datang ketika kita masih produktif dan berpenghasilan cukup. Namun sakit juga bisa disaat ketika kita tak lagi produktif, tidak cukup penghasilan. Singkat kata, sakit tak memandang orang kaya, orang cukup atau orang miskin. Dalam demikian, bagaimana dalam kondisi sakit kita bisa memperoleh pengobatan dan pelayanan kapan saja dan dimana saja?

Ya, kita memerlukan Jaminan Kesehatan. Dengan Jaminan Kesehatan atau asuransi kesehatan mengurangi risiko menanggung biaya kesehatan dari kantong sendiri (out of pocket), dalam jumlah yang sulit diprediksi bahkan sering kali jumlahnya sangat besar. Namun tidak setiap orang mampu dan mau ikut asuransi kesehatan. Mengapa demikian? Pertama, premi asuransi kesehatan komersial relatif tinggi sehingga tidak terjangkau sebagian besar masyarakat. Kedua, manfaat yang yang ditawarkan umumnya terbatas.

Oleh sebab itu, Pemerintah mengeluarkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mulai 1 Januari 2014. Berbeda dengan asuransi kesehatan komersial, JKN merupakan asuransi kesehatan sosial dengan banyak kelebihan. Pertama, iuran relatif terjangkau bagi setiap orang. Bahkan bagi penduduk miskin, iurannya ditanggung oleh Pemerintah. JKN dijalankan dengan prinsip gotong royong. Ini berarti bahwa peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat membantu yang sakit, atau sakit berisiko tinggi.

Kedua, JKN memberikan manfaat yang komprehensif dengan iuran terjangkau. Setiap peserta JKN memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai kebutuhan medis.

Ketiga, JKN menerapkan prinsip kendali mutu kendali biaya. Itu berarti peserta JKN dapat memperoleh pelayanan kesehatan bermutu dengan biaya yang wajar dan terkendali. Keempat, JKN menjamin sustainabilitas (kepastian pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkelelanjutan). Kelima, JKN menganut sistem portabilitas sehingga peserta JKN dapat menggunakannya kartu JKN untuk berobat antar fasilitas kesehatan dan antar daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Oleh karena itu, untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia, kepesertaan JKN bersifat wajib bagi setiap orang penduduk Indonesia dan warga negara asing yang bekerja paling sedikit 6 bulan di Indonesia.

 

Selasa, 17 Juni 2014

, , , , , , , , , , ,

#Blogger2Hospital untuk Pasien dan Rumah Sakit

Hangatnya sinar matahari pagi mulai terasa, ketika saya perlahan berjalan menyusuri jalanan parkir yang di sisi sampingnya berjejer pohon rindang. Kaki saya melangkah mantap menuju Griya Puspa, titik temu dengan kawan-kawan blogger saya. Hari itu (31/5), saya bersama kawan-kawan #Blogger2Hospital melakukan kunjungan edukasi ke RSUP Persahabatan Jakarta.

Jam tangan saya menunjukan jam 08.05. Suasana poliklinik eksekutif, Griya Puspa, masih sepi. Mungkin karena ini hari Sabtu. Beberapa kafe dan toko makanan pun belum buka. Sesuai rencana, rangkaian #Blogger2Hospital di RSUP Persahabatan akan dimulai jam 09.00 pagi. Sambil menunggu hadirnya kawan blogger, saya diminta Ibu Lien (direktur umum) sedikit menyampaikan testimoni dan materi pada pelatihan "Great Customer Services Training". Sebuah pelatihan yang dikhususkan kepada petugas garda depan (frontliner) dalam pelayanan pelanggan atau pasien RS Persahabatan.

Jam 9.00 lebih sedikit, sekitar 10 orang blogger telah hadir di ruang rapat direksi. Seperti biasa, kami akan lakukan pembekalan kecil sebelum acara #blogger2hospital dimulai. Pada #blogger2hospital ke-3 ini, kami mendapatkan edukasi dari RSUP Persahabatan mencakup kesehatan respirasi, pengenalan ruang isolasi flu burung dan terutama edukasi klinik berhenti merokok. Selain berupa paparan, #blogger2hospital juga melakukan hospital tour dan mencoba beberapa fasilitas RS Persahabatan. Itulah sekilas #blogger2hopsital di RS Persahabataan Jakarta.

Sebelum dimulai acara, Bu Lien sempat bertanya apa sih sebenarnya #Blogger2Hospital itu. Secara singkat saya katakan bahwa #Blogger2Hospital adalah kegiatan edukasi pasien. Setiap pasien wajib memberikan informasi yang benar yang jelas kepada pasien. Rumah Sakit juga selain memikul fungsi pelayanan juga fungsi pendidikan, termasuk edukasi pasien.

Oh, setiap rumah sakit pasti melakukan edukasi pasien kok. Benar, itu tidak salah. Saya sangat yakin, petugas rumah sakit akan memberikan informasi kepada pasien, termasuk edukasi dan promosi kesehatan kepada pasien. Kapan edukasi itu diberikan? Pada saa pasien yang sedang sakit akan, dalam dan setelah mendapat pengobatan. Yakinkah bahwa edukasi ini berhasil? Coba kita bayangkan kita adalah pasien yang dalam keadaan kepayahan sakit harus mendengarkan edukasi dari petugas RS. Belum lagi juga harus memikirkan biaya pengobatan rumah sakit.

Mengapa tidak kita balik kondisinya, rumah sakit memberikan edukasi pasien dikala pasien itu siap menerima. Pada saat pasien itu bukan sebagai pasien. Tapi dalam keadaan sehat tubuh, pikiran dan jiwanya. Dalam keadaan pasien itu secara sukarela mau belajar tentang prosedur dan standar rumah sakit. Kawan-kawan yang tergabung dalam #Blogger2Hospital adalah pasien yang dalam keadaan sehat dan siap belajar dunia rumah sakit.

Mengapa harus Blogger? Blogger itu bagian dari warga internet (netizen) yang melakukan jurnalisme warga. Yang menjadi ciri khas citizen adalah suka berbagi informasi (sharing information) melalui publikasi tulisan, status, gambar dan video melalui media sosial. Sekurangnya melalui blog, twitter atau facebook.
Demikianlah juga dengan edukasi yang blogger peroleh dari pihak Rumah Sakit, tuan rumah #blogger2hospital. Informasi yang diperoleh, apa yang dirasakan, pengalaman yang dikecap saat kunjungan edukasi akan secara sukarela disebarkan Blogger kepada pengikutnya atau pembacanya. Secara langsung dan tidak langsung, maka informasi edukasi rumah sakit tersebut tersebar ke banyak pasien (many to many information). Dengan kata lain, kegiatan #blogger2hospital membantu saling memahami dan berkomunikasi antara pasien dan rumah sakit. Program #blogger2hospital bermanfaat bagi pasien dan rumah sakit dalam banyak hal terutama edukasi, informasi dan komunikasi.

Berikut beberapa postingan yang menuliskan perasaaan, pengalaman dan apa yang didapat peserta #Blogger2Hospital di beberapa rumah sakit. Silahkan dibaca :)

#Blogger2Hospital Pertama di RS Premier Bintaro :

  1. Wisata edukasi tentang rumah sakit di RS Premier Bintaro, Priceless!

  2. Ketika #blogger2hospital ke RS Premier Bintaro

  3. Menikmati Liburan dengan Berkeliling Rumah Sakit

  4. Sedikit cerita tentang serunya Tour ke RS. Premier Bintaro

  5. Melongok ke dalam RS Premier Bintaro

  6. #Blogger2Hospital : Tour Asyik di RS. Premier Bintaro

  7. Magnetism Card Trick - Edisi #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Kedua di RSIA Evasari Jakarta:

  1. Touring Ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Evasari Jakarta

  2. #blogger2hospital sambangi RSIA Evasari

  3. #Blogger2Hospital (Edisi 2): Menyambangi RSIA Evasari

  4. Studi Tour Ke RSIA Evasari

  5. Hospital Tour #blogger2hospital @rsiaevasari

  6. #blogger2hospital Ke RSIA Evasari, Rumah Sakit Yang Memiliki Pelayanan Subspesialistik Terlengkap di Jakarta

  7. Bukan Jalan-jalan Biasa #Blogger2Hospital


#Blogger2Hospital Ketiga di RSUP Persahabatan Jakarta;

  1. Rumah Sakit Persahabatan, Rujukan Nasional Kesehatan Respirasi

  2. Jangan Merokok, Nanti Dokter Annisa Dian Marah!

  3. #Blogger2Hospital (Edisi3): Menelusuri RSUP Persahabatan

  4. Bukan Jalan-Jalan Biasa : RSUP Persahabatan

  5. Pilih Mana Berhenti Merokok atau Sakit?

  6. Yuk Berhenti Merokok di Klinik Berhenti Merokok - RS PERSAHABATAN

  7. Jalan - Jalan ke RS PERSAHABATAN

  8. Blogger2Hospital berkunjung ke RSUP Persahabatan


Maaf bagi kawan blogger yang belum sempat disebutkan postingannya ya. Informasi dan edukasi #Blogger2Hospital juga bisa diikuti di Twitter dengan hastag #blogger2hospital.

Bagi Kawan Blogger, gabung yuks di #Blogger2Hospital selanjutnya. Untuk Rumah Sakit, hubungi kami jika siap menjadi tuan rumah edukasi pasien.

Rabu, 27 November 2013

, , , , , , , , ,

Memahami Aksi Mogok Dokter Hari Ini

Sulit untuk tidak mengatakan sebagai mogok terhadap aksi solidaritas yang dilakukan dokter hari ini. Meski dibungkus dengan istilah bahwa dokter "Tidak Praktek" kecuali pasien gawat darurat (emergensi). Sulit pula menafikan pandangan awam yang menyamakan dokter seperti buruh, karena mogok kerja memang identik dengan buruh. Karena faktanya, berdasar seruan POGI, IKABI bahkan PBIDI, dokter se-Indonesia tidak melakukan praktek alias tidak layani pasien kecuali dalam keadaan darurat. Mungkin butuh keajaiban untuk membatalkan mogok para dokter ini.

Melihat aksi solidaritas dokter ini, mari kita semua melihat dari berbagai sisi pandang. Yang pertama, tentu dari cara pandang kedokteran. Meski tidak bisa orang awam, seperti saya, mampu melihat secara detil dan teknis medis. Namun secara prinsip, cara pandang dokter dapat jadi dasar pemahaman kenapa dokter lakukan aksi mogok ini. Selanjutnya kita lihat dari sisi proses hukum, kepentingan pasien dan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Sebagaimana sudah tersebar di media massa dan media sosial, aksi solidaritas ini dilatar belakangi kasus dr A dkk di Manado. Yaitu dr. A dan 2 rekan dokter lain diduga melakukan tindakan malpraktek saat melakukan operasi seksio sesaria pada persalinan seorang ibu pada tahun 2010. Pengadilan Negeri Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah (bebas murni), namun pada tingkat Kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan Jaksa dengan menyatakan ketiga dokter bersalah melakukan malpraktek dan dipidana 10 bulan penjara. Sementara itu, para dokter berpendapat bahwa dr A dkk tidak bersalah, karena telah melakukan upaya pertolongan dan emboli sebagai penyebab kematian pasien merupakan bagian dari risiko medis. Nah ini menarik, mari kita cermati, mengapa dokter bisa berpendapat demikian.

Dalam hubungan dokter dan pasien disebut sebagai "fiduciary relationship", hubungan kepercayaan. Hubungan dokter pasien bersifat asymetry information, dimana dokter lebih mengerti kondisi kesehatan pasien. Disisi lain secara umum pasien tidak memahami atau awam terhadap tindakan medis. Dalam posisi seperti ini, tak ada pilihan lain kecuali pasien mempercayai dokter terhadap diagnosa dan tindakan dokter atas penyakit yang diderita pasien. Namun demikian, dalam melakukan praktek kedokteran, si Dokter juga dipagari oleh sumpah dokter, etika, disiplin dan hukum. Mentang-mentang posisinya lebih tahu dibandingkan pasien, tidak serta merta dokter dapat seenaknya dalam melayani pasien. Disinilah akhirnya, hubungan dokter-pasien terjadi hubungan kepercayaan. Pasien percaya bahwa dokter berupaya menyembuhkan penyakit. Dan dokter pun percaya bahwa pasien yang datang berobat kepadanya percaya terhadap upaya pengobatan dan perawatan yang dilakukan dokter.

Dalam hukum perikatan yang mengenal prestasi dan wanprestasi, hubungan antara dokter dan pasien didasari pada perikatan yang dalam istilah hukum disebut inspanning verbintenis. Yaitu perikatan yang prestasinya didasarkan pada proses atau upayanya, bukan pada hasil akhir (resultaat verbintenis). Dengan kata lain, dalam suatu rentetan perbuatan yang prosesnya telah dilakukan dengan benar namun tak mendapatkan hasil seperti diharapkan, maka tidak dapat dikatakan sebagai wanprestasi. Demikian dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta disebut sebagai malpraktik.

Nah, disinilah pokok persoalannya. Para Dokter berpendapat bahwa apa yang dilakukan dr A dkk itu telah sesuai prosedur dan standar. Ketiga dokter itu telah memberikan tindakan penyelamatan pasien (ibu dan bayi) dengan melakukan bedah caesar. Namun tindakan dokter hanya mampu selamatnya bayi, sementara sang ibu meninggal dunia. Sebab kematian adalah emboli udara, penyumbatan pembuluh darah oleh udara yang sebabkan kegagalan fungsi paru dan selanjutnya kegagalan fungsi jantung. Dalam kedokteran, emboli konon sulit diprediksi dan susah dicegah. Itu risiko medis bukan malpraktek.

Dengan tindakan dokter dan kondisi pasien seperti tersebut diatas, mengapa dokter masih dipersalahkan? Dokter berpandangan bahwa dr A dkk tidak salah, oleh sebab itu tidak semestinya dipidana/ditahan. Jika upaya dan tindakan dokter yang sesuai prosedur dan standar tetapi mengakibatkan pasien meninggal dunia namun tetap dipersahkan, itu sama saja dengan melakukan kriminalisasi dokter. Demikian pandangan dokter, oleh sebab itu mereka melakukan aksi tolak kriminalisasi dokter dengan menjadikan kasus dr ayu dkk di Manado ini sebagai momentumnya.

Para dokter beranggapan bahwa apa yang menimpa dr A dkk berdampak secara psikologis dan sosiologis bagi dokter lain. Para dokter akan menjadi ragu-ragu, khawatir dan tidak berani ambil risiko dalam melakukan tindakan pengobatan. Dokter akan cenderung cari aman, karena kalau melakukan tindakan medis yang beresiko tinggi ada kemungkinan dipidana. Jadi dokter menganggap terhadap tindakan kedokteran tidak dapat dikenakan hukum pidana, melainkan cukup perdata. Sebab, sekali lagi, dalam kedokteran dikenal risiko medis dan kejadian tak diharapkan dimana meski sudah dilakukan tindakan kedokteran sesuai standar masih saja ada kemungkinan pasien cidera atau meninggal dunia. Oleh karenanya dalam hal ini dokter tidak melakukan kesalahan sehingga tidak pantas dihukum pidana.

Selanjutnya, mari kita lihat proses hukum dr Ayu dkk ini. Pada tahun 2010, dr A dkk melakukan bedah caesar terhadap seorang ibu yang menjalani persalinan. Bayi dapat terselamatkan, namun paska operasi sang ibu meninggal dunia. Atas kasus ini, ketiga dokter diajukan di pengadilan dengan tuntutan hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. Tapi Jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian dikabulkan.

Karena putusan MA tersebut, ketiga dokter masuk daftar pencarian orang (DPO) sejak September 2012. Dan tanggal 8 November 2013, dr A ditangkap dan ditahan. Keberatan atas keputusan dan penahanan, PB POGI melayangkan surat ke Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK). Dari kronologi singkat ini, dapat dilihat bahwa proses hukum masih berjalan. Dokter atau dalam hal ini pembela dr A dkk, masih dapat kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dengan mengajukan bukti-bukti baru dalam Peninjauan Kembali.

Selain proses pengajuan PK, rupanya PB POGI didukung juga PB IDi merasa perlu menggalang solidaritas dan dukungan secara luas dari kalangan dokter. Maka diserukanlah yang disebut aksi keprihatinan solidaritas para dokter dengan berbagai cara. Dari memakai pita hitam di lengan kanan, doa/tafakur, penyampaian pendapat hingga tidak praktek/tutup layanan alias mogok kerja. Aksi solidaritas ini dikemas dalam kampanye "tolak kriminalisasi dokter". Pertanyaanya, dengan proses hukum yang sedang berjalan, apa urgensi aksi solidaritas dokter ini? Apa perlu sampai mogok kerja?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita bahas tentang mogok itu sendiri. Istilah mogok kerja dapat ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan. Mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh untuk menghentikan atau memperlambat kerjaan. Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh sebagai akibat gagalnya perundingan. Agar sah dan tertib, dalam UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat dan tahapan mogok kerja. UU Ketenagakerjaan juga melarang kegiatan mogok kerja yang membahayakan keselamatan jiwa manusia atau mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.

Ada yang berpendapat bahwa dokter tidak mogok, hanya tidak praktek. Dokter tidak mogok karena masih melayani pasien gawat darurat. Pertanyaan muncul didasarkan definisi mogok, aktivitas aksi dokter ini memperlambat atau menghentikan pelayanan kesehatan terhadap pasien nggak? Jika pasien yang datang ke tempat praktek dokter atau ke rumah sakit tidak mendapat layanan kesehatan, bukankah itu bisa dikatakan kepentingan umum terganggu? Pelayanan (kerjaan) dokter menjadi terhenti, bukankah menurut UU disebut mogok?

Ada lagi yang berpendapat, dokter bukan buruh, dokter itu profesi/profesional. Karena bukan buruh dan tidak ada serikat buruh dokter, maka UU Ketenagakerjaan tidak bisa berlaku untuk dokter. Baiklah, mari kita gunakan UU lain. UU Praktik Kedokteran mewajibkan dokter
memberikan pelayanan medis sesuai kebutuhan medis pasien. Kewajiban ini berlaku kepada dokter yang telah memiliki SIP serta dalam masa jam prakteknya, untuk semua pasien, tidak membedakan pasien elektif dan emergensi. Apalagi UUPK juga mewajibkan dokter melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.

Bahkan sumpah yang diucapkan setiap kali seseoran menjadi dokter begitu mulia. Sumpah dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Dokter akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan. Dokter akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita. Dan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita, dokter akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.

Kemudian UU Rumah Sakit mewajibkan setiap rumah sakit memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien. Juga Rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai pelayanannya. UU Kesehatan mengamanatkan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan termasuk Rumah Sakit dan Praktik Mandiri, melakukan pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan dengan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Rasanya itu sudah cukup, belum lagi jika ditambahkan hak-hak pasien terhadap pelayanan kesehatan.

Ada lagi yang berpendapat bahwa dokter tetap memberikan pelayanan kepada pasien emergensi. Pak dokter! bu dokter! Mohon bayangkan diri anda adalah pasien itu sendiri. Gambaran Pasien secara umum adalah kondisi fisik lemah, kesakitan karena penyakit, kepayahan, dan perlu bantuan orang lain. Tegakah para dokter tidak menolong orang dengan kondisi demikian? Bagaimana jika anda pasien dengan kondisi sakitnya datang ke dokter dan mendapatkan tanggapan,"maaf, hari ini kami tidak praktek!"

Mari kita bicara fakta lain. Jamak kita temui dokter terlambat memberikan pelayanan dari jam prakteknya. Semestinya klinik buka jam 8, tapi dokter datang jam 9. Tidak jarang kita ketahui, di IGD pun dokter selalu siap ditempat. Lumrah kita dapati di ruang ICU, dokternya datang setelah dipanggil (on call) karena sedang praktek di tempat lain. Jika dalam jam praktek belum tentu dokter melayani tepat waktu. Jika dalam keadaan normal saja, dokter tidak selalu siap ditempat melayani pasien emergensi. Bagaimana dalam keadaan mogok kerja? Apakah pasti siap melayani pasien emergensi?

Dokter juga mengatakan bahwa kondisi pasien tidak mudah diprediksi. Pasien elektif bisa mendadak emergensi. Pasien datang ke rumah sakit dalam kondisi sakit biasa, juga bisa mendadak harus segera ditolong. Bagaimana jika dalam kondisi itu, Dokter sedang bersama-sama aksi solidaritas atau sedang tafakur di rumah. Siapa yang menolong pasien?

Bagi setiap orang/pasien, dokter adalah "dewa penolong". Itu juga berlaku bagi keluarga, ketika melihat upaya sungguh-sungguh dokter dalam mengobati pasien. Bahkan ketika pasien itu meninggal dunia, keluarga pun akan ikhlas menerima sepanjang mereka menyaksikan upaya dan kesungguhan dokter selamatkan nyawa. Maka banyak ditemukan, anggota keluarga pasien yang marah atau menuntut dokter adalah keluarga yang tidak ada didekat pasien. Singkatnya, pasien dan keluarga akan menganggap dokter adalah pahlawan yang berusaha selamatkan pasien. Bagaimana jika karena dokter sering lakukan aksi bahkan mogok, masyarakat menganggap dokter juga seperti masyarakat biasa seperti lainnya. Dokter bukan lagi dianggap dewa penolong, melainkan anggota masyarakat biasa yang bekerja mencari uang sebagai dokter. Jika demikian, jangan salahkan banyak orang miskin yang tak punya uang memilih ke dukun atau pengobatan alternatif yang bertarif seikhlasnya.

Kita telah bicarakan dari dari sisi dokter, aspek hukum dan bagaimana pasien memandang dokter. Dari sekilas uraian ini, kita sangat hargai aksi solidaritas dokter dengan cara pakai pita hitam, doa keprihatinan dan tafakur. Kita harus tolak segala bentuk kriminalisasi, oleh sebab itu kita dukung "tolak kriminalisasi dokter". Tapi semestinya dokter tetap buka praktek dan melayani pasien baik elektif maupun emergensi. Dengan berpraktek, dokter bisa memakai pita hitam dan diawali dengan doa keprihatinan bersama. Siapa tahu dengan pita hitam, pasien bertanya-bertanya, tersadarkan dan berempati kepada dokter.

Alih-alih tujuan tercapai, mogok justru memperburuk citra dokter. Mogok bisa dipersepsikan wujud ego dan keangkuhan profesi dokter terhadap masyarakat lain meskipun di mata hukum semua sama. Istilah fikih, mogok mudharatnya jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Oleh sebab itu, energi aksi solidaritas lebih efisien digunakan untuk menyusun strategi dan mengumpulan bukti baru dalam proses Peninjauan Kembali. Semangat solidaritas profesi dokter dikristalkan dengan mengindentifikasi pasal-pasal Undang-Undang dan KUHP yang merugikan praktek dokter untuk diujikan materiil ke Mahkamah Konstitusi. Dan seluruh kekuatan aksi dokter ini bisa diarahkan kepada upaya mencerdaskan pasien sekaligus membangun hubungan dokter-pasien yang lebih komunikatif dan empatif.

Pada bagian akhir, kita sangat mendukung himbauan Kementerian Kesehatan agar aksi solidaritas dokter ini dilakukan dengan tetap memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien seperti biasanya. Toh, untuk apa semua hal ini kita lakukan, selain derajat kesehatan rakyat Indonesia lebih baik.

Selasa, 26 November 2013

, , , , , , ,

Siap-siap ya! Dokter SpOG Akan Tidak Praktek Tanggal 27 November nanti

Prihatin. Sedih. Gundah. Bingung. Baca web POGI. Dokter SpOG akan lakukan Aksi Keprihatinan Nasional lagi. Pengurus Besar Perkumpulan Obsteri & Genekologi Indonesia (PB POGI) mengeluarkan surat edaran kpd POGI Cabang Se-Indonesia untuk aksi keprihatinan.

POGI akan melaksanakan Aksi Solidaritas Keprihatinan Nasional pada tanggal 27 November 2013 dengan;
1. memasang pita hitam di lengan kanan;
2. tidak melakukan praktek & hanya melayani pasien emergensi.

Diulang ya! Tanggal 27 November, Dokter SpOG se-Indonesia berencana TIDAK PRAKTEK, hanya layani pasien emergensi.

Menurut PB POGI, aksi keprihatinan ini untuk solidaritas kasus sejawat dr. Dewa Ayu SP, SpOG dkk yang ditahan atas tuduhan malpraktek. Saya berharap (meski kecil kemungkinan) tidak ada kasus emergensi pasien kebidanan dan kandungan pada tanggal 27 November nanti. Itu beresiko tinggi terhadap pasien.

Saya berharap, kebesaran hati dan pikiran para dokter SpOG se-Indonesia, sehingga membatalkan rencana tutup praktek tgl 27 November nanti . Kita hargai solidaritas atas sejawat dr Ayu dkk. Tetapi rencana tidak praktek dokter SpOG akan berdampak negatif layanan kesehatan. Meski ada niat bahwa pasien emergensi akan dilayani, siapa yang bisa jamin pasien emergensi benar-benar terlayani?

Okelah! Bahwa aksi tolak kriminalisasi dokter harus diperjuangkan. Saya 1000 persen setuju. Tapi ya mbokyao, SpOG jgn sampai tutup praktek. Lagi pula, bapak ibu dokter SpOG, aksi keprihatinan dengan tutup praktek belum tentu mengundang simpati publik lho. Malah bisa sebaliknya.

Bukankah Peninjaun Kembali atas kasus dr Ayu dkk sedang diajukan? Kita hormati proses hukum. Kalau memang tidak adil, lawan dg hukum. Kalau memang kelalaian medis tidak boleh dipidana, ayo berjuanglah melalui mekanisme hukum. Uji ke MK tuh KUHAP! Jgn mogok. Kalau memang bidang pelayanan kesehatan perlu peradilan khusus, ayo kita revisi UU Praktik Kedokteran. Ato Uji ke MK. Jgn tutup praktek.

Percayalah Pak & Bu Dokter se-Indonesia, jika anda tutup praktek itu berdampak besar bagi pasien tapi tak jadikan dokter terlihat besar. Pak dan Bu Dokter khususnya SpOG, mohon dengan sangat, tidak tutup pelayanan tanggal 27 November nanti. Saya yakin, kebesaran hati dan fikiran dokter SpOG tetap buka praktek ditengah keprihatinan atas dr ayu dkk akan membuat banyak pasien yang berterima kasih. Semoga Tuhan meridhoi tugas & perjuangan Anda, para dokter.

Demikianlah harapan dan doa saya, rakyat biasa juga pasien, yang mencintai dokter dan Indonesia.

Rabu, 06 November 2013

, , , , ,

Pasien Harus Tahu, Beda Pelayanan IGD dan Poliklinik

"Apa sih susahnya dilayani dulu, administrasi belakangan. RS tidak peduli pasien miskin"
"RS tempatnya pelayanan bukan tempatnya prosedur"
"Birokrasi RS emang berbeli belit. Ribet deh"

Sudah biasa kan menemui komentar seperti diatas. Demikian juga komentar publik terhadap kejadian Naila yang meninggal dunia sebelum mendapatkan pelayanan medis kemarin. Dari catatan saya berdasarkan klarifikasi langsung kepada pihak rumah sakit, didapatkan penjelasan bahwa semestinya Naila dirujuk ke IGD, bukan ke Poliklinik. Dari penelusuran saya, ternyata banyak orang belum mengerti bagaimana standar dan prosedur pelayanan di IGD dengan Poliklinik. Padahal sebagai pengguna rumah sakit, kita harus tahu; kapan saatnya ke Poliklinik, kapan mestinya ke IGD. Yuks, kita bahas!

Secara prinsip, prioritas pelayanan medis terhadap pasien didasarkan kepada kondisi dan indikasi medis. Dari sifat kesegeraan penanganan terdapat pasien emergensi dan elektif. Dikatakan pasien emergensi ketika penyakit dan cidera yang diderita dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancan nyawa pasien. Diluar kondisi itu, apalagi untuk pemeriksaan fisik umum, bisa dikategorikan pasien elektif.

Berbeda dengan pasien emergensi yang harus segera ditangani, pelayanan pasien elektif melalui sistem antrian; yang dahulu lebih awal terlayani. Untuk mendapatkan pelayanan, pasien elektif harus melakukan pendaftaran dahulu dilengkapi persyaratan tertentu. Pasien yang membayar jasa layanan secara tunai tentu berbeda persyaratannya dengan pasien jaminan/asuransi. Demikian juga, pasien jamkesmas/jamkesda harus memenuhi persyaratan pada saat daftar sebagai pasien elektif.

Di bagian mana rumah sakit pasien elektif dan emergensi dilayani? Secara sederhana, pasien emergensi pertama kali akan dilayani pada Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sedangkan pasien elektif dilayani di Instalasi Rawat Jalan (IRJ) yang biasanya berbentuk Poliklinik, kumpulan klinik dengan pelayanan medik dasar oleh dokter umum dan pelayanan medik spesialistik oleh dokter spesialis. Untuk lebih memahaminya, mari kita bahas pelayanan di IGD dan IRJ.

Pada beberapa rumah sakit, IGD disebut dengan Unit Gawat Darurat (UGD) atau Emergency Unit. Seperti disebutkan bahwa IGD tempat melayani pasien yang memerlukan penanganan segera. Jika tidak ditolong akan mengakibatkan kecacatan permanen atau malah mengancan nyawa. Karenanya jangan heran, pasien korban kecelakaan, bencana atau kejadian kegawatdaruratan ditangani di IGD.

Ya, memang ruang Instalasi Gawat Darurat selalu identik dengan kecelakaan dan berbagai peristiwa darurat lain yang berkaitan dengan kebutuhan untuk pertolongan segera.

Setiap pasien yang masuk ruang IGD akan melalui proses triage (triase) yang dilakukan oleh dokter IGD.  Triase merupakan tindakan pengelompokan pasien berdasarkan berat ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat keberhasilan yang akan dicapai sesuai standar pelayanan kegawatdaruratan. Mengapa perlu dilakukan triase? Kenapa pelayanan kepada pasien tidak didasarkan sistem antrian; first in first out?

Pelayanan pada keadaan gawat darurat harus mengupayakan efisiensi dan efektifitas. Sedapat mungkin dokter dan tenags kesehatan menyelamatkan sebanyak - banyaknya pasien yang datang ke IGD dalam waktu sesingkat singkatnya. Melihat begitu kritis dan urgensinya pelayanan IGD, maka sumber daya manusia dan sarana di IGD sangat menentukan keberhasilan pelayanan kepada pasien. Dokter dan tenaga kesehatan IGD dituntut untuk dapat melakukan triase secepat dan setepat mungkin. Kemampuan konsep, teori dan pengalaman penanganan keadaan gawat darurat sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan pemilahan saat triase.

Nah, bagaimana sistem kerja Triase? Pasien IGD akan dikelompokan dan ditandai dengan warna merah, kuning, hijau dan hitam. Pasien dengan tanda merah berarti membutuhkan pertolongan darurat dan cepat. Tanda kuning berarti pelayanan dapat ditunda dan tanda hijau pasien tidak dalam kondisi gawat darurat dan dapat ditunda. Sedangkan tanda hitam berarti pasien sudah tidak dapat ditolong, usia harapan hidup sangat tipis atau telah meninggal dunia.

Untuk lebih jelasnya dapat kita beri contoh. Pasien triase merah diantaranya pasien dengan keadaan gawat darurat kecelakaan, patah tulang, perdarahan otak dan luka bakar, stroke, jantung dan gagal nafas dan tidak sadar.

Pasien dengan tanda kuning seperti pasien dengan penyakit infeksi luka ringan, usus buntu, patah tulang, luka bakar ringan. Pasien yang mendapat tanda hijau adalah pasien dengan kondisi kesehatan yang masih dapat ditunda pelayanan, misalkan benturan memar di permukaan kulit, luka lecet, tertusuk duri, dan demam ringan, radang lambung.

Sedangkan pasien dengan tanda triage hitam adalah pasien yang tidak memungkinkan memiliki harapan hidup kendati dilakukan tindakan medis. Misalnya pasien dengan kondisi  kerusakan berat dari seluruh organ penting tubuh, misalnya akibat kecelakaan, bencana alam dan luka bakar. Seorang dokter atau tenaga kesehatan IGD harus peka menggunakan kemampuan mata, telinga, indra peraba, lebih peka, tanggap situasi, cepat dan tepat  dalam menilai perubahan mendadak pasien IGD, sebab sewaktu - waktu kondisi status triase bisa berubah.

Nah, pada fase triase inilah sering terjadi kesalahpahaman dari pihak keluarga pasien. Misalnya pasien yang datang terlebih dahulu, kadang terpaksa ditunda pelayanannya untuk segera mendahulukan pasien yang datang belakangan. Itu disebabkan pasien awal dengan tanda hijau, sementara pasien yang datang belakang dengan tanda merah. Melihat hal itu, tidak sedikit keluarga menganggap pasien ditelantarkan atau tidak diapa-apakan meski sudah di IGD.

Kemudian bagaimana pelayanan di IRJ atau Poliklinik? Pasien yang datang ke Poliklinik pada umumnya datang dengan keluhan/penyakit yang berulang maupun sakit yang masih dapat ditunda. Yaitu pasien yang memerlukan pemeriksaan kesehatan umum, general check up atau pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kondisi kesehatan. Poliklinik biasanya terdiri dari pelayanan dokter umum dan dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, kandungan, kulit dan kelamin, mata, gigi dan lain-lain.

Karena sifatnya elektif, masih bisa ditunda dan tidak gawat darurat maka pelayanannya didasarkan pada sistem antrian. Pasien yang datang lebih dahulu dilayani lebih awal. Semakin banyak kunjungan pasien pada klinik, semakin panjang pula antriannya.

Sebagai pasien, kita dapat merasakan penyakit, cidera dan kondisi diri sendiri. Oleh sebab itu, pasien atau keluarga tentu dapat melakukan penilaian subyektif atas tingkat kesegaraan ini; apakah emergensi atau elektif. Jika pasien/keluarga menduga adanya kondisi gawat darurat, datanglah ke IGD. Disana dokter IGD akan melakukan triase dan menentukan apakah benar emergensi atau hanya elektif. Jadi gawat daruratnya pasien ditentukan oleh dokter bukan oleh penilaian subyektif pasien atau keluarga. Dan kalau tidak darurat atau cukup pemeriksaan kesehatan, pelayanan pasien dilakukan di Polinik. Jangan terbolak-balik ya!

Minggu, 03 November 2013

, , , , ,

Agar Tidak Ditolak Rumah Sakit, Beginilah Semestinya Pasien Dirujuk

Bayi mungil Naila yg dikabarkan ditolak RS dan meninggal dunia di depan loket, kembali menyadarkan kita pentingnya sistem rujukan yang berjalan baik. Jika boleh berandai-andai, jika saja Naila dirujuk dengan baik dari puskemas ke rumah sakit, boleh jadi ceritanya akan lain.
Naila mengingatkan saya kepada bayi Dera di awal tahun ini. Dahulu Dera juga dikabarkan meninggal dunia setelah ditolak pasien. Namun ada kesamaan dalam dua kejadian ini, sistem rujukan pasien yang tidak berjalab semestinya. Saya pribadi, dan tentunya kita semua, tak ingin kejadian tragis ini terjadi lagi. Apalagi jika terus berulang, sungguh terlalu!

Saya ingin berbagi sedikit bagaimana semestinya rujukan pasien dilaksanakan. Rujukan pasien sebagai sebuah sistem bukan saja menjadi tanggung jawab puskesmas, rumah sakit, dokter, tenaga kesehatan, dan pemerintah. Sistem rujukan akan berjalan baik ketika pasien dan keluarga memahami bagaimana semestinya. Dengan kata lain, pasien turut andil suksesnya sistem rujukan.

Pertama yang harus kita ketahui adalah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah sakit. Dengan kata lain, pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan rujukan sesuai kebutuhan dan indikasi medis pasien. Hal ini penting saya tekankan agar pasien mengerti bahwa rujukan merupakan salah satu hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan di puskesmas, rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Dengan sudut pandang hak, pasien atau keluarga dapat secara proaktif mengkomunikasikan hak rujukan kepada dokter atau pihak Rumah Sakit.

Namun kewajiban rumah sakit dalam merujuk pasien dapat dikecualikan jika pasien dalam kondisi tidak dapat ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis. Ketentuan ini termuat dalam  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan.

Setiap kali rumah sakit melakukan rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya. Persetujuan tersebut diberikan setelah pasien dan/atau keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang. Dalam penjelasan rumah sakit terhadap pasien/keluarga sebelum merujuk sekurangnya mencakup:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.

Kemudian rumah sakit membuat surat pengantar rujukan untuk disampaikan kepada penerima rujukan.  Dalam surat pengantar rujukan sekurang-kurangnya memuat; identitas pasien, hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang) yang telah dilakukan, diagnosis kerja, terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan, tujuan rujukan serta nama  dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

Apakah penjelasan saja cukup? Belum cukup. Dalam hal keadaan pasien dalam keadaan gawat darurat, rumah Sakit harus melakukan pertolongan pertama dan/atau tindakan stabilisasi kondisi pasien sesuai indikasi medis dan kemampuan sebelum melakukan rujukan. Hal ini harus dilakukan demi keselamatan pasien dan memungkinkan pasien ditransportasikan ke rumah sakit penerima rujukan.

Rumah sakit juga harus melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan pasien gawat darurat. Dalam komunikasi tersebut, Rumah sakit penerima rujukan berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan. Dan perlu diingat, pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten.

Itulah sekelumit bagaimana cara semestinya rujukan pasien dari puskesmas ke rumah sakit atau dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain. Jika beberapa persyaratan dan ketentuan itu tak terpenuhi, boleh jadi kejadian ditolaknya pasien oleh rumah sakit terulang kembali. Atau tragisnya menyebabkan pasien meninggal dunia akibat terlambat ditangani. Aduh, amit-amit jabang bayi ;(

Rabu, 15 Mei 2013

, , , , , , ,

Survei Loyalitas Pasien 2013

Pernahkah anda mendapatkan layanan kesehatan khususnya di RS Swasta? Setelah kunjungan itu, apakah anda berniat kembali lagi ke RS tersebut?

Saya punya informasi menarik ketika hadir pada acara Indonesia Healthcare 2013 minggu lalu. Saya mencermati hasil survei perspektif konsumen kesehatan yang diselenggarakan Majalah SWA bersama Onbee Marketing Research. Bertitel "Indonesia Most Reputable Healthcare Brand 2013" ini dilakukan pada bulan Februari - Maret 2013 dengan 2.917 responden dan teknik random sampling. Rumah Sakit menjadi obyek survei, selain perusahaan farmasi, asuransi kesehatan, apotek, laboratorium kesehatan dan klinik kecantikan. Dan yang saya maksudkan menarik adalah hasil survei terkait dengan tingkat loyalitas pelanggan kesehatan (pasien) terhadap rumah sakit dan dokter.

 

1. Loyalitas Pasien

Menurut survei SWA, 82% mengunjungi rumah sakit swasta sebanyak 1 – 3 kali dalam setahun. Dilihat dari biaya yang dikeluarkan, dalam sekali kunjungan pasien ke RS swasta sekali rata-rata tidak lebih dari Rp 500.000,-, dan 25% mengeluarkan biaya lebih dari Rp. 1000.000,-

Dari sisi loyalitas, 74% pelanggan menyatakan akan kembali lagi ke rumah sakit swasta yang dikunjunginya, dan kualitas pelayanan (28%) adalah alasan utama yang paling banyak dikemukakan. Sedangkan alasan lain seperti lokasi (19%), Dokter (13%), Sudah terbiasa (7%), Kondisi Kesehatan (7%), Harga (7%), Fasilitas (7%), Afiliasi (kantor asuransi) (6%), Tidak ada (4%), Rekomendasi dokter (2%), dan kualitas RS (1%) menjadi alasan untuk kembali ke rumah sakit yang pernah dikunjungi.

Sementara itu, lokasi yang jauh (44%) merupakan alasan pindah rumah sakit. Faktor lain pindah RS yaitu kualitas pelayanan kurang baik (15%), harga mahal (12%), dokter yang kurang memuaskan (9%), fasilitas yang tidak memadai (8%) dan tidak ada dokter spesialis (12%)

 

2. Loyalitas terhadap dokter

Pasien semakin cerdas. Ini dibuktikan dengan hasil survei bahwa 80% pasien RS swasta menyatakan bahwa dokter wajib mempunyai komunikasi yg baik. Alasan mengganti dokter disebabkan tidak berhasil sembuh (39%), tidak komunikatif (34%), biaya konsultasi (11%), terburu-buru (9%) dan resep yang banyak (7%).

Sebaliknya, 32% pasien akan merekomendasikan dokternya jika dokter tersebut komunikatif dan 41% karena dokternya dapat menyembuhkan penyakitnya.

 

3. Sumber Informasi

Sebanyak 64% pasien RS Swasta menyatakan bahwa teman/keluarga merupakan sumber informasi ketika memilih rumah sakit, dan 49% menyatakan bahwa sisi kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan utama ketika memilih rumah sakit.

Yang menarik, sebanyak 75% pasien RS Swasta mampu menyebarkan positive Word of Mouth (WOM) ke rata-rata 5 orang dan 22% pelanggan mampu menyebarkan negative WOM ke rata-rata 4 orang. Jadi bisa dikatakan bahwa positive WOM 25% lebih disebarluaskan dibanding negative WOM.

Media promosi terpercaya 65% adalah rekomendasi, 34% iklan di media elektronik, 10% iklan di media cetak, 3% iklan di media cetak. Pasien mengharapkan adanya digital media terutama website, karena hal ini akan membantu meningkatkan keyakinan pasien/keluarga terhadap RS Swasta dan sarana informasi.

Dan dibandingkan dengan adanya dokter ahli, banyaknya dokter spesialis, fasilitas modern dan harga terjangkau, ternyata faktor kualitas pelayanan yang baik merupakan faktor utama sebuah RS swasta direkomendasikan kepada orang lain.

Bagaimana menurut anda?

Jumat, 15 Maret 2013

, , , , ,

Dilarang Demonstrasi di Rumah Sakit

Beberapa hari lalu terbaca di media massa, ratusan pegawai sebuah rumah sakit melakukan demonstrasi kepada manajemen. Berita unjuk rasa yang dilakukan puluhan perawat rumah sakit juga terpampang di koran beberapa waktu sebelumnya. Demonstrasi yang dilakukan civitas hospitalia ini tentu saja mengganggu pelayanan kepada pasien. Rupanya demonstrasi atau unjuk rasa sebagai bentuk menyatakan pendapat di muka umum telah menjalar ke dalam wilayah dimana orang sakit mendapatkan perawatan dan upaya penyembuhan.

Adalah hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum sebagai salah satu hak asasi manusia. Dalam Pasal 28 dinyatakan bahwa kemerdekaan beerserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Namun demikian harus disadari, kebebasan penyampaian pendapat di muka umum baik lisan maupun tulisan dibatasi oleh hak orang lain atas rasa damai, aman dan tertib. Sebagaimana norma yang sering kita dengar bahwa hak yang dapat kita ambil dibatasi oleh kewajiban yang harus dilaksanakan. Penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya sebagai wujud demokrasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai tatanan bermasyarakat dan bernegara.

Hal ini sejalan dengan klausul Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dimana dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiaporang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan olehundang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagimoralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Bagaimana sebenarnya pengaturan demonstrasi di negara Indonesia ini? Bolehkah rumah sakit dijadikan tempat unjuk rasa? Indonesia telah memilki Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Didalam UU ini diantaranya diatur bentuk penyampaian pendapat di muka umum yaitu demonstrasi atau unjuk rasa, rapat umum, pawai dan atau mimbar bebas.

Yang menarik, dalam Pasal 9 ayat (2)Undang-Undang 9 Tahun 1998 dinyatakan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dalam berbagai bentuknya tersebut dilaksanakan ditempat-tempat terbuka untuk umum, kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat. Jadi, rumah sakit menjadi daerah terlarang untuk dilakukan demonstrasi/unjuk rasa, pawai, rapat umum dan mimbar bebas.

Larangan demo atau unjuk rasa di Rumah Sakit tentu saja bukan bentuk pengekangan terhadap hak asasi manusia, melainkan perlindungan hukum, penghormatan hak orang lain dan menjunjung tinggi ketertiban terutama bagi pasien dan masyarakat umum pengunjung rumah sakit. Karena bagaimana pun kepentingan dan keselamatan pasien harus lebih diutamakan. Aspirasi dan penyampaian pendapat dapat dilakukan melalui saluran dan mekanisme yang telah diatur. Atau juga dengan cara lain yang sah tanpa menganggu pelayanan rumah sakit terhadap pasien. Dialog untuk mencari solusi dengan melibatkan stake holder yang berkepentingan adalah cara yang lebih utama dan elegan mengatasi permasalahan.

Hindari sejauh-jauhnya demonstrasi apalagi mogok kerja di rumah sakit, karena pasti mengganggu pelayanan pasien dan merusak citra rumah sakit.

Rabu, 13 Februari 2013

, , , , , ,

Rumah Sakit Dilarang Meminta Uang Muka Dalam Keadaan Darurat

Media massa dan media sosial kembali heboh dengan meninggalnya pasien di rumah sakit. Kali ini tersiar kabar, pasien Anissa yang meninggal dunia di RS Koja, awalnya dirawat di RS Atmajaya. Pada saat akan masuk ruang ICU, pihak RS Atmajaya meminta uang muka sebesar Rp 12 juta. Namun RS Atmajaya menyatakan pasien dirujuk ke RS Koja bukan semata uang muka Rp 6 juta (bukan Rp 12 juta), tetapi juga permintaan keluarga pasien sendiri dengan alasan dekat kerabatnya.

Terlepas bagaimana kejadian sebenarnya, saya ingin berbagi beberapa pasal dalam undang-undang dan peraturan menteri kesehatan yang melarang rumah sakit meminta uang muka dalam keadaan darurat.

Diawali dengan Undang-Undang Rumah Sakit sebagai regulasi tertinggi khusus rumah sakit. Pada Pasal 29 ayat 1 huruf c menyatakan setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pada pasal yang sama pada huruf f ditegaskan bahwa kewajiban rumah sakit juga melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka.

Bahkan berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Pada ayat (2) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Bagaimana dengan peraturan yang lebih rendah? Dalam Permenkes 378 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta secara tegas dinyatakan bahwa pelaksanaan fungsi sosial rumah sakit swasta yang wajib dilaksanakan, diantaranya dengan pelayanan gawat darurat dalam 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka tetapi mengutamakan pelayanan (Pasal 2 ayat 1 huruf d). Kemudian di dalam Permenkes 129 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit mengatur jenis pelayanan, indikator dan standar untuk gawat darurat, diantaranya: tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka.

Selain pada peraturan yang mengatur Rumah Sakit secara umum, ketentuan tidak diperbolehkannya meminta uang muka dalam keadaan darurat ini juga diatur pada peraturan yang mengatur RS Khusus Gigi Mulut dan Klinik yaitu Permenkes 1173 Tahun 2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang menyatakan bahwa setiap RSGM wajib melaksanakan fungsi sosial dalam bentuk (diantaranya) tidak memungut uang muka bagi pasien yang tidak sadarkan diri dan atau pasien gawat darurat (Ps. 30 huruf c). Dan terakhir dalam Pasal 25 huruf b, Permenkes 28 Tahun 2011 tentang Klinik menyatakan bahwa dalam memberikan pelayanan, klinik berkewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya tanpa meminta uang muka terlebih dahulu atau mendahulukan kepentingan finansial.

Pertanyaannya, seberapa patuh rumah sakit dengan peraturan-peraturan tersebut?

Minggu, 20 Januari 2013

, , , , , , , ,

Jadilah Pasien yang Berani Bicara

Kita masih bicara tentang malpraktik medik. Pada postingan sebelumnya, kita tekankan bahwa dugaan malpraktik itu dilihat dari proses perbuatannya bukan pada hasil akhir. Dalam praktik kedokteran, ketika prosedur dan standar pelayanan sudah dilakukan dengan benar namun pasien tak sembuh bahkan mengalami cidera, tidak serta merta dikatakan malpraktik. Itu bisa disebut sebagai kejadian tak diharapkan (KTD).

Kejadian tak diharapkan ini banyak sekali macamnya, dari yang ringan hingga fatal. Lain waktu kita bisa diskusikan apa dan bagaimana KTD. Saat ini kita bicara, bagaimana supaya tak terjadi cidera, KTD dan dampak buruk lain dalam proses pengobatan di rumah sakit. Yang paling tahu dan mampu mencegah itu tentu saja dokter dan tenaga kesehatan lainnya, peralatan, standar prosedur, teknologi dan fasilitas lainnya rumah sakit. Namun sesungguhnya sebagai pasien, kita pun dapat sangat berperan mencegah terjadinya cidera atau kejadian tak diharapkan lainnya.

Bagaimana caranya? Jadilah pasien yang berani bicara. Ungkapkan apa yang semestinya diutarakan. Tak perlu malu apalagi takut. Katakan kepada dokter, perawat dan siapa pun yang terlibat dalam pengobatan dan perawatan kita. Dengan berani bicara, pasien sangat membantu mencegah terjadinya kekeliruan tindakan dan mendapatkan perawatan terbaik.

Apa saja yang harus berani kita katakan? Jangan sungkan ungkapkan apa yang kita rasakan dan tanyakan apa yang dialami. Tak perlu merahasiakan riwayat sakit kita, ungkapkan semuanya kepada dokter. Karena itu bermanfaat untuk menentukan amamnesa dan diagnosa. Dan jangan takut bertanya informasi sejelas-jelasnya dengan penyakit yang menyerang tubuh kita.

Kemudian beranikan bertanya tentang rencana pengobatan yang akan kita dapatkan. Jika diperlukan ada tindakan medis, kita harus jelas jenis tindakan dan resikonya. Sebelum tindakan dilakukan, pastikan kita mendapatkan informed consent. Baca semua formulir medis dengan teliti dan pastikan kita memahami isinya sebelum menandatanganinya. Bila tidak mengerti, minta dokter atau perawat untuk menjelaskannya.

Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dengan pasien lain, biasanya perawat atau dokter melakukan proses pengecekan dan memeriksa identitas pasien. Yang benar sebelum memberikan obat atau melakukan tindakan medis, dokter atau perawat akan menanyakan nama pasien atau memerika gelang identitas.

Kekeliruan dalam pemberian obat merupakan kesalahan yang dapat terjadi dalam tindakan medis. Oleh karena itu pahami obat-obatan apa yang kita minum atau mengapa kita memakainya. Tanyakan tentang kegunaan obat-obatan yang diberikan dan informasi efek samping dari obat tersebut. Teliti kembali apakah obat yang diberikan itu betul untuk anda. Lebih baik kita tahu kapan waktu pemberian obat dan bila belum diberi obat pada waktunya, jangan sungkan menanyakan pada perawat. Kita dapat meminta bantuan untuk menjelaskan mengenai petunjuk pemakaian obat serta instruksi pemeriksaan lainnya bila anda kurang mengerti. Oh ya, katakan kepada dokter atau perawat mengenai alergi atau reaksi negatif terhadap obat-obatan yang pernah kita minum sebelumnya.

Jika kita menerima resep obat yang dituliskan dokter, pastikan kita bisa membacanya. Karena bisa jadi, jika kita tidak dapat membacanya, apoteker mungkin tidak bisa membacanya juga. Sudah tak keren lagi tulisan dokter pada resep obat yang tak terbaca.

Sebagai pasien, kita harus sadar dan paham bahwa kita sesungguhnya yang menjadi fokus utama dalam tim perawatan medis. Pasien adalah orang yang paling penting di dalam semua upaya penyembuhan sakit, bukan dokter, perawat atau peralatan medis. Untuk itu, dokter dan perawat harus menjelaskan semua informasi yang dibutuhkan pasien dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Dan jika belum mengerti, mintalah mengulangi menjelaskan sampai kita, pasien, benar-benar mengerti. Jangan takut juga meminta second opinion kepada dokter lain, jika belum yakin dengan tindakan atau pengobatan yang akan kita terima.

Dokter, perawat dan rumah sakit tentunya akan mengutakan keselamatan dalam perawatan kesehatan pasien. Tetapi kita sebagai pasien, bisa juga memainkan peran vital dalam memastikan agar tindakan dan pengobatan yang kita terima itu aman dan tepat. Kita harus aktif berpartisipasi meminta informasi yang benar dan jelas kepada dokter dan perawat. Untuk itu, jadilah pasien yang berani bicara agar terhindar dari kejadian tak diharapkan dalam pengobatan penyakit kita
.