Tampilkan postingan dengan label IGD. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IGD. Tampilkan semua postingan

Rabu, 06 November 2013

, , , , ,

Pasien Harus Tahu, Beda Pelayanan IGD dan Poliklinik

"Apa sih susahnya dilayani dulu, administrasi belakangan. RS tidak peduli pasien miskin"
"RS tempatnya pelayanan bukan tempatnya prosedur"
"Birokrasi RS emang berbeli belit. Ribet deh"

Sudah biasa kan menemui komentar seperti diatas. Demikian juga komentar publik terhadap kejadian Naila yang meninggal dunia sebelum mendapatkan pelayanan medis kemarin. Dari catatan saya berdasarkan klarifikasi langsung kepada pihak rumah sakit, didapatkan penjelasan bahwa semestinya Naila dirujuk ke IGD, bukan ke Poliklinik. Dari penelusuran saya, ternyata banyak orang belum mengerti bagaimana standar dan prosedur pelayanan di IGD dengan Poliklinik. Padahal sebagai pengguna rumah sakit, kita harus tahu; kapan saatnya ke Poliklinik, kapan mestinya ke IGD. Yuks, kita bahas!

Secara prinsip, prioritas pelayanan medis terhadap pasien didasarkan kepada kondisi dan indikasi medis. Dari sifat kesegeraan penanganan terdapat pasien emergensi dan elektif. Dikatakan pasien emergensi ketika penyakit dan cidera yang diderita dapat menimbulkan kecacatan permanen dan mengancan nyawa pasien. Diluar kondisi itu, apalagi untuk pemeriksaan fisik umum, bisa dikategorikan pasien elektif.

Berbeda dengan pasien emergensi yang harus segera ditangani, pelayanan pasien elektif melalui sistem antrian; yang dahulu lebih awal terlayani. Untuk mendapatkan pelayanan, pasien elektif harus melakukan pendaftaran dahulu dilengkapi persyaratan tertentu. Pasien yang membayar jasa layanan secara tunai tentu berbeda persyaratannya dengan pasien jaminan/asuransi. Demikian juga, pasien jamkesmas/jamkesda harus memenuhi persyaratan pada saat daftar sebagai pasien elektif.

Di bagian mana rumah sakit pasien elektif dan emergensi dilayani? Secara sederhana, pasien emergensi pertama kali akan dilayani pada Instalasi Gawat Darurat (IGD). Sedangkan pasien elektif dilayani di Instalasi Rawat Jalan (IRJ) yang biasanya berbentuk Poliklinik, kumpulan klinik dengan pelayanan medik dasar oleh dokter umum dan pelayanan medik spesialistik oleh dokter spesialis. Untuk lebih memahaminya, mari kita bahas pelayanan di IGD dan IRJ.

Pada beberapa rumah sakit, IGD disebut dengan Unit Gawat Darurat (UGD) atau Emergency Unit. Seperti disebutkan bahwa IGD tempat melayani pasien yang memerlukan penanganan segera. Jika tidak ditolong akan mengakibatkan kecacatan permanen atau malah mengancan nyawa. Karenanya jangan heran, pasien korban kecelakaan, bencana atau kejadian kegawatdaruratan ditangani di IGD.

Ya, memang ruang Instalasi Gawat Darurat selalu identik dengan kecelakaan dan berbagai peristiwa darurat lain yang berkaitan dengan kebutuhan untuk pertolongan segera.

Setiap pasien yang masuk ruang IGD akan melalui proses triage (triase) yang dilakukan oleh dokter IGD.  Triase merupakan tindakan pengelompokan pasien berdasarkan berat ringannya kasus, harapan hidup dan tingkat keberhasilan yang akan dicapai sesuai standar pelayanan kegawatdaruratan. Mengapa perlu dilakukan triase? Kenapa pelayanan kepada pasien tidak didasarkan sistem antrian; first in first out?

Pelayanan pada keadaan gawat darurat harus mengupayakan efisiensi dan efektifitas. Sedapat mungkin dokter dan tenags kesehatan menyelamatkan sebanyak - banyaknya pasien yang datang ke IGD dalam waktu sesingkat singkatnya. Melihat begitu kritis dan urgensinya pelayanan IGD, maka sumber daya manusia dan sarana di IGD sangat menentukan keberhasilan pelayanan kepada pasien. Dokter dan tenaga kesehatan IGD dituntut untuk dapat melakukan triase secepat dan setepat mungkin. Kemampuan konsep, teori dan pengalaman penanganan keadaan gawat darurat sangat penting agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan pemilahan saat triase.

Nah, bagaimana sistem kerja Triase? Pasien IGD akan dikelompokan dan ditandai dengan warna merah, kuning, hijau dan hitam. Pasien dengan tanda merah berarti membutuhkan pertolongan darurat dan cepat. Tanda kuning berarti pelayanan dapat ditunda dan tanda hijau pasien tidak dalam kondisi gawat darurat dan dapat ditunda. Sedangkan tanda hitam berarti pasien sudah tidak dapat ditolong, usia harapan hidup sangat tipis atau telah meninggal dunia.

Untuk lebih jelasnya dapat kita beri contoh. Pasien triase merah diantaranya pasien dengan keadaan gawat darurat kecelakaan, patah tulang, perdarahan otak dan luka bakar, stroke, jantung dan gagal nafas dan tidak sadar.

Pasien dengan tanda kuning seperti pasien dengan penyakit infeksi luka ringan, usus buntu, patah tulang, luka bakar ringan. Pasien yang mendapat tanda hijau adalah pasien dengan kondisi kesehatan yang masih dapat ditunda pelayanan, misalkan benturan memar di permukaan kulit, luka lecet, tertusuk duri, dan demam ringan, radang lambung.

Sedangkan pasien dengan tanda triage hitam adalah pasien yang tidak memungkinkan memiliki harapan hidup kendati dilakukan tindakan medis. Misalnya pasien dengan kondisi  kerusakan berat dari seluruh organ penting tubuh, misalnya akibat kecelakaan, bencana alam dan luka bakar. Seorang dokter atau tenaga kesehatan IGD harus peka menggunakan kemampuan mata, telinga, indra peraba, lebih peka, tanggap situasi, cepat dan tepat  dalam menilai perubahan mendadak pasien IGD, sebab sewaktu - waktu kondisi status triase bisa berubah.

Nah, pada fase triase inilah sering terjadi kesalahpahaman dari pihak keluarga pasien. Misalnya pasien yang datang terlebih dahulu, kadang terpaksa ditunda pelayanannya untuk segera mendahulukan pasien yang datang belakangan. Itu disebabkan pasien awal dengan tanda hijau, sementara pasien yang datang belakang dengan tanda merah. Melihat hal itu, tidak sedikit keluarga menganggap pasien ditelantarkan atau tidak diapa-apakan meski sudah di IGD.

Kemudian bagaimana pelayanan di IRJ atau Poliklinik? Pasien yang datang ke Poliklinik pada umumnya datang dengan keluhan/penyakit yang berulang maupun sakit yang masih dapat ditunda. Yaitu pasien yang memerlukan pemeriksaan kesehatan umum, general check up atau pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk mengetahui kondisi kesehatan. Poliklinik biasanya terdiri dari pelayanan dokter umum dan dokter spesialis seperti penyakit dalam, anak, kandungan, kulit dan kelamin, mata, gigi dan lain-lain.

Karena sifatnya elektif, masih bisa ditunda dan tidak gawat darurat maka pelayanannya didasarkan pada sistem antrian. Pasien yang datang lebih dahulu dilayani lebih awal. Semakin banyak kunjungan pasien pada klinik, semakin panjang pula antriannya.

Sebagai pasien, kita dapat merasakan penyakit, cidera dan kondisi diri sendiri. Oleh sebab itu, pasien atau keluarga tentu dapat melakukan penilaian subyektif atas tingkat kesegaraan ini; apakah emergensi atau elektif. Jika pasien/keluarga menduga adanya kondisi gawat darurat, datanglah ke IGD. Disana dokter IGD akan melakukan triase dan menentukan apakah benar emergensi atau hanya elektif. Jadi gawat daruratnya pasien ditentukan oleh dokter bukan oleh penilaian subyektif pasien atau keluarga. Dan kalau tidak darurat atau cukup pemeriksaan kesehatan, pelayanan pasien dilakukan di Polinik. Jangan terbolak-balik ya!

Kamis, 28 Februari 2013

, , , , , ,

Boleh Saja Rumah Sakit Meminta Uang Muka, Asal...

Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka. Substansi norma ini diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit.

Dalam kesempatan ini, saya mengajak Saudara memahami makna dari aturan tersebut. Kenapa demikian? Karena masih banyak kesimpangsiuran pemberitaan yang cenderung tidak obyektif dan melenceng dari fakta. Bisa jadi hal ini disebabkan kesalahpahaman dan ketidakmengertian. Pertama yang akan kita bahas adalah keadaan darurat atau kegawatdaruratan. Secara terminologi 2 kata ini berbeda, namun substansinya sama. Dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan diatur bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.

Mari kita perhatikan dengan seksama kalimat diatas. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan wajib diberikan dalam keadaan darurat untuk (1) penyelamatan pasien; (2) pencegahan kecacatan. Jadi disebut keadaan darurat jika tidak segera ditolong dengan pelayanan kesehatan, maka pasien akan cacat atau meninggal dunia. Dalam kondisi inilah, fasilitas rumah sakit termasuk rumah sakit, wajib hukumnya terlebih dahulu menolong pasien tanpa memikirkan bahkan meminta pembayaran uang atau uang muka.

Pertanyaannya, siapa yang dapat mengetahui bahwa pasien dalam keadaan darurat? Tentu tidak semua orang bisa menilai dan menentukan kondisi pasien dalam keadaan darurat. Yang dapat menentukan apakah pasien itu darurat atau tidak adalah dokter yang berkompeten dan disertai kondisi, syarat dan standar tertentu. Sangat sering ditemukan perbedaan pandang antara keluarga pasien dengan tenaga kesehatan rumah sakit. Bisa jadi keluarga menyaksikan kondisi pasien sudah menyimpulkan keadaan darurat, padahal menurut dokter tidak darurat.

Dimanakah tempat atau ruangan rumah sakit sehingga pasien yang menempatinya dapat dikatakan keadaan darurat? Sebagian besar pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan keadaan darurat. Karena tak jarang, pasien yang telah melewati masa kritis masih dirawat di IGD. Kemudian pasien yang mendapatkan perawatan medis intensif seperti di ruang ICU, ICCU, NICU dan PICU.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien yang harus mendapatkan penyelamatan nyawa dan pencegahan kecatatan di ruang IGD dan ruang perawatan intensif, rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan dan pertolongan tanpa terlebih dahulu meminta uang muka atau pembayaran. Tetapi ingat, bahwa setiap tindakan, pengobatan dan perawatan pasien harus mendapatkan persetujuan (informed consent) pasien dan/atau keluarganya. Informed consent diantaranya indikasi medis, obat, tindakan medis, risiko medis, termasuk didalamnya informasi pembiayaan.

Nah, pada saat informed consent inilah sering terjadi kesalahfahaman dan disinformasi. Disatu sisi rumah sakit melaksanakan kewajibannya dalam mendapatkan persetujuan tindakan medis, namun pada sisi lain keluarga pasien atau pasiennya menganggap rumah sakit tak punya empati dan tak berperikemanusiaan. Pasien atau keluarga merasa "galau bin sensi", kok bisa-bisanya dalam keadaan kesusahan pasien dan belum melakukan tindakan pengobatan, rumah sakit malah ngomongin biaya! Padahal rumah sakit akan dianggap salah jika tak menginformasikan pembiayaan. Jadi pasien/keluarga harus benar-benar faham, apakah biaya itu sekedar informasi atau sebagai syarat sebelum tindakan pengobatan.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bolehkan rumah sakit meminta uang muka pada bukan keadaan darurat? Ya, kembali pada aturan. Dimana larangan permintaan uang muka oleh rumah sakit hanya dalam keadaan darurat. Tetapi kan memang tidak ada aturan yang mengharuskan rumah sakit meminta uang muka atas layanan yang diberikan.

Uang muka adalah keniscayaan dalam bentuk transaksi sosial sebagai timbal balik atas jasa yang diberikan. Pada kondisi pasien mempunyai pilihan untuk menentukan layanan kesehatan, maka rumah sakit dibolehkan membuat ketentuan, diantaranya uang muka. Sebagai contoh, setelah dilakukan pemeriksaan dan penegakan diagnosa, dokter menyampaikan bahwa pasien disarankan menjalani rawat inap. Ternyata rumah sakit mempunyai ketentuan; jika rawat inap di kelas 3, pasien dapat langsung masuk. Tetapi kalau di kelas VIP, pasien harus menyerahkan uang muka sebesar 3 hari biaya ruangan. Dalam kondisi ini, pasien mempunyai pilihan; apakah menjalani rawat inap di kelas 3 atau VIP. Pasien tinggal memilih; dengan uang muka atau tidak. Gampang kan?

Rabu, 09 Januari 2013

, , , , ,

Pengalaman Buruk di IGD Rumah Sakit

Suatu ketika saya mengantar isteri naik taksi menuju Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit. Isteri saya dalam keadaan kesakitan luar biasa, kejang, nafas tersengal-sengal dan nyaris tak sadarkan diri. Ketika sampai rumah sakit ternyata ruang IGD sedang renovasi. Untuk sementara pelayanan gawat darurat dipindahkan pada ruangan dan lokasi lain.

Dalam keadaan panik, saya bertanya dimana letak IGD sementara itu? Maukah mengantar saya ke IGD sementara itu? Lokasi IGD sementara itu berada pada sisi berbeda dari rumah sakit. Untuk sampai kesana dengan mobil harus berjalan jauh memutar dan berbelok-belok. Sementara jika melewati lorong dalam rumah sakit tak ada tersedia kursi roda. Petugas rumah sakit menolak ikut masuk taksi untuk ikut mengantar dan menunjukan jalan ke IGD. Petugas hanya bilang ikuti jalan saja, nanti juga sampai.

Jika dalam keadaan biasa, mencari lokasi ruangan tak menjadi soal. Tetapi dalam keadaan darurat dan mengancam nyawa adalah persoalan besar. Saya meminta sopir taksi segera putar arah mengikuti jalan yang ditunjukan petugas. Begitu melewati persimpangan, mata saya melotot petunjuk arah yang ada. Eh, malah semakin bingung, ikut jalan yang mana? Tak ada tanda yang menunjukan ke arah mana IGD yang baru.

Saya semakin bingung, gugup dan sangat khawatir. Di kursi belakang taksi, istri saya terlentang. Dalam keadaan setengah sadar, kepalanya saya pangku. Tangan dan kaki kaku. Giginya tertutup hampir rapat. Hanya keluar suara mendesis tanda menahan sakit yang luar biasa.

Saya terus bertanya kepada siapa pun, terutama karyawan rumah sakit, yang saya temui di sepanjang jalan memutar rumah sakit. IGD dimana? Ada yang menjawab; tidak tahu! Ada yang bilang; sono! Saya memohon; bisa tolong tunjukan? Dijawabnya; jalan terus saja!

Sudah dua kali belokan tapi IGD tak juga ditemukan. Melewati belakang bangunan rumah sakit terasa sepi. Sopir menghentikan taksinya. Dia bingung di depannya bukan jalanan kendaraan, tapi selasar. Saya sudah tak bisa berfikir lagi. Saya teriak kepada petugas yang jauh di depan saya; dimana IGD? Dijawabnya; jalan terus! naik saja ke selasar dan belok kiri! Sopir taksi langsung tancap gas, sambil mengomel; gila aja mobil naik selasar!

Setelah belok kiri, nampak bangunan seperti depan lobi. Saya berfikir, pasti ini IGDnya. Taksi berhenti, saya berteriak panik; tolong isteri saya! Tolong, bantu angkat! Tangan satpam menunjuk suatu arah dan bilang; bapak jalan terus belok, IGD di depan situ!

Sopir taksi lagi-lagi tancap gas. Saya teriak; dimana pak? Belok mana? Satpam juga teriak; iya disitu masuk aja! Sopir belok melewati jalanan yang sepertinya memasuki tempat parkir. Tepat di depan sebuah pintu, taksi berhenti. Pintu itu tertutup rapat, tak dapat terlihat aktivitas di balik pintu itu. Suasananya sepi. Isteri saya sudah tak sadarkan diri. Detak dadanya tak terasa lagi.

Saya menjura dan mendobrak pintu. Blak! Didalam ternyata banyak orang berseragam. Pasti mereka perawat dan dokter. Tolong isteri saya! Tolong angkat! Mana bed, mana bed!

Entah suara siapa; bapak cari apa? Tenang saja! nanti kami tolong! Saya bingung, kok tak ada petugas yang keluar pintu bawa ranjang pasien. Tak ada satu pun petugas menuju taksi yang pintunya terbuka mempertontonkan isteri saya yang terlentang tak sadarkan diri.

Saya kalap, lari menuju taksi lagi. Saya bopong isteri saya masuk ke ruang IGD. Terdengar petugas memarahi saya; Bapak sabar dong, nanti juga diangkat! Ada lagi yang bilang: taruh aja di bed pojok itu.

Tolong, tolong isteri saya! sambil meletakan isteri saya pada ranjang yang kosong disudut ruangan. Bapak mundur! Bapak mundur! Biar ditangani petugas!

Saya berdiri terpaku tak jauh dari ranjang. Mata tak berkedip memandang istri saya yang diam terbujur. Tangannya membentang kaku dengan telapaknya menggenggam. Kelopak matanya erat terpejam.

Dokter menanyakan sesuatu kepada saya. Tapi saya tidak jelas mendengarnya. Tapi kemudian saya menceritakan bahwa isteri saya sudah beberapa kali sesak dada, kejang dan kesadarannya hilang timbul sejak dalam perjalanan ke rumah sakit ini. Rupanya dokter merasa tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaaannya. Dia membentak saya; Bapak! Tadi istri bapak makan apa?

Saya tertegun. Diam, menahan marah yang luar biasa. Kemudian saya menggelengkan kepala dan lirih menjawab; Belum makan apa-apa. Saya lihat petugas memasang selang oksigen pada hidung isteri saya. Sementara dokter sibuk dengan stetoskopnya. Tangan kiri memegang denyut nadi isteri saya. Beberapa saat, terlihat isteri saya menarik nafas dengan lemah. Mulai tersadar meski kondisinya sangat lemas.

Saya menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan; Alhamdulillah...